- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

Lahirnya Peradaban Yunani

Bertrand Russell

Artikel ini diambil dari Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Bab I, terjemahan Sigit Djatmiko et al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 3-30.

Di antara semua sejarah, tak ada yang begitu mencengangkan atau begitu sulit diterangkan selain lahirnya peradaban di Yunani secara mendadak. Memang banyak unsur peradaban yang telah ada ribuan tahun di Mesir dan Mesopotamia, dan yang kemudian menyebar ke negeri-negeri sekitarnya. Namun unsur-unsur tertentu belum utuh sampai kemudian bangsa Yunanilah yang menyempurnakannya. Yang mereka capai dalam bidang seni  dan sastra sudah lazim diketahui, namun yang telah  mereka lakukan dalam bidang yang murni intelektual bahkan lebih luar biasa. Mereka menemukan matematika,[1] ilmu pengetahuan, dan filsafat; merekalah yang pertama kali menulis sejarah (history) yang berbeda dari sekadar catatan-catatan peristiwa (annals); mereka melakukan spekulasi bebas tentang hakikat dunia dan tujuan hidup, tanpa terbelenggu oleh paham-paham kolot yang diwarisi. Peristiwa itu amat mengherankan sehingga, sampai saat ini pun, banyak orang yang puas dengan terbengong-bengong saja dan membicarakan kejeniusan bangsa Yunani itu berdasarkan mistik. Akan tetapi tidaklah mustahil untuk memahami perkembangan di Yunani itu secara ilmiah, dan memang itulah yang terpenting. 

 

Filsafat diawali oleh Thales yang, untungnya, bisa dilacak masa hidupnya berdasarkan fakta bahwa ia pernah meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi pada tahun 585 SM. Filsafat dan ilmu pengetahuan  — yang semula tidak terpisah — dengan demikian lahir bersama di awal abad ke-6 SM. Lantas apa yang berlangsung di Yunani dan negeri-negeri sekitarnya sebelum  masa ini? Jawaban apapun dalam batas tertentu pasti bersifat dugaan, tetapi arkeologi di abad sekarang ini telah menyumbangkan pengetahuan yang jauh lebih kaya daripada yang dimiliki kakek-nenek kita.

 

Seni tulis-menulis ditemukan di Mesir kira-kira tahun 4000 SM, dan di Babilonia tak lama kemudian. Di masing-masing negeri itu tulisan bermula dari gambar-gambar objek yang diacu. Gambar-gambar itu dengan cepat mengalami konvensionalisasi, sehingga kata-kata lantas ditampilkan dengan ideogram-ideogram seperti yang masih terdapat di Cina. Dalam jangka ribuan tahun, sistem yang bertele-tele ini berkembang menjadi tulisan alfabetis.

 

Awal perkembangan peradaban di Mesir dan Mesopotamia berkaitan erat  dengan kawasan-kawasan sungai Nil, Tigris, dan Efrat, yang mendorong pertanian tumbuh pesat dan sangat produktif. Dalam banyak hal peradaban itu serupa dengan peradaban yang ditemukan orang-orang Spanyol di Meksiko dan Peru. Ada raja yang disembah dan memiliki kekuasaan despotis; di Mesir, semua tanah adalah milik raja. Ada kepercayaan yang bercorak politeistik, dengan satu mahadewa yang memiliki hubungan erat dengan raja. Ada aristokrasi militer serta aristokrasi kaum pendeta. Aristokrasi pendeta ini seringkali dapat mengambil-alih kekuasaan raja, jika sang raja lemah atau terlibat dalam perang yang berlarut-larut. Golongan pengolah tanah adalah para budak yang dimiliki raja, golongan bangsawan, atau para pendeta.

 

Terdapat perbedaan penting antara teologi Mesir dan Babilonia. Perhatian bangsa Mesir lebih tertuju pada soal kematian, dan mereka percaya bahwa jiwa orang mati turun ke dunia-bawah di mana mereka diadili oleh Osiris sesuai dengan cara hidupnya di dunia. Mereka pun percaya bahwa pada akhirnya jiwa akan kembali ke tubuh; inilah yang mengilhami pembuatan mummi dan pusara-pusara batu yang elok. Piramid-piramid dibangun oleh para raja di penghujung milenium ke-4 SM dan di awal milenium ke-3 SM. Sesudah masa ini peradaban Mesir kian mengalami pendangkalan, sementara konservatisme agama menghambat kemajuan. Kira-kira tahun 1800 SM Mesir ditaklukkan oleh salah satu suku bangsa Semit bernama Hyksos, yang menguasai negeri itu selama kira-kira dua abad. Mereka tidak meninggalkan bekas permanen di Mesir, namun keberadaan mereka tentu telah mendorong tersebarnya peradaban Mesir ke Siria dan Palestina.

 

Dibandingkan Mesir, Babilonia mengalami perkembangan yang lebih sarat peperangan. Pada mulanya ras penguasa bukanlah Semit tetapi “Sumeria”, yang asal-usulnya tak diketahui. Mereka menciptakan abjad paku (cuneiform) yang kemudian diambil-alih oleh bangsa Semit yang menaklukkan mereka. Ada satu periode di mana terdapat sejumlah kota yang masing-masing berdiri sendiri dan saling memerangi, namun akhirnya kota Babilonlah yang unggul dan membangun sebuah imperium. Dewa-dewa sesembahan kota lain diturunkan derajatnya, sedangkan Marduk, dewa kota Babilon, menempati posisi seperti yang nantinya dipegang Zeus dalam susunan dewa-dewi Yunani. Peristiwa serupa pun pernah terjadi di Mesir pada masa yang jauh lebih dini.

 

Agama bangsa Mesir dan Babilonia, sebagaimana kepercayaan kuno lainnya, pada dasarnya berupa kultus kesuburan. Bumi adalah betina, matahari jantan. Lembu jantan lazimnya dianggap perwujudan kesuburan pria sehingga dewa-dewa lembu banyak dipuja. Di Babilon, Ishtar adalah dewi bumi yang tertinggi kedudukannya di antara dewi-dewi lain. Di seluruh Asia barat, Bunda Yang Agung dipuja dengan pelbagai nama. Ketika bangsa Yunani yang menduduki Asia Kecil mendirikan kuil untuk memuliakannya, mereka menyebut sang dewi itu Artemis dan mengambil-alih kultus yang telah ada. Inilah asal-mula “Diana dewi bangsa Ephesus.”[2] Agama Kristen mengubahnya menjadi Maria Sang Perawan, dan adalah Konsili Ephesus yang mengukuhkan gelar “Ibunda Tuhan” bagi Bunda Maria. 


[1] Aritmetika dan beberapa geometri telah dipakai orang Mesir dan  Babilonia, namun terutama berupa hitungan  kasar. Penalaran deduktif berdasarkan premis umum adalah hasil inovasi orang Yunani.

 

[2] Diana adalah nama Latin untuk Artemis. Nama Artemis inilah yang disebut dalam Testamen Yunani, sementara terjemahan kita menyebutnya Diana.

Halaman

01

dari 10

halaman