|
Mas
Garin yang terhomat,
Luka
sejarah adalah jejak yang tertoreh dan musykil dihapus. Ia bukan
sekadar rasa sakit atau trauma, melainkan sebentuk identitas yang
terus melekat. Barangkali sebuah stigma. Sepanjang hidup, luka itu
terus saja membayangi, bahkan menjadi cara seorang menarik batas:
kebenaran dan kebatilan. Luka itulah kesan yang segera mencuat,
usai menonton film Anda, "Puisi Tak Terkuburkan".
Saya
menangkap rasa hormat yang tinggi dari Anda terhadap salah satu
korban yang luput dari pembantaian massal tahun 1965. Korban itu
bernama Ibrahim Kadir. Ia adalah salah satu tradisi lisan didong,
yang jumlahnya bertebaran di tanah Aceh. Kendati ia mendekam di
penjara "hanya" dua puluh dua hari, pengalaman itu
sungguh meninggalkan memori yang dalam di benak Ibrahim Kadir.
Saya
tahu, mungkin ada korban lain, yang juga menyaksikan — atau
mengalami — penderitaan yang tak terperikan itu. Tapi, saya tak
ingin menyoal siapa yang paling otoritatif mengatasnamakan korban.
Bagi saya, korban tetap saja korban. Saya tak hendak bermain-main
dengan kalkulus penderitaan.
Pengalaman
sang korban, yang Anda gubah sebagai rangka cerita dalam
"Puisi Tak Terkuburkan", sungguh memikat perhatian saya.
Bukan saja film itu terasa personal, melainkan film itu seakan
mengajak kita kembali melongok sumber pengetahuan kita yang asali
dan paling kita hayati.
Bagaimanapun,
dunia pengalaman — yang dalam tradisi ilmu sosial disebut dengan
lebenswelt — memang merupakan wilayah
"praobjektif". Ilmu pengetahuan modern telah lama
menyingkirkan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Apa yang
dianggap sebagai pengetahuan — juga kebenaran — adalah semua
hal yang bisa "diobjektivikasi." Tiba-tiba, terlintas di
benak saya pendapat dari dramawan dan presiden Cheko, Vaclav
Havel, mengenai dunia pengalaman:
Itulah
wilayah kegembiraan dan kepedihan kita yang tak dapat digandakan,
dihilangkan dan dipindahkan kepada orang lain. Suatu dunia yang di
dalamnya, melaluinya dan untuknya, kita dengan suatu cara dapat
ditanyakan, yakni suatu dunia pertanggungjawaban pribadi. Di dunia
itu, kategori-kategori seperti keadilan, kehormatan, persahabatan,
ketidakjujuran, keberanian, atau empati mempunyai kandungan yang
seluruhnya bisa dirasakan berkaitan dengan orang-orang yang
sesungguhnya dan penting bagi kehidupan yang sebenarnya.
Saya
sungguh tidak tahu, apakah masih penting menyamakan pendapat Havel
dengan model pengisahan yang Anda kembangkan. Yang saya tahu, ilmu
pengetahuan modern telah dibalut keangkuhan manusia — kehendak
meringkus kemauan pribadi dan misteri semesta menjadi postulat
teori yang terus diuji. Karena itu, ilmu pengetahuan modern telah
menerabas batas-batas alami. "Pusi Tak terkuburkan"
menyugesti saya ke arah permenungan makna dan hakikat pengalaman
manusia, juga peran sinema yang bertautan dengan pengalaman itu.
Sinema terbukti mampu merepresentasikan pengalaman manusia yang
kaya. Tentu sangat terbuka kemungkinan sudut pandangnya jadi amat
subjektif.
Saya
yakin, Anda sadar bahwa sinema memang sebuah ikhtiar untuk
menafsir. Karena itu, sinema menjadi tempat tumpah-ruah
representasi. Dan, apa boleh buat, reperesentasi senantiasa sulit
menampik distorsi dan simplifikasi. Kita telah lama tahu, tafsir
memang bukan kebenaran itu sendiri. Kita ingat kata-kata bijak
dari Cina, "jari yang menunjuk bulan, bukanlah itu
sendiri." Film "Puisi Tak Terkuburkan",
kurang-lebih, adalah sekeping tafsir. Malahan, pada bagian awal
film, jika saya tak salah mengingatnya, ada teks yang tertera di
layar: Kisah dalam film ini merupakan "tafsir pribadi Ibrahim
Kadir."
