- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

Tubuh Yang Menafsirkan

Sigit Djatmiko

Tulisan ini adalah Pengantar Pameran Patung

karya Agnes Rita Dharani (Rani)

di Viavia Cafe, Yogyakarta, 27 Juli 2004

Saya sering salah sangka. Saya kenal Rani sekian tahun silam. Bukan sebagai seniman patung melainkan sebagai mahasiswa. Dan bukan mahasiswa seni melainkan mahasiswa fakultas hukum. Entah jurusan apa, saya tidak pernah bertanya. Mungkin perdata, atau pidana, atau barangkali hukum rimba. Tapi yang jelas, apapun jurusannya, hukum adalah bidang yang terkenal kaku, menjemukan, dan tentu saja sangat tidak nyeni. Dalam bahasa gaul anak-anak muda sekarang, kuliah di fakultas hukum itu "bikin bete" karena wajib menghapal berkarung-karung pasal ka-u-ha-pe. Belum lagi kalau harus menghapal istilah-istilah hukum yang di Indonesia banyak diambil dari bahasa Belanda, yang kalau dibaca oleh anak-anak zaman MTV sekarang ini pasti mereka akan berkomentar, "Aduh, jadul bangeett…" ("Jadul" maksudnya "jaman dulu" alias kuno).
 

Itulah sebabnya, kendati saya tahu Rani berasal dari keluarga seniman, saya merasa punya alasan untuk "mem-pra-kira-kan" (begitulah istilah kerennya) bahwa Rani tidak akan menjadi seniman pula. Sekolahnya saja di fakultas hukum, mana mungkin menjadi seniman? Nonsense! Di seluruh Indonesia, barangkali hanya Putu Wijaya-lah sarjana hukum yang berhasil menjadi seniman, pikir saya. Paling banter, Rani akan menjadi manajer bengkel patung peninggalan orang tuanya. Atau mungkin memilih profesi yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan patung atau seni pada umumnya. Menjadi hakim atau pengacara, misalnya. Tapi, baru saya sadari kemudian, ternyata saya salah duga.
 

Suatu hari saya dengar Rani mondok di Jakarta. Konon, berguru pada seorang pematung perempuan kenamaan. Saya pernah bertanya pada Rani, "Ngapain kamu di Jakarta?" "Saya nyantrik," jawabnya. (Nyantrik itu artinya "berguru"). Dan benar saja, ketika sekian lama kemudian saya bertemu Rani, sesudah ia "bertapa" berbulan-bulan di Jakarta itu, saya lihat ia sudah "berubah". She looked completely different! Ya, berubah total penampilannya! Rambutnya dicat hijau, atau mungkin ungu, atau bisa jadi biru, saya lupa persisnya. Caranya berpenampilan tidak menunjukkan isyarat bahwa ia akan menjadi seorang "hamba hukum". Setidak-tidaknya, saya belum pernah melihat seorang calon hakim, jaksa, atau pengacara yang berambut hijau dan suka memakai T-shirt kelas pasar Beringharjo merek Swan atau Yupiter ke mana-mana. Bukankah penampilan seperti itu akan bisa merongrong wibawa dan citra serius seorang calon penegak hukum? Jadi, rupa-rupanya Rani memilih menjadi seniman dan bukan pengacara, pikir saya. Dan memang demikianlah adanya.
 

Tapi, hingga saat saya memergoki rambutnya yang dicat dengan warna seronok itu, saya belum pernah melihat karyanya. Seni adalah kawasan kreativitas. Kualitas dan eksistensi seorang seniman ditentukan oleh hasil kerja kreatifnya. Jadi saya belum menganggap Rani benar-benar menjadi pematung sejati sebelum saya melihat sang patung itu sendiri, atau melihat ia memamerkan karyanya. Bukankah bisa saja ia belajar patung hanya sebagai pengisi waktu senggang? Apalagi, sekarang ini tidak jarang orang melakukan sesuatu dengan alasan "Yah, asal asyik aja, just for fun…" Sampai suatu hari, tanpa sengaja saya membaca sebuah ulasan pameran patung di harian Kompas, "… pematung Rita Dharani menampilkan karya-karya yang… bla-bla-bla…," baru saya percaya Rani bersungguh-sungguh menjadi seniman. Dan suatu hari, ketika saya bertandang ke studionya yang luas dan angker di Jl. Kaliurang, kebetulan saya memergoki Rani sedang mengelus-elus mesra patungnya.
 

