|
Techno:
Musik Joget yang Menyembah Mesin
Tak
jauh beda dengan berkarung-karung peristilahan yang simpang-siur
dalam vokabulari kita sehari-hari, techno pun merupakan catch-all
word yang bisa membingungkan jika hendak dilacak pengertiannya
yang definitif. Istilah ini sebetulnya sudah banyak dipakai
sebelum munculnya istilah yang lebih baru lagi, ialah electronica,
yang mengacu pada jenis-jenis musik elektronik yang kini tampil
sebagai arus utama dalam wacana permusikan mutakhir di kalangan
anak-anak muda. Betapapun, istilah techno maupun electronica
pada umumnya sama-sama dipakai untuk mewakili fenomena musikal
yang mengandung sekian karakteristik yang boleh dikatakan sepadan,
yakni musik joget (dance music) yang membersitkan kesan
futuristik, inhuman, impersonal, betul-betul
dikosongkan dari suara-suara alamiah, dan sebaliknya lebih
menonjolkan suara-suara hasil rakitan "mesin", a
dance-music marries the machine, digitally sampled and triggered
from the computer keyboard. Ringkasnya, suatu soundscape
yang sepenuhnya bernuansa elektronik.
Yang
barangkali luput dari catatan kita adalah bahwa istilah techno
itu sebetulnya dicomot dari sebuah buku yang sangat populer di
tahun 1980-an, The Third Wave, karya penulis beken, Alfin
Toffler. Namun yang mula-mula memopulerkan istilah ini sebagai
terminologi musik adalah Richard Davies, seorang kolaborator dari
trio disc jockey (DJ) asal Detroit — Juan Atkins, Kevin
Saunderson, dan Derrick May. Trio inilah yang konon melahirkan
musik techno, jenis musik joget yang agak lain lagi dari
jenis-jenis sebelumnya, semisal synth-pop, electropop,
hi-N-R-G, house music, industrial music, hip-hop.
Setidaknya, jika house music adalah jenis musik joget yang
masih "merayakan eksistensi manusia", sementara techno
adalah genre yang maunya betul-betul "menyembah
mesin". Selain itu, techno juga dicirikan oleh suara
bas yang menonjol serta iramanya yang cepat, antara 115 hingga 300
beat per menit, meski yang lazim adalah antara 120-140 beat
per menit. Esensi musik techno adalah bahwa musik itu
senantiasa mengalami perubahan terus-menerus. Setiap hari gaya
yang lebih baru diciptakan. Pelbagai gaya yang telah ada
dikombinasikan dengan beraneka cara sehingga lahirlah karya baru.
Para DJ mencampur dua track yang berbeda, maka lahirlah
lagu baru.
Yang
memicu gerakan musik demikian ini, dari sisi teknologinya, tentu
saja adalah ditemukannya peranti-peranti canggih seperti synthesizer,
sequencer, MIDI (Musical Instrument Digital Interface),
dan peralatan-peralatan lain yang berbasis komputer sehingga
memungkinkan seorang penggubah musik membikin adonan pelbagai
macam suara secara elektronik. Sedangkan jika ditinjau dari
semangatnya, yang bisa ditunjuk sebagai biang-keladi gerakan itu
agaknya adalah sebuah grup musik legendaris dari Jerman:
Kraftwerk.
Kraftwerk:
Kami Manusia Robot
Kemunculan
Kraftwerk seakan menyeruak dari kekosongan, seolah tanpa preseden.
Tidak seperti, katakanlah, Elvis Presley atau The Beatles, yang
pada mulanya mengukir popularitas karena memainkan versi mereka
sendiri atas jenis musik rhythm-and-blues yang berasal dari
masyarakat kulit hitam Amerika, sedangkan Kraftwerk bisa dibilang
memainkan versi mereka sendiri berdasarkan suatu gagasan
konseptual. Grup musik yang berasal dari Dusseldorf, Jerman, ini
mulai beken sejak tahun 1974 dengan release pertama mereka
yang menerobos "American Top 40", yang bertajuk
"Autobahn". Ciri yang menonjol dari Kraftwerk adalah
bahwa mereka berusaha memelopori pergeseran dari musik elektrik
dan akustik menuju musik elektronik. Arti penting Kraftwerk
terhadap musik joget elektronik kurang-lebih setanding dengan arti
penting The Beatles terhadap musik rock.
