- SITUS WEB PRIBADI SIGIT DJATMIKO -

Yang Seni dan Yang Sehari-Hari

Catatan Awam tentang Biennale Countrybution

Sigit Djatmiko

Versi lebih ringkas artikel ini bisa dibaca di Koran Tempo, 30 Oktober 2003

Mengunjungi perhelatan seni yang bertajuk "Countrybution: Biennale Yogyakarta VII 2003", apa yang akan bisa dicatat oleh orang-orang seperti saya, para pengunjung awam, yang tidak termasuk dalam kategori seniman, kurator, kritikus seni, apalagi kolektor karya seni? 

 

Sebagai salah satu penggembira awam, yang tentu tidak fasih memainkan "jurus" apresiasi berdasarkan "buku panduan" kritik seni, saya sadar bahwa saya harus menemukan landasan berpijak sendiri, yang barangkali sederhana saja, agar lebih bisa memahami dan mengapresiasi peristiwa seni yang sophisticated ini, atau setidaknya untuk menjawab pertanyaan awal, "Apa sih biennale itu?" Tanpa landasan pemahaman demikian itu, barangkali saya hanya akan menyerupai seorang turis yang tersesat di antara tebaran objek-objek dan parade citra yang membingungkan, yang seakan menyubversi konstruksi kognitif saya tentang kelaziman.

 

Bayangkan saja, sebuah ruangan yang luas, dan megah, dan mewah, dengan pintu kaca dan dilengkapi alat pendingin ruangan yang mahal, dengan atmosfer yang terasa kaku dan formal, mungkin lebih mirip ruang kerja para eksekutif sebuah jawatan, namun di dalamnya saya tak menemukan benda-benda yang lazimnya hadir dalam sebuah ruang perkantoran. Sebaliknya, yang saya saksikan adalah centang-perenang beraneka objek dan citra-citra visual, yang ditata dengan beraneka gaya dan selera: sebuah brikolase yang jarang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pengunjung awam, yang tak tahu-menahu tentang apa saja yang terjadi dalam pertarungan wacana seni kontemporer, pasti akan terbengong-bengong dan bertanya-tanya: "Ini acara apa ya?", "Biennale itu apaan?" Kemungkinan terjadinya kebingungan seperti itu, serta munculnya kontras yang menarik antara hajatan seni mutakhir ini dengan kehidupan sehari-hari "orang biasa", akan terasa lebih besar jika kita mengingat betapa gedung Taman Budaya Yogyakarta, tempat diselenggarakannya acara itu,  berada di sebuah lokasi yang dikepung oleh pasar buah dan sayur-mayur yang sangat hiruk-pikuk, lengkap dengan "wacana kontemporer" para bakul dan tengkulak, yang pasti tak kalah heboh dibandingkan wacana kontemporer seni itu sendiri.

 

Representasi Pencapaian Praktik Seni

Demi menemukan titik-tolak pemahaman itulah, saya akan mengutip pernyataan dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY), penyelenggara utama perhelatan ini: "Biennale memang dilahirkan dengan harapan akan menjadi puncak pengembangan seni rupa di Yogyakarta …" Ini adalah official statement yang termaktub dalam Kata Sambutan TBY, yang juga dimuat dalam katalog pameran. Saya kira, saya bisa memanfaatkan pernyataan resmi itu sebagai perangkat untuk menyusun pemahaman awal. Selain lugas dan mudah dipahami, pernyataan itu pun saya anggap cukup otoritatif; katakanlah, ia merupakan raison d’κtre yang diyakini oleh penyelenggara pameran ini. Dari situ saya tahu, Biennale Countrybution diselenggarakan kurang-lebih sebagai medium representasi, untuk menunjukkan kepada publik, seperti apakah perkembangan seni di Yogyakarta dalam kurun waktu tertentu. (Lazimnya dalam kurun waktu dua tahun. Namun karena penyelenggaraan biennale di Jogja pernah tertunda, berarti biennale kali ini saya anggap "menyimpulkan" perkembangan praktik seni di Jogja sejak diselenggarakannya biennale yang terakhir, yakni pada tahun 1999, atau kurun waktu empat tahun). Biennale dengan demikian diharapkan sebagai milestone yang menandai puncak pencapaian praktik seni. Setidaknya, demikian itulah harapan penyelenggara biennale, dan saya kira harapan itu sah saja. Dan, dengan demikian, seperti itu jugalah pemahaman awam saya tentang apa itu biennale.

