|
|
|
|
Kesenian Gambang Semarang nyaris terlupakan dan sempat mendapat tentangan
karena sering pentas di pasar malam. Hanya segelintir yang masih bergulat di kesenian ini dan
dari segi materi juga tak menjanjikan. Empat penari, kian kemari/Jalan berlenggang, aduh.../
Sungguh jenaka menurut swara/Irama gambang. Lagu gubahan Oey Yok Siang pada 1950-an
menyambut saban kereta api masuk Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah. Seperti
Ondel-Ondel yang khas Jakarta, lagu itu juga sangat identik
Semarang. Tak heran, lagu berjudul Empat Penari itu menjadi
semacam lagu wajib acapkali Gambang Semarang, kesenian tradisi Semarang, berpentas. Layaknya seni tradisi lainnya, keberadaan Gambang Semarang pun nyaris punah
dan dilupakan orang--hampir sama dengan bangunan kuno yang telantar di seantero Semarang.
Bahkan, dalam perkembangannya, Gambang Semarang sempat mendapat tentangan dari warga karena
sering berpentas di kawasan pasar malam. Lagipula, siapa yang peduli dengan kesenian (tradisi)
di zaman susah nasi dan himpitan bencana. Inilah salah satu potret kesenian yang tergerus
keangkuhan zaman. Syahdan, kesenian Gambang Semarang diadopsi dari Gambang Kromong Betawi.
Peralatan musiknya juga tak beda dengan gambang asal Jakarta itu. Perbedaannya, Gambang
Kromong Betawi menggunakan rebab, alat musik gesek serupa biola. Gambang Semarang mulai dikenal publik pada 1930-an. Yang berjasa
memperkenalkannya adalah Lie Hoo Soen. Hoo Soen adalah tangan kanan seorang tuan tanah asal
Tionghoa di Semarang. Pada 1939, Hoo Soen bersama seniman gambang asal Batavia membentuk
kelompok bernama Gambang Semarang. Sejak itulah masyarakat Semarang menamakan kesenian ini
sebagai Gambang Semarang. Ahli sejarah Dhanang Respati menyatakan sebenarnya kesenian di Semarang
sudah ada. Seperti kesenian Tionghoa, yakni pankim dan
yankim. Tak heran bila dikatakan kesenian ini dekat dengan seni
musik Cina. Ini karena interaksi yang terjadi antara etnis Tionghoa dan penduduk pribumi.
Dulu pun, Gambang Semarang lebih banyak dimainkan masyarakat Tionghoa di klenteng. Sekarang hanya segelintir yang masih menggeluti kesenian ini. Salah satunya
adalah Dimyanto Jayadi. Pria berumur 64 tahun ini menjadi generasi keempat yang mempelopori
berdirinya kelompok Sentra Gambang Semarang pada 1986.
Walau jari jemarinya telah keriput,
kemahiran Jayadi memainkan tembang lawas dalam alunan keroncong atau langgam Jawa masih tampak.
Sejumlah tembang wajib, seperti Empat Penari, Semarang Tempo Dulu,
Gado-gado Semarang, dan Seniman Gambang Semarang mengalir dari suaranya yang telah
parau. Memang, banyak lagu Gambang Semarang bercerita tentang keindahan dan kejayaan kota
Semarang tempo dulu. Pria tamatan sekolah dasar ini tak hanya pandai menembang. Namun, juga mampu
mencipta lagu. Di kamarnya yang sederhana di kawasan Jagalan, Semarang, Jayadi mengaku memperoleh
semua inspirasi tembang-tembang seni gambang buah karyanya. Lagu yang ia gubah banyak bercerita
tentang kehidupannya sebagai seniman gambang dan kenangan pribadi di masa lampau. Sebenarnya profesi sebagai seniman gambang tak mencukupi asap dapur Jayadi.
Namun, ia berkukuh melawan nasib. Bersama teman-teman tuanya, Jayadi terus bergiat dengan seni
tradisi ini. Untuk satu kali pementasan, Jayadi dan tujuh rekannya hanya dibayar Rp 750.000,00
- Rp 1.000.000,00. Sedangkan untuk satu kkali mengisi acara di sebuah hotel berbintang di
Semarang, mereka hanya dibayar Rp 150.000,00 saja. Jayadi mengatakan, kebanyakan para pemain gambang mempelajari alat-alatnya
secara otodidak. Sejak kecil mereka telah belajar secara turun menurun dari orang tuanya. "Jadi
yang main ini ndak ada do re mi," kata Jayadi. Para pemain gambang
kebanyakan belajar secara langsung dari pementasan. Saat ditemui Tim Potret SCTV, Jayadi sedang mempersiapkan alat-alat Gambang
Semarang. Menurut rencana, Jayadi dan rekan-rekannya akan bermain gambang di sebuah kampung.
Pria itu lalu merapikan kumpulan slendro yang kusam dan lusuh. Alat itu terbuat dari besi tempa.
Jayadi tak terlalu menghiraukan kondisi peralatan musiknya. Lelaki tua ini yakin kualitas
slendronya tak kalah dengan slendro berbahan perunggu. Sejumlah teman Jayadi pun telah hadir. Seorang di antaranya adalah Marjuri,
rekan sepermainan sejak masih muda. Marjuri yang tuna netra ini adalah pemain suling. Walau
buta, Jayadi percaya akan kemampuan Marjuri meniup suling bambu dan menciptakan melodi yang
indah. Tiap pementasan mereka mempersiapkan diri dengan serius. Semua peralatan ditata sesuai
sinkronisasi bunyi dan kebutuhan keindahan nada. Mereka juga mengenakan seragam kebesaran sebagai pemain gambang. Alat
gambang ini khusus terbuat dari kayu jati. Bahan dasar tersebut dibutuhkan untuk menjaga
kualitas notasi suara yang akan dihasilkan. Dalam menjaga keserasian alunan musik gambang,
seni tradisional ini didominasi oleh permainan slendro. Slendro atau bonang berfungsi untuk
menjaga irama dan lantunan lagu. Kemudian terdengarlah tembang Daku Seniman Gambang
Semarang dari kelompok Jayadi. Sebuah tembang tak terlupakan bagi Jayadi dan rekan-
rekannya. Bagi Jayadi dan teman-temannya, hanya rasa tanggung jawab untuk melestarikan budaya
leluhurlah yang membuat mereka bertahan bermain Gambang Semarang. Bernyanyinya pun bisa sambil
jongkok dan berdiri. Jalan berlenggang, aduh...
Langkah gayanya menurut swara
Gambang Semarang. (Sumber : MAK/Tim Potret SCTV - 02/4/2005 15:49) |