- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

Diaspora, Identitas, dan Kreasi Seni

Sigit Djatmiko

Versi cetak artikel ini bisa dibaca di majalah Surat, terbitan Yayasan Seni Cemeti, vol. 09, Maret 2001

Dalam wacana pemikiran mutakhir, fenomena diaspora menarik banyak perhatian dan dibicarakan dalam kaitannya dengan tema-tema kontemporer lainnya seperti ras dan etnisitas, diskriminasi, nasionalisme, multikulturalisme, pascakolonialisme, kreolisasi, politik identitas dan hibriditas kultural, serta globalisasi. Dalam artikel pendek ini saya akan mencoba mengaitkan fenomena diaspora dengan tema identitas dan tanah asal, dan kemungkinan implikasinya bagi kreasi seni.

 

Istilah "diaspora" pada mulanya mengacu secara spesifik pada fenomena pemencaran bangsa Yahudi ke berbagai kawasan dunia sejak dihancurkannya Bait Suci oleh Nebukadnezar pada tahun 586 SM dan dibuangnya mereka ke Babilonia. Dikarenakan latar belakang historis itulah bangsa Yahudi dikatakan sebagai kaum diaspora atau hidup dalam diaspora. Pada perkembangannya kemudian, istilah diaspora juga mengacu pada fenomena pemencaran serupa itu yang — dikarenakan berbagai sebab — dialami pula oleh bangsa-bangsa lain, misalnya para imigran Afrika yang bermukim di Amerika, bangsa India yang menetap di Inggris, koloni suku Jawa di Suriname, perantauan Cina yang tinggal di Indonesia (yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "hoakiau di Indonesia"), dan sebagainya. Ringkasnya, diaspora adalah fenomena tercerabutnya seseorang atau suatu kaum dari kawasan yang diasumsikan sebagai tanah asalnya. Fenomena diaspora menjadi problematis karena tanah asal lazim diangap sebagai salah satu komponen penting dalam bangunan identitas individu atau kelompok.

 

Tanah asal (homeland) tidak pernah semata-mata merupakan fakta geografis seperti yang lazim digambar dalam peta, melainkan juga suatu lingkungan imajiner, ranah simbolik, atau suatu "tempat" (place) yang dengannya identitas seseorang dikonstruksikan. Suatu lokasi belumlah bermakna sebagai "tempat" sampai kemudian ada orang-orang yang lahir, tumbuh, tinggal, mengakrabi, dan mati di situ, dalam proses jangka panjang yang melahirkan memori kolektif dan narasi bersama. Narasi demikian itu — misalnya berupa mitos berdirinya tempat itu, kisah tentang bencana alam yang dialami bersama — menjadi faktor penting yang mempertalikan para anggota komunitas satu sama lain dan melahirkan identitas personal dan kelompok, dalam asosiasinya yang erat dengan tempat di mana identitas itu dikonstruksi.

 

Orang-orang yang mengenal dan menghayati narasi kolektif itu dianggap sebagai "orang dalam", sedangkan mereka yang asing dengan narasi itu dianggap "orang luar". Apa yang tampak di mata "orang luar" hanyalah berupa "lanskap visual", atribut-atribut fisik suatu tempat, sedangkan yang tampak bagi "orang dalam" mencakup pula "lanskap yang dihayati", atribut-atribut tersembunyi yang dipersepsi dalam kerangka emosional dan eksperiensial. Seperti dikatakan Stuart Hall dalam "Stitching Yourself in Place": "It is an imaginative geography in part which produces the places to which we belong."

 

Tanah asal dengan demikian lebih merupakan suatu lingkungan simbolik yang dikonstruksi secara sosial. Kerinduan terhadap tanah asal sesungguhnya adalah kebutuhan akan sesuatu yang mampu menghidupkan kembali memori kolektif yang telah turut menyusun identitas seseorang. Dengan terasingkan dari tanah asal, kaum diaspora merasa bahwa dirinya terjauhkan dari narasi kolektif yang mereka hayati, yang dengan demikian merongrong pula identitasnya. Karena itulah orang Jawa di Suriname, misalnya, mengundang Mus Mulyadi atau Waljinah untuk menyanyikan lagu-lagu Jawa di sana, demi mengukuhkan kembali ikatan kolektif dan identitasnya sebagai sebuah kaum — suatu tindakan yang lebih bersifat eskatologis, berupa pemeliharaan suatu utopia agar hidup ini lebih tertahankan.

 

Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang mempercepat mobilitas manusia dan menggerus batas-batas kultural, pengertian identitas yang esensialis demikian itu — yakni bahwa identitas ditentukan oleh tempat asal yang tetap dan pasti — dianggap tak memadai lagi. Menurut pandangan baru, identitas lebih diciptakan bersama gerak perpindahan terus-menerus, senantiasa berada dalam proses, dan didefinisikan di dalam berbagai konteks yang tak pernah abadi, yakni, lebih berkaitan dengan pertanyaan "di mana?" dan bukan "dari mana?". Dengan demikian identitas lebih merupakan pilihan-pilihan daripada keniscayaan. Dalam kontrasnya dengan konsepsi lama yang statis, pengertian baru tentang identitas inilah yang diidentifikasi sebagai perbedaan antara "root" (yang mengindikasikan tanah asal) dan "route" (yang mengindikasikan gerak dan perjalanan).

