PERDEBATAN RAJA MILINDA
Milinda Panha 1
Milinda Panha 2
Milinda Panha 3
Milinda Panha 4
Milinda Panha 5
Milinda Panha 6
Milinda Panha 7
Milinda Panha 8
Milinda Panha 9
 
Milinda Panha 10
 
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads
     


2. Kemahatahuan Sang Buddha 
"Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?" 
"O ya, Baginda, tetapi pandangan terang untuk pengetahuan tidak 
selalu ada 
bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan." 
"Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin mahatahu 
kalau 
pengetahuannya didapat dari perenungan." 
"Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh tingkat kckuatan 
mental. Yang 
pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu, kebencian dan 
kebodohan batin; 
tidak terlatih dalam tindakan, perkataan, dan pikirannya; 
pemikiran mereka 
berjalan dengan lambat dan sulit. 
Yang kedua, para sotapana, yaitu yang telah masuk ke Sang 
Jalan, yang telah 
mencapai pandangan benar, dan telah mengerti ajaran Sang Guru 
dengan benar. 
Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan berfungsi 
dengan mudah, 
sejauh masih berhubungan dengan tiga belenggu yang pertama 
{nafsu, niat 
jahat, kesombongan). Tetapi di luar itu, 
kekuatan pemikiran mereka berfungsi dengan lambat dan sulit. 
Yang ketiga, para sakadagami, yaitu yang masih terlahir sekali 
lagi. Dalam 
diri mereka nafsu dan kebencian telah hilang. Kekuatan 
pemikiran mereka 
bekerja dengan cepat dan baik, sejauh masih berhubungan dengan 
lima belenggu 
bagian bawah (nafsu, niat jahat, kesombongan, kepercayaan 
adanya diri, 
keraguan). Di luar itu sulit dan lambat. 
Yang keempat, para anagami, yaitu yang tidak terlahir lagi. 
Pada mereka 
nafsu dan kebencian telah lenyap. Kekuatan pemikiran mereka 
berjalan dengan 
cepat dan baik sejauh masih berhubungan dengan sepuluh belenggu 
(nafsu, niat 
jahat, kesombongan, kepercayaan adanya diri, keraguan, fanatik 
terhadap 
upacara dan tradisi, keinginan untuk dumadi, 
keirihatian, pertentangan, kebodohan batin). Tetapi di luar itu 
sulit dan 
lambat. 
Kelima, para Arahat. Pada mereka banjir hawa nafsu indria, 
keinginan untuk kelahiran kembali, kepercayaan adanya diri, dan 
kebodohan 
batin telah berhenti. Mereka telah menempuh kehidupan suci dan 
mencapai 
tujuan akhir. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat, 
sejauh masih 
berhubungan dengan lingkup murid. Tetapi di luar itu sulit dan 
lambat. 
Walaupun mereka sudah amat bijaksana, tetapi masih belum 
mengetahui tentang 
kehidupan-kehidupan sebelumnya dan belum mempunyai 
pengetahuan akan kemampuan-kemampuan spiritual para makhluk. 
Keenam, para Pacceka Buddha, yang tergantung pada diri mereka 
sendiri saja 
dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran mereka berjalan 
dengan cepat, 
sejauh masih berhubungan dengan 
lingkup mereka sendiri. Tetapi dalam lingkup yang khusus bagi 
Yang Telah 
Mencapai Penerangan Sempurna, pemikiran mereka lambat dan 
sulit. Seperti 
halnya seseorang yang tak akan ragu menyeberangi sungai kecil 
di tanahnya 
sendiri akan ragu bila menyeberangi samudera luas. 
Dan yang terakhir, para Buddha yang Mencapai Penerangan 
Sempurna. Mereka 
mempunyai segala pengetahuan, memiliki 10 kekuatan, 4 macam 
ketidaktakutan, 
dan 18 ciri seorang Buddha. Kekuatan pemikiran mereka bekerja 
cepat tanpa 
ada hambatan dalam pengetahuan apapun. Seperti halnya sebatang 
anak panah 
akan dengan mudah menembus kain yang tipis, demikian pula 
pengetahuan mereka 
tidak ada  batasnya dan jauh melebihi 6 
tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat jernih dan 
cerdas, maka para 
Buddha itu dapat melakukan Mujijat Kembar. Dari situ kita hanya 
dapat 
membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan mereka. Dan 
melihat  semua 
keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat dikemukakan, 
kecuali karena 
perenungan." 
