|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
A
Page to Rest -
Breathing Space |
Complete list of articles on this site |
Free Downloads |
"Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?" "O ya, Baginda, tetapi pandangan terang untuk pengetahuan tidak selalu ada bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan." "Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin mahatahu kalau pengetahuannya didapat dari perenungan." "Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh tingkat kckuatan mental. Yang pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu, kebencian dan kebodohan batin; tidak terlatih dalam tindakan, perkataan, dan pikirannya; pemikiran mereka berjalan dengan lambat dan sulit. Yang kedua, para sotapana, yaitu yang telah masuk ke Sang Jalan, yang telah mencapai pandangan benar, dan telah mengerti ajaran Sang Guru dengan benar. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan berfungsi dengan mudah, sejauh masih berhubungan dengan tiga belenggu yang pertama {nafsu, niat jahat, kesombongan). Tetapi di luar itu, kekuatan pemikiran mereka berfungsi dengan lambat dan sulit. Yang ketiga, para sakadagami, yaitu yang masih terlahir sekali lagi. Dalam diri mereka nafsu dan kebencian telah hilang. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat dan baik, sejauh masih berhubungan dengan lima belenggu bagian bawah (nafsu, niat jahat, kesombongan, kepercayaan adanya diri, keraguan). Di luar itu sulit dan lambat. Yang keempat, para anagami, yaitu yang tidak terlahir lagi. Pada mereka nafsu dan kebencian telah lenyap. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan baik sejauh masih berhubungan dengan sepuluh belenggu (nafsu, niat jahat, kesombongan, kepercayaan adanya diri, keraguan, fanatik terhadap upacara dan tradisi, keinginan untuk dumadi, keirihatian, pertentangan, kebodohan batin). Tetapi di luar itu sulit dan lambat. Kelima, para Arahat. Pada mereka banjir hawa nafsu indria, keinginan untuk kelahiran kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan batin telah berhenti. Mereka telah menempuh kehidupan suci dan mencapai tujuan akhir. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat, sejauh masih berhubungan dengan lingkup murid. Tetapi di luar itu sulit dan lambat. Walaupun mereka sudah amat bijaksana, tetapi masih belum mengetahui tentang kehidupan-kehidupan sebelumnya dan belum mempunyai pengetahuan akan kemampuan-kemampuan spiritual para makhluk. Keenam, para Pacceka Buddha, yang tergantung pada diri mereka sendiri saja dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat, sejauh masih berhubungan dengan lingkup mereka sendiri. Tetapi dalam lingkup yang khusus bagi Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, pemikiran mereka lambat dan sulit. Seperti halnya seseorang yang tak akan ragu menyeberangi sungai kecil di tanahnya sendiri akan ragu bila menyeberangi samudera luas. Dan yang terakhir, para Buddha yang Mencapai Penerangan Sempurna. Mereka mempunyai segala pengetahuan, memiliki 10 kekuatan, 4 macam ketidaktakutan, dan 18 ciri seorang Buddha. Kekuatan pemikiran mereka bekerja cepat tanpa ada hambatan dalam pengetahuan apapun. Seperti halnya sebatang anak panah akan dengan mudah menembus kain yang tipis, demikian pula pengetahuan mereka tidak ada batasnya dan jauh melebihi 6 tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat jernih dan cerdas, maka para Buddha itu dapat melakukan Mujijat Kembar. Dari situ kita hanya dapat membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan mereka. Dan melihat semua keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat dikemukakan, kecuali karena perenungan." "Tetapi, meskipun demikian, Nagasena, perenungan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu hal yang masih belum jelas sebelum perenungan dimulai." "Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin hanya karena tidak ada makanan yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa disangka-sangka tiba; tidak juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul hanya karena tak ada buah yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha benar-benar mahatahu meskipun pengetahuannya diperoleh dari perenungan." |
"Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh dengan welas asih, mengapa Beliau mengijinkan Devadatta masuk Sangha? Toh, Devadatta akhirnya masuk ke neraka selama satu kalpa karena menyebabkan perpecahan Sangha? Jika Sang Buddha tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Devadatta di kemudian hari berarti Beliau tidak mahatahu. Sebaliknya jika Beliau tahu, berarti tidak penuh welas asih." "Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh welas asih. Karena Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan Devadatta akan jadi terbataslah, maka Beliau mengijinkannya memasuki Sangha. Seperti halnya seorang penguasa yang mempunyai wewenang untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman potong tangan dan kaki, tidak bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan yang tetap harus dirasakan. Atau seperti halnya seorang tabib yang pintar dapat mengurangi penyakit yang kritis menjadi lebih ringan dengan memberikan pengobatan. Demikian juga Sang Buddha mengurangi penderitaan yang akan datang bagi diri Devadatta dengan mengijinkannya memasuki Sangha. Setelah menjalani penderitaan dalam neraka selama satu kalpa, Devadatta kemudian akan bebas dan menjadi Pacekka Buddha yang bernama Atthissara." "Sungguh besar anugerah yang diberikan pada Devadatta oleh Sang Buddha, Nagasena. Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya ketika tersesat di rimba belantara. Beliau memberikan tumpuan yang kokoh ketika Devadatta terjatuh. Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya dapat ditunjukkan oleh orang sebijaksana Bhante!" 4. Penyebab-penyebab gempa bumi
|
"Raja Sivi memberikan matanya kepada seseorang yang memintanya dan kemudian dia mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya (Ja. No. 499). Bagaimana hal ini mungkin?" "Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi. Seperti halnya ahli kebatinan yang membaca kebenaran dapat membuat hujan turun, mengusir api atau menetralkan racun." "Ketika Asoka, penguasa yang jujur itu suatu hari berdiri di antara penduduk kota Pataliputta, ia berkata kepada menterinya: 'Adakah orang yang dapat membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah dan melawan arus?' Kemudian seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang ada di antara kerumunan itu, melakukan tindakan kebenaran. Dan pada saat itu juga sungai Gangga yang besar itu bergemuruh dan bergelombang membalik arah di depan mata semua orang. Dan Sang Raja yang terperangah mencari wanita yang menyebabkan hal itu terjadi dan bertanya padanya 'Tindakan kebenaran apa yang telah kau lakukan untuk dapat melakukan hal ini?' Si wanita menjawab, 'Siapapun yang membayar saya, tak peduli apakah ia seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan, saya perlakukan mereka semua sama sederajat. Bebas dari bias saya melayani mereka sesuai dengan apa yang telah dibayarkan kepada saya. Inilah dasar dari tindakan kebenaran yang saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai Gangga.' "Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan hal-hal semacam itu terjadi, hanyalah kekuatan kebenaran itu sendiri yang merupakan penyebabnya. Dan tidak ada alasan untuk merealisasikan Empat Kesunyataan Mulia selain dari kekuatan kebenaran itu sendiri." 6. Dilema seputar kehamilan "Sang Buddha bersabda bahwa kehamilan terjadi di rahim dengan adanya tiga penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua, kesuburan sang ibu, dan seorang makhluk untuk dilahirkan (M.i.265; M. ii. 157). Tetapi Beliau juga berkata bahwa ketika pertapa Dukala menyentuh pusar seorang wanita pertapa yang bernama Parika dengan ibujarinya, bayi Sama terkandung (Ja. No. 540). Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka pernyataan yang kedua pasti salah." "Kedua pernyataan itu benar, O Baginda raja, tetapi Baginda jangan berpikir bahwa ada pelanggaran dalam kasus kedua. Sakka, raja para dewa, setelah melihat terlebih dahulu bahwa para pertapa yang luhur tersebut akan menjadi buta, meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki. Tetapi kedua pertapa itu tidak mau melakukan hubungan seksual sekalipun untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Maka Sakka turut campur tangan menyuruh Dukala. Dengan demikian Sama terkandung." 7. Umur Agama
