|
Dalam
wacana pemikiran mutakhir, fenomena diaspora menarik banyak
perhatian dan dibicarakan dalam kaitannya dengan tema-tema
kontemporer lainnya seperti ras dan etnisitas, diskriminasi,
nasionalisme, multikulturalisme, pascakolonialisme, kreolisasi,
politik identitas dan hibriditas kultural, serta globalisasi.
Dalam artikel pendek ini saya akan mencoba mengaitkan fenomena
diaspora dengan tema identitas dan tanah asal, dan kemungkinan
implikasinya bagi kreasi seni.
Istilah
"diaspora" pada mulanya mengacu secara spesifik pada
fenomena pemencaran bangsa Yahudi ke berbagai kawasan dunia sejak
dihancurkannya Bait Suci oleh Nebukadnezar pada tahun 586 SM dan
dibuangnya mereka ke Babilonia. Dikarenakan latar belakang
historis itulah bangsa Yahudi dikatakan sebagai kaum diaspora atau
hidup dalam diaspora. Pada perkembangannya kemudian, istilah
diaspora juga mengacu pada fenomena pemencaran serupa itu yang —
dikarenakan berbagai sebab — dialami pula oleh bangsa-bangsa
lain, misalnya para imigran Afrika yang bermukim di Amerika,
bangsa India yang menetap di Inggris, koloni suku Jawa di
Suriname, perantauan Cina yang tinggal di Indonesia (yang oleh
Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "hoakiau di
Indonesia"), dan sebagainya. Ringkasnya, diaspora adalah
fenomena tercerabutnya seseorang atau suatu kaum dari kawasan yang
diasumsikan sebagai tanah asalnya. Fenomena diaspora menjadi
problematis karena tanah asal lazim diangap sebagai salah satu
komponen penting dalam bangunan identitas individu atau kelompok.
Tanah
asal (homeland) tidak pernah semata-mata merupakan fakta
geografis seperti yang lazim digambar dalam peta, melainkan juga
suatu lingkungan imajiner, ranah simbolik, atau suatu
"tempat" (place) yang dengannya identitas
seseorang dikonstruksikan. Suatu lokasi belumlah bermakna sebagai
"tempat" sampai kemudian ada orang-orang yang lahir,
tumbuh, tinggal, mengakrabi, dan mati di situ, dalam proses jangka
panjang yang melahirkan memori kolektif dan narasi bersama. Narasi
demikian itu — misalnya berupa mitos berdirinya tempat itu,
kisah tentang bencana alam yang dialami bersama — menjadi faktor
penting yang mempertalikan para anggota komunitas satu sama lain
dan melahirkan identitas personal dan kelompok, dalam asosiasinya
yang erat dengan tempat di mana identitas itu dikonstruksi.
Orang-orang
yang mengenal dan menghayati narasi kolektif itu dianggap sebagai
"orang dalam", sedangkan mereka yang asing dengan narasi
itu dianggap "orang luar". Apa yang tampak di mata
"orang luar" hanyalah berupa "lanskap visual",
atribut-atribut fisik suatu tempat, sedangkan yang tampak bagi
"orang dalam" mencakup pula "lanskap yang
dihayati", atribut-atribut tersembunyi yang dipersepsi dalam
kerangka emosional dan eksperiensial. Seperti dikatakan Stuart
Hall dalam "Stitching Yourself in Place": "It is
an imaginative geography in part which produces the places to
which we belong."
Tanah
asal dengan demikian lebih merupakan suatu lingkungan simbolik
yang dikonstruksi secara sosial. Kerinduan terhadap tanah asal
sesungguhnya adalah kebutuhan akan sesuatu yang mampu menghidupkan
kembali memori kolektif yang telah turut menyusun identitas
seseorang. Dengan terasingkan dari tanah asal, kaum diaspora
merasa bahwa dirinya terjauhkan dari narasi kolektif yang mereka
hayati, yang dengan demikian merongrong pula identitasnya. Karena
itulah orang Jawa di Suriname, misalnya, mengundang Mus Mulyadi
atau Waljinah untuk menyanyikan lagu-lagu Jawa di sana, demi
mengukuhkan kembali ikatan kolektif dan identitasnya sebagai
sebuah kaum — suatu tindakan yang lebih bersifat eskatologis,
berupa pemeliharaan suatu utopia agar hidup ini lebih tertahankan.
Namun
seiring dengan perkembangan teknologi yang mempercepat mobilitas
manusia dan menggerus batas-batas kultural, pengertian identitas
yang esensialis demikian itu — yakni bahwa identitas ditentukan
oleh tempat asal yang tetap dan pasti — dianggap tak memadai
lagi. Menurut pandangan baru, identitas lebih diciptakan bersama
gerak perpindahan terus-menerus, senantiasa berada dalam proses,
dan didefinisikan di dalam berbagai konteks yang tak pernah abadi,
yakni, lebih berkaitan dengan pertanyaan "di mana?" dan
bukan "dari mana?". Dengan demikian identitas lebih
merupakan pilihan-pilihan daripada keniscayaan. Dalam kontrasnya
dengan konsepsi lama yang statis, pengertian baru tentang
identitas inilah yang diidentifikasi sebagai perbedaan antara
"root" (yang mengindikasikan tanah asal) dan
"route" (yang mengindikasikan gerak dan
perjalanan).