"Tetapi, meskipun demikian, Nagasena, perenungan dilakukan 
dengan tujuan 
untuk mengetahui sesuatu hal yang masih belum jelas sebelum 
perenungan 
dimulai." 
"Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin hanya karena tidak 
ada makanan 
yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa disangka-sangka 
tiba; tidak 
juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul hanya karena 
tak ada buah 
yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha benar-benar 
mahatahu meskipun 
pengetahuannya diperoleh dari perenungan." 
3. Pentahbisan Devadatta 
"Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh 
dengan welas 
asih, mengapa Beliau mengijinkan Devadatta masuk Sangha? Toh, 
Devadatta 
akhirnya masuk ke neraka selama satu kalpa karena menyebabkan 
perpecahan 
Sangha? Jika Sang Buddha tidak tahu apa yang akan dilakukan 
oleh Devadatta 
di kemudian hari berarti Beliau tidak mahatahu. 
Sebaliknya jika Beliau tahu, berarti tidak penuh welas asih." 
"Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh welas 
asih. Karena 
Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan 
Devadatta akan jadi 
terbataslah, maka Beliau mengijinkannya memasuki Sangha. 
Seperti halnya seorang penguasa yang mempunyai wewenang untuk 
mengubah 
hukuman mati menjadi hukuman potong tangan dan kaki, tidak 
bertanggung jawab 
atas penderitaan dan kesakitan yang tetap harus dirasakan. Atau 
seperti 
halnya seorang tabib yang pintar dapat mengurangi penyakit yang 
kritis 
menjadi lebih ringan dengan memberikan pengobatan. Demikian 
juga Sang Buddha 
mengurangi penderitaan yang akan datang bagi diri Devadatta 
dengan 
mengijinkannya memasuki Sangha. Setelah menjalani penderitaan 
dalam neraka 
selama satu kalpa, Devadatta kemudian akan bebas dan menjadi 
Pacekka Buddha 
yang bernama Atthissara." 
"Sungguh besar anugerah yang diberikan pada Devadatta oleh Sang 
Buddha, 
Nagasena. Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya ketika 
tersesat di rimba 
belantara. Beliau memberikan tumpuan yang kokoh ketika 
Devadatta terjatuh. 
Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya dapat 
ditunjukkan oleh 
orang sebijaksana Bhante!" 

4. Penyebab-penyebab gempa bumi 
"Sang Buddha berkata, Nagasena, bahwa ada delapan penyebab 
gempa yang hebat 
(D. ii. 107; A.iv. 312). Tetapi kita dapatkan ada sembilan yang 
disebutkan 
di dalam text. Ketika Bodhisatwa Vessantara memenuhi 
kesempurnaan kemurahan 
hatinya dengan memberikan isteri dan anaknya sebagai pelayan, 
maka bumi juga 
bergetar. Jika pernyataan Sang Buddha itu 
benar, berarti yang kedua itu salah." 
"Kedua pernyataan itu benar, O Baginda. Persembahan Vessantara 
itu tidak 
disebutkan sebagai penyebab ke sembilan, karena hal itu 
merupakan suatu 
kejadian yang sangat langka. Seperti halnya sebuah anak sungai 
kering yang 
biasanya tidak berair tidak akan disebut sungai, tetapi pada 
saat-saat hujan 
ia menjadi sungai, demikian juga kebesaran hati Vessantara 
adalah sesuatu 
yang amat sangat langka, dan karenanya 
dibedakan dari delapan penyebab umum gempa." 
"Pernahkah Baginda mendengar dalam sejarah agama kita, tentang 
suatu 
tindakan pengabdian yang berbuah pada kehidupan sekarang ini 
juga?" 
