- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

Surat untuk Mas Garin Nugroho

(Sutradara Film "Puisi Tak Terkuburkan")

Budi Irawanto

Mas Garin yang terhomat, 

 

Luka sejarah adalah jejak yang tertoreh dan musykil dihapus. Ia bukan sekadar rasa sakit atau trauma, melainkan sebentuk identitas yang terus melekat. Barangkali sebuah stigma. Sepanjang hidup, luka itu terus saja membayangi, bahkan menjadi cara seorang menarik batas: kebenaran dan kebatilan. Luka itulah kesan yang segera mencuat, usai menonton film Anda, "Puisi Tak Terkuburkan". 

 

Saya menangkap rasa hormat yang tinggi dari Anda terhadap salah satu korban yang luput dari pembantaian massal tahun 1965. Korban itu bernama Ibrahim Kadir. Ia adalah salah satu tradisi lisan didong, yang jumlahnya bertebaran di tanah Aceh. Kendati ia mendekam di penjara "hanya" dua puluh dua hari, pengalaman itu sungguh meninggalkan memori yang dalam di benak Ibrahim Kadir. 

 

Saya tahu, mungkin ada korban lain, yang juga menyaksikan — atau mengalami — penderitaan yang tak terperikan itu. Tapi, saya tak ingin menyoal siapa yang paling otoritatif mengatasnamakan korban. Bagi saya, korban tetap saja korban. Saya tak hendak bermain-main dengan kalkulus penderitaan. 

 

Pengalaman sang korban, yang Anda gubah sebagai rangka cerita dalam "Puisi Tak Terkuburkan", sungguh memikat perhatian saya. Bukan saja film itu terasa personal, melainkan film itu seakan mengajak kita kembali melongok sumber pengetahuan kita yang asali dan paling kita hayati. 

 

Bagaimanapun, dunia pengalaman — yang dalam tradisi ilmu sosial disebut dengan lebenswelt — memang merupakan wilayah "praobjektif". Ilmu pengetahuan modern telah lama menyingkirkan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Apa yang dianggap sebagai pengetahuan — juga kebenaran — adalah semua hal yang bisa "diobjektivikasi." Tiba-tiba, terlintas di benak saya pendapat dari dramawan dan presiden Cheko, Vaclav Havel, mengenai dunia pengalaman: 

 

Itulah wilayah kegembiraan dan kepedihan kita yang tak dapat digandakan, dihilangkan dan dipindahkan kepada orang lain. Suatu dunia yang di dalamnya, melaluinya dan untuknya, kita dengan suatu cara dapat ditanyakan, yakni suatu dunia pertanggungjawaban pribadi. Di dunia itu, kategori-kategori seperti keadilan, kehormatan, persahabatan, ketidakjujuran, keberanian, atau empati mempunyai kandungan yang seluruhnya bisa dirasakan berkaitan dengan orang-orang yang sesungguhnya dan penting bagi kehidupan yang sebenarnya. 

 

Saya sungguh tidak tahu, apakah masih penting menyamakan pendapat Havel dengan model pengisahan yang Anda kembangkan. Yang saya tahu, ilmu pengetahuan modern telah dibalut keangkuhan manusia — kehendak meringkus kemauan pribadi dan misteri semesta menjadi postulat teori yang terus diuji. Karena itu, ilmu pengetahuan modern telah menerabas batas-batas alami. "Pusi Tak terkuburkan" menyugesti saya ke arah permenungan makna dan hakikat pengalaman manusia, juga peran sinema yang bertautan dengan pengalaman itu. Sinema terbukti mampu merepresentasikan pengalaman manusia yang kaya. Tentu sangat terbuka kemungkinan sudut pandangnya jadi amat subjektif. 