|
"Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua yang tidak baik didalam dirinya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau terluka oleh pecahan batu yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau dapat terluka, maka Beliau tidak dapat dikatakan telah terbebas dari segala kejahatan, karena tidak akan ada perasaan tanpa adanya kamma. Semua perasaan berakar pada kamma dan hanya dengan pengaruh kammalah perasaan timbul." "Tidak, Baginda raja yang mulia, tidak semua perasaan mempunyai akar pada kamma. Ada delapan penyebab timbulnya perasaan: 1. angin yang berlebihan; 2. cairan empedu yang berlebihan; 3. lendir yang berlebihan; 4. campuran dari tiga cairan tubuh; 5. variasi temperatur; 6. stress lingkungan; 7. pengaruh luar; dan ... 8. kamma. Siapapun yang berkata, 'Hanyalah kamma yang mengatur makhluk', berarti dia tidak mengikutsertakan tujuh penyebab lainnya. Dan karena itu, pernyataannya itu salah. Bila unsur angin dalam diri seseorang terganggu, gangguan itu dapat terjadi karena salah satu dari 10 penyebab: 1. karena dingin; 2. karena panas; 3. karena lapar; 4. karena haus; 5. karena terlalu banyak makan; 6. karena berdiri terlalu lama; 7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan; 8. karena berlari; 9. karena pengobatan medis; atau ... 10. karena akibat dari kamma. Empedu dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas; atau karena makanan yang tidak tepat. Lendir dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas; atau karena makan dan minum. Bila ketiga-tiganya yang terganggu ini bercampur, terjadi rasa sakit tersendiri. Kemudian ada rasa sakit yang timbul dari variasi temperatur, stress lingkungan, dan pengaruh-pengaruh luar. Kemudian ada juga rasa sakit yang disebabkan oleh kamma. Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh kamma jauh lebih sedikit daripada rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lainnya. Orang yang salah pandangan sudah keterlaluan bila mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami itu disebabkan oleh kamma. Tanpa pandangan terang dari seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan jangkauan dari kamma. Dan ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu, rasa sakitnya berasal dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha tidak pernah menderita rasa sakit yang disebabkan oleh kamma Beliau sendiri, atau karena stress lingkungan, Beliau tetap menderita rasa sakit yang disebabkan oleh salah satu dari enam penyebab rasa sakit yang lain. Dan, O Baginda, seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha, 'Ada beberapa rasa sakit yang timbul di dunia ini, Sivaka, dari humor yang menyakitkan. Dan engkau harus tahu apa humor itu karena itu hanyalah persoalan pengetahuan biasa saja. Para pertapa dan Brahmana yang berpendapat dan menyatakan pandangan bahwa semua perasaan yang dialami itu disebabkan oleh tindakan yang lalu, mereka sudah melewati batas kepastian dan pengetahuan, dan karenanya Aku katakan bahwa mereka itu salah."' (S. iv. 230 f, Moliya Sivaka Sutta) 9. Kesempurnaan Sang Buddha
|
