- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

i m crazy 4 u cant u c?

Sigit Djatmiko

Pengantar Pameran Seni Rupa karya Iman Sutejo, Delivered/Message Sent di Outmagz Artuary, tgl. 3-9 Oktober 2004

Bagi Anda yang tidak terbiasa dengan kultur bertukar pesan lewat short message service (SMS), judul di atas mungkin membuat Anda bingung. Asal tahu saja, judul itu harus Anda baca “I’m crazy for you, can’t you see?

Cara menulis seperti itu, yang memang tidak dianjurkan dalam pelajaran bahasa di sekolah, dimaksudkan untuk meringkas penulisan kalimat.  Itu adalah hasil inovasi anak-anak muda zaman sekarang yang bolehlah Anda sebut sebagai “generasi ponsel” atawa “generasi 160 karakter”, mengingat betapa lekatnya kehidupan harian mereka dengan alat komunikasi yang amat popular dan praktis itu. Kita tahu, jumlah karakter maksimal untuk setiap satuan SMS adalah 160 aksara. Dengan jatah yang lumayan ciut itu, kalangan “jempol baja”—sebutan untuk mereka yang gemar ber-SMS—tentu saja dituntut untuk pandai-pandai berhemat ruang. Jika prinsip ekonomi mengajarkan untuk menangguk laba sebanyak-banyaknya dengan modal pas-pasan, prinsip itu agaknya berlaku pula dalam kultur SMS, yakni, bagaimana bisa menyatakan maksud sebanyak-banyaknya dan mengetik kalimat secepat-cepatnya, dengan jumlah aksara sekecil-kecilnya. Dengan kata lain: ringkas, cepat, dan pesannya sampai. Dengan kata lain lagi: short, quick, and delivered, message sent!

Prinsip “ringkas, cepat, dan pesannya sampai” itu jugalah yang agaknya dipakai Iman Sutejo dalam pameran karyanya kali ini, yang ia beri judul Delivered/Message Sent, sebuah istilah yang dipetik dari kultur SMS yang saya singgung di atas. Lantas, pesan apa gerangan yang hendak ia sampaikan?

***

Iman Sutejo, Urban Chaos

Iman Sutejo, atau Tejo, adalah nama yang agaknya tidak cukup popular di lingkungan publik seni rupa. Tentu, ini ada sebabnya. Sejauh ini, saya kira, Tejo memang tidak atau belum bisa dikatakan sebagai perupa profesional. Yang saya maksudkan perupa profesional, sekurang-kurangnya, adalah mereka yang menjadikan seni rupa sebagai pilihan profesi atau karir. Bagi perupa profesional, jalur seni yang ia pilih akan menjadi pertaruhan yang amat penting dalam hidupnya. Sebagaimana lazim kita lihat, seorang perupa profesional akan berusaha rajin berpameran, berkarya sebanyak-banyaknya, aktif membangun jaringan, berusaha keras meningkatkan kapabilitasnya, melibatkan diri dalam program-program seni, sangat berkepentingan dengan ulasan-ulasan para kritikus (dan, tentu saja, komentar para kolektor), dan bahkan, jika profesi perupa itu sudah menjadi cita-citanya sejak lama, ia tentunya akan berusaha untuk terdidik dalam lembaga pendidikan akademis yang mengajarkan seni. Bagaimanapun, saya kira, menjadi perupa profesional memang tidak gampang. Apalagi, kompetisi di antara sesama perupa juga ketat. Seniman adalah profesi yang tidak bisa dijalani sambil lalu.

Tejo, di lain pihak, tidak berkesenian dengan semangat seorang perupa profesional. Latar belakang pendidikannya juga tidak “berbau seni”. Ia terdidik dalam disiplin Sejarah, Fakultas Sastra, UGM. Riwayat pamerannya tipis. Kuantitas karyanya belum seberapa, dan bahkan banyak di antaranya yang tidak terawat dan terdokumentasi dengan baik. Namun semua ini tidak menghalanginya untuk mencintai seni. Sejak kecil ia memang gemar melukis, atau membikin drawing dan sketsa. Tentu hal ini sah saja. Siapa berhak melarang? Siapapun boleh bikin karya seni, bukan? Di luar institusi Seni dengan “S” kapital, yang sudah terlanjur melembaga dan penuh-sesak oleh para seniman pesohor, bukankah tetap terbuka luas medan seni yang lebih aksesibel dan demokratis, yang bisa dimasuki setiap orang untuk mengaktualisasikan hasrat seninya, bermain-main dengan seni, tanpa harus dirundung beban profesionalisme?