"Ya, Bhante Nagasena, ada tujuh macam kasus semacam itu: 
Sumana, si pembuat 
karangan bunga (Dh.A.ii. 40 f; Dhp. v. 68), Ekasataka sang 
brahmana 
(Dh.A.iii. 1; Dhp.v.ll 6), Punna si pekerja ladang (Dh.A.iii. 
302 f; Dhp. v. 
223), Malika sang ratu (Ja. iii. 405; Dhp. v. 117), Ratu yang 
dikenal 
sebagai ibu dari Gopala (AA. i. 207.f), Suppiya wanita yang 
penuh pengabdian 
(Vin.i. 217-218 : Setelah berjanji mempersembahkan 
daging untuk seorang bhikkhu namun ia tidak berhasil membelinya 
maka ia 
memotong pahanya sendiri untuk dipersembahkan kepada bhikkhu 
tersebut. 
Ketika Sang Buddha menemuinya, luka tersebut menjadi sembuh 
langsung), dan 
Punna si budak wanita (Dh.A. iii. 321; Dhp. v.226)." 
"Tetapi sudah pernahkah Baginda mendengar bahwa tanah ini 
bergetar sekali 
dua ketika suatu persembahan diberikan?" 
"Belum, Yang Mulia, saya belum pernah mendengar hal itu." 
"Saya pun, Baginda raja, tidak pernah mendengar hal seperti itu 
meskipun 
saya telah dengan sungguh-sungguh belajar dan siap untuk 
belajar, kecuali 
dalam kasus persembahan luar biasa yang dilakukan oleh 
Vessantara. 
Bukan hanya karena usaha yang biasa saja bumi ini dapat
bergetar, O Baginda. Hanyalah ketika bumi terbebani oleh 
kekuatan kebajikan, 
dikalahkan oleh kekuatan tindakan-tindakan yang baik dan 
terbukti sepenuhnya 
murni, maka barulah bumi yang luas ini bergempa dan bergetar, 
karena tak 
sanggup menahan beban kekuatan itu. Dan ketika Vessantara 
memberikan 
persembahannya, O Baginda raja, ia memberikan segala sesuatunya 
bukan demi 
kelahiran kembali yang mulia, 
bukan demi kekayaan di masa mendatang, bukan untuk mengharap 
imbalan hadiah, 
dan bukan untuk pujian atau keuntungan pribadi lainnya. Hanya 
demi 
kebijaksanaan sejatilah ia memberikan semuanya itu." 

5. Pernyataan Kebenaran 
"Raja Sivi memberikan matanya kepada seseorang yang memintanya 
dan kemudian 
dia mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya (Ja. No. 
499). 
Bagaimana hal ini mungkin?" 
"Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi. Seperti halnya 
ahli kebatinan 
yang  membaca kebenaran dapat membuat hujan turun, mengusir api 
atau 
menetralkan racun." 
"Ketika Asoka, penguasa yang jujur itu suatu hari berdiri di 
antara penduduk 
kota Pataliputta, ia berkata kepada menterinya: 'Adakah orang 
yang dapat 
membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah dan melawan 
arus?' Kemudian 
seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang ada di antara 
kerumunan itu, 
melakukan tindakan kebenaran. Dan pada saat itu 
juga sungai Gangga yang besar itu bergemuruh dan bergelombang 
membalik arah 
di depan mata semua orang. Dan Sang Raja yang terperangah 
mencari wanita 
yang menyebabkan hal itu terjadi dan bertanya padanya 'Tindakan 
kebenaran 
apa yang telah kau lakukan untuk dapat melakukan hal ini?' Si 
wanita 
menjawab, 'Siapapun yang membayar saya, tak peduli apakah ia 
seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan, saya 
perlakukan mereka 
semua sama sederajat. Bebas dari bias saya melayani mereka 
sesuai dengan apa 
yang telah dibayarkan kepada saya. Inilah dasar dari tindakan 
kebenaran yang 
saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai Gangga.' 
"Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan hal-hal 
semacam itu 
terjadi, hanyalah kekuatan kebenaran itu sendiri yang merupakan 
penyebabnya. 
Dan tidak ada alasan untuk merealisasikan Empat Kesunyataan 
Mulia selain 
dari kekuatan kebenaran itu sendiri." 
