|
Mengunjungi
perhelatan seni yang bertajuk "Countrybution: Biennale
Yogyakarta VII 2003", apa yang akan bisa dicatat oleh
orang-orang seperti saya, para pengunjung awam, yang tidak
termasuk dalam kategori seniman, kurator, kritikus seni, apalagi
kolektor karya seni?
Sebagai
salah satu penggembira awam, yang tentu tidak fasih memainkan
"jurus" apresiasi berdasarkan "buku panduan"
kritik seni, saya sadar bahwa saya harus menemukan landasan
berpijak sendiri, yang barangkali sederhana saja, agar lebih bisa
memahami dan mengapresiasi peristiwa seni yang sophisticated
ini, atau setidaknya untuk menjawab pertanyaan awal, "Apa sih
biennale itu?" Tanpa landasan pemahaman demikian itu,
barangkali saya hanya akan menyerupai seorang turis yang tersesat
di antara tebaran objek-objek dan parade citra yang membingungkan,
yang seakan menyubversi konstruksi kognitif saya tentang
kelaziman.
Bayangkan
saja, sebuah ruangan yang luas, dan megah, dan mewah, dengan pintu
kaca dan dilengkapi alat pendingin ruangan yang mahal, dengan
atmosfer yang terasa kaku dan formal, mungkin lebih mirip ruang
kerja para eksekutif sebuah jawatan, namun di dalamnya saya tak
menemukan benda-benda yang lazimnya hadir dalam sebuah ruang
perkantoran. Sebaliknya, yang saya saksikan adalah
centang-perenang beraneka objek dan citra-citra visual, yang
ditata dengan beraneka gaya dan selera: sebuah brikolase yang
jarang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pengunjung awam, yang
tak tahu-menahu tentang apa saja yang terjadi dalam pertarungan
wacana seni kontemporer, pasti akan terbengong-bengong dan
bertanya-tanya: "Ini acara apa ya?", "Biennale itu
apaan?" Kemungkinan terjadinya kebingungan seperti itu, serta
munculnya kontras yang menarik antara hajatan seni mutakhir ini
dengan kehidupan sehari-hari "orang biasa", akan terasa
lebih besar jika kita mengingat betapa gedung Taman Budaya
Yogyakarta, tempat diselenggarakannya acara itu, berada di
sebuah lokasi yang dikepung oleh pasar buah dan sayur-mayur yang
sangat hiruk-pikuk, lengkap dengan "wacana kontemporer"
para bakul dan tengkulak, yang pasti tak kalah heboh dibandingkan
wacana kontemporer seni itu sendiri.
Representasi
Pencapaian Praktik Seni
Demi
menemukan titik-tolak pemahaman itulah, saya akan mengutip
pernyataan dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY), penyelenggara utama
perhelatan ini: "Biennale memang dilahirkan dengan harapan
akan menjadi puncak pengembangan seni rupa di Yogyakarta
"
Ini adalah official statement yang termaktub dalam Kata
Sambutan TBY, yang juga dimuat dalam katalog pameran. Saya kira,
saya bisa memanfaatkan pernyataan resmi itu sebagai perangkat
untuk menyusun pemahaman awal. Selain lugas dan mudah dipahami,
pernyataan itu pun saya anggap cukup otoritatif; katakanlah, ia
merupakan raison dκtre yang diyakini oleh penyelenggara
pameran ini. Dari situ saya tahu, Biennale Countrybution
diselenggarakan kurang-lebih sebagai medium representasi, untuk
menunjukkan kepada publik, seperti apakah perkembangan seni di
Yogyakarta dalam kurun waktu tertentu. (Lazimnya dalam kurun waktu
dua tahun. Namun karena penyelenggaraan biennale di Jogja pernah
tertunda, berarti biennale kali ini saya anggap
"menyimpulkan" perkembangan praktik seni di Jogja sejak
diselenggarakannya biennale yang terakhir, yakni pada tahun 1999,
atau kurun waktu empat tahun). Biennale dengan demikian diharapkan
sebagai milestone yang menandai puncak pencapaian praktik
seni. Setidaknya, demikian itulah harapan penyelenggara biennale,
dan saya kira harapan itu sah saja. Dan, dengan demikian, seperti
itu jugalah pemahaman awam saya tentang apa itu biennale.