 

Sementara itu "tempat" dalam fungsinya yang tradisional sebagai tanah asal pun semakin tergusur oleh apa yang disebut "bukan-tempat" (non-place). "Bukan-tempat" adalah ruang yang tak bisa ditempati, lebih berfungsi sebagai situs bagi gerak dan perjalanan, yang bertolak belakang dengan sifat "tempat" yang relasional, historis, dan berkaitan erat dengan identitas. "Bukan-tempat" bisa berupa bandara, jalan raya, atau area konsumsi massa seperti supermarket dan mal. Jika "tempat" lebih bersifat familiar, mudah dikenali, dan berfungsi sebagai sarana pengukuhan diri komunitas dalam ruang dan waktu, sedangkan "bukan-tempat" menawarkan familiaritas-semu, kesementaraan, dan penundaan identitas. Yang tercipta hanyalah identitas-bersama dari sesama pelaku perjalanan. Identitas hanya diperlukan di beberapa checkpoints di sepanjang perjalanan, seperti ketika harus menunjukkan paspor, kartu pengenal, atau nomor ID. Dengan demikian, orang-orang yang senantiasa berada dalam mobilitas dan mendefinisikan identitasnya dalam konteks yang senantiasa berubah ini, secara metaforis, adalah juga kaum diaspora yang terasingkan dari "tempat" dan terbebaskan dari ikatan dengan tanah asal. 

 

Di samping itu, kehadiran internet yang menawarkan ruang maya juga mendorong dilakukannya redefinisi atas "tempat" dan memperkuat makna kehadiran "bukan-tempat". Ruang maya adalah "tempat" dalam pengertian baru, di mana "tempat" justru bersifat cair dan digital, sementara identitas pun bersifat hibrida dan majemuk. Ruang maya adalah "tempat" yang sekaligus "bukan-tempat" karena ia merangkum sifat keduanya sekaligus.

 

Dalam kaitannya dengan kreasi seni, pengalaman diaspora serta gagasan baru tentang identitas dan "tempat" tentunya adalah tema-tema yang kaya dengan pelbagai kemungkinan yang menarik untuk dieksplorasi. Seni adalah wilayah kreatif, dan kreativitas selalu menuntut dinamika pemikiran. Bagaimana menerjemahkan pengalaman diaspora menjadi karya kreatif, misalnya, dicontohkan oleh sastrawan Milan Kundera, yang pernah terusir dari tanah airnya sendiri, Cekoslovakia. Berkaitan dengan novelnya yang dia tulis di pengasingan, The Book of Laughter and Forgetting, Kundera berpendapat: "Bagi seorang penulis, pengalaman hidup di sejumlah negeri sangat bermanfaat. Anda hanya bisa memahami dunia jika meninjaunya dari beragam sisi. Buku saya yang terakhir, yang ditulis di Prancis, membuka ruang geografis yang menarik: peristiwa yang terjadi di Praha ditinjau lewat sudut pandang Eropa Barat, sedangkan apa yang terjadi di Prancis dilihat dengan kacamata Praha. Ini adalah pertemuan antara dua dunia." (New York Times, 30 November 1980).

 

Dalam bidang seni rupa, penerjemahan antarbudaya demikian itu pun sangat mungkin dilakukan. Saat ini bisa dikatakan cukup banyak perupa Indonesia yang bermukim di luar negeri, dan sebaliknya, banyak pula perupa asing yang tinggal di Indonesia, di samping berbagai event internasional yang mendorong pertukaran antarbudaya kian intensif serta perkembangan teknologi komunikasi yang memang membawa keniscayaan globalisasi. Kenyataan ini pertama-tama tentu membawa implikasi praktis berupa terbukanya jaringan kesenian yang jauh lebih luas. Sedangkan implikasinya yang lebih mendasar bagi kreativitas seni adalah ditemukannya pengalaman-pengalaman yang merangsang eksperimen artistik dikarenakan interaksi dengan kultur asing yang secara kualitatif berbeda dari konstruksi simbolik yang semula dihayati seorang seniman, serta refleksi atas kehidupan diaspora yang mungkin akan menggoyahkan prasangka-prasangka tradisional yang semula diyakini.

 

Terbukanya cakrawala baru, saya kira, senantiasa mengandaikan terbukanya kawasan eksplorasi artistik baru, di mana batasan-batasan lama yang sempit lantas perlu digugat dan dibatalkan. Seperti dikatakan Salman Rushdie dalam Imaginary Homelands: "Dampak migrasi massa adalah terciptanya jenis-jenis manusia baru secara radikal: orang-orang yang lebih mendasarkan diri pada ide ketimbang pada tempat, mengacu pada memori sebagaimana pada benda-benda material; orang-orang yang diharuskan mendefinisikan dirinya sendiri." []