6. Dilema seputar kehamilan 
"Sang Buddha bersabda bahwa kehamilan terjadi di rahim dengan adanya tiga 
penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua, kesuburan sang ibu, dan 
seorang makhluk untuk dilahirkan (M.i.265; M. ii. 157). Tetapi Beliau juga 
berkata bahwa ketika pertapa Dukala menyentuh pusar seorang wanita pertapa 
yang bernama Parika dengan ibujarinya, bayi Sama terkandung (Ja. No. 540). 
Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka 
pernyataan yang kedua pasti salah." 
"Kedua pernyataan itu benar, O Baginda raja, tetapi Baginda jangan berpikir 
bahwa ada pelanggaran dalam kasus kedua. Sakka, raja para dewa, setelah 
melihat terlebih dahulu bahwa para pertapa yang luhur tersebut akan menjadi 
buta, meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki. Tetapi kedua pertapa itu 
tidak mau melakukan hubungan seksual sekalipun untuk 
menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Maka Sakka turut campur tangan menyuruh 
Dukala. Dengan demikian Sama terkandung." 

7. Umur Agama 
"Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha bersabda bahwa ajaran yang 
murni itu hanya akan bertahan selama 500 tahun. Tetapi kepada Subaddha 
Beliau bersabda, 'Selama para bhikkhu Sangha masih menjalani kehidupan suci 
maka dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.' 
Pernyataan-pernyataan ini bertentangan." 
"O Baginda, Sang Buddha memang membuat kedua pernyataan itu, tetapi keduanya 
berbeda dalam inti dan arti. Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang 
murni, sedangkan satunya lagi berhubungan dengan praktek dari kehidupan 
agama. Dan dua hal ini jelas sangat berbeda. Pada saat bersabda tentang 500 
tahun itu. Beliau memberikan batasan kepada agama. Akan tetapi ketika 
berbicara kepada Subaddha Beliau menyatakan tentang apa yang terkandung 
dalam agama. Jika murid-murid Sang Buddha terus berusaha sekuat-kuatnya 
dalam lima faktor perjuangan (Padhana: keyakinan, kesehatan yang baik, 
kejujuran, semangat, dan kebijaksanaan); mempunyai keinginan murni untuk 3 
latihan (sila, samadhi, panna); menyempurnakan diri mereka dalam tindakan 
dan nilai-nilai luhur; maka ajaran Sang Penakluk yang mulia itu akan 
bertahan lama dan akan semakin kuat dan kokoh dengan berjalannya waktu. 
Ajaran Sang Buddha, O Baginda raja, berakar pada praktek. Prakteklah 
intinya, dan ajaran itu akan tetap bertahan selama praktek tidak kendur. 
Suatu ajaran bisa lenyap karena tiga hal: 
1. mundurnya pencapaian pandangan terang di dalam ajaran itu, 
2. mundurnya praktek yang berhubungan dengan ajaran itu, dan 
3. mundurnya bentuk luar ajaran itu. 
Bila pengertian intelektual hilang, maka meskipun orang yang sudah menjalani 
hidup dengan benarpun tidak mempunyai pengertian yang jelas tentang ajaran 
itu. Dengan mundurnya praktek, penerapan aturan Vinaya akan hilang dan hanya 
bentuk luar agama itu saja yang tertinggal. Bila bentuk luar itu lenyap maka 
tradisi itu terputus dan tidak akan dapat 
berlanjut." 

8. Kemurnian Sang Buddha 
"Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua yang tidak baik didalam 
dirinya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau terluka oleh pecahan batu 
yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau dapat terluka, maka Beliau 
tidak dapat dikatakan telah terbebas dari segala kejahatan, karena tidak 
akan ada perasaan tanpa adanya kamma. Semua perasaan 
berakar pada kamma dan hanya dengan pengaruh kammalah perasaan timbul." 
"Tidak, Baginda raja yang mulia, tidak semua perasaan mempunyai akar pada 
kamma. Ada delapan penyebab timbulnya perasaan: 
1. angin yang berlebihan; 
2. cairan empedu yang berlebihan; 
3. lendir yang berlebihan; 
4. campuran dari tiga cairan tubuh; 
5. variasi temperatur; 
6. stress lingkungan; 
7. pengaruh luar; dan ... 
