Masalah
Kelima Belas:
Taqiyah termasuk
konsep-konsep Al-Qur’an yang disebutkan di banyak tempat dalam Al-Qur’an. Di
dalam ayat-ayat tersebut ada isyarat jelas yang menunjukkan kasus-kasus ketika seorang
Mukrnin terpaksa menempuh jalan yang disyariatkan ini dalam perjalanan hidupnya
di tengah kondisi yang sulit. Guna melindungi diri, kehormatan, dan hartanya.
Atau, untuk melindungi diri, kehormatan, dan harta orang yang ada hubungan
dengannya. Sebagaimana pernah ditempuh oleh kaum Mukmin dari keluarga Fir’aun
untuk melindungi al-Kalim Musa as dari ancarnan pembunuhan. Hal itu juga
pemah dilakukann ‘Ammar bin Yasir ketika ia ditawan dan diancam akan dibunuh.
Dan masih banyak kasus-kasus lain yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Yang jelas, kita harus mengenalnya, baik pengertian, tujuan, dalil, dan
definisi maupun batasannya. Sehingga kita dapat menghindari sikap lalai dan
berlebih-lebihan dalam melakukannya.
Taqiyah adalah isim
dari kata ittaqa -yattaqi. Huruf ta' pada kata itu menggantikan
huruf waw. Asalnya adalah al-wiqayah. Dari situ, at-taqwa diartikan secara mutlak sebagai
ketaatan kepada Allah. Sebab, orang yang taat menjadikannya sebagai
perlindungan dari neraka dan siksaan. Maksud taqiyah itu adalah menjaga
diri dari bahaya yang ditimpakan orang lain dengan menampakkan persetujuan
kepadanya dalam ucapan atau perbuatan, yang bertentangan dengan kebenaran.
Pengertian Taqiyah
Jika kata at-taqiyyah
itu diamhil dari kata al-wiqayah (perlindungan) dari kejahatan,
pengertiannya dalam AI-Qur'an dan sunah adalah menampakkan (sikap) kekafiran
dan menyembunyikan keimanan, atau memperlihatkan yang batil dan menyembunyikan
yang benar. Apabila seperti itu pengertiannya, taqiyah berlawanan dengan
kemunafikan seperti halnya keimanan berlawanan dengan kekafiran. Sebab,
kemunafikan adalah lawannya. Kemunafikan adalah menampakkan keimanan dan
menyembunyikan kekafiran, serta memperlihatkan yang benar dan menyembunyikan
yang batil. Karena ada kontradiksi di antara arti kedua kata tersebut, maka
taqiyah tidak dapat dipandang sebagai cabang dari kemunafikan.
Benar, barangsiapa
yang menafsirkan kemunafikan itu sebagai mutlak pertentangan yang tampak
terhadap yang tersembunyi, dan memandang taqiyah - yang disebutkan dalam
Al-Qur'an dan sunah-sebagai salah satu cabanghya, ia telah menafsirkannya
dengan pengertian yang lehih luas dari pengertian yang sebenarnya dalam
Al-Qur'an. la te1ah mendefinisikan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang
menampakkan keimanan dan menyem- bunyikan kekafiran. Allah swt berfirman, "Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, 'Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah. ' Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah menge- tahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafzk itu benar-benar pendusta. " (QS.
al-Munafiqun [63]: 1)
Apabila
demikian definisi munafik, lalu bagaimana hal itu dapat mericakup orang yang
menempuh taqiyah dalam menghadapi orang-orang kafir dan ahli maksiat sehingga
ia menyembunyikan keimanannya dan menampakkan sikap persetujuan untuk
melindungi diri, harta, dan kehormatan ketika menghadapi ancaman.
Kebenarannya akan tampak
jika kita mengetahui penggunaannya dalam syariat Islam. Kalau taqiyah itu
merupakan bagian dari kemunafikan, tentu hal itu akan dicela dan mustahil Dzat
Yang Maha bijaksana memerintahkannya. A1lah swt berfirman, "Katakanlah,
'Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) pe buatan yang keji. Mengapa
kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (QS.
al-A'raf [7]: 28)
Tujuan Taqiyah
Tujuan taqiyah
adalah untuk melindungi diri, kehorrnatan, dan harta. Hal itu dilakukan dalam
kondisi-kondisi terpaksa ketika seorang Mukmin tidak dapat menyatakan sikapnya
yang benar secara terang-terangan karena takut hal itu akan mendatangkan bahaya
dan bencana dari kekuatan yang lalim, seperti kebiasaan- kebiasaan pemerintahan
yang suka melalimi, mengintimidasi, mengusir, membunuh, menyita harta, dan
merampas hak. Karenanya, orang yang memegang teguh akidah, yang melihat dirinya
terancam, tentu ia akan menyembunyikan akidahnya. la menampakkan sikap
persetujuan terhadap keinginan dan kebijakan penguasa. Sehingga ia selamat dari
ancaman dan pembunuhan hingga Allah memutuskan perkara yang lain.
Taqiyah adalah
senjata orang yang lemah dalam mengahadapi kekuatan yang lalim, senjata orang
yang diuji dengan tindakan orang yang tidak menghargai hak hidup, kehormatan,
dan hartanya. Bukan karena apa-apa, melainkan karena ia tidak sejalan dengannya
dalam beberapa prinsip dan pendapatnya.
Taqiyah itu
dipraktekkan oleh orang yang hidup dalam lingkungan yang tidak menerapkan
kebebasan dalam berbicara, berbuat, berpendapat, dan berakidah. Orang yang
menentangnya tidak akan selamat kecuali dengan sikap diam atau menampakkan
persetujuan terhadap keinginan dan pemikiran penguasa. Atau, sebagian orang
menggunakan taqiyah sebagai wahana yang harus ditempuh untuk menolong
orang-orang lemah dan teraniaya yang tidak memiliki daya dan kekuatan. Maka
mereka menampakkan sikap itu kepada penguasa yang lalim agar bisa berhubungan
dengannya. Hal itu seperti yang dilakukan orang Mukmin dari keluarga Fir'aun
yang dikisahkan Allah swt dalam Al-Qur'an.
Kebanyakan orang
yang mencela orang-orang yang menempuh jalan taqiyah mengira bahwa tujuan
taqiyah itu adalah untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan rahasia yang
bertujuan membuat kerusakan dan kehancuran. Hal itu seperti yang dikenal di kalangan penganut kebatinan dan partai-partai komunis
ilegal. Itu merupakan pandangan keliru yang mereka anut karena ketidaktahuan
atau kesengajaan tanpa mendasarkan pendapat mereka ini pada suatu dalil atau
hujah yang benar. Apa yang telah kami sebutkan berbeda dengan apa yang mereka
sebutkan. Kalau kondisi memaksa dan hukum-hukum yang lalim tidak menyentuh
kelompok yang lemah ini, tentu mereka tidak akan menempuh taqiyah. Tentu mereka
tidak akan menanggung beban berat dengan menyembunyikan akidah mereka dan pasti
mengajak orang-orang pada akidah itu secara terang-terangan dan tanpa keraguan.