 

Para Seniman Muda

Selanjutnya, persepsi saya yang awal dan awam itu lebih diperkaya oleh pernyataan kurator perhelatan seni ini, yakni Hendro Wiyanto, sebagai berikut: "Tak kurang dari separuh peserta biennale kali ini adalah nama-nama baru yang belum pernah tampil dalam forum-forum biennale sebelumnya." Pernyataan ini termaktub dalam narasi pertanggungjawaban kuratorial yang ditulis Hendro Wiyanto, yang juga tercantum dalam katalog pameran. Kebetulan, seniman-kritikus Agung Kurniawan juga mengutarakan hal senada dalam makalahnya untuk kepentingan diskusi biennale ini: "Sebagian besar pesertanya adalah seniman muda, itu secara langsung menggambarkan bahwa seni rupa di Yogyakarta ini diwarnai dengan kelahiran banyak seniman muda setiap tahunnya" (Agung Kurniawan, "Youth(yakarta) Bienial: Pameran Seni Rupa dari Ibu Kota Plesetan Indonesia"). Kedua pernyataan itu menggambarkan tahap pemahaman saya yang lebih lanjut, yakni bahwa partisipasi para seniman muda dalam perhelatan Biennale Countrybution ini cukup signifikan. Biodata para seniman yang tercantum dalam katalog pameran juga membantu saya untuk melakukan verifikasi dan validasi atas informasi di atas. Berdasarkan keterangan yang saya peroleh dalam biodata itu, banyak di antara seniman yang terlibat dalam acara kesenian penting ini adalah generasi yang lahir pada dasawarsa 1970-an dan bahkan 1980-an.

 

Pemahaman saya tentang apa itu biennale juga sedikit lebih diperkaya dengan mengikuti beberapa sesi diskusi tentang biennale, yang menampilkan para pesohor dalam lingkup wacana seni. Saya katakan "sedikit", karena bagi saya baku-argumentasi dalam diskusi-diskusi itu lebih banyak membingungkan daripada menerangi pemahaman. Apalagi yang terutama menjadi biang keributan dalam diskusi itu adalah tajuk dari acara biennale itu sendiri yang memang tak mudah dijabarkan, yakni "Countrybution", sebuah istilah yang barangkali akan segera menjadi lema (entry) baru dalam kamus bahasa plesetan.

 

Saya tidak akan ikut-ikutan menceburkan diri dalam kubangan pertikaian yang tak sepenuhnya saya mengerti itu, atau mendaki undak-undakan kritik dan skeptisisme yang tak berkesudahan. Saya cenderung memilih pendekatan yang positif saja dalam menyusun catatan tentang acara biennale ini. Saya akan bertolak dari kepercayaan bahwa, pertama, Biennale Countrybution memang diadakan dengan harapan agar menjadi tonggak pencapaian seni rupa di Yogyakarta dan bahwa acara itu telah diselenggarakan dengan sebaik-baiknya, dan kedua, fakta bahwa banyak di antara pesertanya adalah para seniman muda.

 

Simulasi Ruang

Tanpa bermaksud mengurangi bobot dan arti penting karya-karya para perupa yang lebih senior seperti Agus Suwage, Anusapati, Dadang Christanto, Hanura Hosea, Heri Dono, Mella Jaarsma, Agus Ismoyo dan Nia Fliam, saya ingin mencatat kesan saya ketika menonton karya para perupa muda. Itu pun tidak semuanya. Saya hanya ingin memberikan catatan atas empat karya yang menggelitik keinginan saya untuk mengutak-atik tafsir dan dugaan. Masing-masing adalah karya RM Sony Irawan, kelompok Ruang MESS 56, Bunga Jeruk Permata Pekerti, serta karya kolaborasi antara Bambang "Toko" Witjaksono, Wildan Antares, dan Handiwirman. Pada hemat saya, ada kemiripan tema di antara keempat karya itu, yakni "menghadirkan ruang".