Sementara
itu "tempat" dalam fungsinya yang tradisional sebagai
tanah asal pun semakin tergusur oleh apa yang disebut
"bukan-tempat" (non-place).
"Bukan-tempat" adalah ruang yang tak bisa ditempati,
lebih berfungsi sebagai situs bagi gerak dan perjalanan, yang
bertolak belakang dengan sifat "tempat" yang relasional,
historis, dan berkaitan erat dengan identitas.
"Bukan-tempat" bisa berupa bandara, jalan raya, atau
area konsumsi massa seperti supermarket dan mal. Jika
"tempat" lebih bersifat familiar, mudah dikenali, dan
berfungsi sebagai sarana pengukuhan diri komunitas dalam ruang dan
waktu, sedangkan "bukan-tempat" menawarkan
familiaritas-semu, kesementaraan, dan penundaan identitas. Yang
tercipta hanyalah identitas-bersama dari sesama pelaku perjalanan.
Identitas hanya diperlukan di beberapa checkpoints di
sepanjang perjalanan, seperti ketika harus menunjukkan paspor,
kartu pengenal, atau nomor ID. Dengan demikian, orang-orang yang
senantiasa berada dalam mobilitas dan mendefinisikan identitasnya
dalam konteks yang senantiasa berubah ini, secara metaforis,
adalah juga kaum diaspora yang terasingkan dari "tempat"
dan terbebaskan dari ikatan dengan tanah asal.
Di
samping itu, kehadiran internet yang menawarkan ruang maya juga
mendorong dilakukannya redefinisi atas "tempat" dan
memperkuat makna kehadiran "bukan-tempat". Ruang maya
adalah "tempat" dalam pengertian baru, di mana
"tempat" justru bersifat cair dan digital, sementara
identitas pun bersifat hibrida dan majemuk. Ruang maya adalah
"tempat" yang sekaligus "bukan-tempat" karena
ia merangkum sifat keduanya sekaligus.
Dalam
kaitannya dengan kreasi seni, pengalaman diaspora serta gagasan
baru tentang identitas dan "tempat" tentunya adalah
tema-tema yang kaya dengan pelbagai kemungkinan yang menarik untuk
dieksplorasi. Seni adalah wilayah kreatif, dan kreativitas selalu
menuntut dinamika pemikiran. Bagaimana menerjemahkan pengalaman
diaspora menjadi karya kreatif, misalnya, dicontohkan oleh
sastrawan Milan Kundera, yang pernah terusir dari tanah airnya
sendiri, Cekoslovakia. Berkaitan dengan novelnya yang dia tulis di
pengasingan, The Book of Laughter and Forgetting, Kundera
berpendapat: "Bagi seorang penulis, pengalaman hidup di
sejumlah negeri sangat bermanfaat. Anda hanya bisa memahami dunia
jika meninjaunya dari beragam sisi. Buku saya yang terakhir, yang
ditulis di Prancis, membuka ruang geografis yang menarik:
peristiwa yang terjadi di Praha ditinjau lewat sudut pandang Eropa
Barat, sedangkan apa yang terjadi di Prancis dilihat dengan
kacamata Praha. Ini adalah pertemuan antara dua dunia." (New
York Times, 30 November 1980).
Dalam
bidang seni rupa, penerjemahan antarbudaya demikian itu pun sangat
mungkin dilakukan. Saat ini bisa dikatakan cukup banyak perupa
Indonesia yang bermukim di luar negeri, dan sebaliknya, banyak
pula perupa asing yang tinggal di Indonesia, di samping berbagai event
internasional yang mendorong pertukaran antarbudaya kian intensif
serta perkembangan teknologi komunikasi yang memang membawa
keniscayaan globalisasi. Kenyataan ini pertama-tama tentu membawa
implikasi praktis berupa terbukanya jaringan kesenian yang jauh
lebih luas. Sedangkan implikasinya yang lebih mendasar bagi
kreativitas seni adalah ditemukannya pengalaman-pengalaman yang
merangsang eksperimen artistik dikarenakan interaksi dengan kultur
asing yang secara kualitatif berbeda dari konstruksi simbolik yang
semula dihayati seorang seniman, serta refleksi atas kehidupan
diaspora yang mungkin akan menggoyahkan prasangka-prasangka
tradisional yang semula diyakini.
Terbukanya
cakrawala baru, saya kira, senantiasa mengandaikan terbukanya
kawasan eksplorasi artistik baru, di mana batasan-batasan lama
yang sempit lantas perlu digugat dan dibatalkan. Seperti dikatakan
Salman Rushdie dalam Imaginary Homelands: "Dampak
migrasi massa adalah terciptanya jenis-jenis manusia baru secara
radikal: orang-orang yang lebih mendasarkan diri pada ide
ketimbang pada tempat, mengacu pada memori sebagaimana pada
benda-benda material; orang-orang yang diharuskan mendefinisikan
dirinya sendiri." []
|
|