Namun, senjata selalu dihunus oleh semua pemerintahan yang lalim untuk
ditebaskan kepada orang-orang yang memiliki akidah yang berbeda dengan akidah
yang dianutnya. Praktek pertahanan seperti ini berbeda dari praktek-praktek
yang dilakukan para anggota perkumpulan-perkumpulan rahasia untuk menjatuhkan
dan merebut kendali pemerintahan. Maka semua praktek mereka ditetapkan dan
diatur untuk tujuan penghancuran. Mereka adalah orang-orang yang menganut
slogan "tujuan menghalalkan segala cara". Semua yang jelek menurut
akal dan terlarang menurut syariat dibolehkan oleh mereka untuk meraih
tujuan-tujuan mereka yang destruktif. Ada pendapat yang memandang bahwa mereka
sama saja dengan orang yang menempuh taqiyah sebagai senjata pertahanan agar selamat
dari kejahatan pihak lain. Sehingga ia tidak dibunuh atau dibinasakan, harta
dan rumah mereka tidak dirampas, hingga Allah memutuskan perkara yang lain.
Namun, pendapat itu muncul dari perasaan yang berlawanan dari hal seperti itu.
Kaum Muslim yang tinggal di Uni Soviet (dulu) telah mendapat bencana dan cobaan
yang menurut akal tidak mungkin mereka dapat menanggungnya. Kaum komunis selama
kekuasaan mereka atas wilayah-wilayah Islam telah menunjukkan permusuhan kepada
kaum Muslim. Mereka merampas harta, tanah, tempat tinggal, masjid, dan sekolah
kaum Muslim, serta membakar perpustakaan-perpustakaan. Mereka membunuh banyak
kaum Muslim dengan cara yang sangat keji. Tidak ada yang dapat menyelamatkan
diri dari kebiadaban mereka kecuali orang yang menempuh taqiyah dengan
menampakkan sikap yang f1eksibel, menyembunyikan ritus-ritus agama, dan
melaksanakan salat di dalam rumah hingga Allah menyelamatkan mereka dengan
meruntuhkan kekuatan kafir tersebut. Maka kaum Muslim muncul kembali di atas
pentas. Mereka menguasai tanah dan wilayah mereka. Mereka mulai menampakkan
kembali kemuliaan dan keagungan mereka sedikit demi sedikit. Hal itu merupakan
salah satu dari buah-buah taqiyah yang disyariatkan dan diperkenankan Allah SWT
kepada para hamba-Nya sebagai anugerah dan kemuliaan-Nya kepada orang-orang
yang tertindas.
Apabila demikian
makna dan pengertian taqiyah, dan seperti itu maksud dan tujuannya, maka itu
adalah sesuatu yang bersifat fitrah yang didambakan akal dan hati manusia
sebelum segala sesuatu. Taqiyah mengajak manusia kepada fitrahnya. Untuk itu,
taqiyah digunakan oleh orang yang diuji dengan tindakan penguasa dan
pemerintahan yang tidak menghargai sesuatu apa pun selain ide, pemikiran,
ambisi, dan kekuasaan mereka sendiri. Mereka tidak segan-segan untuk menimpakan
bencana kepada setiap orang yang menentang mereka dalam hal itu. Mereka tidak
membedakan antara Muslim-penganut Syi’ah ataupun Ahlusunah-dan selain Muslim.
Dari sini, tampaklah fungsi dan faedah taqiyah.
Untuk mendukung
prinsip kehidupan ini, kami mengkaji dalil-dalilnya dari Al-Qur'an dan sunah.
Dalil A1-Qur'an dan Sunah
Taqiyah disyariatkan
dengan nas A1-Qur'an. Banyak ayat Al-Qur'an yang akan kami coba menjelaskannya
dalam halaman- halaman berikut:
Allah SWT berfirman,
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman ( dia
mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam keimanan ( dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar: " (QS. an-Nahl [16]: 106)
Anda
perhatikan, bahwa A1lah SWT membolehkan sikap menampakkan kekafiran karena
terpaksa dan menuruti orang-orang kafir karena takut kepada mereka. Namun,
dengan syarat hati tetap tenang dalam keimanan. Hal itu dijelaskan oleh
sejumlah mufasir baik klasik maupun kontemporer. Kami akan berusaha
mengetengahkan pendapat-pendapat sebagian dari mereka untuk menghindari
penjelasan yang panjang dan bertele-tele. Bagi siapa yang ingin mengetahuinya
lebih jauh, silakan merujuk pada beberapa kitab tafsir.
I. Ath- Thabrasi
berkata, “Ayat itu turun berkenaan dengan sekelompok orang yang dipaksa untuk
menjadi kafir. Mereka adalah ‘Ammar, ayahnya Yasir, dan ibunya Sumayah. Kedua
orang tua ‘Ammar dibunuh karena mereka tidak menampakkan sikap kekafiran.
Sedangkan ‘Ammar menampakkan kepada mereka apa yang mereka kehendaki.
Karenanya, mereka me- lepaskannya. Kemudian ‘Ammar memberitahukan hal itu
kepada Rasulullah saw, dan berita itu tersebar di tengah kaum Muslim. Maka
orang-orang mengatakan bahwa ‘Ammar telah menjadi kafir. Tetapi Rasulullah saw
menjawab, "Sama sekali tidak, ‘Ammar telah dipenuhi keimanan dari
ubun-ubunnya hingga telapak kakinya. Keimanan itu telah bercampur dengan daging
dan darahnya."
Berkenaan
dengan itu, turun ayat di atas dan. ‘Ammar pun menangis. Maka Rasulullah saw
mengusap kedua matanya sambil bersabda, "Kalau mereka mengulangi tindakan
serupa kepadamu, maka ulangilah apa yang engkau ucapkan itu."
2.
Az-Zamakhsyari berkata, "Diriwayatkan bahwa beberapa orang penduduk Makkah
disiksa. Karenanya, mereka keluar dari Islam setelah mereka menganutnya. Di
antara mereka ada yang dipaksa lalu kata-kata kekafiran mengalir pada lisannya,
sementara ia tetap teguh dalam keimanannya. Di antara mereka adalah ‘Ammar bin
yasir dan kedua orang tuanya, yaitu yasir dan Sumayyah, serta Shuhaib, Bilal,
dan Khabab.
Adapun ‘Ammar
menampakkan kepada mereka apa yang mereka kehendaki dengan lisannya secara
terpaksa
3. AI-Hafizh bin
Majah berkata: AI-Ita' artinya al-i’tha'. Yaitu, mereka
menampakkan persetujuan pada keinginan orang- orang musyrik itu sebagai sikap
taqiyah. Taqiyah dalam hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah SWT,
"... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam keimanan. "
(QS. an-Nahl [16]:
106)
4. Al-Qurthubi
berkata: Al-Hasan berkata, "Taqiyah itu dibolehkan bagi manusia hingga
hari kiamat." Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa agar menjadi
kafir sehingga ia takut dirinya akan dibunuh, ia tidak berdosa untuk
menampakkan kekafiran tetapi hatinya tetap tenang dalam keimanan, ia tidak
bercerai dari istrinya dan tidak dihukumi sebagai orang kafir. Ini adalah
pendapat Malik. para ulama Kufah dan asy-Syafi'i.