Para
Seniman Muda
Selanjutnya,
persepsi saya yang awal dan awam itu lebih diperkaya oleh
pernyataan kurator perhelatan seni ini, yakni Hendro Wiyanto,
sebagai berikut: "Tak kurang dari separuh peserta biennale
kali ini adalah nama-nama baru yang belum pernah tampil dalam
forum-forum biennale sebelumnya." Pernyataan ini termaktub
dalam narasi pertanggungjawaban kuratorial yang ditulis Hendro
Wiyanto, yang juga tercantum dalam katalog pameran. Kebetulan,
seniman-kritikus Agung Kurniawan juga mengutarakan hal senada
dalam makalahnya untuk kepentingan diskusi biennale ini:
"Sebagian besar pesertanya adalah seniman muda, itu secara
langsung menggambarkan bahwa seni rupa di Yogyakarta ini diwarnai
dengan kelahiran banyak seniman muda setiap tahunnya" (Agung
Kurniawan, "Youth(yakarta) Bienial: Pameran Seni Rupa dari
Ibu Kota Plesetan Indonesia"). Kedua pernyataan itu
menggambarkan tahap pemahaman saya yang lebih lanjut, yakni bahwa
partisipasi para seniman muda dalam perhelatan Biennale
Countrybution ini cukup signifikan. Biodata para seniman yang
tercantum dalam katalog pameran juga membantu saya untuk melakukan
verifikasi dan validasi atas informasi di atas. Berdasarkan
keterangan yang saya peroleh dalam biodata itu, banyak di antara
seniman yang terlibat dalam acara kesenian penting ini adalah
generasi yang lahir pada dasawarsa 1970-an dan bahkan 1980-an.
Pemahaman
saya tentang apa itu biennale juga sedikit lebih diperkaya
dengan mengikuti beberapa sesi diskusi tentang biennale, yang
menampilkan para pesohor dalam lingkup wacana seni. Saya katakan
"sedikit", karena bagi saya baku-argumentasi dalam
diskusi-diskusi itu lebih banyak membingungkan daripada menerangi
pemahaman. Apalagi yang terutama menjadi biang keributan dalam
diskusi itu adalah tajuk dari acara biennale itu sendiri yang
memang tak mudah dijabarkan, yakni "Countrybution",
sebuah istilah yang barangkali akan segera menjadi lema (entry)
baru dalam kamus bahasa plesetan.
Saya
tidak akan ikut-ikutan menceburkan diri dalam kubangan pertikaian
yang tak sepenuhnya saya mengerti itu, atau mendaki undak-undakan
kritik dan skeptisisme yang tak berkesudahan. Saya cenderung
memilih pendekatan yang positif saja dalam menyusun catatan
tentang acara biennale ini. Saya akan bertolak dari kepercayaan
bahwa, pertama, Biennale Countrybution memang diadakan dengan
harapan agar menjadi tonggak pencapaian seni rupa di Yogyakarta
dan bahwa acara itu telah diselenggarakan dengan sebaik-baiknya,
dan kedua, fakta bahwa banyak di antara pesertanya adalah para
seniman muda.
Simulasi
Ruang
Tanpa
bermaksud mengurangi bobot dan arti penting karya-karya para
perupa yang lebih senior seperti Agus Suwage, Anusapati, Dadang
Christanto, Hanura Hosea, Heri Dono, Mella Jaarsma, Agus Ismoyo
dan Nia Fliam, saya ingin mencatat kesan saya ketika menonton
karya para perupa muda. Itu pun tidak semuanya. Saya hanya ingin
memberikan catatan atas empat karya yang menggelitik keinginan
saya untuk mengutak-atik tafsir dan dugaan. Masing-masing adalah
karya RM Sony Irawan, kelompok Ruang MESS 56, Bunga Jeruk Permata
Pekerti, serta karya kolaborasi antara Bambang "Toko"
Witjaksono, Wildan Antares, dan Handiwirman. Pada hemat saya, ada
kemiripan tema di antara keempat karya itu, yakni
"menghadirkan ruang".