8. kamma. 
Siapapun yang berkata, 'Hanyalah kamma yang mengatur makhluk', berarti dia 
tidak mengikutsertakan tujuh penyebab lainnya. Dan karena itu, pernyataannya 
itu salah. 
Bila unsur angin dalam diri seseorang terganggu, gangguan itu dapat terjadi 
karena salah satu dari 10 penyebab: 
1. karena dingin; 
2. karena panas;
3. karena lapar; 
4. karena haus; 
5. karena terlalu banyak makan; 
6. karena berdiri terlalu lama; 
7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan; 
8. karena berlari; 
9. karena pengobatan medis; atau ... 
10. karena akibat dari kamma. 
Empedu dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas; atau 
karena makanan yang tidak tepat. Lendir dapat terganggu karena tiga hal: 
karena dingin; karena panas; atau karena makan dan minum. Bila 
ketiga-tiganya yang terganggu ini bercampur, terjadi rasa sakit tersendiri. 
Kemudian ada rasa sakit yang timbul dari variasi temperatur, stress 
lingkungan, dan pengaruh-pengaruh luar. Kemudian ada juga rasa sakit yang 
disebabkan oleh kamma. 
Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh kamma jauh lebih sedikit 
daripada rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lainnya. 
Orang yang salah pandangan sudah keterlaluan bila mengatakan bahwa segala 
sesuatu yang dialami itu disebabkan oleh kamma. Tanpa pandangan terang dari 
seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan jangkauan dari kamma. Dan 
ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu, rasa sakitnya berasal 
dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha tidak pernah menderita rasa 
sakit yang disebabkan oleh kamma Beliau sendiri, atau karena stress 
lingkungan, Beliau tetap menderita rasa sakit yang disebabkan oleh salah 
satu dari enam penyebab rasa sakit yang lain. Dan, O Baginda, seperti yang 
disabdakan oleh Sang Buddha, 'Ada beberapa rasa 
sakit yang timbul di dunia ini, Sivaka, dari humor yang menyakitkan. Dan 
engkau harus tahu apa humor itu karena 
itu hanyalah persoalan pengetahuan biasa saja. Para pertapa dan Brahmana 
yang berpendapat dan menyatakan pandangan bahwa semua perasaan yang dialami 
itu disebabkan oleh tindakan yang lalu, mereka sudah melewati batas 
kepastian dan pengetahuan, dan karenanya Aku katakan bahwa mereka itu 
salah."' (S. iv. 230 f, Moliya Sivaka Sutta) 

9. Kesempurnaan Sang Buddha 
"Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya di bawah pohon bodhi, mengapa 
Beliau menghabiskan waktu 3 bulan lagi dalam kesendirian?" (Comp. Dhp. v. 6) 
"O Baginda raja, meditasi kesendirian mempunyai banyak manfaat. Semua 
Tathagata mencapai kebuddhaan dan kemudian mempraktekkannya pada umat 
manusia dengan tujuan untuk berterimakasih atas manfaat yang didapat. Ada 
dua puluh delapan keuntungan dari kesendirian: 
1. kesendirian membimbing seseorang; 
2. meningkatkan usia kehidupannya; 
3. memberikan semangat; 
4. menyembunyikan kelemahannya; 
5. menghilangkan semua reputasi yang jelek, dan ... 
6. membawa kemasyuran; 
7. menghancurkan ketidakpuasan, dan ... 
8. menumbuhkan kepuasan; 
9. menghapuskan ketakutan, dan ... 
10. memberi keyakinan; 
1 1, menghilangkan kemalasan, dan ... 
12. memenuhinya dengan semangat; 
13. mengusir nafsu, 
14. mengusir kebencian, dan ... 
15. mengusir pandangan salah; 
16. mengurangi kesombongan; 
17. menghalau pikiran yang bercabang-cabang, dan ... 
18. membuat pikiran terpusat; 
19. melembutkan pikirannya, dan ... 
