- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

Techno, Kraftwerk, Rave

Sigit Djatmiko

Versi cetak artikel ini bisa dibaca di majalah Outmagz

edisi # 1: "Welcome to the Borderless Land"

Techno: Musik Joget yang Menyembah Mesin

Tak jauh beda dengan berkarung-karung peristilahan yang simpang-siur dalam vokabulari kita sehari-hari, techno pun merupakan catch-all word yang bisa membingungkan jika hendak dilacak pengertiannya yang definitif. Istilah ini sebetulnya sudah banyak dipakai sebelum munculnya istilah yang lebih baru lagi, ialah electronica, yang mengacu pada jenis-jenis musik elektronik yang kini tampil sebagai arus utama dalam wacana permusikan mutakhir di kalangan anak-anak muda. Betapapun, istilah techno maupun electronica pada umumnya sama-sama dipakai untuk mewakili fenomena musikal yang mengandung sekian karakteristik yang boleh dikatakan sepadan, yakni musik joget (dance music) yang membersitkan kesan futuristik, inhuman, impersonal, betul-betul dikosongkan dari suara-suara alamiah, dan sebaliknya lebih menonjolkan suara-suara hasil rakitan "mesin", a dance-music marries the machine, digitally sampled and triggered from the computer keyboard. Ringkasnya, suatu soundscape yang sepenuhnya bernuansa elektronik.

 

Yang barangkali luput dari catatan kita adalah bahwa istilah techno itu sebetulnya dicomot dari sebuah buku yang sangat populer di tahun 1980-an, The Third Wave, karya penulis beken, Alfin Toffler. Namun yang mula-mula memopulerkan istilah ini sebagai terminologi musik adalah Richard Davies, seorang kolaborator dari trio disc jockey (DJ) asal Detroit — Juan Atkins, Kevin Saunderson, dan Derrick May. Trio inilah yang konon melahirkan musik techno, jenis musik joget yang agak lain lagi dari jenis-jenis sebelumnya, semisal synth-pop, electropop, hi-N-R-G, house music, industrial music, hip-hop. Setidaknya, jika house music adalah jenis musik joget yang masih "merayakan eksistensi manusia", sementara techno adalah genre yang maunya betul-betul "menyembah mesin". Selain itu, techno juga dicirikan oleh suara bas yang menonjol serta iramanya yang cepat, antara 115 hingga 300 beat per menit, meski yang lazim adalah antara 120-140 beat per menit. Esensi musik techno adalah bahwa musik itu senantiasa mengalami perubahan terus-menerus. Setiap hari gaya yang lebih baru diciptakan. Pelbagai gaya yang telah ada dikombinasikan dengan beraneka cara sehingga lahirlah karya baru. Para DJ mencampur dua track yang berbeda, maka lahirlah lagu baru.

 

Yang memicu gerakan musik demikian ini, dari sisi teknologinya, tentu saja adalah ditemukannya peranti-peranti canggih seperti synthesizer, sequencer, MIDI (Musical Instrument Digital Interface), dan peralatan-peralatan lain yang berbasis komputer sehingga memungkinkan seorang penggubah musik membikin adonan pelbagai macam suara secara elektronik. Sedangkan jika ditinjau dari semangatnya, yang bisa ditunjuk sebagai biang-keladi gerakan itu agaknya adalah sebuah grup musik legendaris dari Jerman: Kraftwerk.

 

Kraftwerk: Kami Manusia Robot

Kemunculan Kraftwerk seakan menyeruak dari kekosongan, seolah tanpa preseden. Tidak seperti, katakanlah, Elvis Presley atau The Beatles, yang pada mulanya mengukir popularitas karena memainkan versi mereka sendiri atas jenis musik rhythm-and-blues yang berasal dari masyarakat kulit hitam Amerika, sedangkan Kraftwerk bisa dibilang memainkan versi mereka sendiri berdasarkan suatu gagasan konseptual. Grup musik yang berasal dari Dusseldorf, Jerman, ini mulai beken sejak tahun 1974 dengan release pertama mereka yang menerobos "American Top 40", yang bertajuk "Autobahn". Ciri yang menonjol dari Kraftwerk adalah bahwa mereka berusaha memelopori pergeseran dari musik elektrik dan akustik menuju musik elektronik. Arti penting Kraftwerk terhadap musik joget elektronik kurang-lebih setanding dengan arti penting The Beatles terhadap musik rock.