Di
dalam galeri biennale, Sony Irawan menghadirkan
"distro", istilah yang kini banyak digunakan dalam
"bahasa gaul" anak-anak muda. Distro adalah singkatan
dari distribution outlet. Distro tak lain adalah gerai yang
menjual produk-produk "indie label" ini istilah yang
sedang trendy juga yakni barang-barang konsumsi yang
diproduksi oleh anak-anak muda secara independen dan dipasarkan
melalui jaringan distribusi independen. Lazimnya barang-barang itu
berupa CD kompilasi musik-musik indie, kaus oblong, majalah indie,
pin, poster, dan pernak-pernik lain yang lazim dikenakan anak muda
sebagai lambang identitas. Lewat karya distronya yang bertajuk
"The Problem is You", Sony benar-benar menyediakan merchandise
yang bisa dibeli oleh pengunjung.
Kelompok
MESS 56 menghadirkan karya yang menduplikasi ruang studio foto,
yang mereka beri judul "Keren dan Beken". Berpuluh-puluh
foto hasil jepretan mereka pada acara pembukaan biennale dipajang
di studio itu. Si pemilik wajah yang kebetulan fotonya terpajang
di situ bisa menebusnya dengan uang sekian ribu rupiah. Karya ini
mengadopsi kebiasaan yang dilakukan para fotografer komersial pada
acara-acara wisuda mahasiswa: memotret para wisudawan dan menjual
hasil jepretannya.
Karya
Bunga Jeruk yang bertajuk "Sitting Pretty" adalah
semacam simulasi ruang museum yang manis dan riang. Ada lukisan,
boneka, sepeda mini, dan baju anak-anak yang menyemarakkan ruang
itu. Selama sepekan, para pengunjung diperkenankan berfoto di situ
dan mengambil fotonya pada pekan berikutnya.
Karya
kolaborasi Bambang "Toko", Wildan Antares, dan
Handiwirman bertajuk "Produksi Gula Jawa". Yang saya
saksikan pada karya itu adalah sebuah simulasi ruang yang
mengingatkan kita pada ruang tamu priyayi Jawa. Ada kursi rotan,
lemari pajangan, mesin jahit kuno, majalah kuno, kaset-kaset
lawas. Ruang tamu ini menjual gula Jawa yang dikemas dengan merek
"Semanis Cintamu" plus gambar seorang gadis yang
tersenyum manis.
Batas-Batas
yang Ambrol
Bagi
saya, yang menarik pada karya-karya para seniman muda ini adalah
bahwa yang dihadirkan bukan sekadar objek melainkan ruang, dan
bahkan ruang yang sangat lazim dijumpai di luar galeri, sekaligus
disertai objek-objek dan aktivitas interpersonalnya yang sangat
lumrah, misalnya kegiatan berfoto, jual-beli, atau sekadar
duduk-duduk dan mengobrol. (Saya sempat duduk dan ngobrol santai
di "ruang tamu" Bambang "Toko" dkk., sambil
mengunyah gula Jawa, dan rasanya memang asyik!).
Ruang-ruang
hasil simulasi itu lantas memancing sejumlah persoalan dalam benak
saya: penumpang-tindihan antara ruang seni dan ruang sehari-hari,
antara objek seni dan objek sehari-hari. Bayangkan, di dalam
galeri biennale, pengunjung bisa menjumpai distro dan membeli kaus
oblong di situ. Ini nyaris tak berbeda dengan jalan-jalan ke
Malioboro Mal dan berbelanja sepatu di gerai Bata atau berbelanja
buku di gerai Gramedia. Dengan demikian, apakah objek dan ruang
sehari-hari lantas dengan sendirinya menjadi karya seni ketika
diboyong ke dalam galeri? Di manakah sesungguhnya batas antara
seni dan bukan seni? Kekuatan apakah yang dengan sedemikian
otoritatif mampu mendefinisikan objek sehari-hari menjadi karya
seni? Apakah karya seni sesungguhnya hanyalah objek sehari-hari
juga, yang sangat biasa? Jika karya seni tak lebih dari objek yang
lumrah belaka, lantas mengapa ia perlu dirayakan besar-besaran,
diulas panjang-lebar, diperdebatkan, ditandai dengan
tonggak-tonggak pencapaian, dan bahkan dihargai jutaan rupiah,
yang jauh melampaui nilai materialitas karya itu sendiri?