5.
Al-Khazin berkata: Taqiyah tidak dilakukan kecuali ketika ada ketakutan akan
dibunuh dan dengan niat yang baik. Allah swt berfirman. "... kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan.. (QS.
an-Nahl [16]: 106). la tidak berdosa. karena tempat bagi keimanan ialah di
dalam hati.
6.
Al-Khathib asy-Syarbini berkata, kecuali orang-orang dipaksa kafir, yakni
untuk mengucapkannya ...padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan. Tidak
apa-apa ia melakukannya. karcna tempat keimanan adalah di dalam hati.
7. Isma’il Haqqi berkata:
...kecuali orang yang dipaksa ... la dipaksa untuk mengucapkan kata-kata
itu karena takut akan ditimpakan sesuatu pada diri atau salah satu anggota
tubuhnya. Sebab, kekafiran itu adalah keyakinan. Sedangkan pemaksaan untuk
mengucapkan kata-kata itu bukan keyakinan. Jadi, makna ayat itu adalah “Akan
tetapi, orang yang dipaksa terhadap kekafiran dengan lisannya". ...padahal
hatinya tetap tenang dalam keimanan ...Akidahnya tidak berubah. Itu
merupakan dalil bahwa keimanan yang benar dan diakui di sisi Allah adalah
pembenaran (tashdiq) dengan hati.
Ayat kedua:
Allah swt berfirman,
Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah
ia dari pertolongan Allah kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya,
Dan hanya kepada Allah kamu kembali. " (QS. Ali 'Imran [3]: 28)
Pendapat para
mufasirtentang ayat ini sudah cukup jelas dan tidakmemerlukan penjelasan lagi.
I.
Ath- Thabari berkata, ". ..kecuali karena memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. " Abu al-‘A1iyah berkata, "Taqiyah itu
dalam lisan, bukan dengan perbuatan." Diriwayatkan dari al-Hasan: Saya
mendengar Abu Mu’adz berkata: ‘Ubaid mengabarkan kepada kami. la berkata: Saya
mendengar adh-Dhahak berkata tentang firman Allah, “kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka," "Taqiyah
dalam lisan adalah orang yang dipaksa untuk mengucapkan sesuatu yang merupakan
kemaksiatan kepada Allah. la mengucapkannya karena takut akan ditimpakan bahaya
pada dirinya. "... padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan ...,maka
ia tidak berdosa. Sesungguhnya taqiyah itu dalam lisan.
2. Az-Zamakhsyari
ketika menafsirkan firman Allah SWT: ... kecuali karena memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka ...berkata, "Yaitu keringanan bagi
mereka di tengah muwaltat apabila takut kepada para penguasa mereka.
Yang dimaksud dengan muwalat adalah perbedaan dan pergaulan secara
lahiriah. Sedangkan hatinya teguh dalam permusuhan dan kebencian, dan menunggu
hilangnya rintangan.
3. Ar-Razi, ketika
menafsirkan firman Allah SWT: ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka ..., berkata, "Masalah keempat Ketahuilah,
bahwa taqiyah memiliki banyak ketentuan. Kami akan menyebutkan sebagiannya
sebagai berikut:
a. Taqiyah hanya dilakukan
apabila seseorang berada di tengah kaum yang kafir, dan ia takut mereka akan
menimpakan bahaya terhadap diri dan hartanya. Maka ia bersikap halus kepada
mereka dalam ucapan, yaitu tidak menampakkan permusuhan dalam ucapan. Bahkan ia
juga boleh menampakkan ucapan yang menunjukkan kecintaan dan kesetiaan.
" Akan tetapi, dengan
syarat menyembunyikan sikap sebaliknya dan mengingkari setiap kata yang
diucapkannya. Taqiyah itu
memiliki pengaruh pada lahir, bukan dalam keadaan- keadaan hati.
b. Taqiyah itu dibolehkan
untuk memelihara diri. Apakah taqiyah juga boleh dilakukan untuk memelihara
harta? Kemungkinan hal itu diperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah saw:
"Kemuliaan harta seorang Muslim adalah seperti kemuliaan darahnya. Juga
sabdanya: "Barangsiapa yang terbunuh dalam membela hartanya, ia mati
syahid."
4. An-Nasafi berkata,
"... kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka " Artinya, kecuali kamu takut terhadap kebijakan mereka sebagai
sesuatu yang mendatangkan ketakutan. Yakni, agar orang kafir itu tidak memiliki
kekuasaan atas dirimu. Sehingga engkau takut ia menimpakan bahaya kepada diri
dan hartamu. Maka ketika itu, kamu boleh menampakkan kesetiaan dan
menyembunyikan permusuhan.
5. Al-Alusi berkata:
Dalam ayat itu terdapat dalil disyariatkannya taqiyah. Mereka mendefinisikannya
sebagai memelihara diri, kehormatan, atau harta dari kejahatan musuh. Musuh itu
ada dua bagian sebagai berikut:
a. Permusuhan yang didasarkan pada perbedaan
agama, seperti orang kafir dan Muslim.
b. Pennusuhan yang
didasarkan pada tujuan-tujuan keduniaan, seperti harta dan kekuasaan.
6.
Jamaluddin al-Qasimi berkata: Terhadap ayat ini: ...kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka ... para imam
(mazhab) menyimpulkan bahwa taqiyah disyariatkan ketika ada ketakutan. Ijmak
tentang bolehnya melakukan taqiyah ketika takut telah dinukil oleh Imam
al-Murtadha al-Yamani dalam kitabnya Itsar al-Haqq 'ala al-Khalq.
7.
Tentang ayat: ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka , al-Maraghi menafsirkan, "Yakni, kaum Mukmin meninggalkan
kesetiaan kepada orang-orang kafir merupakan suatu keharusan dalam setiap
keadaan kecuali ketika takut mereka akan menimpakan suatu bahaya. Maka ketika
itu, kamu boleh melakukan taqiyah rnenurut kadar ketakutan terhadap bahaya itu.
Sebab, kaidah syariat rnengatakan, 'Meninggalkan kerusakan lebih didahulukan
daripada rnendatangkan kebaikan."
Jika kesetiaan
kepada mereka dibolehkan karena takut akan datang bahaya dari mereka. Maka
lebih utama, jika hal itu untuk mendatangkan manfaat bagi kaum Muslim. Jadi,
tidak ada salah- nya negara Muslim bersekutu dengan negara bukan Muslim untuk
mendatangkan manfaat, baik dengan menolak bahaya atau mendatangkan manfaat.
Kesetiaan itu bukan-dalam sesuatu yang mendatangkan bahaya bagi kaum Muslim.
Kesetiaan seperti itu tidak khusus dilakukan dalam keadaan lemah, melainkan
juga boleh dilakukan dalam setiap saat.
Para
ulama telah menarik kesimpulan dari ayat ini, bahwa boleh melakukan taqiyah.
Yaitu, seseorang mengatakan atau melakukan apa yang bertentangan dengan
kebenaran karena menghindari bahaya dari musuh yang akan ditimpakan kepada
diri, kehormatan, atau hartanya.