Satu
hal yang menarik saya, frasa judul film "Puisi Tak
Terkuburkan" mengisyaratkan sebuah upaya yang tak sekadar
menyikap — meminjam ungkapan Anda — luka sejarah sebuah
bangsa. Tapi, menurut hemat saya, juga upaya mengawetkan luka itu
sendiri sebagai sesuatu yang tak "terkuburkan". Semacam
obsesi untuk menjadikannya keabadian. Dengan demikian, sejarah
tidak lagi ditulis di atas kegemilangan sebuah dinasti atau
bangsa. Sejarah ditegakkan, menyitir sosiolog Peter L. Berger,
sebagai "piramida korban manusia". Dan peristiwa 1965
adalah sebuah pembantaian besar dengan jumlah korban menggiriskan.
Tapi
bisakah luka sejarah diperlakukan sebagai "Puisi". Film
Anda menyodorkan jawaban "ya". Jika kita menganggap
puisi adalah pengagungan peristiwa tekstual atas acuan yang berada
di luar teks. Dalam khasanah hermeneutika, puisi adalah event
atas sense. Maka, peristiwa pembantaian terhadap
orang-orang yang dituduh PKI di Aceh tak lahir dalam gambar. Tapi,
muncul dari tuturan Ibrahim Kadir — saksi atas kekejaman
peristiwa itu. Dalam kata-kata Ibrahim Kadir, pembunuhan manusia
itu seperti "membunuh kambing" dan "menebas pohon
pisang". Tak urung, realitas pembantaian yang sadis muncul
sekaligus dalam dua tingkatan representasi. Yakni, pada tuturan
Ibrahim Kadir dan representasi filmis atas Ibrahim Kadir yang
tengah bertutur.
Dalam
diri Ibrahim Kadir, kita tahu, terjadi pergolakan keras antara
kehendak untuk mengingat dan melupakan secara liris. Kehendak
mengingat muncul dari baris-baris syair, dilantunkan secara
bersama, terkenang-kenang, terbayang-bayang, sedangkan kehendak
untuk melupakan muncul dalam kata-kata Ibrahim Kadir di bagian
akhir film, "aku ingin memancing di danau." Seakan-akan
kematian dengan cara bunuh diri dari "jaksa" yang selama
ini memerintahkan membunuhi mereka yang dituduh PKI, bagi peran
Kadir, menjadi tidak begitu penting. Di sinilah penderitaan
menjelma menjadi puisi. Ini karena puisi menjadi hidup dari
ambivalensi maknanya yang bisa ditarik ke titik yang satu atau ke
titik yang lain. Tak aneh, jika puisi yang sama ditafsir secara
berbeda oleh setiap orang dalam latar belakang dan situasi yang
berbeda.
Apapun
soalnya, lupa dan masa lalu sejatinya merupakan perkara yang
penting. Jika Anda sudah membaca novel Milan Kundera, The Book
of Laughter and Forgetting (1978) — yang diindonesiakan
menjadi Kitab Lupa dan Gelak Tawa (2000) — ada parafrasa
memukau yang dikatakan seorang tokoh Mirek. "Perjuangan
manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan
lupa." Bahkan, dalam sebuah wawancara Kundera menyatakan,
yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa
depan melainkan, hilangnya masa lalu. "Lupa merupakan
sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan," tutur Kundera.
Sama persis dengan penuturan korban yang selamat dari kamp
konsentrasi Nazi, Yosef H. Yerushalmi, "My terror of
forgettinng is greater than my terror of having too much to
remember."
Kita
tidak pernah tahu, apakah lupa bisa juga dianggap berkah bagi
manusia. Yang pasti, tanpa lupa mungkin kita akan terus terjaga.