Barangkali
ini adalah pertanyaan bodoh, persoalan yang terlalu naif, yang
sejak jauh hari telah "dilampaui" oleh para advokat seni
di Indonesia. Tapi, sekali lagi, tulisan ini hanyalah sebuah
"catatan awam". Dan saya memilih kata
"dilampaui", karena memang tidak yakin dan tidak tahu
apakah pertanyaan seperti itu memang telah "diatasi",
ataukah telah "dilewatkan", oleh para produsen wacana
seni. Istilah "dilampaui" mewakili kedua pengertian itu,
sekaligus mewakili kekaburan antara keduanya.
Tanpa
berpretensi hendak menjadi kritikus seni, dengan sangat terpaksa,
karena terdorong rasa ingin tahu, saya menyimak esai yang ditulis
Mike Featherstone, nama yang tak asing bagi para penggembira
diskusi tentang posmodernisme. Judulnya "The Aestheticization
of Everyday Life". Tersurat di situ, "Jika kita
mencermati definisi-definisi tentang posmodernisme, kita menjumpai
penekanan terhadap pengaburan batas antara seni dan kehidupan
sehari-hari, ambruknya perbedaan antara seni tinggi dan budaya
massa/popular, pencampur-adukan stilistika secara menyeluruh, dan
pemaduan berbagai kode melalui sikap yang riang." Saya
menduga-duga, mungkin semangat seperti ini jugalah yang
mengilhami, dan dimanifestasikan oleh, para perupa muda melalui
karya-karyanya dalam biennale kali ini, yang menumpang-tindihkan
ruang seni dengan ruang sehari-hari, memboyong objek sehari-hari
ke dalam galeri seni, untuk menjebol sekat-sekat yang otoriter,
menjungkirbalikkan persepsi konvensional yang senantiasa memilah
dan memilih, antara yang seni dan yang sehari-hari.
Yang
Niscaya dan Tak Niscaya
Jika
memang itulah semangat yang mendasari praktik-praktik mutakhir
para seniman muda di Jogja, saya sedikit lebih paham apa kira-kira
seni itu. Saya mendasarkan pemahaman itu pada
pengandaian-pengandaian seperti ini.
Pertama,
otoritas yang mendefinisikan apakah sebuah objek, sebuah ruang,
atau suatu aktivitas, menjadi seni atau bukan seni adalah
"ruang galeri", atau lebih tepatnya, "ruang
seni". Sebuah sapu lidi, ketika berada di dapur, ia hanyalah
objek sehari-hari. Namun, ketika ia dipamerkan di dalam ruang
seni, ia pun menjadi objek seni. Ruang senilah yang menobatkannya
menjadi objek seni. Dengan demikian, karena sebuah objek bisa
bermigrasi kapan saja antara ruang seni dan ruang sehari-hari,
maka ia pun bisa dengan luwes bermetamorfosis, melakukan
perjalanan ulang-alik, antara menjadi benda seni dan bukan seni.
Dalam hal ini, ruang seni menjadi sesuatu yang niscaya, yang harus
ada, untuk menciptakan persepsi seni. Tentu saja, ruang seni tidak
harus dimaknai sebagai ruang yang jelas batas-batas fisiknya,
seperti ruang Galeri Cemeti atau Museum Affandi. Sebuah tanah
lapang bisa saja menjadi ruang seni, jika pada kesempatan tertentu
ia didefinisikan sebagai ruang seni. Misalnya, sekelompok seniman
mengadakan pameran di sebuah lapangan sepak bola, maka lapangan
itu pun berubah menjadi ruang seni, sehingga objek-objek yang
sengaja dipamerkan di situ pun menjadi benda seni.