"Sang Buddha bersabda bahwa jika diinginkan, Beliau dapat hidup sampai satu kalpa habis (D.ii.103 - Kappa disini berarti usia manusia rata-rata yaitu sekitar 100 tahun pada jaman kehidupan Sang Buddha). Tetapi Beliau juga bersabda bahwa Beliau akan meninggal 3 bulan kemudian (D. ii. 119). Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar semuanya?" "Kalpa, O raja, dalam hal itu adalah jangka waktu lamanya kehidupan seseorang. Dan apa yang disabdakan oleh Sang Buddha adalah untuk menunjukkan hebatnya kekuatan kesaktian. Sang Buddha sudah terbebas sepenuhnya dari keinginan akan bentuk kehidupan mendatang apapun. Beliau bahkan mencelanya dan bersabda, 'Aku tidak menemukan keindahan sama sekali dalam bagian terkecil pun dari kehidupan mendatang sama halnya bahwa bagian terkecil dari kotoran pun tetaplah berbau busuk." (A.i.34) BAGIAN SEMBILAN 11. Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting "Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'O, bhikkhu, dari pengetahuan yang lebih tinggilah Saya mengajarkan Dhamma.' (A.i.276; M.ii.9) Tetapi Beliau juga berkata: 'Setelah Saya tidak ada lagi, Ananda, bila diinginkan oleh Sangha, biarlah Sangha menghapus peraturan yang kecil dan tidak begitu penting.' (D. ii;154; Vin.ii.287) Apakah itu berarti bahwa peraturan-peraturan itu ditetapkan secara salah dan tanpa sebab yang tepat?" "O, Baginda, ketika Sang Buddha berkata,"Biarlah Sangha menghapus peraturan yang minor dan tidak begitu penting', itu dikatakan untuk menguji para bhikkhu. Seperti halnya seorang raja pada waktu akan mangkat akan menguji putra-putranya dengan berkata: 'Daerah-daerah di luar kerajaanku akan berada dalam bahaya keruntuhan setelah aku mangkat.' Nah, setelah ayahandanya mangkat, apakah para putra raja itu akan begitu saja mau kehilangan daerah-daerah di luar kerajaan?" "Tentu saja tidak, Bhante. Para raja mempunyai keinginan menguasai. Karena nafsu akan kekuasaan, para pangeran mungkin justru akan melebarkan daerah kekuasaannya dua kali lipat dari apa yang telah mereka miliki, tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang telah mereka miliki." "Begitu pula, Baginda, para putra Sang Buddha, karena semangat akan Dhamma mereka mungkin akan mempertahankan bahkan lebih dari seratus lima puluh peraturan (diluar 75 peraturan kecil terdapat 152 peraturan kebhikkhuan - Patimokkha), tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang telah ditetapkan." "Bhante Nagasena, ketika Sang Buddha mengacu pada 'Peraturan yang Kecil dan Tidak Begitu Penting' orang mungkin merasa ragu-ragu, yang mana peraturan yang dimaksud itu." "Tindakan yang berkenaan dengan salah-melakukan (Dukkata-pelanggaran 75 latihan dan peraturan lainnya yang relatif kecil) merupakan peraturan yang tidak begitu penting, dan salah-berucap (Dubbhasita) mengacu pada peraturan minor. Para tetua yang bertemu dalam Konsili Buddhis Pertama juga tidak satu pendapat mengenai hal ini." 12. Ajaran Rahasia "Sang Buddha berkata kepada Ananda, 'Sehubungan dengan Dhamma, Sang Tathagata bukanlah seorang guru yang merahasiakan sesuatu dalam genggamannya sendiri.' (D. ii. 100; S.v. 153) Tetapi ketika Beliau ditanya oleh Malunkyaputta, Beliau tidak menjawab (M. ii. Sta. 63). Apakah Beliau tidak menjawab karena ketidak-pedulian, ataukah Beliau hendak menyembunyikan sesuatu?" "O, Baginda, bukan karena ketidak-pedulian dan juga bukan karena ingin menyembunyikan sesuatu maka Beliau tidak menjawab. Suatu pertanyaan dapat dijawab dengan satu dari empat cara: 1. secara langsung, 2. dengan analisa, 3. dengan pertanyaan balik, dan 4. dengan mengabaikannya." "Dan pertanyaan macam apa yang harus dijawab secara langsung?" 'Apakah materi itu kekal? Apakah perasaan tubuh itu kekal? Apakah pencerapan itu kekal?' Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab secara langsung." "Dan apa yang harus dijawab dengan analisa?" 'Apakah yang tidak kekal itu materi?' "Dan apa yang harus dijawab dengan pertanyaan balik?" 'Apakah mata dapat mencerap segala sesuatu?' "Dan apa yang harus diabaikan?" 'Apakah dunia itu abadi? Apakah dunia itu tidak abadi? Apakah Sang Tathagata ada setelah kematiannya? Apakah Sang Tathagata tidak ada setelah kematiannya? Apakah jiwa sama dengan tubuh? Apakah tubuh itu satu hal dan jiwa itu hal lain?' Pada pertanyaan-pertanyaan demikianlah maka Sang Buddha tidak memberi jawaban pada Malunkyaputta. Tidak ada alasan untuk menjawabnya. Para Buddha tidak berbicara tanpa alasan." |