 

Dengan upayanya untuk mendehumanisasikan musik sehingga menghasilkan suara-suara yang impersonal, dan dengan para "musisinya" yang lebih suka dianggap sebagai perangkat-perangkat mesin daripada sebagai manusia, karya-karya Kraftwerk boleh dibilang menjadi semacam cetak-biru bagi musik garda depan, purwarupa untuk jenis-jenis musik yang merayakan pergeseran dari suara-suara hasil petikan string gitar dan vokal manusia menuju suara-suara hasil kombinasi setrum. Dalam hal ini, pengaruh Kraftwerk memang tidak terbatas pada musik techno saja, melainkan juga mencakup sejumlah genre musik kontemporer lainnya yang muncul kemudian. Para anggota Kraftwerk bisa diidentikkan dengan para teknisi laboratorium yang berusaha menyintesiskan kode-kode DNA yang kemudian melahirkan rap, disco, electro-funk, new-wave, industrial, dan techno — jenis-jenis musik yang pada dasarnya telah menggusur fokusnya dari instrumen musik konvensional-tradisional menuju kecanggihan teknologi studio selama lebih dari dua dasawarsa belakangan ini.

 

Para musisi techno biasanya adalah para artis yang reklusif, suka menyembunyikan diri dan enggan dikenali khalayak, demi mengukuhkan citra bahwa musik mereka betul-betul hasil kreasi mesin yang steril dari sentuhan tangan manusia. Dipakailah nama-nama samaran yang membersitkan asosiasi erat dengan kode-kode alfanumerik komputer: Model 500, Altern 8, Program 2, Interactive, SL2, dan sebagainya. Selain itu, seperti tampak dalam acara Tribal Gathering di Luton Hoo Estate, di dekat London, akhir Mei 1997, yang dikunjungi oleh lebih dari 40.000 pecandu joget, para anggota Kraftwerk bahkan tidak muncul di panggung sama sekali ketika menampilkan lagu "We are the Robots". Sebagai pengganti, ditampilkanlah empat buah robot yang telah diprogram untuk melakukan gerak-gerik mekanis sesuai dengan lagunya. Para musisi Kraftwerk pun menolak untuk difoto oleh pers, dan sebagai gantinya mereka telah menyediakan replika diri mereka yang tentu saja berwujud robot. Ralf Hutter, salah satu awak Kraftwerk, bahkan mencita-citakan agar suatu saat, sebagai musisi, ia tidak perlu meninggalkan rumah dan cukup mengirimkan robot-robot untuk melakukan tur musik dan jumpa pers. Ringkasnya, tujuan utama Kraftwerk adalah meleburkan diri sepenuhnya dengan teknologi, berhenti memainkan instrumen, dan membiarkan instrumen itu memainkan dirinya sendiri.

 

"By living in a machine age," ujar Hutter, "we have become very robotic ourselves. In a sense, we’ve already fused with machines. When we go into our recording studio, we plug in and become part of the machinery ... To us, machines are funky."

 

Jika punk rock mengajari anak-anak muda bahwa mereka bisa membentuk band musik rock sendiri tanpa perlu keterampilan teknis, Kraftwerk pun menyuarakan pesan do-it-yourself serupa itu, namun secara lebih radikal — bukan hanya musisi yang piawai memainkan alat musik tidak diperlukan lagi, bahkan grup band itu pun tidak perlu. Yang diperlukan hanya mesin!