Dengan
upayanya untuk mendehumanisasikan musik sehingga menghasilkan
suara-suara yang impersonal, dan dengan para "musisinya"
yang lebih suka dianggap sebagai perangkat-perangkat mesin
daripada sebagai manusia, karya-karya Kraftwerk boleh dibilang
menjadi semacam cetak-biru bagi musik garda depan, purwarupa untuk
jenis-jenis musik yang merayakan pergeseran dari suara-suara hasil
petikan string gitar dan vokal manusia menuju suara-suara hasil
kombinasi setrum. Dalam hal ini, pengaruh Kraftwerk memang tidak
terbatas pada musik techno saja, melainkan juga mencakup
sejumlah genre musik kontemporer lainnya yang muncul
kemudian. Para anggota Kraftwerk bisa diidentikkan dengan para
teknisi laboratorium yang berusaha menyintesiskan kode-kode DNA
yang kemudian melahirkan rap, disco, electro-funk,
new-wave, industrial, dan techno —
jenis-jenis musik yang pada dasarnya telah menggusur fokusnya dari
instrumen musik konvensional-tradisional menuju kecanggihan
teknologi studio selama lebih dari dua dasawarsa belakangan ini.
Para
musisi techno biasanya adalah para artis yang reklusif,
suka menyembunyikan diri dan enggan dikenali khalayak, demi
mengukuhkan citra bahwa musik mereka betul-betul hasil kreasi
mesin yang steril dari sentuhan tangan manusia. Dipakailah
nama-nama samaran yang membersitkan asosiasi erat dengan kode-kode
alfanumerik komputer: Model 500, Altern 8, Program 2, Interactive,
SL2, dan sebagainya. Selain itu, seperti tampak dalam acara Tribal
Gathering di Luton Hoo Estate, di dekat London, akhir Mei 1997,
yang dikunjungi oleh lebih dari 40.000 pecandu joget, para anggota
Kraftwerk bahkan tidak muncul di panggung sama sekali ketika
menampilkan lagu "We are the Robots". Sebagai pengganti,
ditampilkanlah empat buah robot yang telah diprogram untuk
melakukan gerak-gerik mekanis sesuai dengan lagunya. Para musisi
Kraftwerk pun menolak untuk difoto oleh pers, dan sebagai gantinya
mereka telah menyediakan replika diri mereka yang tentu saja
berwujud robot. Ralf Hutter, salah satu awak Kraftwerk, bahkan
mencita-citakan agar suatu saat, sebagai musisi, ia tidak perlu
meninggalkan rumah dan cukup mengirimkan robot-robot untuk
melakukan tur musik dan jumpa pers. Ringkasnya, tujuan utama
Kraftwerk adalah meleburkan diri sepenuhnya dengan teknologi,
berhenti memainkan instrumen, dan membiarkan instrumen itu
memainkan dirinya sendiri.
"By
living in a machine age," ujar Hutter, "we have
become very robotic ourselves. In a sense, we’ve already fused
with machines. When we go into our recording studio, we plug in
and become part of the machinery ... To us, machines are funky."
Jika
punk rock mengajari anak-anak muda bahwa mereka bisa
membentuk band musik rock sendiri tanpa perlu keterampilan teknis,
Kraftwerk pun menyuarakan pesan do-it-yourself serupa itu,
namun secara lebih radikal — bukan hanya musisi yang piawai
memainkan alat musik tidak diperlukan lagi, bahkan grup band itu
pun tidak perlu. Yang diperlukan hanya mesin!
