|
Saya
sering salah sangka. Saya kenal Rani sekian tahun silam. Bukan
sebagai seniman patung melainkan sebagai mahasiswa. Dan bukan
mahasiswa seni melainkan mahasiswa fakultas hukum. Entah jurusan
apa, saya tidak pernah bertanya. Mungkin perdata, atau pidana,
atau barangkali hukum rimba. Tapi yang jelas, apapun jurusannya,
hukum adalah bidang yang terkenal kaku, menjemukan, dan tentu saja
sangat tidak nyeni. Dalam bahasa gaul anak-anak muda
sekarang, kuliah di fakultas hukum itu "bikin bete" karena
wajib menghapal berkarung-karung pasal ka-u-ha-pe. Belum lagi
kalau harus menghapal istilah-istilah hukum yang di Indonesia
banyak diambil dari bahasa Belanda, yang kalau dibaca oleh
anak-anak zaman MTV sekarang ini pasti mereka akan berkomentar,
"Aduh, jadul bangeett…" ("Jadul" maksudnya "jaman dulu"
alias kuno).
Itulah sebabnya, kendati saya tahu Rani berasal dari keluarga
seniman, saya merasa punya alasan untuk "mem-pra-kira-kan"
(begitulah istilah kerennya) bahwa Rani tidak akan menjadi
seniman pula. Sekolahnya saja di fakultas hukum, mana mungkin
menjadi seniman? Nonsense! Di seluruh Indonesia, barangkali
hanya Putu Wijaya-lah sarjana hukum yang berhasil menjadi seniman,
pikir saya. Paling banter, Rani akan menjadi manajer bengkel
patung peninggalan orang tuanya. Atau mungkin memilih profesi yang
sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan patung atau seni pada
umumnya. Menjadi hakim atau pengacara, misalnya. Tapi, baru saya
sadari kemudian, ternyata saya salah duga.
Suatu hari saya dengar Rani mondok di Jakarta. Konon, berguru pada
seorang pematung perempuan kenamaan. Saya pernah bertanya pada
Rani, "Ngapain kamu di Jakarta?" "Saya nyantrik," jawabnya. (Nyantrik itu artinya "berguru"). Dan
benar saja, ketika sekian lama kemudian saya bertemu Rani, sesudah
ia "bertapa" berbulan-bulan di Jakarta itu, saya lihat ia sudah
"berubah". She looked completely different! Ya, berubah
total penampilannya! Rambutnya dicat hijau, atau mungkin ungu,
atau bisa jadi biru, saya lupa persisnya. Caranya berpenampilan
tidak menunjukkan isyarat bahwa ia akan menjadi seorang "hamba
hukum". Setidak-tidaknya, saya belum pernah melihat seorang calon
hakim, jaksa, atau pengacara yang berambut hijau dan suka memakai
T-shirt kelas pasar Beringharjo merek Swan atau Yupiter ke
mana-mana. Bukankah penampilan seperti itu akan bisa merongrong
wibawa dan citra serius seorang calon penegak hukum? Jadi,
rupa-rupanya Rani memilih menjadi seniman dan bukan pengacara,
pikir saya. Dan memang demikianlah adanya.
Tapi, hingga saat saya memergoki rambutnya yang dicat dengan warna
seronok itu, saya belum pernah melihat karyanya. Seni adalah
kawasan kreativitas. Kualitas dan eksistensi seorang seniman
ditentukan oleh hasil kerja kreatifnya. Jadi saya belum menganggap
Rani benar-benar menjadi pematung sejati sebelum saya melihat sang
patung itu sendiri, atau melihat ia memamerkan karyanya. Bukankah
bisa saja ia belajar patung hanya sebagai pengisi waktu senggang?
Apalagi, sekarang ini tidak jarang orang melakukan sesuatu dengan
alasan "Yah, asal asyik aja, just for fun…" Sampai suatu
hari, tanpa sengaja saya membaca sebuah ulasan pameran patung di
harian Kompas, "… pematung Rita Dharani menampilkan
karya-karya yang… bla-bla-bla…," baru saya percaya Rani
bersungguh-sungguh menjadi seniman. Dan suatu hari, ketika saya
bertandang ke studionya yang luas dan angker di Jl. Kaliurang,
kebetulan saya memergoki Rani sedang mengelus-elus mesra
patungnya.