"Saya diminta pameran di ViaVia Café. Kamu nulis...," katanya.
 

"Ya," jawab saya menyanggupi perintahnya. Saya menyanggupi menulis karena saya temannya, bukan karena saya kritikus seni. (Dan seperti Anda baca, esai ini benar-benar amatiran, sama sekali tidak mengandung kritik seni, kecuali sekadar bercerita). Selain itu, sejak semula saya selalu berpikir bahwa seni itu seharusnya mengasyikkan. Boleh meneror, tapi tidak menakutkan. Boleh seram, tapi tidak menggentarkan. Tidak harus haha-hihi, tapi bukan berarti selalu serius dan menegangkan. Boleh saja seni itu tidak bisa dipahami, tapi setidaknya bisa menyegarkan. Seni itu merayakan kreativitas, namun juga kekonyolan, humor, ketololan, dukacita, nasib sial, rasa sakit, dan kesia-siaan. Ringkasnya, merayakan kemanusiaan sebagaimana adanya. Tanpa sikap seperti itu saya kira seni tidak akan ada gunanya, selain sebagai barang kelontong yang diburu para kolektor atau menjadi bahan silat-lidah para komentator. Maka, ketika Rani meminta saya menulis tentang patung-patungnya, saya oke saja. Seperti kata mbak yang cakep di iklan shampo di televisi: "Hmm… siapa takut…"

 

Rani memberi judul pamerannya kali ini "Body adjusts tension adjusts body adjusts tension adjusts …" Judul itu bisa diperpanjang tanpa batas, demikian dia bilang. Dan, sebagaimana lazimnya judul pameran-pameran seni, judul yang disebutkan Rani itu tidak gampang dipahami. Mungkin, kalau tidak membingungkan, tidak cukup afdol untuk dipakai menjuduli pameran seni.


Tegangan mencetak wujud tubuh, dan tubuh menyesuaikan wujudnya dengan tegangan yang ia alami. Begitulah pemahaman saya atas judul itu, dan itulah yang saya pakai untuk menganalisis (wuih!) karya-karya Rani. Pertanyaannya, bagaimanakah Rani menuangkan gagasan demikian itu pada patung-patungnya? Bagaimanakah tegangan merepresentasikan dirinya sebagai tubuh, dan seperti apakah wujud tubuh yang merupakan tafsir visual atas tegangan?
 

Wujudnya adalah ekstremitas dan anomali. Untuk menafsir tegangan, Rani memanfaatkan ketidakwajaran dan penyimpangan. Anatomi tubuh, sebagaimana ditampilkan oleh patung-patung Rani, tampak tidak wajar proporsinya. Bentuknya mencong ke sana ke mari. Bagian-bagian tubuh tertentu terlalu panjang, kadang menggelembung, benjol-benjol, tidak proporsional, atau dekok, atau penyok. Pokoknya lain sama sekali dengan patung dewa-dewi Yunani yang sering saya lihat foto-fotonya di majalah, yang serba mulus dan proporsi tubuhnya sempurna. Saya kira, patung-patung Rani terutama memang tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan tubuh fisik manusia sebagaimana lazimnya, melainkan lebih bermaksud mengungkapkan situasi, suasana psikologis dan sosial, suasana batin dan lingkungan, suasana internal dan eksternal. Tubuh itu mau mengatakan sesuatu yang ia alami. Ia hendak mengungkapkan pengalaman, bukan lewat kata-kata melainkan terutama lewat bentuk. Dan ini tentu saja tidak mudah, karena bentuk pada patung adalah bentuk yang diam, yang statis. Bukan bentuk yang bergerak.