Barangsiapa yang
mengucapkan kata-kata kekafiran karena terpaksa untuk memelihara diri dari
kematian, sementara hatinya tetap teguh dalam keimanan, ia tidak menjadi kafir.
Melainkan ia dimaafkan, sebagaimana yang dilakukan ‘Ammar bin yasir ketika ia
dipaksa oleh orang-orang Quraisy agar menjadi kafir. Maka ia melakukannya
dengan terpaksa, sementara hatinya tetap dipenuhi keimanan. Berkenaan dengan
itu, turunlah ayat, "Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia
beriman ( dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa). "
Kalimat-ka1imat dan ungkapan-ungkapan
yang begitu jelas ini, tidak memberi peluang lagi untuk orang mengatakan
kecuali menetapkan disyariatkannya taqiyah dalam pengertian yang telah Anda
ketahui. Bahkan, seseorang tidak akan menemukan seorang mufasir atau ahli fiqih
pun yang mengetahui pengertian dan tujuan taqiyah merasa ragu dalam nenetapkan
bolehnya taqiyah. Sebagaimana Anda, wahai pembaca yang mulia, tidak menemukan
seseorang yang sadar tidak melakukan taqiyah dalam kondisi- kondisi sulit
selama hal itu tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hal itu akan saya
jelaskan dalam penjelasan tentang batasan-batasan taqiyah.
Adapun orang yang
menentang bolehnya taqiyah atau yang berlebih-lebihan dalam melakukannya,
semata-mata menafsirkannya dengan taqiyah yang telah populer di kalangan
anggota organisasi-organisasi bawah tanah dan aliran-aliran destruktif, seperti
aliran kebatinan dan sebagainya. Padahal, seluruh kaum Muslim berlepas diri
dari taqiyah yang bersifat destruktif seperti ini.
"Dan seorang laki-laki
yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya
berkata, apakah kamu akan membunuhseorang laki-laki karena dia mengatakan,
"Tuhanku adalah Allah.
" Padahal, dia
telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan
jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung ( dosa) dustanya
itu. Dan jika ia seorang yang benar; niscaya sebagian (bencana) yang diancamkan
kepadamu akan menimpamu. " Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang melampaui batas lagi pendusta ," (QS. al-Mu'min [40]: 28)
Sedangkan akibat dari
perbuatannya itu adalah, "Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu
daya mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya dikeu,ng oleh azab yang amat buruk. "
( QS. al-Mu'min [ 40] : 45 )
Tiada
lain, selain karena dengan taqiyah orang itu, Nabi A1lah itu dapat selamat dari
kematian. Allah swt berfirrnan, "la berkata, 'Wahai Musa, sesungguhnya
pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu. Sebab itu, keluarlah
(dari kota ini). Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat
kepadamu. ", (QS. al-Qashash [28J: 20)
Ayat-ayat di atas
menunjukkan bolehnya taqiyah untuk menyelamatkan orang Mukmin dari kejahatan
musuh yang kafir.
Taqiyah Muslim terhadap
Muslim yang Lain dalam Kondisi Tertentu
Walaupun ayat-ayat
di atas turun berkenaan dengan taqiyah orang Muslim terhadap orang kafir, namun
pengertian ayat itu tidak dikhususkan dengan sebab turunnya. Sebab, bukanlah
tujuan disyariatkannya taqiyah ketika mendapat ujian dengan tindakan
orang-orang kafir kecuali untuk memelihara diri dari kejahatan. Jika seorang
Muslim diuji dengan tindakan saudaranya sesama Muslim yang berbeda pendapat
dalam beberapa furu', dan pihak yang kuat tidak segan-segan menindas pihak yang
lemah, seperti membunuh atau merampas hartanya, dalam kondisi-kondisi sempit
itu akal sehat memutuskan untuk memelihara diri dengan menyembunyikan akidah
dan menempuh taqiyah. Kalaupun dalam hal itu ada dosa, maka dosa itu adalah
bagi orang yang kepadanya ditujukan taqiyah, bukan kepada orang yang
melakukannya. Kalau kebebasan menjamin semua kelompok Islam, dan setiap
kelompok menghargai pendapat kelompok lain karena mengetahui bahwa pendapat itu
merupakan ijtihadnya, tentu tidak seorang pun dari kaum Muslim yang terpaksa
untuk menempuh taqiyah. Pada gilirannya, keharmonisan akan menggantikan
perselisihan.
Sebagian besar ulama
memahami seperti itu dan menjelaskannya. Berikut ini penjelasan dari sebagian
mereka:
I. Imam ar-Razi dalam
menafsirkan firman Allah swt; ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka ..." mengatakan: Makna lahiriah ayat itu
menunjukkan bahwa taqiyah hanya dibolehkan dilakukan terhadap orang-orang kafir
yang merupakan mayoritas. Namun, Imam asy-Syafi'i ra berkata: "Jika
keadaan di tengah sesama kaum Muslim sama dengan keadaan antara kaum Muslim dan
kaum kafir, taqiyah itu dibolehkan untuk melindungi diri." la mengatakan,
"Taqiyah itu dibolehkan untuk memelihara diri." Tetapi, apakah
taqiyah juga dibolehkan untuk memelihara harta? Kemungkinan hal itu dibolehkan
berdasarkan sabda Rasulu1lah saw: "Kemuliaan harta seorang Muslim seperti
kemuliaan darahnya." Selain itu, beliau juga pernah bersabda,
"Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, ia mati
syahid."
2. Jamaluddin
al-Qasimi menukil hadis dari Imam Murtadha al- Yamani dalam kitabnya Itsar
al-Haqq 'ala al-Khalq. Teksnya sebagai berikut: "Bekal kebenaran yang
samar dan tersembunyi ada dua hal. Pertama, ketakutan para arif-dengan
jumlah mereka yang sedikit-kepada para ulama yang jahat dan penguasa yang lalim
dengan bolehnya menempuh taqiyah dalam hal itu adalah disyariatkan dalam
Al-Qur’an dan ijmak kaum Muslim. Hal itu selama ketakutan tersebut masih
menjadi perintang untuk menampakkan kebenaran dan orang yang benar masih
dipandang musuh oleh kebanyakan orang. Telah diriwayatkan hadis sahih dari Abu
Hurairah ra bahwa-pada masa awal Islam-ia berkata, "Saya menjaga dua
bejana dari Rasulullah saw. Yang pertama, saya sebarkan kepada orang-orang,
sedangkan yang kedua,jika saya menyebarkannya, tentu tenggorokan ini akan
terputus.”
3. Dalam menafsirkan
ayat, "Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia
mendapat kemumaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam keimanan, " al-Maraghi berkata, "Termasuk ke da1am
taqiyah adalah menampakkan kekafiran, kelaliman, dan kefasikan, serta
melembutkan perkataan, tersenyum, dan menyumbangkan harta kepada mereka.
Niscaya ha1 itu dapat menahan tindakan keras mereka dan memelihara kehormatan
dari tindakan mereka. Ha1 itu tidak termasuk da1am kesetiaan ( muwtilat) yang
dilarang.