"Saya diminta pameran di ViaVia Café. Kamu nulis...," katanya.
"Ya," jawab saya menyanggupi perintahnya. Saya menyanggupi menulis
karena saya temannya, bukan karena saya kritikus seni. (Dan
seperti Anda baca, esai ini benar-benar amatiran, sama sekali
tidak mengandung kritik seni, kecuali sekadar bercerita). Selain
itu, sejak semula saya selalu berpikir bahwa seni itu seharusnya
mengasyikkan. Boleh meneror, tapi tidak menakutkan. Boleh seram,
tapi tidak menggentarkan. Tidak harus haha-hihi, tapi bukan
berarti selalu serius dan menegangkan. Boleh saja seni itu tidak
bisa dipahami, tapi setidaknya bisa menyegarkan. Seni itu
merayakan kreativitas, namun juga kekonyolan, humor, ketololan,
dukacita, nasib sial, rasa sakit, dan kesia-siaan. Ringkasnya,
merayakan kemanusiaan sebagaimana adanya. Tanpa sikap seperti itu
saya kira seni tidak akan ada gunanya, selain sebagai barang
kelontong yang diburu para kolektor atau menjadi bahan silat-lidah
para komentator. Maka, ketika Rani meminta saya menulis tentang
patung-patungnya, saya oke saja. Seperti kata mbak yang cakep di
iklan shampo di televisi: "Hmm… siapa takut…"
Rani
memberi judul pamerannya kali ini "Body adjusts tension adjusts
body adjusts tension adjusts …" Judul itu bisa diperpanjang
tanpa batas, demikian dia bilang. Dan, sebagaimana lazimnya judul
pameran-pameran seni, judul yang disebutkan Rani itu tidak gampang
dipahami. Mungkin, kalau tidak membingungkan, tidak cukup afdol
untuk dipakai menjuduli pameran seni.
Tegangan mencetak wujud tubuh, dan tubuh menyesuaikan wujudnya
dengan tegangan yang ia alami. Begitulah pemahaman saya atas judul
itu, dan itulah yang saya pakai untuk menganalisis (wuih!)
karya-karya Rani. Pertanyaannya, bagaimanakah Rani menuangkan
gagasan demikian itu pada patung-patungnya? Bagaimanakah tegangan
merepresentasikan dirinya sebagai tubuh, dan seperti apakah wujud
tubuh yang merupakan tafsir visual atas tegangan?
Wujudnya adalah ekstremitas dan anomali. Untuk menafsir tegangan,
Rani memanfaatkan ketidakwajaran dan penyimpangan. Anatomi tubuh,
sebagaimana ditampilkan oleh patung-patung Rani, tampak tidak
wajar proporsinya. Bentuknya mencong ke sana ke mari.
Bagian-bagian tubuh tertentu terlalu panjang, kadang
menggelembung, benjol-benjol, tidak proporsional, atau dekok, atau
penyok. Pokoknya lain sama sekali dengan patung dewa-dewi Yunani
yang sering saya lihat foto-fotonya di majalah, yang serba mulus
dan proporsi tubuhnya sempurna. Saya kira, patung-patung Rani
terutama memang tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan tubuh
fisik manusia sebagaimana lazimnya, melainkan lebih bermaksud
mengungkapkan situasi, suasana psikologis dan sosial, suasana
batin dan lingkungan, suasana internal dan eksternal. Tubuh itu
mau mengatakan sesuatu yang ia alami. Ia hendak mengungkapkan
pengalaman, bukan lewat kata-kata melainkan terutama lewat bentuk.
Dan ini tentu saja tidak mudah, karena bentuk pada patung adalah
bentuk yang diam, yang statis. Bukan bentuk yang bergerak.