Kendati
demikian, pada akhirnya tidak semua awak Kraftwerk tahan dengan
filosofi demikian itu, kecuali Hutter dan Schneider, dua anggota
Kraftwerk yang paling menonjol dan paling konsisten. Sedangkan
Flur, misalnya, akhirnya tak sanggup lagi menjadi robot, dengan
dalih yang mungkin menggelikan, yakni karena waswas jangan-jangan
dirinya nanti akan berkarat: "We developed in the end that
we were the robots, and I didn’t want to be a robot any longer
... And I could not wait always six or eight years for the next
album or tour. If robots stand still, then they get rusty."
Rave:
Paganisme Kontemporer
"Aku
berjalan memasuki ruangan, dan tiba-tiba mulutku serasa terkunci.
Dentaman bas menggetarkan kaca-kaca jendela. Kilatan cahaya laser
di mana-mana. Suara musik mengguncang jantungku, dan aku mulai
berjoget, berjoget terus, semalam suntuk. Orang-orang yang tak
kukenal memberiku minum saat aku haus. Orang-orang memberiku
permen dan dekapan hangat. Semalam suntuk, aku serasa lebur dengan
semesta, lebur dengan orang-orang lain, lebur dengan musik."
(Pengalaman seorang raver)
Akhir
pekan lalu, lebih dari satu juta penjoget menghadiri Love Parade,
sebuah acara megarave di Berlin. Sementara rave telah berkembang
selama satu dasawarsa, pelbagai aspek ritual, visual dan
bunyi-bunyian yang berkaitan dengannya akhirnya mulai melancarkan
pengaruh kuat terhadap musik pop, periklanan dan bahkan game
komputer (petikan berita majalah Time on the Web, 17
Juli 2000)
Merebaknya
musik techno lantas berjalin-berkelindan dengan lahirnya
sebuah gerakan underground yang sangar: kultur rave.
Inilah sebuah gerakan budaya-tanding yang sesungguhnya mengambil
sumber semangatnya dari naluri manusia yang sangat purba:
keliaran, kebebasan, saling-penghargaan, cinta dan perdamaian
universal, kerinduan akan komunitas dan ikatan kebersamaan, mistik
dan ekstase massal.
Pada
dasarnya rave adalah pesta joget, biasanya berlangsung
semalam suntuk, terbuka bagi siapapun yang ingin bergabung, meski
kebanyakan para pesertanya adalah kaum remaja, laki-laki maupun
perempuan. Di dalam pesta itu para penjoget berusaha menemukan
pengalaman dan kesadaran baru dengan jalan mendengarkan dan
merespon musik, serta melalui interaksi secara eksplisit maupun
implisit dengan orang-orang lain. Musik pengiring untuk pesta
joget itu adalah musik techno yang dimainkan oleh para disk
jockey yang, dalam event demikian itu, peranannya
setanding dengan kedudukan para shaman, pendeta, atau dukun
dalam upacara- upacara ritual purba. Melalui kepiawaiannya
memainkan musik elektronik, para DJ itu bertindak sebagai pemandu
pengembaraan spiritual para penjoget.
Rave
semula berkembang di Inggris, tepatnya di kawasan Manchaster dan
Ibiza, sekitar tahun 1987-88. Pada saat yang sama, fenomena rave
pun mulai marak di Jerman, terutama di Berlin. Dan di awal tahun
90-an, berkat para DJ Amerika yang ingin memperkenalkan fenomena
baru ini di negerinya sendiri, mulailah rave berkembang
pula di Amerika, pertama-tama di San Francisco yang memang sejak
lama dikenal karena kultur liberal dan obat biusnya. Adalah
seorang DJ asal New York bernama Frankie Bones yang kemudian
banyak berperan menyebarluaskan kultur baru ini di Amerika. Ia
menyelenggarakan serangkaian pesta joget ilegal yang ia namakan
Stormrave pada awal 1992. Dan pada Desember tahun yang sama, dalam
sebuah acara rave di kawasan Queen yang dihadiri lebih dari
5000 remaja, Frankie untuk pertama kalinya mengemukakan apa yang
kemudian menjadi ideologi, dogma, atau jargon kultur rave
Amerika: PLUR (Peace, Love, Unity, Respect).