 

Kendati demikian, pada akhirnya tidak semua awak Kraftwerk tahan dengan filosofi demikian itu, kecuali Hutter dan Schneider, dua anggota Kraftwerk yang paling menonjol dan paling konsisten. Sedangkan Flur, misalnya, akhirnya tak sanggup lagi menjadi robot, dengan dalih yang mungkin menggelikan, yakni karena waswas jangan-jangan dirinya nanti akan berkarat: "We developed in the end that we were the robots, and I didn’t want to be a robot any longer ... And I could not wait always six or eight years for the next album or tour. If robots stand still, then they get rusty." 

 

Rave: Paganisme Kontemporer

"Aku berjalan memasuki ruangan, dan tiba-tiba mulutku serasa terkunci. Dentaman bas menggetarkan kaca-kaca jendela. Kilatan cahaya laser di mana-mana. Suara musik mengguncang jantungku, dan aku mulai berjoget, berjoget terus, semalam suntuk. Orang-orang yang tak kukenal memberiku minum saat aku haus. Orang-orang memberiku permen dan dekapan hangat. Semalam suntuk, aku serasa lebur dengan semesta, lebur dengan orang-orang lain, lebur dengan musik." (Pengalaman seorang raver)

 

Akhir pekan lalu, lebih dari satu juta penjoget menghadiri Love Parade, sebuah acara megarave di Berlin. Sementara rave telah berkembang selama satu dasawarsa, pelbagai aspek ritual, visual dan bunyi-bunyian yang berkaitan dengannya akhirnya mulai melancarkan pengaruh kuat terhadap musik pop, periklanan dan bahkan game komputer (petikan berita majalah Time on the Web, 17 Juli 2000)

 

Merebaknya musik techno lantas berjalin-berkelindan dengan lahirnya sebuah gerakan underground yang sangar: kultur rave. Inilah sebuah gerakan budaya-tanding yang sesungguhnya mengambil sumber semangatnya dari naluri manusia yang sangat purba: keliaran, kebebasan, saling-penghargaan, cinta dan perdamaian universal, kerinduan akan komunitas dan ikatan kebersamaan, mistik dan ekstase massal. 

 

Pada dasarnya rave adalah pesta joget, biasanya berlangsung semalam suntuk, terbuka bagi siapapun yang ingin bergabung, meski kebanyakan para pesertanya adalah kaum remaja, laki-laki maupun perempuan. Di dalam pesta itu para penjoget berusaha menemukan pengalaman dan kesadaran baru dengan jalan mendengarkan dan merespon musik, serta melalui interaksi secara eksplisit maupun implisit dengan orang-orang lain. Musik pengiring untuk pesta joget itu adalah musik techno yang dimainkan oleh para disk jockey yang, dalam event demikian itu, peranannya setanding dengan kedudukan para shaman, pendeta, atau dukun dalam upacara- upacara ritual purba. Melalui kepiawaiannya memainkan musik elektronik, para DJ itu bertindak sebagai pemandu pengembaraan spiritual para penjoget.

 

Rave semula berkembang di Inggris, tepatnya di kawasan Manchaster dan Ibiza, sekitar tahun 1987-88. Pada saat yang sama, fenomena rave pun mulai marak di Jerman, terutama di Berlin. Dan di awal tahun 90-an, berkat para DJ Amerika yang ingin memperkenalkan fenomena baru ini di negerinya sendiri, mulailah rave berkembang pula di Amerika, pertama-tama di San Francisco yang memang sejak lama dikenal karena kultur liberal dan obat biusnya. Adalah seorang DJ asal New York bernama Frankie Bones yang kemudian banyak berperan menyebarluaskan kultur baru ini di Amerika. Ia menyelenggarakan serangkaian pesta joget ilegal yang ia namakan Stormrave pada awal 1992. Dan pada Desember tahun yang sama, dalam sebuah acara rave di kawasan Queen yang dihadiri lebih dari 5000 remaja, Frankie untuk pertama kalinya mengemukakan apa yang kemudian menjadi ideologi, dogma, atau jargon kultur rave Amerika: PLUR (Peace, Love, Unity, Respect). 