Kasusnya akan lebih mudah jika dimungkinkan terjadinya gerak. Kita
tahu istilah "bahasa tubuh". Bahasa tubuh pada umumnya adalah
isyarat melalui anggota tubuh yang digerakkan. Mengedipkan mata,
memonyongkan bibir, menganggukkan kepala, melambaikan tangan,
menjulurkan lidah, atau menjendulkan bokong. Atau, kalau pun tidak
melibatkan gerak, setidak-tidaknya melibatkan perubahan yang kasat
mata. Misalnya, rona wajah yang berubah memerah, mata yang
mendadak berbinar, warna bibir yang memucat. Di samping bahasa
verbal, gerak dan perubahan ini adalah segi yang penting dalam
komunikasi, yakni penyampaian maksud sekaligus pengungkapan
suasana. Jika Anda suka chatting melalui Internet, Anda
pasti tahu yang disebut emoticon, yakni tanda-tanda visual
tertentu yang dipakai untuk menyampaikan suasana emosi kepada
lawan komunikasi. Misalnya, tanda :) berarti tersenyum, :( berarti
cemberut, ;) berarti mengedipkan mata, :D berarti tertawa, :p
berarti menjulurkan lidah, dsb. Yang terutama hendak
direpresentasikan oleh emoticon itu bukanlah semata-mata
bentuk melainkan gerak dan perubahan. Itu berarti, bukan hanya
merepresentasikan bentuk bibir melainkan bibir yang tersenyum,
bukan hanya menggambarkan mata melainkan mata yang mengedip.
Bahkan, kalau dilihat dari segi bentuknya saja, bentuk bibir pada
emoticon itu berbeda jauh dari bentuk bibir manusia yang
sesungguhnya, begitu pula bentuk mata. Namun toh ketidakmiripan
itu tak jadi soal, karena yang terutama hendak ditunjukkan memang
bukan bentuknya melainkan geraknya. Dikarenakan gerak dan
perubahan itu penting dalam memperjelas maksud dan mengungkapkan
suasana, kita kemudian melihat fasilitas chatting pada
Yahoo!, misalnya, menyediakan emoticon yang lebih
canggih, yakni emoticon yang bisa bergerak, animated
emoticon. Sebagai misal, emoticon itu benar-benar bisa
menjulurkan lidah, mengedip, memonyongkan bibir, sehingga
mempermudah tafsir para pelaku komunikasi yang tidak saling
bertatap muka itu untuk menangkap suasana emosi lawan "bicara".
Sedangkan pada patung, umumnya, kendati ia memiliki keunggulan
karena sifatnya yang tiga dimensi dibandingkan dengan animated
emoticon yang hanya dua dimensi, namun unsur gerak dan
perubahan yang penting itu absen. (Kalau patung bisa bergerak
macam-macam, biasanya kita sebut "robot", bukan patung lagi).
Pengungkapan gagasan atau suasana melalui patung yang statis,
seperti yang dilakukan Rani, paling-paling hanya dimungkinkan
dengan mengeksploitasi bentuk, tekstur, warna, dan stance
atau pose. Dan memang unsur-unsur inilah yang berusaha
dimanfaatkan secara maksimal oleh Rani.
Tidak heran jika kita melihat bentuk tubuh patung-patung Rani
tidak wajar, teksturnya yang menggeronjal di sana-sini, warnanya
yang beraneka ragam (bahkan pada permukaan tubuh salah satu
patungnya diterakan abjad bermacam-macam),
dan posenya yang kadang-kadang ganjil. (Perlu dicatat, pose pada
sejumlah patung Rani memang menyimbolkan gerak, tetapi pose
bukanlah gerak itu sendiri). Dengan absennya gerak dan perubahan,
maka seluruh unsur itulah, bersama sifat ekstrem dan anomalinya,
yang dikerahkan oleh si pematung untuk menyampaikan sesuatu yang
tidak berbentuk, tidak visual, namun eksis dan bisa dialami, yang
oleh Rani disebut sebagai "tegangan".
Apa itu "tegangan"? Saya tidak bisa menyimpulkan. Mungkin itu
sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun juga bisa jadi sebaliknya.
Dalam bahasa sehari-hari, pemakaian istilah "tegang" tidak selalu
mengacu pada situasi yang tidak menyenangkan. Orang bisa tegang
saat menunggu kedatangan seorang kekasih. Dan menunggu bertemu
pacar itu menyenangkan, bukan? Justru kalau sudah benar-benar
bertemu malah bisa jadi suasananya berubah tidak menyenangkan.