 

Di dalam galeri biennale, Sony Irawan menghadirkan "distro", istilah yang kini banyak digunakan dalam "bahasa gaul" anak-anak muda. Distro adalah singkatan dari distribution outlet. Distro tak lain adalah gerai yang menjual produk-produk "indie label" — ini istilah yang sedang trendy juga — yakni barang-barang konsumsi yang diproduksi oleh anak-anak muda secara independen dan dipasarkan melalui jaringan distribusi independen. Lazimnya barang-barang itu berupa CD kompilasi musik-musik indie, kaus oblong, majalah indie, pin, poster, dan pernak-pernik lain yang lazim dikenakan anak muda sebagai lambang identitas. Lewat karya distronya yang bertajuk "The Problem is You", Sony benar-benar menyediakan merchandise yang bisa dibeli oleh pengunjung.

 

Kelompok MESS 56 menghadirkan karya yang menduplikasi ruang studio foto, yang mereka beri judul "Keren dan Beken". Berpuluh-puluh foto hasil jepretan mereka pada acara pembukaan biennale dipajang di studio itu. Si pemilik wajah yang kebetulan fotonya terpajang di situ bisa menebusnya dengan uang sekian ribu rupiah. Karya ini mengadopsi kebiasaan yang dilakukan para fotografer komersial pada acara-acara wisuda mahasiswa: memotret para wisudawan dan menjual hasil jepretannya.

 

Karya Bunga Jeruk yang bertajuk "Sitting Pretty" adalah semacam simulasi ruang museum yang manis dan riang. Ada lukisan, boneka, sepeda mini, dan baju anak-anak yang menyemarakkan ruang itu. Selama sepekan, para pengunjung diperkenankan berfoto di situ dan mengambil fotonya pada pekan berikutnya.

 

Karya kolaborasi Bambang "Toko", Wildan Antares, dan Handiwirman bertajuk "Produksi Gula Jawa". Yang saya saksikan pada karya itu adalah sebuah simulasi ruang yang mengingatkan kita pada ruang tamu priyayi Jawa. Ada kursi rotan, lemari pajangan, mesin jahit kuno, majalah kuno, kaset-kaset lawas. Ruang tamu ini menjual gula Jawa yang dikemas dengan merek "Semanis Cintamu" plus gambar seorang gadis yang tersenyum manis.

 

Batas-Batas yang Ambrol

Bagi saya, yang menarik pada karya-karya para seniman muda ini adalah bahwa yang dihadirkan bukan sekadar objek melainkan ruang, dan bahkan ruang yang sangat lazim dijumpai di luar galeri, sekaligus disertai objek-objek dan aktivitas interpersonalnya yang sangat lumrah, misalnya kegiatan berfoto, jual-beli, atau sekadar duduk-duduk dan mengobrol. (Saya sempat duduk dan ngobrol santai di "ruang tamu" Bambang "Toko" dkk., sambil mengunyah gula Jawa, dan rasanya memang asyik!).

 

Ruang-ruang hasil simulasi itu lantas memancing sejumlah persoalan dalam benak saya: penumpang-tindihan antara ruang seni dan ruang sehari-hari, antara objek seni dan objek sehari-hari. Bayangkan, di dalam galeri biennale, pengunjung bisa menjumpai distro dan membeli kaus oblong di situ. Ini nyaris tak berbeda dengan jalan-jalan ke Malioboro Mal dan berbelanja sepatu di gerai Bata atau berbelanja buku di gerai Gramedia. Dengan demikian, apakah objek dan ruang sehari-hari lantas dengan sendirinya menjadi karya seni ketika diboyong ke dalam galeri? Di manakah sesungguhnya batas antara seni dan bukan seni? Kekuatan apakah yang dengan sedemikian otoritatif mampu mendefinisikan objek sehari-hari menjadi karya seni? Apakah karya seni sesungguhnya hanyalah objek sehari-hari juga, yang sangat biasa? Jika karya seni tak lebih dari objek yang lumrah belaka, lantas mengapa ia perlu dirayakan besar-besaran, diulas panjang-lebar, diperdebatkan, ditandai dengan tonggak-tonggak pencapaian, dan bahkan dihargai jutaan rupiah, yang jauh melampaui nilai materialitas karya itu sendiri?