Bahkan hal itu
disyariatkan. Ath- Thabrani telah meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
"Sesuatu yang digunakan untuk memelihara kehormatan seorang Mukmin adalah
sedekah."
Kaum Syi'ah
melakukan taqiyah terhadap orang-orang kafir dalam kondisi-kondisi tertentu
untuk tujuan yang sama dengan tujuan yang dilakukan kaum Ahlusunah. Selain itu,
karena sebab- sebab yang jelas, seorang Syi'ah melakukan taqiyah kepada
saudaranya yang Muslim. Hal itu bukan karena sikap melampaui batas pada orang
Syi'ah, melainkan saudaranya yang memaksa ia melakukan hal itu. Sebab, ia
menyadari bahwa pengusiran dan pembunuhan pasti ditimpakan kepadanya apabila ia
menampakkan keyakinannya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan akidah
Islam. Memang, hingga saat ini, orang Syi 'ah menghindari untuk mengatakan
bahwa Allah itu tidak memiliki arah atau bahwa Dia tidak terlihat pada hari
kiamat, serta dalam perujukan (marja'iyah) keilmuan dan politik adalah
kepada ahlulbait sepeninggal Nabi saw atau bahwa hukum mut'ah tidak dihapus.
Apabila orang Syi'ah menampakkan kebenaran-kebenaran ini- yang bersumber dari
Al-Qur'an dan sunah-dirinya akan terancarn bencana danbahaya. Telah dikemukakan
kepada Anda pendapat ar-Razi, Jamaluddin al-Qasimi, dan al-Maraghi yang begitu
jelas tentang bolehnya melakukan taqiyah jenis ini. Maka mengkhususkan taqiyah
dengan taqiyah terhadap orang kafir semata merupa- kan kejumudan terhadap makna
lahiriah ayat, menutup pintu pemahamannya, penolakan terhadap substansinya yang
telah disyariatkan untuk taqiyah, dan meniadakan hukum akal yang menetapkan
untuk menjaga yang paling penting apabila tampak yang penting.
Sejarah kita
mengemukakan tentang sejumlah pemuka kaum Muslim yang menempuh taqiyah dalam
kondisi-kondisi sulit atau ketika kehidupan dan segala yang mereka miliki
terancam kebinasaan. Contoh yang paling baik untuk itu adalah yang dikemukakan
ath-Thabari dalam kitab tarikhnya (7/195-206) tentang usaha al-Ma'mun untuk
memaksa para hakim dan ahli hadis di zamannya untuk menyatakan bahwa Al-Qur'an
itu makhluk. Se-- hingga untuk itu mereka diancam akan dibunuh semuanya tanpa
belas kasihan. Ketika para ahli hadis itu melihat pedang terhunus, mereka memenuhi
keinginan al-Ma'mun dan menyembunyikan akidah mereka. Ketika mereka dicela
karena berpendapat sesuai dengan keinginan al-Ma’mun, mereka membenarkan
tindakan mereka dengan menganalogikannya pada perbuatan ‘Ammar bin yasir ketika
dipaksa untuk menjadi musyrik sementara hatinya tenang dalam keimanan. Kisah
ini sangat terkenal dan sangat jelas tentang bolehnya menempuh taqiyah yang
mendorong sebagian orang menimpakan celaan kepada kaum Syi’ah. Seakan-akan
mereka itu orang-orang yang mengada-adakannya dari pemikiran mereka sendiri
tanpa dilandasi kaidah dan prinsip-prinsip Islam.
Kondisi-kondisi Sulit yang
Dilalui Kaum Syi'ah yang mendorong kaum Syi'ah untuk melakukan taqiyah terhadap
saudara mereka dan para penganut agama mereka hanyalah karena ketakutan
terhadap kekuasaan yang tiran. Kalau dalam masa-masa lalu-dari masa dinasti
Umayah, kemudian Abbasiyah dan Utsmaniyah-tidak ada tekanan terhadap kaum
Syi'ah, serta negeri dan rumah mereka tidak dialiri darah mereka dan sejarah
merupakan bukti paling baik untuk itu, maka adalah masuk akal kalau kaum Syi'ah
melupakan kata taqiyah dan membuangnya dari catatan kehidupan mereka. Akan
tetapi, sayang sekali, kebanyakan saudara mereka tunduk kepada kekuasaan
Dinasti Umayah dan Abbasiyah yang memandang mazhab Syi'ah sebagai bahaya yang
mengancam kedudukan mereka. Maka masyarakat Ahlusunah membangkitkan permusuhan
terhadap kaum Syi 'ah dengan membunuh dan mengintimidasi mereka. Oleh karena
itu, sebagai akibat kondisi-kondisi sulit itu, kaum Syi'ah, bahkan setiap orang
yang memiliki sedikit saja akal, tidak memiliki cara lain kecuali berlindung
pada taqiyah atau mengangkat tangan dari prinsip-prinsip suci yang menurut
mereka lebih berharga daripada diri dan harta.
“Bukti-bukti tentang
hal itu lebih banyak daripada yang dapat dihitung. Namun, kami akan
membentangkan sebagiannya secara ringkas. Di antaranya, surat Mu'awiyah yang
menghalalkan darah kaum Syi'ah di mana saja mereka berada dan bagaimanapun
keadaan mereka. Berikut ini teks tentang peristiwa tersebut yang disebutkan
dalam sumber-sumber rujukan untuk mengetahui bencana yang menimpa kaum Syi'ah.
Penjelasan
Mu'awiyyah kepada para Pegawainya
Abu al-Hasan ‘Ali
bin Abi Sayf al-Mada 'ini meriwayatkan hadis dalam kitabnya al-Ahdats. la
berkata, "Mu.awiyah menulis selembar surat kepada para pegawainya:
'Batalkanlah jaminan terhadap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab dan
ahlulbait- nya.' Maka para khatib di setiap desa dan di atas setiap mimbar
melaknat ' Ali dan berlepas diri darinya. Mereka mencacinya beserta
ahlulbaitnya. Orang-orang yang mendapat bencana paling besar ketika itu adalah
masyarakat Kufah, karena banyak di antara mereka yang menjadi pengikut 'Ali as.
Ziyad bin Sumayah diangkat menjadi gubernur Kufah yang telah digabungkan dengan
Basrah. la mengetahui betul para pengikut Syi’ah karena ia adalah penduduk
daerah itu pada masa kekhalifahan 'Ali as. Maka ia membunuh mereka di bawah
setiap batu dan lumpur, mengamcam mereka, memotong tangan dan kaki mereka,
mencongkel mata mereka, menyalib mereka di pohon kurma, dan mengusir mereka
dari lrak. Maka tidak ada lagi yang tersisa dari mereka. Mu'awiyah mengirim
surat kepada para pegawainya di seluruh wilayah agar tidak memberikan kesaksian
kepada siapa pun pengikut 'Ali dan ahlulbaitnya."