20. membuatnya ringan hati; 
21. membuatnya serius; 
22. membawa keuntungan materi; 
23. membuatnya patut dihormati; 
24. memberikan kegembiraan; 
25. mengisinya dengan sukacita; 
26. menunjukkan padanya sifat semua bentuk-bentuk pikiran; 
27. menghentikan kelahiran kembali; dan ... 
28. memberikan padanya semua buah dari kehidupan meninggalkan duniawi. 
Karena Sang Tathagata mempunyai pemikiran tentang berbagai 
keuntungan inilah maka Beliau mengikuti praktek kesendirian. 
Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Sang Tathagata mengabdikan diri pada 
kesendirian: 
1. agar supaya dapat berdiam dalam ketenangan; 
2. karena sifat kesendirian yang sama sekali tak tercela; 
3. karena kesendirian merupakan jalan bagi segala yang luhur tanpa kecuali; 
4. karena hal itu telah dipuji dan dimuliakan oleh semua Buddha. 
Bukan karena masih ada yang harus dicapai oleh para Buddha itu, dan bukan 
pula karena masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan pada apa yang telah 
mereka capai, melainkan hanya karena manfaat-manfaat yang luar biasa itulah 
maka mereka berlatih kesendirian." 

10. Keseimbangan Sang Buddha 
"Sang Buddha bersabda bahwa jika diinginkan, Beliau dapat hidup sampai satu 
kalpa habis (D.ii.103 - Kappa disini berarti usia manusia rata-rata yaitu 
sekitar 100 tahun pada jaman kehidupan Sang Buddha). 
Tetapi  Beliau juga bersabda bahwa Beliau akan meninggal 3 bulan kemudian 
(D. ii. 119). Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar semuanya?" 
"Kalpa, O raja, dalam hal itu adalah jangka waktu lamanya 
kehidupan seseorang. Dan apa yang disabdakan oleh Sang Buddha adalah untuk 
menunjukkan hebatnya kekuatan kesaktian. Sang Buddha sudah terbebas 
sepenuhnya dari keinginan akan bentuk kehidupan mendatang apapun. Beliau 
bahkan mencelanya dan bersabda, 'Aku tidak menemukan keindahan sama sekali 
dalam bagian terkecil pun dari kehidupan mendatang sama halnya bahwa bagian 
terkecil dari kotoran pun tetaplah berbau busuk." (A.i.34) 
BAGIAN SEMBILAN 
11. Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting 
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'O, bhikkhu, dari pengetahuan yang lebih 
tinggilah Saya mengajarkan Dhamma.' (A.i.276; M.ii.9) Tetapi Beliau juga 
berkata: 'Setelah Saya tidak ada lagi, Ananda, bila diinginkan oleh Sangha, 
biarlah Sangha menghapus peraturan yang kecil dan tidak begitu penting.' (D. 
ii;154; Vin.ii.287) Apakah itu berarti 
bahwa peraturan-peraturan itu ditetapkan secara salah dan tanpa sebab yang 
tepat?" 
"O, Baginda, ketika Sang Buddha berkata,"Biarlah Sangha menghapus peraturan 
yang minor dan tidak begitu penting', itu dikatakan untuk menguji para 
bhikkhu. Seperti halnya seorang raja pada waktu akan mangkat akan menguji 
putra-putranya dengan berkata: 'Daerah-daerah di luar  kerajaanku akan 
berada dalam bahaya keruntuhan setelah aku mangkat.' Nah, setelah 
ayahandanya mangkat, apakah para putra raja itu 
akan begitu saja mau kehilangan daerah-daerah di luar kerajaan?" 
"Tentu saja tidak, Bhante. Para raja mempunyai keinginan 
menguasai. Karena nafsu akan kekuasaan, para pangeran mungkin justru akan 
melebarkan daerah kekuasaannya dua kali lipat dari apa yang telah mereka 
miliki, tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang 
telah mereka miliki." 
"Begitu pula, Baginda, para putra Sang Buddha, karena semangat akan Dhamma 
mereka mungkin akan mempertahankan bahkan lebih dari seratus lima puluh 
peraturan (diluar 75 peraturan kecil terdapat 152 peraturan kebhikkhuan - 
Patimokkha), tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu 
saja kehilangan apa yang telah ditetapkan." 