 

Saya yakin, Anda sadar bahwa sinema memang sebuah ikhtiar untuk menafsir. Karena itu, sinema menjadi tempat tumpah-ruah representasi. Dan, apa boleh buat, reperesentasi senantiasa sulit menampik distorsi dan simplifikasi. Kita telah lama tahu, tafsir memang bukan kebenaran itu sendiri. Kita ingat kata-kata bijak dari Cina, "jari yang menunjuk bulan, bukanlah itu sendiri." Film "Puisi Tak Terkuburkan", kurang-lebih, adalah sekeping tafsir. Malahan, pada bagian awal film, jika saya tak salah mengingatnya, ada teks yang tertera di layar: Kisah dalam film ini merupakan "tafsir pribadi Ibrahim Kadir." 

 

Satu hal yang menarik saya, frasa judul film "Puisi Tak Terkuburkan" mengisyaratkan sebuah upaya yang tak sekadar menyikap — meminjam ungkapan Anda — luka sejarah sebuah bangsa. Tapi, menurut hemat saya, juga upaya mengawetkan luka itu sendiri sebagai sesuatu yang tak "terkuburkan". Semacam obsesi untuk menjadikannya keabadian. Dengan demikian, sejarah tidak lagi ditulis di atas kegemilangan sebuah dinasti atau bangsa. Sejarah ditegakkan, menyitir sosiolog Peter L. Berger, sebagai "piramida korban manusia". Dan peristiwa 1965 adalah sebuah pembantaian besar dengan jumlah korban menggiriskan. 

 

Tapi bisakah luka sejarah diperlakukan sebagai "Puisi". Film Anda menyodorkan jawaban "ya". Jika kita menganggap puisi adalah pengagungan peristiwa tekstual atas acuan yang berada di luar teks. Dalam khasanah hermeneutika, puisi adalah event atas sense. Maka, peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI di Aceh tak lahir dalam gambar. Tapi, muncul dari tuturan Ibrahim Kadir — saksi atas kekejaman peristiwa itu. Dalam kata-kata Ibrahim Kadir, pembunuhan manusia itu seperti "membunuh kambing" dan "menebas pohon pisang". Tak urung, realitas pembantaian yang sadis muncul sekaligus dalam dua tingkatan representasi. Yakni, pada tuturan Ibrahim Kadir dan representasi filmis atas Ibrahim Kadir yang tengah bertutur. 

 

Dalam diri Ibrahim Kadir, kita tahu, terjadi pergolakan keras antara kehendak untuk mengingat dan melupakan secara liris. Kehendak mengingat muncul dari baris-baris syair, dilantunkan secara bersama, terkenang-kenang, terbayang-bayang, sedangkan kehendak untuk melupakan muncul dalam kata-kata Ibrahim Kadir di bagian akhir film, "aku ingin memancing di danau." Seakan-akan kematian dengan cara bunuh diri dari "jaksa" yang selama ini memerintahkan membunuhi mereka yang dituduh PKI, bagi peran Kadir, menjadi tidak begitu penting. Di sinilah penderitaan menjelma menjadi puisi. Ini karena puisi menjadi hidup dari ambivalensi maknanya yang bisa ditarik ke titik yang satu atau ke titik yang lain. Tak aneh, jika puisi yang sama ditafsir secara berbeda oleh setiap orang dalam latar belakang dan situasi yang berbeda. 

 

Apapun soalnya, lupa dan masa lalu sejatinya merupakan perkara yang penting. Jika Anda sudah membaca novel Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting (1978) — yang diindonesiakan menjadi Kitab Lupa dan Gelak Tawa (2000) — ada parafrasa memukau yang dikatakan seorang tokoh Mirek. "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa." Bahkan, dalam sebuah wawancara Kundera menyatakan, yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan melainkan, hilangnya masa lalu. "Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan," tutur Kundera. Sama persis dengan penuturan korban yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, Yosef H. Yerushalmi, "My terror of forgettinng is greater than my terror of having too much to remember." 