"Sang Buddha bersabda, 'Semuanya gemetar karena hukuman, semuanya takut akan kematian.' (Dhp. v. 129) Tetapi Beliau juga berkata,' Arahat telah melewati semua rasa takut.' (A.ii. 172) Jadi bagaimana? Apakah para Arahat juga gemetar karena ketakutan akan kematian? Atau apakah para makhluk di neraka takut akan kematian padahal lewat itu mereka mungkin dapat terbebaskan dari siksaan?" "0, Baginda, tidaklah menyangkut para Arahat ketika Sang Buddha berkata, 'Semuanya gemetar karena hukuman, semuanya takut akan kematian.' Seorang Arahat merupakan perkecualian dari pernyataan itu karena semua penyebab rasa takut telah dihilangkan olehnya. Misalnya saja, O Baginda, seorang raja mempunyai empat menteri utama yang setia dan dapat dipercaya; apakah mereka akan merasa takut bila raja mengeluarkan perintah yang mengatakan, 'Semua orang di daerahku harus membayar pajak?" "Tidak, Bhante Nagasena. Mereka tidak akan merasa takut karena pajak tidak berlaku untuk mereka. Mereka berada di luar perpajakan." "Begitu juga, O Baginda, prnmyataan, 'Semuanya gemetar karena hukuman, semuanya takut akan kematian', tidak berlaku untuk para Arahat karena mereka berada di luar rasa takut akan kematian. Ada lima cara, O Baginda, di mana arti suatu pernyataan harus ditegaskan: 1. Membandingkannya dengan text yang dikutip; 2. Lewat 'selera', yaitu apakah sesuai dengan text-text lain?; 3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?; 4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu, apakah sesuai dengan pengalamanku sendiri?; 5. Dengan gabungan semua cara itu. "Baiklah, Bhante Nagasena, saya menerima bahwa para Arahat merupakan perkecualian bagi pernyataan itu, tetapi tentunya semua makhluk di neraka tak mungkin merasa takut akan kematian karena lewat itu maka mereka akan terbebas dari siksaan." "Mereka yang berada di neraka merasa takut akan kematian, O Baginda, karena kematian merupakan kondisi di mana mereka yang belum melihat Dhamma merasa takut. Seandainya, O Baginda, seorang tawanan yang ditaruh di ruang bawah tanah harus menghadap raja yang berkehendak akan membebaskannya, apakah tawanan itu merasa takut menghadap raja?" "Ya, dia akan merasa takut." "Begitu juga, O Baginda, semua makhluk di neraka merasa takut akan kematian walaupun mereka akan memperoleh kebebasan dari siksaan." 14. Perlindungan dari Kematian "Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Tidak di langit, tidak di tengah samudera, tidak di celah gunung yang paling terpencil, tidak di seluruh dunia yang luas ini dapat ditemukan tempat di mana orang dapat lolos dari jerat kematian." (Dhp. v. 128) Tetapi syair perlindungan (paritta) diberikan oleh Sang Buddha untuk melindungi mereka yang berada dalam bahaya. Jika tidak ada jalan untuk menghindari kematian, maka upacara Paritta itu tidak ada gunanya." "Syair-syair Paritta, O Baginda, dimaksudkan bagi mereka yang masih mempunyai sisa porsi kehidupan. Tidak ada upacara maupun sarana buatan yang bisa memperpanjang kehidupan seseorang yang jangka waktu kehidupannya telah habis." "Tetapi, Bhante Nagasena, jika orang yang faktor-faktor kehidupannya masih berjalan akan tetap hidup, dan orang yang tidak memiliki faktor-faktor itu tadi akan mati, maka baik obat maupun Paritta sama-sama tidak ada gunanya." "Tetapi, telah pernahkan Baginda melihat atau mendengar kasus suatu penyakit yang dapat disembuhkan oleh obat?" "Ya, ratusan kali." "Kalau demikian, pernyataan Baginda tentang ketidakmujaraban Paritta dan obat pastilah salah." "Bhante Nagasena, apakah Paritta merupakan perlindungan bagi setiap orang?" "Hanya bagi beberapa, tidak bagi setiap orang. Ada tiga alasan di mana Paritta tidak bekerja: 1. halangan karena kamma masa lampau; 2. halangan karena kekotoran batin masa kini, dan 3. halangan karena kurangnya keyakinan. Paritta yang merupakan perlindungan bagi para makhluk akan kehilangan kekuatannya karena cacat mereka sendiri." |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
A
Page to Rest -
Breathing Space |
Complete list of articles on this site |
Free Downloads |