"Bhante Nagasena, ketika Sang Buddha mengacu pada 'Peraturan yang Kecil dan 
Tidak Begitu Penting' orang mungkin merasa ragu-ragu, yang mana peraturan 
yang dimaksud itu." 
"Tindakan yang berkenaan dengan salah-melakukan (Dukkata-pelanggaran 75 
latihan dan peraturan lainnya yang relatif kecil) merupakan peraturan yang 
tidak begitu penting, dan salah-berucap (Dubbhasita) mengacu pada peraturan 
minor. Para tetua yang bertemu dalam Konsili Buddhis Pertama juga tidak satu 
pendapat mengenai hal ini." 
12. Ajaran Rahasia 
"Sang Buddha berkata kepada Ananda, 'Sehubungan dengan Dhamma, Sang 
Tathagata bukanlah seorang guru yang merahasiakan sesuatu dalam genggamannya 
sendiri.' (D. ii. 100; S.v. 153) Tetapi ketika Beliau ditanya oleh 
Malunkyaputta, Beliau tidak menjawab (M. ii. Sta. 63). 
Apakah Beliau tidak menjawab karena ketidak-pedulian, ataukah Beliau hendak 
menyembunyikan sesuatu?" 
"O, Baginda, bukan karena ketidak-pedulian dan juga bukan karena ingin 
menyembunyikan sesuatu maka Beliau tidak menjawab. Suatu pertanyaan dapat 
dijawab dengan satu dari empat cara: 
1. secara langsung, 
2. dengan analisa, 
3. dengan pertanyaan balik, dan 
4. dengan mengabaikannya." 
"Dan pertanyaan macam apa yang harus dijawab secara langsung?" 
'Apakah materi itu kekal? Apakah perasaan tubuh itu kekal? Apakah pencerapan 
itu kekal?' Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab secara langsung." 
"Dan apa yang harus dijawab dengan analisa?" 
'Apakah yang tidak kekal itu materi?' 
"Dan apa yang harus dijawab dengan pertanyaan balik?" 
'Apakah mata dapat mencerap segala sesuatu?' 
"Dan apa yang harus diabaikan?" 
'Apakah dunia itu abadi? Apakah dunia itu tidak abadi? Apakah Sang Tathagata 
ada setelah kematiannya? Apakah Sang Tathagata tidak ada setelah 
kematiannya? Apakah jiwa sama dengan tubuh? Apakah tubuh itu satu hal dan 
jiwa itu hal lain?' Pada pertanyaan-pertanyaan demikianlah maka Sang Buddha 
tidak memberi jawaban pada Malunkyaputta. Tidak ada alasan untuk 
menjawabnya. Para Buddha tidak berbicara tanpa alasan." 
13. Rasa Takut terhadap Kematian 
"Sang Buddha bersabda, 'Semuanya gemetar karena hukuman, semuanya takut akan 
kematian.' (Dhp. v. 129) Tetapi Beliau juga berkata,' Arahat telah melewati 
semua rasa takut.' (A.ii. 172) Jadi bagaimana? Apakah para Arahat juga 
gemetar karena ketakutan akan kematian? Atau apakah para makhluk di neraka 
takut akan kematian padahal lewat itu mereka mungkin 
dapat terbebaskan dari siksaan?" 
"0, Baginda, tidaklah menyangkut para Arahat ketika Sang Buddha berkata, 
'Semuanya gemetar karena hukuman, semuanya takut akan kematian.' Seorang 
Arahat merupakan perkecualian dari pernyataan itu karena semua penyebab rasa 
takut telah dihilangkan olehnya. Misalnya saja, O Baginda, seorang raja 
mempunyai empat menteri utama yang setia dan dapat dipercaya; apakah mereka 
akan merasa takut bila raja mengeluarkan perintah yang mengatakan, 'Semua 
orang di daerahku harus 
membayar pajak?" 
"Tidak, Bhante Nagasena. Mereka tidak akan merasa takut karena pajak tidak 
berlaku untuk mereka. Mereka berada di luar perpajakan." 