Kemudian ia mengirim
selembar surat kepada para pegawainya di seluruh wilayah, "Perhatikanlah,
barangsiapa yang terbukti bahwa ia mencintai 'Ali dan ahlulbaitnya, maka
hapuslah ia dari buku catatan (Baitul Mal), dan hentikanlah pemberian dan bagi-
annya." Hal itu ditegaskan dengan surat yang lain, "Siapa saja yang
kalian duga setia kepada mereka, maka hukumlah dan hancurkan rumahnya."
Tidak ada bencana di lrak, terutama di Kufah. yang lebih besar daripada itu.
Sehingga pengikut 'Ali as didatangi oleh orang yang dipercayainya lalu
menyampaikan rahasianya, tetapi ia sendiri takut kepada pelayan dan budak orang
itu. la tidak menyampaikannya sebelum orang itu benar-benar bersumpah untuk
merahasiakannya.
Ibn Abi al-Hadid
menambahkan, "Hal itu terus berlangsung hingga al-Hasan bin ' Ali as
Wafat. Maka bencana dan ujian semakin besar. Tidak tersisa seorang pun dari
pihak ini kecuali terancam nyawanya atau diusir dari negerinya.
Kemudian bencana itu
memuncak setelah al-Husain as wafat dan 'Abd al-Malik bin Marwan menjadi
khalifah. Maka semakin besar bencana yang ditimpakan kepada kaum Syi'ah. Ketika
al- Hajjaj bin Yusuf berkuasa, para ulama mendekatinya dengan menampakkan
kebencian kepada ' Ali dan kesetiaan kepada musuh- musuhnya serta kesetiaan
kepada sebagian orang yang mengaku bahwa mereka pun adalah musuhnya. Para ulama
itu membuat banyak riwayat tentang keutamaan mereka dan menyebarkan kebencian,
cacian, dan celaan kepada ' Ali as. Sehingga ada seseorang yang berdiri di
hadapan al-Hajjaj-dikatakan bahwa ia adalah kakeknya al-Ashma'i-, 'Abd al-Malik
bin Quraib bin Quraib. la berteriak, "Hai Amir, keluargaku sangat
membenciku. Maka mereka menamaiku ' Ali. Aku ini seorang fakir. dan sangat
berhajat pada hubungan dengan tuan." Maka al-Hajjaj tertawa dan berkata,
"Sungguh bagus caramu mencari perantara. Aku mengangkatmu untuk memimpin
daerah anu."
Akibatnya, kaum
Syi'ah menyaksikan pembunuhan keji oleh para penguasa yang lalim. Maka ribuan
di antara mereka terbunuh. Adapun sebagian dari mereka yang masih hidup diancam
dengan berbagai bentuk ancaman dan teror. Yang pantas disebutkan, di antara
hal-hal yang menakjubkan, kelompok ini dapat terus bertahan kendati menghadapi
kelaliman yang besar dan pembunuhan yang keji. Bahkan yang sangat mengherankan,
Anda mendapati kelompok ini terus bertambah kuat, dapat mendirikan
pemerintahan, membangun peradaban, dan banyak dari mereka yang muncul sebagai
ulama dan pakar.
Kalau saudara yang
Sunni memandang taqiyah sebagai sesuatu yang haram, maka hilangkanlah tekanan
terhadap sudaranya yang Syi'ah dan tidak mempersempit kebebasan yang
diperkenankan Islam kepada para pemeluknya. Hendaklah diberikan kebebasan
kepadanya dalam menjalankan akidah dan amalannya. Sebagaimana diberikan kebebasan
kepada banyak orang yang menyimpang dari Al-Qur'an dan sunah, serta menumpahkan
darah dan merampas tempat tinggal, apalagi kepada kelompok yang memeluk agama
yang sama dan sepakat dengannya dalam banyak ajaran akidahnya. Kalau Mu'awiyyah
dan para pembantunya serta Dinasti Abbasiyyah semuanya dianggap sebagai telah
berijtihad dalam menyiksa dan menumpahkan darah orang-orang yang menentang
mereka, maka apa yang menghalanginya untuk memberikan kebebasan kepada kaum
Syi'ah dengan menganggap mereka telah berijtihad (dalam melakukan
taqiyah-penj.).
Apabila mereka
mengatakan-dan itu sesuatu yang aneh- bahwa orang-orang yang memberontak
terhadap Imam 'Ali as tidak merusak rasa keadilan orang-orang yang memberontak
tersebut. Yang di antara pemukanya adalah Thalhah, az-Zubair, dan Ummul
Mukininin 'Aisyah. Dan bahwa tersebamya fitnah di Shiffin-yang berakhir dengan
terbunuhnya banyak sahabat dan tabi'in serta tertumpahnya darah ribuan orang
lrak dan Syam tidak mengurangi sedikit pun kewaraan orang-orang yang saling
berperang itu. Bahkan setelah itu mereka dipandang sebagai mujtahid dan
dimaafkan. Mereka memperoleh pahala orang yang berijtihad walaupun keliru dalam
ijtihadnya. Maka mengapa mereka tidak bergaul dengan kaum Syi'ah berdasarkan
prinsip ini dan berpendapat bahwa mereka itu dimaafkan dan memperoleh pahala?
Memang, taqiyah di
kalangan kaum Syi'ah kadang-kadang meningkat intensitasnya dan kadang-kadang
berkurang bergantung pada kuat dan lemahnya intimidasi (yang ditujukan kepada
mereka). Terdapat perbedaan besar antara zaman al-Ma'mun yang membolehkan
orang-orang memuji ahlulbait dan memuliakan kaum 'Alawi, dan zaman al
Mutawakkil yang memotong lidah orang- orang yang menyebut keutamaan mereka.
Inilah Ibn
as-Sikkit, salah seorang sastrawan pada zaman al- Mutawakkil. Al-Mutawakkil
telah memilihnya menjadi guru bagi kedua putranya. Pada suatu hari,
al-Mutawakkil bertanya kepadanya, "Siapakah yang engkau cintai, kedua
putraku atau al-Hasan dan al-Husain? ‘Ibn as-Sikkit menjawab, "Demi Allah,
Qanbar, pelayan ‘Ali as lebih baik daripadamu dan kedua putramu”. Maka
al-Mutawakkil berkata (kepada para pengawalnya) , "Potonglah lidahnya dari
tengkuknya”. Kemudian mereka melakukannya hingga sastrawan wafat. Peristiwa itu
terjadi pada malam Senin tanggal 5 Rajab 244 H. Ada juga yang mengatakan, tahun
243 H. Ketika itu umurya 28 tahun. Ketika ibn as-Sikkit wafat, al-Mutawakkil
mengirimkan uang sepuluh ribu dirham kepada putra Ibn as-Sikkit, Yusuf. la
mengatakan. "Ini adalah diyat (denda) atas kematian ayahmu”
Ibn
ar-Rumi. seorang penyair 'Abqari, dalam qashidahnya yang berisi
ratapan (ratsa), atas kematian Yahya bin ‘Umar bin al-Husain bin Zaid
bin ‘Ali. mengatakan:
Apakah
di setiap waktu ada korban suci dari keluarga Nabi Muhammad yang gugur
berlumuran darah
Wahai
Bani Muhammad, berapa banyak sudah manusia memangsa jasadmu
Sabarlah,
tak lama lagi akan datang penolong untuk musibahmu Apakah setelah Husain
menjadi syahid pelita-pelita di langit
masih
akan bercahaya terang dan memberi petunjuk?