 

Barangkali ini adalah pertanyaan bodoh, persoalan yang terlalu naif, yang sejak jauh hari telah "dilampaui" oleh para advokat seni di Indonesia. Tapi, sekali lagi, tulisan ini hanyalah sebuah "catatan awam". Dan saya memilih kata "dilampaui", karena memang tidak yakin dan tidak tahu apakah pertanyaan seperti itu memang telah "diatasi", ataukah telah "dilewatkan", oleh para produsen wacana seni. Istilah "dilampaui" mewakili kedua pengertian itu, sekaligus mewakili kekaburan antara keduanya.

 

Tanpa berpretensi hendak menjadi kritikus seni, dengan sangat terpaksa, karena terdorong rasa ingin tahu, saya menyimak esai yang ditulis Mike Featherstone, nama yang tak asing bagi para penggembira diskusi tentang posmodernisme. Judulnya "The Aestheticization of Everyday Life". Tersurat di situ, "Jika kita mencermati definisi-definisi tentang posmodernisme, kita menjumpai penekanan terhadap pengaburan batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, ambruknya perbedaan antara seni tinggi dan budaya massa/popular, pencampur-adukan stilistika secara menyeluruh, dan pemaduan berbagai kode melalui sikap yang riang." Saya menduga-duga, mungkin semangat seperti ini jugalah yang mengilhami, dan dimanifestasikan oleh, para perupa muda melalui karya-karyanya dalam biennale kali ini, yang menumpang-tindihkan ruang seni dengan ruang sehari-hari, memboyong objek sehari-hari ke dalam galeri seni, untuk menjebol sekat-sekat yang otoriter, menjungkirbalikkan persepsi konvensional yang senantiasa memilah dan memilih, antara yang seni dan yang sehari-hari.

 

Yang Niscaya dan Tak Niscaya

Jika memang itulah semangat yang mendasari praktik-praktik mutakhir para seniman muda di Jogja, saya sedikit lebih paham apa kira-kira seni itu. Saya mendasarkan pemahaman itu pada pengandaian-pengandaian seperti ini.

 

Pertama, otoritas yang mendefinisikan apakah sebuah objek, sebuah ruang, atau suatu aktivitas, menjadi seni atau bukan seni adalah "ruang galeri", atau lebih tepatnya, "ruang seni". Sebuah sapu lidi, ketika berada di dapur, ia hanyalah objek sehari-hari. Namun, ketika ia dipamerkan di dalam ruang seni, ia pun menjadi objek seni. Ruang senilah yang menobatkannya menjadi objek seni. Dengan demikian, karena sebuah objek bisa bermigrasi kapan saja antara ruang seni dan ruang sehari-hari, maka ia pun bisa dengan luwes bermetamorfosis, melakukan perjalanan ulang-alik, antara menjadi benda seni dan bukan seni. Dalam hal ini, ruang seni menjadi sesuatu yang niscaya, yang harus ada, untuk menciptakan persepsi seni. Tentu saja, ruang seni tidak harus dimaknai sebagai ruang yang jelas batas-batas fisiknya, seperti ruang Galeri Cemeti atau Museum Affandi. Sebuah tanah lapang bisa saja menjadi ruang seni, jika pada kesempatan tertentu ia didefinisikan sebagai ruang seni. Misalnya, sekelompok seniman mengadakan pameran di sebuah lapangan sepak bola, maka lapangan itu pun berubah menjadi ruang seni, sehingga objek-objek yang sengaja dipamerkan di situ pun menjadi benda seni.

