|
Bagi Anda yang tidak terbiasa dengan
kultur bertukar pesan lewat short message service (SMS),
judul di atas mungkin membuat Anda bingung. Asal tahu saja, judul
itu harus Anda baca “I’m crazy for you, can’t you see?”
Cara menulis seperti itu, yang
memang tidak dianjurkan dalam pelajaran bahasa di sekolah,
dimaksudkan untuk meringkas penulisan kalimat. Itu adalah hasil
inovasi anak-anak muda zaman sekarang yang bolehlah Anda sebut
sebagai “generasi ponsel” atawa “generasi 160 karakter”, mengingat
betapa lekatnya kehidupan harian mereka dengan alat komunikasi
yang amat popular dan praktis itu. Kita tahu, jumlah karakter
maksimal untuk setiap satuan SMS adalah 160 aksara. Dengan jatah
yang lumayan ciut itu, kalangan “jempol baja”—sebutan untuk mereka
yang gemar ber-SMS—tentu saja dituntut untuk pandai-pandai
berhemat ruang. Jika prinsip ekonomi mengajarkan untuk menangguk
laba sebanyak-banyaknya dengan modal
pas-pasan, prinsip itu agaknya berlaku pula dalam kultur SMS,
yakni, bagaimana bisa menyatakan maksud sebanyak-banyaknya dan
mengetik kalimat secepat-cepatnya, dengan jumlah aksara
sekecil-kecilnya. Dengan kata lain: ringkas, cepat, dan pesannya
sampai. Dengan kata lain lagi: short, quick, and delivered,
message sent!
Prinsip “ringkas, cepat, dan
pesannya sampai” itu jugalah yang agaknya dipakai Iman Sutejo
dalam pameran karyanya kali ini, yang ia beri judul
Delivered/Message Sent, sebuah istilah yang dipetik dari
kultur SMS yang saya singgung di atas. Lantas, pesan apa gerangan
yang hendak ia sampaikan?
***
Iman
Sutejo, Urban Chaos |
Iman Sutejo, atau Tejo, adalah nama
yang agaknya tidak cukup popular di lingkungan publik seni rupa.
Tentu, ini ada sebabnya. Sejauh ini, saya kira, Tejo memang tidak
atau belum bisa dikatakan sebagai perupa profesional. Yang saya
maksudkan perupa profesional, sekurang-kurangnya, adalah mereka
yang menjadikan seni rupa sebagai pilihan profesi atau karir. Bagi
perupa profesional, jalur seni yang ia pilih akan menjadi
pertaruhan yang amat penting dalam hidupnya. Sebagaimana lazim
kita lihat, seorang perupa profesional akan berusaha rajin
berpameran, berkarya sebanyak-banyaknya, aktif membangun jaringan,
berusaha keras meningkatkan kapabilitasnya, melibatkan diri dalam
program-program seni, sangat berkepentingan dengan ulasan-ulasan
para kritikus (dan, tentu saja, komentar para kolektor), dan
bahkan, jika profesi perupa itu sudah menjadi cita-citanya sejak
lama, ia tentunya akan berusaha untuk terdidik dalam lembaga
pendidikan akademis yang mengajarkan seni. Bagaimanapun, saya
kira, menjadi perupa profesional memang tidak gampang. Apalagi,
kompetisi di antara sesama perupa juga ketat. Seniman adalah
profesi yang tidak bisa dijalani sambil lalu.
Tejo, di lain pihak, tidak
berkesenian dengan semangat seorang perupa profesional. Latar
belakang pendidikannya juga tidak “berbau seni”. Ia terdidik dalam
disiplin Sejarah, Fakultas Sastra, UGM. Riwayat pamerannya tipis.
Kuantitas karyanya belum seberapa, dan bahkan banyak di antaranya
yang tidak terawat dan terdokumentasi dengan baik. Namun semua ini
tidak menghalanginya untuk mencintai seni. Sejak kecil ia memang
gemar melukis, atau membikin drawing dan sketsa. Tentu hal
ini sah saja. Siapa berhak melarang? Siapapun boleh bikin karya
seni, bukan? Di luar institusi Seni dengan “S” kapital, yang sudah
terlanjur melembaga dan penuh-sesak oleh para seniman pesohor,
bukankah tetap terbuka luas medan seni yang lebih aksesibel dan
demokratis, yang bisa dimasuki setiap orang untuk
mengaktualisasikan hasrat seninya, bermain-main dengan seni, tanpa
harus dirundung beban profesionalisme?