Jika demikian keadaan keturunan
Nabi saw, maka bagaimana halnya dengan para pengikut mereka dan orang-orang
menapaki jejak-jejak mereka?
Allamah asy-Syahristani
berkata, "Taqiyah adalah syiar setiap orang yang lemah dan terampas
kebebasannya. Syi'ah lebih terkenal akan taqiyahnya daripada yang lain. Sebab,
Syi’ah terus-menerus diuji dengan tekanan yang lebih besar daripada tekanan
yang ditimpakan kepada umat yang lain. Kebebasannya dirampas pada seluruh masa
Daulah Umayah, sepanjang masa Dinasti Abbasiyah, dan selama beberapa masa
Daulah Utsmaniyah. Oleh karena itu, mereka menyiarkan taqiyah lebih gencar
daripada yang dilakukan kaum yang lain. Ketika Syi 'ah berbeda dari
kelompok-kelompok yang bertentangan dengannya dalam bagian penting akidah,
ushuluddin, dan banyak hukum-hukum fiqih, perbedaan itu secara alami
memunculkan pengawasan (dari pihak musuh-penj.). Pengalaman membenarkan ha1
itu. Oleh karena itu, pengikut para imam ahlulbait selama waktu yang lama
terpaksa me- nyembunyikan tradisi, akidah, fatwa, kitab, atau yang lainnya yang
berbeda dengan kelompok yang lain. Dengan cara ini mereka melindungi diri dan
memelihara kecintaan dan persaudaraan dengan saudara-saudara sesama kaum
Muslim, agar tonggak ketaatan tidak patah dan agar orang-orang kafir tidak
merasakan adanya perbedaan apa pun dalam masyarakat Islam sehingga mereka
memperlebar jurang perbedaan itu di tengah umat Muhammad.
Untuk tujuan-tujuan
suci ini, Syi’ah menggunakan taqiyah dan memelihara persetujuannya secara
lahiriah dengan kelompok-kelompok lain. Dalam hal itu mereka mengikuti perilaku
para imam dari keluarga Muhammad dan hukum-hukum mereka yang teguh tentang
wajibnya taqiyah, karena "Taqiyah adalah agamaku dan agama
leluhurku". Sebab, agama Allah berja1an di atas sunnah taqiyah bagi
orang-orang yang terampas kebebasannya. Hal itu berdasarkan dalil-dalil dari
ayat-ayat Al-Qur'an.
Diriwayatkan
dari orang-orang terpercaya dari ahlulbait as dalam atsar yang sahih:
"Taqiyah adalah agamaku dan agama leluhurku" Barangsiapa yang tidak
bertaqiyah, tidak ada agama baginya."
Taqiyah, merupakan
syiar ahlulbait as untuk menolak bahaya dari mereka dan para pengikut mereka,
dan melindungi darah mereka. Selain itu, taqiyah dilakukan untuk memperbaiki
keadaan kaum Muslim, berpartisipasi dengan mereka, dan menyatukan kembali mereka.
Hal itu senantiasa menjadi tanda yang dikenal Syi’ah Imamiyah yang berbeda dari
kelompok-kelompok dan umat-umat lainnya. Jika setiap orang merasakan adanya
bahaya atas diri atau hartanya disebabkan tersebar keyakinannya atau ia
menampakkannya, ia harus menyembunyikannya dan melakukan taqiyah pada
tempat-tempat yang berbahaya itu. Ini sesuatu yang dituntut fitrah dan akal.
Seperti telah
diketahui, Syi’ah Imamiyah dan para imam mereka menghadapi berbagai bentuk
ujian dan perampasan kebebasan dalam semua generasi yang tidak dialami oleh
kelompok atau umat mana pun. Pada sebagian besar generasi, mereka terpaksa
melakukan taqiyah dalam pergaulan mereka dengan orang-orang yang menentang
mereka, tidak menampakkan keyakinan, serta menyembunyikan akidah dan arna1an
mereka yang berbeda dengan orang lain. Sebab, jika tidak demikian, niscaya
bahaya menimpa mereka di dunia ini.
Untuk
a1asan ini, mereka dikena1 dan dibedakan dari kelompok lain dengan taqiyah.
Taqiyah memiliki
beberapa ketentuan dalam hal wajib dan tidak wajibnya berdasarkan tingkat
ketakutan akan bahaya. Perinciannya disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.
Batasan Taqiyah
Anda telah mengetahui pengertian dan tujuan taqiyah serta dalilnya. Kini akan dijelaskan batasan-batasannya.
Syi'ah dikenal dengan
taqiyah. Mereka melakukan taqiyah dalam ucapan dan perbuatan. Maka hal itu
menjadi sumber kebingungan dalam benak orang-orang bodoh. Mereka mengatakan
bahwa karena taqiyah termasuk prinsip-prinsip ajaran Syi'ah, maka tidak boleh
bersandar pada semua yang mereka ucapkan, mereka tulis, dan mereka sebarkan.
Sebab, sangat mungkin tulisan- tulisan itu merupakan pengakuan belaka,
sedangkan kenyataannya adalah sesuatu yang lain. Inilah yang berulang-ulang
kami dengar dari mereka.
Akan tetapi, kami
mengajak pembaca yang mulia melihat bahwa taqiyah hanya dilakukan dalam batasan
masalah-masalah pribadi dan bersifat parsial ketika merasakan ketakutan atas
diri. Jika alasan-alasan menunjukkan bahwa dalam menampakkan akidah atau
mempraktekkan amalan menurut mazhab ahlulbait kemungkinan akan mendatangkan
bahaya kepada seorang Mukmin, inilah salah satu kasusnya. Akal dan syariat
menetapkan keharus- an melakukan taqiyah sehingga hal itu akan melindungi
dirinya dari bahaya. Adapun hal-hal yang bersifat universal yang berada di luar
lingkup ketakutan, maka tidakdilakukan taqiyah. Tulisan-tulisan yang tersebar
tentang Syi'ah termasuk dalam bentuk terakhir ini. Sebab, dalam hal itu tidak
ada ketakutan untuk menulis sesuatu yang berteniangan dengan yang diyakini.
Padahal, tidak ada keharusan (melakukan taqiyah) sama sekali dalam hal ini se-
hingga ia diam dan tidak menulis apa pun.
Apa
yang mereka dakwakan bahwa tulisan-tulisan itu merupakan pengakuan belaka yang
tidak berdasar adalah bersumber dari sedikitnya pengetahuan mereka terhadap
hakikat taqiyah menurut Syi'ah. Alhasil, Syi'ah hanya melakukan taqiyah pada
suatu masa ketika tidak memeliki pemerintahan yang melindungi mereka dan tidak
ada kekuatan untuk menolak bahaya dari mereka. Adapun pada masa kini, tidak
diperkenankan dan tidak dibenarkan me- lakukan taqiyah dalam kasus-kasus
khusus.