 

Kedua, jika objek apapun bisa menjadi karya seni, bahkan simulasi ruang dan aktivitas lumrah pun bisa menjadi karya seni, maka jenis materialitas karya seni menjadi tidak niscaya, atau tidak bisa dibatasi. Yang bisa menjadi karya seni bukan hanya kanvas dan cat, misalnya. Bahkan celana dalam kumal pun bisa menjadi karya seni jika otoritas ruang seni mendefinisikannya demikian.

 

Ketiga, jika benda apapun yang lazimnya dianggap bukan seni bisa menjadi benda seni, maka muatan nilai seninya lebih bersumber pada bobot gagasan, konsep, atau tafsir yang "membingkai" karya itu, bukan pada materialitasnya atau pun tampilan visualnya. Konsep seniman, narasi kuratorial, tafsir para kritikus dan audiens menjadi niscaya. Sabda sang kuratorlah yang terutama memberi bingkai makna, yang menjustifikasi, bahwa suatu benda memiliki bobot seni. Tanpa bobot gagasan seperti itu, kebanyakan benda seni yang "diimpor" begitu saja dari kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat tidak menarik. Apa menariknya sapu lidi atau celana dalam kumal, bahkan kalau pun benda-benda itu ditaruh di dalam galeri?

 

Keempat, dalam kecenderungan demikian itu, ironisnya, kompetensi artistik seakan-akan menjadi tidak niscaya atau tidak penting lagi. Bisa dikatakan, siapapun bisa, kalau hanya menaruh sapu lidi atau menggantungkan celana dalam kumal di dalam galeri. Tidak harus seorang seniman, bukan? Bahkan, untuk bisa menyusun simulasi ruang tamu, distro, museum, studio foto, seperti yang ditampilkan pada biennale kali ini pun, agaknya tidak harus mensyaratkan keterlibatan seorang seniman yang diandaikan memiliki kepakaran artistik khusus. Lantas, persoalannya, apa yang membedakan seniman dan bukan seniman, jika kepakaran artistik tidak penting lagi? Siapakah yang layak disebut seniman?

 

Kelima, untuk menetapkan apakah seseorang adalah seniman atau bukan, saya kira pengakuan publik menjadi niscaya. Persepsi publiklah yang menciptakan label seniman dan bukan seniman, seperti halnya ruang galeri yang menetapkan objek tertentu adalah seni atau bukan seni. Persepsi dan pengakuan itu lazimnya memang merupakan produk dari kompetensi atau kepakaran artistik yang dimiliki seseorang. Namun label itu bisa pula sekadar hasil dari fakta permukaan, misalnya, bahwa seseorang pernah mengenyam pendidikan seni. Yang lebih lazim adalah karena seseorang "dibaptis" dan diakui sebagai seniman oleh para anggota komunitas seni, dan bahwa ia menjadikan kreativitas seni sebagai pertaruhan penting dalam hidupnya, tanpa memandang apakah ia pernah atau tak pernah mengenyam pendidikan formal dalam disiplin seni.

 

Lima hal di atas itu tak lebih hanyalah jalur pemaknaan yang saya tempuh agar lebih bisa memahami dan mengapresiasi seni, terutama karya-karya seni mutakhir yang cenderung menggerus batas-batas definisi. Tanpa melakukan siasat seperti itu, sebagai pengunjung awam, niscaya saya akan mengalami kesulitan luar biasa untuk bisa memaknai perhelatan seni kontemporer, seperti halnya Biennale Countrybution kali ini, beserta segala gagasan yang berpendar dan bertarung dalam medan wacana yang diciptakannya. Pada akhirnya, bagi saya, seni adalah permainan tafsir terus-menerus, pacuan tiada akhir dalam sirkuit interpretasi, yang memang asyik dan perlu, meski kadang terlalu mahal ongkosnya. []

 

Sigit Djatmiko, peminat seni dan editor majalah gaul, Outmagz.