Jadi, bahwa tetap terdapat kancah
seni yang bebas, tempat semua orang bisa turut bermain dan
berpartisipasi dalam merayakan seni, itulah “pesan” yang hendak
disampaikan Tejo. Ia mengemas pesan itu secara ringkas dan
efektif, yakni dengan langsung mengadakan pameran tunggal, sebuah
ritus yang sudah mentradisi di kalangan para perupa profesional,
sementara, di lain pihak, Tejo belum bisa dikotakkan dalam
kelompok demikian itu. Pesan Tejo menjadi tajam karena ia
menempatkan dirinya sendiri dalam kontradiksi. Ia selama ini belum
menunjukkan gelagat yang menonjol bahwa ia bertekad untuk menjadi
perupa profesional, dan sejauh ini melukis itu seakan-akan hanya
hobi, namun ia berani meng-inaugurasi dirinya sendiri lewat ritus
yang lazim dipakai para seniman. Tentang hal itu, Tejo
berpendapat, “Esensi seni itu, tidak lebih, hanyalah merayakan
salah satu naluri vital dalam diri setiap orang, yakni estetika.
Itulah sebabnya saya tidak canggung berkesenian, kendati tidak
berlatar belakang pendidikan seni. Itu sudah menjadi bagian yang
wajar dalam kehidupan saya, dan merupakan medium yang paling pas
bagi saya untuk mengekspresikan diri.” Dengan statemennya itu,
Tejo ingin mengembalikan seni pada fungsinya yang paling dasar,
yakni sebagai sarana ungkapan personal.
Oleh sebab itulah, Tejo berkesenian
tanpa beban dan tanpa pretensi. Ia tidak ngotot harus menjadi
perupa profesional. Yang terpenting baginya, di sela-sela
aktivitas dan berbagai peran yang ia sandang sehari-hari, tetap
terbuka kesempatan baginya untuk beraktualisasi lewat seni. Ia
berkesenian karena cinta, atau, seperti ia katakan sendiri, “Saya
berkesenian karena ketagihan.” Tejo adalah seorang pecandu seni.
Kalau tidak berkarya seni, ia akan sakaw.* Tak jauh beda
dengan sikapnya kepada cewek yang ia taksir, terhadap aktivitas
yang disebut berkarya seni itu pun Tejo tak akan jemu mengatakan “I’m
crazy for you, can’t you see?” Jika diterjemahkan dengan lidah
campuran Jawa-Jakarta, kurang-lebih akan menjadi “Tau nggak sih,
gue ‘gandrung’ sama elu!” ‘Gandrung’ itu tergila-gila. Dan Tejo
memang sungguh crazy. Meski tidak mendapatkan imbalan
material dari cintanya terhadap seni selama bertahun-tahun, dan
malah bisa dikatakan tekor melulu, kesetiaannya tiada pernah
susut. Goenawan Mohamad yang penyair itu akan menyebutnya “cinta
yang tak terpermanai”. Atau, seperti dikatakan dalam lirik lagunya
Dewa yang mengutip sajak Kahlil Gibran, “Cinta telah cukup unuk
cinta…” Romantis juga ya :-)
***
Iman Sutejo,
Jam Kerja (Manusia Berkepala Apel)
|
Dalam
pamerannya kali ini, Tejo bukan hanya akan memajang
karya-karya lukis atau karya-karya yang sudah jadi. Ia juga
merancang karya instalasi yang merupakan duplikasi atas
suasana kamar kerja sekaligus studionya, tempat ia menyibukkan
diri dalam kehidupan nyata sehari-hari. Segala macam perangkat
yang biasa terdapat dalam ruang kerjanya ia pindahkan ke ruang
pameran, termasuk berbagai sketsa dan drawing di
buku-buku hariannya, coretan-coretan setengah jadi,
makalah-makalah seni, berbagai poster dan undangan pameran
seni, dan bahkan juga kartu remi yang menjadi hiburannya di
kala senggang. Selama
berlangsungnya pameran, Tejo juga akan berkarya setiap hari
di ruang kerja yang telah ia pindahkan ke dalam galeri itu. Ia
juga menyediakan diri untuk berinteraksi dengan pengunjung
pameran, dan bahkan pengunjung juga boleh mengajaknya bermain
kartu remi.
Semua benda dan aktivitas itu
dimaksudkan untuk merepresentasikan seluruh proses berkesenian
yang ia telah jalani hingga saat ini, yang menyatu secara sangat
wajar dengan berbagai proses lain dalam kehidupannya sehari-hari.
Melalui pameran ini, Tejo seakan ingin menyampaikan, “Saya juga
berkesenian, tanpa harus Anda akui sebagai seniman!”
Akhirnya, saya ingin menutup esai
pendek ini dengan berkirim SMS kepada Tejo: OK TEJ, GO AHEAD! Di
layar ponsel saya sebentar lagi akan muncul pemberitahuan dari
operator: Delivered, Message Sent.
Catatan:
* Istilah yang dipakai para pecandu
narkoba untuk menyebut gejala ketagihan.
|
|