 
Kasusnya akan lebih mudah jika dimungkinkan terjadinya gerak. Kita tahu istilah "bahasa tubuh". Bahasa tubuh pada umumnya adalah isyarat melalui anggota tubuh yang digerakkan. Mengedipkan mata, memonyongkan bibir, menganggukkan kepala, melambaikan tangan, menjulurkan lidah, atau menjendulkan bokong. Atau, kalau pun tidak melibatkan gerak, setidak-tidaknya melibatkan perubahan yang kasat mata. Misalnya, rona wajah yang berubah memerah, mata yang mendadak berbinar, warna bibir yang memucat. Di samping bahasa verbal, gerak dan perubahan ini adalah segi yang penting dalam komunikasi, yakni penyampaian maksud sekaligus pengungkapan suasana. Jika Anda suka chatting melalui Internet, Anda pasti tahu yang disebut emoticon, yakni tanda-tanda visual tertentu yang dipakai untuk menyampaikan suasana emosi kepada lawan komunikasi. Misalnya, tanda :) berarti tersenyum, :( berarti cemberut, ;) berarti mengedipkan mata, :D berarti tertawa, :p berarti menjulurkan lidah, dsb. Yang terutama hendak direpresentasikan oleh emoticon itu bukanlah semata-mata bentuk melainkan gerak dan perubahan. Itu berarti, bukan hanya merepresentasikan bentuk bibir melainkan bibir yang tersenyum, bukan hanya menggambarkan mata melainkan mata yang mengedip. Bahkan, kalau dilihat dari segi bentuknya saja, bentuk bibir pada emoticon itu berbeda jauh dari bentuk bibir manusia yang sesungguhnya, begitu pula bentuk mata. Namun toh ketidakmiripan itu tak jadi soal, karena yang terutama hendak ditunjukkan memang bukan bentuknya melainkan geraknya. Dikarenakan gerak dan perubahan itu penting dalam memperjelas maksud dan mengungkapkan suasana, kita kemudian melihat fasilitas chatting pada Yahoo!, misalnya, menyediakan emoticon yang lebih canggih, yakni emoticon yang bisa bergerak, animated emoticon. Sebagai misal, emoticon itu benar-benar bisa menjulurkan lidah, mengedip, memonyongkan bibir, sehingga mempermudah tafsir para pelaku komunikasi yang tidak saling bertatap muka itu untuk menangkap suasana emosi lawan "bicara".

 
Sedangkan pada patung, umumnya, kendati ia memiliki keunggulan karena sifatnya yang tiga dimensi dibandingkan dengan animated emoticon yang hanya dua dimensi, namun unsur gerak dan perubahan yang penting itu absen. (Kalau patung bisa bergerak macam-macam, biasanya kita sebut "robot", bukan patung lagi). Pengungkapan gagasan atau suasana melalui patung yang statis, seperti yang dilakukan Rani, paling-paling hanya dimungkinkan dengan mengeksploitasi bentuk, tekstur, warna, dan stance atau pose. Dan memang unsur-unsur inilah yang berusaha dimanfaatkan secara maksimal oleh Rani. Tidak heran jika kita melihat bentuk tubuh patung-patung Rani tidak wajar, teksturnya yang menggeronjal di sana-sini, warnanya yang beraneka ragam (bahkan pada permukaan tubuh salah satu patungnya diterakan abjad bermacam-macam), dan posenya yang kadang-kadang ganjil. (Perlu dicatat, pose pada sejumlah patung Rani memang menyimbolkan gerak, tetapi pose bukanlah gerak itu sendiri). Dengan absennya gerak dan perubahan, maka seluruh unsur itulah, bersama sifat ekstrem dan anomalinya, yang dikerahkan oleh si pematung untuk menyampaikan sesuatu yang tidak berbentuk, tidak visual, namun eksis dan bisa dialami, yang oleh Rani disebut sebagai "tegangan".