"Begitu juga, O Baginda, prnmyataan, 'Semuanya gemetar karena 
hukuman, semuanya takut akan kematian', tidak berlaku untuk para Arahat 
karena mereka berada di luar rasa takut akan kematian. Ada lima cara, O 
Baginda, di mana arti suatu pernyataan harus ditegaskan: 
1. Membandingkannya dengan text yang dikutip; 
2. Lewat 'selera', yaitu apakah sesuai dengan text-text lain?; 
3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?; 
4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu, apakah sesuai dengan 
pengalamanku sendiri?; 
5. Dengan gabungan semua cara itu. 
"Baiklah, Bhante Nagasena, saya menerima bahwa para Arahat merupakan 
perkecualian bagi pernyataan itu, tetapi tentunya semua makhluk di neraka 
tak mungkin merasa takut akan kematian karena lewat itu maka mereka akan 
terbebas dari siksaan." 
"Mereka yang berada di neraka merasa takut akan kematian, O Baginda, karena 
kematian merupakan kondisi di mana mereka yang belum melihat Dhamma merasa 
takut. Seandainya, O Baginda, seorang tawanan yang ditaruh di ruang bawah 
tanah harus menghadap raja yang berkehendak akan membebaskannya, apakah 
tawanan itu merasa takut menghadap raja?" 
"Ya, dia akan merasa takut." 
"Begitu juga, O Baginda, semua makhluk di neraka merasa takut akan kematian 
walaupun mereka akan memperoleh kebebasan dari siksaan." 
14. Perlindungan dari Kematian 
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Tidak di langit, tidak di tengah samudera, 
tidak di celah gunung yang paling terpencil, tidak di seluruh dunia yang 
luas ini dapat ditemukan tempat di mana orang dapat lolos dari jerat 
kematian." (Dhp. v. 128) Tetapi syair perlindungan (paritta) diberikan oleh 
Sang Buddha untuk melindungi mereka yang berada dalam bahaya. Jika tidak ada 
jalan untuk menghindari kematian, maka upacara 
Paritta itu tidak ada gunanya." 
"Syair-syair Paritta, O Baginda, dimaksudkan bagi mereka yang 
masih mempunyai sisa porsi kehidupan. Tidak ada upacara maupun sarana buatan 
yang bisa memperpanjang kehidupan seseorang yang jangka waktu kehidupannya 
telah habis." 
"Tetapi, Bhante Nagasena, jika orang yang faktor-faktor 
kehidupannya masih berjalan akan tetap hidup, dan orang yang tidak memiliki 
faktor-faktor itu tadi akan mati, maka baik obat maupun Paritta sama-sama 
tidak ada gunanya." 
"Tetapi, telah  pernahkan Baginda melihat atau mendengar kasus suatu 
penyakit yang dapat disembuhkan oleh obat?" 
"Ya, ratusan kali." 
"Kalau demikian, pernyataan Baginda tentang ketidakmujaraban 
Paritta dan obat pastilah salah." 
"Bhante Nagasena, apakah Paritta merupakan perlindungan bagi 
setiap orang?" 
"Hanya bagi beberapa, tidak bagi setiap orang. Ada tiga alasan di mana 
Paritta tidak bekerja: 
1. halangan karena kamma masa lampau; 
2. halangan karena kekotoran batin masa kini, dan 
3. halangan karena kurangnya keyakinan. 
Paritta yang merupakan perlindungan bagi para makhluk akan kehilangan 
kekuatannya karena cacat mereka sendiri." 

Milinda Panha 1
Milinda Panha 2
Milinda Panha 3
Milinda Panha 4
Milinda Panha 5
Milinda Panha 6
Milinda Panha 7
Milinda Panha 8
Milinda Panha 9
 
Milinda Panha 10
 
Food For Thought
The Key of Immediate Enlightenment
Sun Tzu The Art Of War
Encouraging Quotes And Excerpts
Encouraging Stories
Jokes
 A Page to Rest - 
Breathing Space
TABLE OF CONTENTS
Complete list of articles on
this site
 Free Downloads