Kita bisa mengidap insomnia. Menjadikan luka sejarah sebuah
identitas memang memerlukan sikap berdamai dengan masa lalu. Meski
begitu, bukan perkara gampang memupus masa lalu. Apa lagi jika
masa lalu itu perih. Dalam "Puisi Tak Terkuburkan",
setiap usai korban dibunuh, barang-barang sang korban, seperti
kain panjang, selendang, selimut, dan seterusnya, menjadi semacam
memorabilia bagi keluarga yang hidup. Di titik inilah,
sesungguhnya kita kian mengerti, proses seleksi terhadap ingatam.
Maka, lupa lantas bukan berarti tak ingat apapun, tapi mengingat
yang lain.
Dalam
"Puisi Tak Terkuburkan," untunglah masih ada kenangan
indah yang dituturkan para tahanan saat menunggu kematiannya.
Justru kenangan inilah yang bisa memancing senyum simpul penonton.
Apa lagi kalau bukan kisah asmara para tahanan itu. Ada yang
ketemu pacar di hutan, ada yang berkirim surat pada pacar lewat
nenek sang pacar, ada yang kenal karena menjadi teman sekelas dan
seterusnya. Barangkali tanpa adegan ini, "Puisi Tak
Terkuburkan" menjadi rangkaian narasi visual yang pahit dan
menyesakkan penonton.
Ada
pertanyaan lain yang terus menggoda saya: bisakah kita mempercayai
sebuah representasi? Telah lama kita diganduli beban untuk
menemukan apa yang disebut "kebenaran." Padahal, kata
kaum posmodernis, kebenaran sekadar efek dari wacana. Atau, dalam
bahasa logika formal, "kebenaran adalah kesimpulan yang lahir
dari rumusan premis mayor dan premis minor." Dari film
"Puisi Tak Terkuburkan", apa yang disebut
"kebenaran" adalah suara sang korban. Korban, dalam
kanon sejarah — tak hanya di Indonesia — senantiasa menjadi
himpunan angka, nyaris tanpa nyawa dan makna. Suara korban
senantiasa dibungkam. Maka, cerita korban adalah kebenaran di
belakang tirai kekuasaan.
Melalui
penuturan Ibrahim kadir, sebagai sang korban, kita menuai makna
tentang moralitas hukum alam. Tindakan membunuh dengan memancung
kepala, bagi Ibrahim Kadir, telah menyalahi hukum alam. Inilah
kaidah hukum alam sederhana yang dipahami Ibrahim Kadir. Bagi
Ibrahim, sejak lahir, kepala dan badan menusia menyatu, tidak
terpisah.
"Puisi
Tak Terkuburkan," pada akhirnya, seperti menggemakan elan
pendukung cultural studies: menyuarakan suara mereka yang
tak bersuara. Suara yang dipenuhi keperihan, tapi bukan ratapan.
Sebuah kesaksian, yang tak menyembunyikan dendam. Sebagaimana
diwasiatkan seorang tahanan perempuan kepada Ibrahim Kadir yang
tengah mengikat tangannya, "jangan ceritakan kemarahan."
Namun
demikian, "Puisi Tak Terkuburkan" kian menggenapkan
kabut misteri otak di balik pembantaian yang kejam itu. Bahkan,
sipir penjara yang hanya melaksanakan perintah selalu tak gampang
dikenali wajahnya. Memang di kalangan ilmuwan politik hingga kini
masih terjadi perdebatan, apakah pembantaian itu dilakukan secara
spontan atau direncanakan secara sistematis oleh kalangan militer.
Bagaimanapun, pembantaian itu jelas kejahatan manusia terbesar.
Tentu, bukan karena jumlah korbannya yang menakjubkan, tapi para
pelakunya sendiri bisa dikutuk sebagai hostis humani generis
— musuh seluruh kemanusiaan.
Demikianlah,
"Puisi Tak Terkuburkan" justru banyak meninggalkan kita
sejumlah pertanyaan. Mungkin pertanyaan yang mengusik
keingintahuan kita, mungkin pertanyaan kritis yang menggugat,
mungkin pula pertanyaan merenung. Karena hanya pada dunia yang
tidak dibangun dengan kepastian-kepastian keramat, sinema masih
memiliki makna.
Yogyakarta,
25 Juni 2000
Salam
hormat,
Budi
Irawanto
|
|