 

Sejak tahun 1993-94, rave di Inggris dan Jerman lambat-laun mulai terserap ke dalam gelombang besar kapitalisme sehingga menjadikan acara pesta joget itu kehilangan greget spiritualnya. Pasar telah mengubahnya menjadi komoditas industri, hiburan instan, perhelatan untuk menangguk laba material — pesta-pesta joget legal yang diadakan di tempat-tempat resmi. Sementara itu, rave di Amerika pun telah benar-benar meruak ke seantero negeri namun masih berusaha mempertahankan idealismenya sebagai gerakan underground, ilegal, pesta joget yang dilakukan secara gerilya di tempat-tempat terpencil atau ruang-ruang tersembunyi untuk menghindari gerebekan polisi — suatu gerakan budaya-tanding dari kaum remaja di mana musik techno, drug, PLUR, the Vibe, kostum dan aksesoris yang unik (celana baggy, dot bayi, boneka, permen lollipop) menjadi atribut-atribut yang tak terpisahkan, simbol infantilisme dan sikap pembangkangan. 

 

Musik techno yang dimainkan dalam acara-acara rave ilegal itu adalah jenis musik yang juga underground, yang tak berwajah dan tak bernama, yang berbeda dengan techno popular yang tengah menjadi lagu-lagu hit dan banyak disiarkan di radio-radio komersial. Musik yang dimainkan ini tidak sekadar harus merangsang para partisipan untuk berjoget, namun juga harus mampu menghipnotis dan membawa para penjoget menuju wilayah kesadaran lain yang lebih spiritual; kesadaran yang seakan lepas dari ruang dan waktu, lepas dari realitas profan; yang meruntuhkan sekat-sekat antar-individu dan meleburkan mereka ke dalam suatu kemanunggalan purba; yang meruntuhkan perbedaan iman, ideologi, ras, gender, usia, dan preferensi seksual; yang menghadirkan kembali PLUR ke tengah kehidupan; yang menciptakan apa yang disebut the Vibe: suatu pengalaman magis yang tak terkatakan, pengalaman religius yang memabukkan, trance dan ekstase, yang dibangkitkan oleh keseluruhan suasana yang menggairahkan itu. Dalam hal inilah pemakaian drug di kalangan para raver menemukan konteksnya. Drug bisa membantu para raver mencapai pengalaman itu, keasyikan dan perayaan kebebasan itu, kendati para raver tidak niscaya adalah para pecandu obat bius, dan kendati the Vibe tidak selalu harus dicapai dengan pemakaian drug. Namun memang merupakan fakta bahwa drug — semisal Marijuana, Ecstasy (MDMA), LSD, Ketamine HCI, 2C-B — adalah sisi yang tak terpisahkan dari kultur rave

 

Rave dengan demikian adalah perpaduan yang ganjil: adonan antara teknologi mutakhir, kebudayaan global, dan subkultur remaja yang lantas melahirkan semangat spiritualitas yang serupa dengan yang kita temukan dalam ritual-ritual kaum pagan — upacara-upara keagamaan suku Indian Amerika dan Shamanisme di masyarakat Eskimo dan Siberia, di mana musik adalah sarana utama untuk mencapai pengalaman mistik. Rave adalah pemberontakan terhadap masyarakat kontemporer yang memberhalakan pasar, industri, birokrasi, rasionalitas, kekuasaan politik dan kekuatan senjata; masyarakat yang telah kehilangan sakralitas ruang dan waktu, ikatan komunitas, makna cinta-kasih, perdamaian universal, dan saling-penghargaan antar-sesama. Rave berusaha menemukan kembali dimensi-dimensi yang hilang itu, kendati hanya semalam, hanya beberapa jam. Di tengah dunia yang telah pudar pesonanya, para raver berusaha menciptakan ruang sementara — apa yang disebut oleh filsuf anarkhis Hakim Bey sebagai Temporary Autonomous Zone — di mana realitas yang pahit dicoba disangkal dan republik utopia ditegakkan, di mana neraka-dunia yang absurd diruntuhkan dan surga yang hilang kembali dikukuhkan. []