Sejak
tahun 1993-94, rave di Inggris dan Jerman lambat-laun mulai
terserap ke dalam gelombang besar kapitalisme sehingga menjadikan
acara pesta joget itu kehilangan greget spiritualnya. Pasar telah
mengubahnya menjadi komoditas industri, hiburan instan, perhelatan
untuk menangguk laba material — pesta-pesta joget legal yang
diadakan di tempat-tempat resmi. Sementara itu, rave di
Amerika pun telah benar-benar meruak ke seantero negeri namun
masih berusaha mempertahankan idealismenya sebagai gerakan underground,
ilegal, pesta joget yang dilakukan secara gerilya di tempat-tempat
terpencil atau ruang-ruang tersembunyi untuk menghindari gerebekan
polisi — suatu gerakan budaya-tanding dari kaum remaja di mana
musik techno, drug, PLUR, the Vibe, kostum
dan aksesoris yang unik (celana baggy, dot bayi, boneka,
permen lollipop) menjadi atribut-atribut yang tak
terpisahkan, simbol infantilisme dan sikap pembangkangan.
Musik
techno yang dimainkan dalam acara-acara rave ilegal
itu adalah jenis musik yang juga underground, yang tak
berwajah dan tak bernama, yang berbeda dengan techno
popular yang tengah menjadi lagu-lagu hit dan banyak
disiarkan di radio-radio komersial. Musik yang dimainkan ini tidak
sekadar harus merangsang para partisipan untuk berjoget, namun
juga harus mampu menghipnotis dan membawa para penjoget menuju
wilayah kesadaran lain yang lebih spiritual; kesadaran yang seakan
lepas dari ruang dan waktu, lepas dari realitas profan; yang
meruntuhkan sekat-sekat antar-individu dan meleburkan mereka ke
dalam suatu kemanunggalan purba; yang meruntuhkan perbedaan iman,
ideologi, ras, gender, usia, dan preferensi seksual; yang
menghadirkan kembali PLUR ke tengah kehidupan; yang menciptakan
apa yang disebut the Vibe: suatu pengalaman magis yang tak
terkatakan, pengalaman religius yang memabukkan, trance dan
ekstase, yang dibangkitkan oleh keseluruhan suasana yang
menggairahkan itu. Dalam hal inilah pemakaian drug di
kalangan para raver menemukan konteksnya. Drug bisa
membantu para raver mencapai pengalaman itu, keasyikan dan
perayaan kebebasan itu, kendati para raver tidak niscaya
adalah para pecandu obat bius, dan kendati the Vibe tidak
selalu harus dicapai dengan pemakaian drug. Namun memang
merupakan fakta bahwa drug — semisal Marijuana, Ecstasy
(MDMA), LSD, Ketamine HCI, 2C-B — adalah sisi yang tak
terpisahkan dari kultur rave.
Rave
dengan demikian adalah perpaduan yang ganjil: adonan antara
teknologi mutakhir, kebudayaan global, dan subkultur remaja yang
lantas melahirkan semangat spiritualitas yang serupa dengan yang
kita temukan dalam ritual-ritual kaum pagan — upacara-upara
keagamaan suku Indian Amerika dan Shamanisme di masyarakat Eskimo
dan Siberia, di mana musik adalah sarana utama untuk mencapai
pengalaman mistik. Rave adalah pemberontakan terhadap
masyarakat kontemporer yang memberhalakan pasar, industri,
birokrasi, rasionalitas, kekuasaan politik dan kekuatan senjata;
masyarakat yang telah kehilangan sakralitas ruang dan waktu,
ikatan komunitas, makna cinta-kasih, perdamaian universal, dan
saling-penghargaan antar-sesama. Rave berusaha menemukan
kembali dimensi-dimensi yang hilang itu, kendati hanya semalam,
hanya beberapa jam. Di tengah dunia yang telah pudar pesonanya,
para raver berusaha menciptakan ruang sementara — apa
yang disebut oleh filsuf anarkhis Hakim Bey sebagai Temporary
Autonomous Zone — di mana realitas yang pahit dicoba
disangkal dan republik utopia ditegakkan, di mana neraka-dunia
yang absurd diruntuhkan dan surga yang hilang kembali dikukuhkan.
[]
|
|