 

Kita tidak pernah tahu, apakah lupa bisa juga dianggap berkah bagi manusia. Yang pasti, tanpa lupa mungkin kita akan terus terjaga. Kita bisa mengidap insomnia. Menjadikan luka sejarah sebuah identitas memang memerlukan sikap berdamai dengan masa lalu. Meski begitu, bukan perkara gampang memupus masa lalu. Apa lagi jika masa lalu itu perih. Dalam "Puisi Tak Terkuburkan", setiap usai korban dibunuh, barang-barang sang korban, seperti kain panjang, selendang, selimut, dan seterusnya, menjadi semacam memorabilia bagi keluarga yang hidup. Di titik inilah, sesungguhnya kita kian mengerti, proses seleksi terhadap ingatam. Maka, lupa lantas bukan berarti tak ingat apapun, tapi mengingat yang lain. 

 

Dalam "Puisi Tak Terkuburkan," untunglah masih ada kenangan indah yang dituturkan para tahanan saat menunggu kematiannya. Justru kenangan inilah yang bisa memancing senyum simpul penonton. Apa lagi kalau bukan kisah asmara para tahanan itu. Ada yang ketemu pacar di hutan, ada yang berkirim surat pada pacar lewat nenek sang pacar, ada yang kenal karena menjadi teman sekelas dan seterusnya. Barangkali tanpa adegan ini, "Puisi Tak Terkuburkan" menjadi rangkaian narasi visual yang pahit dan menyesakkan penonton. 

 

Ada pertanyaan lain yang terus menggoda saya: bisakah kita mempercayai sebuah representasi? Telah lama kita diganduli beban untuk menemukan apa yang disebut "kebenaran." Padahal, kata kaum posmodernis, kebenaran sekadar efek dari wacana. Atau, dalam bahasa logika formal, "kebenaran adalah kesimpulan yang lahir dari rumusan premis mayor dan premis minor." Dari film "Puisi Tak Terkuburkan", apa yang disebut "kebenaran" adalah suara sang korban. Korban, dalam kanon sejarah — tak hanya di Indonesia — senantiasa menjadi himpunan angka, nyaris tanpa nyawa dan makna. Suara korban senantiasa dibungkam. Maka, cerita korban adalah kebenaran di belakang tirai kekuasaan. 

 

Melalui penuturan Ibrahim kadir, sebagai sang korban, kita menuai makna tentang moralitas hukum alam. Tindakan membunuh dengan memancung kepala, bagi Ibrahim Kadir, telah menyalahi hukum alam. Inilah kaidah hukum alam sederhana yang dipahami Ibrahim Kadir. Bagi Ibrahim, sejak lahir, kepala dan badan menusia menyatu, tidak terpisah. 

 

"Puisi Tak Terkuburkan," pada akhirnya, seperti menggemakan elan pendukung cultural studies: menyuarakan suara mereka yang tak bersuara. Suara yang dipenuhi keperihan, tapi bukan ratapan. Sebuah kesaksian, yang tak menyembunyikan dendam. Sebagaimana diwasiatkan seorang tahanan perempuan kepada Ibrahim Kadir yang tengah mengikat tangannya, "jangan ceritakan kemarahan." 

 

Namun demikian, "Puisi Tak Terkuburkan" kian menggenapkan kabut misteri otak di balik pembantaian yang kejam itu. Bahkan, sipir penjara yang hanya melaksanakan perintah selalu tak gampang dikenali wajahnya. Memang di kalangan ilmuwan politik hingga kini masih terjadi perdebatan, apakah pembantaian itu dilakukan secara spontan atau direncanakan secara sistematis oleh kalangan militer. Bagaimanapun, pembantaian itu jelas kejahatan manusia terbesar. Tentu, bukan karena jumlah korbannya yang menakjubkan, tapi para pelakunya sendiri bisa dikutuk sebagai hostis humani generis — musuh seluruh kemanusiaan. 

 

Demikianlah, "Puisi Tak Terkuburkan" justru banyak meninggalkan kita sejumlah pertanyaan. Mungkin pertanyaan yang mengusik keingintahuan kita, mungkin pertanyaan kritis yang menggugat, mungkin pula pertanyaan merenung. Karena hanya pada dunia yang tidak dibangun dengan kepastian-kepastian keramat, sinema masih memiliki makna. 

 

Yogyakarta, 25 Juni 2000 

Salam hormat, 

Budi Irawanto