Jadi, yang menyenangkan justru adalah menunggunya itu, ketegangan
itu. Maka, saya kira, istilah "tegangan" dalam konteks karya-karya
Rani ini bisa mengacu pada ragam situasi yang amat luas, yang
mustahil diidentifikasi satu per satu. Namun biasanya, secara
garis besar, tegangan mengandaikan interaksi antara dua hal atau
lebih, tarik-menarik atau kompetisi antara dua kutub atau lebih.
Mungkin semacam dialektika antara situasi internal dan eksternal.
Kemauan personal untuk bebas yang bertubrukan dengan batasan
sosial, misalnya. Dan dalam hal itu, tubuhlah yang menjadi medan
dialektisnya.
Apapun situasi atau pengalaman-pengalaman partikular yang diacu
oleh Rani dengan istilah "tegangan" itu, saya kira merupakan hal
yang perlu digarisbawahi bahwa Rani memilih tubuh, sesuatu yang
bersifat wadag, untuk menyampaikan realitas yang justru
bertolak-belakang dengan kewadagan itu sendiri, realitas tanpa
bentuk namun nyata, kendati medium yang dipakai Rani hanya
memungkinkan dia untuk memanfaatkan replika tubuh tanpa gerak. Ia
memprovokasi kita, melalui medium patung, untuk mau melihat banyak
hal yang tersamarkan di balik penampakan fisik, bahwa tubuh
tidaklah sekadar fakta corporeal, bukan semata-mata
kenyataan ragawi yang kasat mata. Tubuh tidaklah sesederhana
kelihatannya. Tubuh adalah intersection, titik-temu
sekaligus persimpangan antara beraneka wacana, lembaga, situasi,
pengalaman, kehendak, dan gagasan. Ia bisa menjadi cermin bagi
berlangsungnya berbagai dinamika sosial seperti patriarki,
panoptisisme, asketisisme, dan komodifikasi. Ia bisa menunjukkan
berbagai simtom yang diakibatkan oleh dinamika seperti itu,
seperti onanisme, fobia, histeria, dan anoreksia.
Bagi
saya, patung-patung Rani adalah karya representasional. Maksudnya,
karya-karya itu terutama dimaksudkan untuk mengacu pada sesuatu di
luar fakta material karya itu sendiri. Itu berarti, Rani tidak
sekadar memamerkan patung tetapi sekaligus juga memamerkan
gagasan. Ia tidak sekadar menghadirkan bentuk namun lebih dari itu
ia ingin menyampaikan makna. Patung-patung Rani tidak sebatas, dan
tidak puas hanya sebagai, the art of the figure, melainkan
juga ingin tampil sebagai the art of the soul.
Kecenderungan ini terutama juga terbaca dari fakta bahwa
materialitas patung-patung Rani sesungguhnya tidak luar biasa,
tidak nyeleneh, tidak mengejutkan. Setahu saya, ia hanya
menggunakan bahan-bahan yang sudah lazim dipakai dalam seni
patung. Seolah-olah ia tidak ingin menggiring minat
audiens/apresiator untuk asyik mencermati atau tercengang-cengang
mengagumi materi fisik patungnya atau teknik pembuatannya.
Risikonya adalah bisa saja karya-karyanya menjadi kurang menarik
untuk dipandang, melainkan lebih menarik untuk direnungkan.
Yang sulit saya temukan pada karya Rani yang dipamerkan kali ini
adalah sense of humour. Tidak ada karya yang menggelikan,
menghibur, atau yang cute dan menggemaskan. Aura karyanya,
bagi saya, didominasi oleh suasana yang serius dan gawat. Mungkin
karena tema "tegangan" itulah yang ditafsirkan dan diwujudkan
menjadi karya-karya yang juga harus menegangkan. Padahal,
sekiranya menghadirkan karya yang menghibur atau bahkan yang
mengocok perut sekalipun, saya kira tetap relevan dengan tema
"tegangan" itu, yakni, bukan sebagai afirmasi melainkan sebagai
negasi. Apa lagikah yang bisa melawan situasi hidup manusia yang
gawat dan menegangkan selain tertawa --
sebuah kemampuan yang tidak dimiliki
binatang model apapun kecuali hewan yang bernama manusia itu
sendiri?
After all, selamat dan sukses untuk Rani! []
|
|