Jadi, bahwa tetap terdapat kancah seni yang bebas, tempat semua orang bisa turut bermain dan berpartisipasi dalam merayakan seni, itulah “pesan” yang hendak disampaikan Tejo. Ia mengemas pesan itu secara ringkas dan efektif, yakni dengan langsung mengadakan pameran tunggal, sebuah ritus yang sudah mentradisi di kalangan para perupa profesional, sementara, di lain pihak, Tejo belum bisa dikotakkan dalam kelompok demikian itu. Pesan Tejo menjadi tajam karena ia menempatkan dirinya sendiri dalam kontradiksi. Ia selama ini belum menunjukkan gelagat yang menonjol bahwa ia bertekad untuk menjadi perupa profesional, dan sejauh ini melukis itu seakan-akan hanya hobi, namun ia berani meng-inaugurasi dirinya sendiri lewat ritus yang lazim dipakai para seniman. Tentang hal itu, Tejo berpendapat, “Esensi seni itu, tidak lebih, hanyalah merayakan salah satu naluri vital dalam diri setiap orang, yakni estetika. Itulah sebabnya saya tidak canggung berkesenian, kendati tidak berlatar belakang pendidikan seni. Itu sudah menjadi bagian yang wajar dalam kehidupan saya, dan merupakan medium yang paling pas bagi saya untuk mengekspresikan diri.” Dengan statemennya itu, Tejo ingin mengembalikan seni pada fungsinya yang paling dasar, yakni sebagai sarana ungkapan personal.  

Oleh sebab itulah, Tejo berkesenian tanpa beban dan tanpa pretensi. Ia tidak ngotot harus menjadi perupa profesional. Yang terpenting baginya, di sela-sela aktivitas dan berbagai peran yang ia sandang sehari-hari, tetap terbuka kesempatan baginya untuk beraktualisasi lewat seni. Ia berkesenian karena cinta, atau, seperti ia katakan sendiri, “Saya berkesenian karena ketagihan.” Tejo adalah seorang pecandu seni. Kalau tidak berkarya seni, ia akan sakaw.* Tak jauh beda dengan sikapnya kepada cewek yang ia taksir, terhadap aktivitas yang disebut berkarya seni itu pun Tejo tak akan jemu mengatakan “I’m crazy for you, can’t you see?” Jika diterjemahkan dengan lidah campuran Jawa-Jakarta, kurang-lebih akan menjadi “Tau nggak sih, gue ‘gandrung’ sama elu!” ‘Gandrung’ itu tergila-gila. Dan Tejo memang sungguh crazy. Meski tidak mendapatkan imbalan material dari cintanya terhadap seni selama bertahun-tahun, dan malah bisa dikatakan tekor melulu, kesetiaannya tiada pernah susut. Goenawan Mohamad yang penyair itu akan menyebutnya “cinta yang tak terpermanai”. Atau, seperti dikatakan dalam lirik lagunya Dewa yang mengutip sajak Kahlil Gibran, “Cinta telah cukup unuk cinta…” Romantis juga ya :-)

 ***

Iman Sutejo, Jam Kerja (Manusia Berkepala Apel)

Dalam pamerannya kali ini, Tejo bukan hanya akan memajang karya-karya lukis atau karya-karya yang sudah jadi. Ia juga merancang karya instalasi yang merupakan duplikasi atas suasana kamar kerja sekaligus studionya, tempat ia menyibukkan diri dalam kehidupan nyata sehari-hari. Segala macam perangkat yang biasa terdapat dalam ruang kerjanya ia pindahkan ke ruang pameran, termasuk berbagai sketsa dan drawing di buku-buku hariannya, coretan-coretan setengah jadi, makalah-makalah seni, berbagai poster dan undangan pameran seni, dan bahkan juga kartu remi yang menjadi hiburannya di kala senggang. Selama berlangsungnya pameran, Tejo juga akan berkarya setiap hari di ruang kerja yang telah ia pindahkan ke dalam galeri itu. Ia juga menyediakan diri untuk berinteraksi dengan pengunjung pameran, dan bahkan pengunjung juga boleh mengajaknya bermain kartu remi.

Semua benda dan aktivitas itu dimaksudkan untuk merepresentasikan seluruh proses berkesenian yang ia telah jalani hingga saat ini, yang menyatu secara sangat wajar dengan berbagai proses lain dalam kehidupannya sehari-hari. Melalui pameran ini, Tejo seakan ingin menyampaikan, “Saya juga berkesenian, tanpa harus Anda akui sebagai seniman!”

Akhirnya, saya ingin menutup esai pendek ini dengan berkirim SMS kepada Tejo: OK TEJ, GO AHEAD! Di layar ponsel saya sebentar lagi akan muncul pemberitahuan dari operator: Delivered, Message Sent.

Catatan:

* Istilah yang dipakai para pecandu narkoba untuk menyebut gejala ketagihan.