 
Apa itu "tegangan"? Saya tidak bisa menyimpulkan. Mungkin itu sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun juga bisa jadi sebaliknya. Dalam bahasa sehari-hari, pemakaian istilah "tegang" tidak selalu mengacu pada situasi yang tidak menyenangkan. Orang bisa tegang saat menunggu kedatangan seorang kekasih. Dan menunggu bertemu pacar itu menyenangkan, bukan? Justru kalau sudah benar-benar bertemu malah bisa jadi suasananya berubah tidak menyenangkan. Jadi, yang menyenangkan justru adalah menunggunya itu, ketegangan itu. Maka, saya kira, istilah "tegangan" dalam konteks karya-karya Rani ini bisa mengacu pada ragam situasi yang amat luas, yang mustahil diidentifikasi satu per satu. Namun biasanya, secara garis besar, tegangan mengandaikan interaksi antara dua hal atau lebih, tarik-menarik atau kompetisi antara dua kutub atau lebih. Mungkin semacam dialektika antara situasi internal dan eksternal. Kemauan personal untuk bebas yang bertubrukan dengan batasan sosial, misalnya. Dan dalam hal itu, tubuhlah yang menjadi medan dialektisnya.

 
Apapun situasi atau pengalaman-pengalaman partikular yang diacu oleh Rani dengan istilah "tegangan" itu, saya kira merupakan hal yang perlu digarisbawahi bahwa Rani memilih tubuh, sesuatu yang bersifat wadag, untuk menyampaikan realitas yang justru bertolak-belakang dengan kewadagan itu sendiri, realitas tanpa bentuk namun nyata, kendati medium yang dipakai Rani hanya memungkinkan dia untuk memanfaatkan replika tubuh tanpa gerak. Ia memprovokasi kita, melalui medium patung, untuk mau melihat banyak hal yang tersamarkan di balik penampakan fisik, bahwa tubuh tidaklah sekadar fakta corporeal, bukan semata-mata kenyataan ragawi yang kasat mata. Tubuh tidaklah sesederhana kelihatannya. Tubuh adalah intersection, titik-temu sekaligus persimpangan antara beraneka wacana, lembaga, situasi, pengalaman, kehendak, dan gagasan. Ia bisa menjadi cermin bagi berlangsungnya berbagai dinamika sosial seperti patriarki, panoptisisme, asketisisme, dan komodifikasi. Ia bisa menunjukkan berbagai simtom yang diakibatkan oleh dinamika seperti itu, seperti onanisme, fobia, histeria, dan anoreksia.

 

Bagi saya, patung-patung Rani adalah karya representasional. Maksudnya, karya-karya itu terutama dimaksudkan untuk mengacu pada sesuatu di luar fakta material karya itu sendiri. Itu berarti, Rani tidak sekadar memamerkan patung tetapi sekaligus juga memamerkan gagasan. Ia tidak sekadar menghadirkan bentuk namun lebih dari itu ia ingin menyampaikan makna. Patung-patung Rani tidak sebatas, dan tidak puas hanya sebagai, the art of the figure, melainkan juga ingin tampil sebagai the art of the soul. Kecenderungan ini terutama juga terbaca dari fakta bahwa materialitas patung-patung Rani sesungguhnya tidak luar biasa, tidak nyeleneh, tidak mengejutkan. Setahu saya, ia hanya menggunakan bahan-bahan yang sudah lazim dipakai dalam seni patung. Seolah-olah ia tidak ingin menggiring minat audiens/apresiator untuk asyik mencermati atau tercengang-cengang mengagumi materi fisik patungnya atau teknik pembuatannya. Risikonya adalah bisa saja karya-karyanya menjadi kurang menarik untuk dipandang, melainkan lebih menarik untuk direnungkan.


Yang sulit saya temukan pada karya Rani yang dipamerkan kali ini adalah sense of humour. Tidak ada karya yang menggelikan, menghibur, atau yang cute dan menggemaskan. Aura karyanya, bagi saya, didominasi oleh suasana yang serius dan gawat. Mungkin karena tema "tegangan" itulah yang ditafsirkan dan diwujudkan menjadi karya-karya yang juga harus menegangkan. Padahal, sekiranya menghadirkan karya yang menghibur atau bahkan yang mengocok perut sekalipun, saya kira tetap relevan dengan tema "tegangan" itu, yakni, bukan sebagai afirmasi melainkan sebagai negasi. Apa lagikah yang bisa melawan situasi hidup manusia yang gawat dan menegangkan selain tertawa -- sebuah kemampuan yang tidak dimiliki binatang model apapun kecuali hewan yang bernama manusia itu sendiri?


After all, selamat dan sukses untuk Rani! []