Kedua,
jika objek apapun bisa menjadi karya seni, bahkan simulasi ruang
dan aktivitas lumrah pun bisa menjadi karya seni, maka jenis
materialitas karya seni menjadi tidak niscaya, atau tidak bisa
dibatasi. Yang bisa menjadi karya seni bukan hanya kanvas dan cat,
misalnya. Bahkan celana dalam kumal pun bisa menjadi karya seni
jika otoritas ruang seni mendefinisikannya demikian.
Ketiga,
jika benda apapun yang lazimnya dianggap bukan seni bisa menjadi
benda seni, maka muatan nilai seninya lebih bersumber pada bobot
gagasan, konsep, atau tafsir yang "membingkai" karya
itu, bukan pada materialitasnya atau pun tampilan visualnya.
Konsep seniman, narasi kuratorial, tafsir para kritikus dan
audiens menjadi niscaya. Sabda sang kuratorlah yang terutama
memberi bingkai makna, yang menjustifikasi, bahwa suatu benda
memiliki bobot seni. Tanpa bobot gagasan seperti itu, kebanyakan
benda seni yang "diimpor" begitu saja dari kehidupan
sehari-hari akan menjadi sangat tidak menarik. Apa menariknya sapu
lidi atau celana dalam kumal, bahkan kalau pun benda-benda itu
ditaruh di dalam galeri?
Keempat,
dalam kecenderungan demikian itu, ironisnya, kompetensi artistik
seakan-akan menjadi tidak niscaya atau tidak penting lagi. Bisa
dikatakan, siapapun bisa, kalau hanya menaruh sapu lidi atau
menggantungkan celana dalam kumal di dalam galeri. Tidak harus
seorang seniman, bukan? Bahkan, untuk bisa menyusun simulasi ruang
tamu, distro, museum, studio foto, seperti yang ditampilkan pada
biennale kali ini pun, agaknya tidak harus mensyaratkan
keterlibatan seorang seniman yang diandaikan memiliki kepakaran
artistik khusus. Lantas, persoalannya, apa yang membedakan seniman
dan bukan seniman, jika kepakaran artistik tidak penting lagi?
Siapakah yang layak disebut seniman?
Kelima,
untuk menetapkan apakah seseorang adalah seniman atau bukan, saya
kira pengakuan publik menjadi niscaya. Persepsi publiklah yang
menciptakan label seniman dan bukan seniman, seperti halnya ruang
galeri yang menetapkan objek tertentu adalah seni atau bukan seni.
Persepsi dan pengakuan itu lazimnya memang merupakan produk dari
kompetensi atau kepakaran artistik yang dimiliki seseorang. Namun
label itu bisa pula sekadar hasil dari fakta permukaan, misalnya,
bahwa seseorang pernah mengenyam pendidikan seni. Yang lebih lazim
adalah karena seseorang "dibaptis" dan diakui sebagai
seniman oleh para anggota komunitas seni, dan bahwa ia menjadikan
kreativitas seni sebagai pertaruhan penting dalam hidupnya, tanpa
memandang apakah ia pernah atau tak pernah mengenyam pendidikan
formal dalam disiplin seni.
Lima
hal di atas itu tak lebih hanyalah jalur pemaknaan yang saya
tempuh agar lebih bisa memahami dan mengapresiasi seni, terutama
karya-karya seni mutakhir yang cenderung menggerus batas-batas
definisi. Tanpa melakukan siasat seperti itu, sebagai pengunjung
awam, niscaya saya akan mengalami kesulitan luar biasa untuk bisa
memaknai perhelatan seni kontemporer, seperti halnya Biennale
Countrybution kali ini, beserta segala gagasan yang berpendar dan
bertarung dalam medan wacana yang diciptakannya. Pada akhirnya,
bagi saya, seni adalah permainan tafsir terus-menerus, pacuan
tiada akhir dalam sirkuit interpretasi, yang memang asyik dan
perlu, meski kadang terlalu mahal ongkosnya. []
Sigit
Djatmiko, peminat seni dan editor majalah gaul, Outmagz.
|
|