Syi 'ah, seperti
yang telah kami sebutkan, tidak berlindung pada taqiyah kecuali setelah
terpaksa untuk melakukan hal itu. ltulah yang benar. Saya tidak yakin ada
seorang pun yang melihat permasalahan-permasalahan tersebut dengan akalnya,
bukan dengan emosinya, akan menentang hal itu. Kecuali, di antara hal- hal yang
bisa diterima dalam sejarah kesyiahan, ada pembatasan taqiyah dalam
fatwa-fatwa; Taqiyah tidak diterjemahkan ke dalam praktek kecuali sedikit
sekali. Bahkan secara praktis, mereka lebih banyak berkorban daripada orang
lain. Hendaknya setiap peneliti melihat sikap-sikap para pengikut Syi'ah
terhadap Mu'awiyah dan penguasa Dinasti Umayah lainnya, serta para penguasa
Dinasti Abbasiyah. Mereka itu seperti Hujur bin' Adi, Maitsam at- Tammar,
Rasyid al-Hijri, Kumail bin Ziyad, dan ratusan orang lainnya, juga seperti
sikap-sikap kaum ' Alawi sepanjang sejarah dan revolusi mereka yang
berkesinambungan.
Taqiyah yang Haram
Berdasarkan
hukumnya, taqiyah dibagi menjadi lima bagian. Sebagaimana wajib untuk
memelihara jiwa, kehormatan, dan harta, taqiyah juga haram dilakukan apabila
akan menimbulkan bahaya yang lebih
besar, seperti hancumya agama, tersembunyinya kebenaran bagi generasi-generasi
selanjutnya, penguasaan musuh terhadap urusan, kehormatan, dan tempat-tempat
per- ibadatan kaum Muslim. Oleh karena itu, Anda melihat bahwa kebanyakan
pemuka Syi'ah menolak melakukan taqiyah dalam beberapa masa. Mereka
mempersembahkan jiwa dan raga mereka sebagai korban untuk kepentingan agama.
Maka taqiyah itu me- miliki tempat-tempat tertentu. Selain itu, taqiyah yang
diharamkan juga memiliki tempat-tempat tertentu.
Pada dasamya,
taqiyah adalah menyembunyikan sesuatu yang berbahaya untuk ditampakkan hingga
hilang bahaya tersebut. la merupakan jalan paling utama untuk menyelamatkan
diri dari penyiksaan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kaum Syi'ah itu
pengecut, hilang kekuatan, penakut, ragu untuk melangkah, dan penuh kehinaan. Sama
sekali tidak. Taqiyah itu memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
Sebagaimana ia wajib dalam suatu masa, ia pun haram pada masa yang lain. Dalam
hal dibolehkan dan dilarang, taqiyah tidak didasarkan pada kekuatan dan
kelemahan, melainkan didasarkan pada kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Imam Khomeini as
pemah berkomentar tentang hal ini. Kami nukilkan teksnya hingga pembaca
mengetahui bahwa taqiyah memiliki ketentuan-ketentuan khusus dan kadang-kadang
dilarang dilakukan untuk kepentingan yang lebih agung. Imam Khomeini a.s.
berkata, "Taqiyah diharamkan dalam beberapa larangan dan
kewajiban-kewajiban yang dalam pandangan Pembuat syariat menempati kedudukan
yang tinggi, seperti penghancuran Ka'bah dan kuburan-kuburan suci, penolakan terhadap
Islam dan Al-Qur'an, penafsiran yang dilakukan suatu mazhab yang sesuai dengan
ateisme dan larang-larangan utama lainnya. Hal itu tidak dapat dijadikan dalil
dan bukan suatu bentuk keterpaksaan untuk melakukan taqiyah.
Hal itu ditunjukkan
da1am Mu'tabarah Mus'addah bin Shidqah. Di situ dikatakan, "Setiap sesuatu
yang dilakukan seorang Mukmin di tengah mereka, padahal seharusnya ia melakukan
taqiyah, selama tidak menimbulkan kerusakan dalam agama, maka itu boleh."
Dari
pengertian ini, jika orang yang melakukan taqiyah itu termasuk orang-orang yang
memiliki kedudukan dan kepentingan di mata manusia, padahal melakukan beberapa
perbuatan yang haram atau meninggalkan kewajiban dipandang sebagai melemah- kan
mazhab atau merusak kemuliaannya, seperti dipaksa me- minum khamar dan berzina,
maka bolehnya taqiyah dalam hal ini berdasarkan ketentuan dalil ar-raf dan
dalil-dalil taqiyah adalah sulit, bahkan dilarang. Yang paling utama dari itu
semua adalah tidak membolehkan taqiyah. Kalau salah satu prinsip Islam atau mazhab,
atau salah satu kewajiban agama terancam hilang, rusak, dan berubah, seperti
kalau orang-orang yang menyimpang hendak mengubah hukum-hukum waris, talak,
salat, haji, dan prinsip-prinsip hukum lainnya, apalagi dari prinsip-prinsip
agama atau mazhab, maka taqiyah dalam kasus seperti itu tidak diper- bolehkan.
Kepentingan disyariatkannya taqiyah adalah agar mazhab tetap utuh,
prinsip-prinsip tetap terpelihara, dan kesatuan kaum Muslim untuk menegakkan
agama dan prinsip-prinsipnya. Apabila agama dan prinsip-prinsipnya terancam
kerusakan, maka tidak boleh bertaqiyah. Hal itu tampak dengan jelas dari
penjelasan di atas.
Demikianlah,
telah kami jelaskan seluruh aspek taqiyah yang hakiki dan sebenamya. Dari
uraian itu, kami simpulkan sebagao berikut:
1.
Taqiyah merupakan prinsip Al-Qur'an yang didukung oleh sunah Nabi saw. Taqiyah
telah dilakukan pada masa risalah oleh orang menghadapi ujian di kalangan
sahabat untuk me- melihara dirinya. Rasulullah saw tidak menentangnya, bahkan
menegaskannya dengan nas Al-Qur'an, seperti yang menimpa ‘Ammar bin yasir yang
diperintah oleh Rasulullah saw untuk mengulanginya jika orang-orang musyrik itu
memaksanya lagi agar menjadi kafir.
2.
Taqiyah dalam pengertian pembentukan kelompok-kelompok rahasia untuk
tujuan-tujuan destruktif ditolak oleh kaum Muslim pada umumnya, dan khususnya
Syi’ah. Hal itu tidak ada hubungannya dengan taqiyah yang dianut kaum Syi .ah.
3. Para mufasir, dalam
kitab-kitab tafsir mereka, ketika menafsikan ayat-ayat yang berkenaan dengan
taqiyah, sepakat dengan apa yang dianut Syi’ah tentang bolehnya taqiyah.
4. Taqiyah tidak khusus
dilakukan terhadap orang kafir, melainkan juga secara umum dilakukan terhadap
orang Muslim yang menyimpang yang
ingin berbuat jahat dan keji kepada saudaranya.
5. Berdasarkan
pembagian hukum-hukumnya, taqiyah terbagi ke dalam lima bagian. Di antaranya,
taqiyah itu wajib dalam kasus tertentu dan haram dalam kasus yang lain.
6. Lingkup taqiyah
tidak melewati masalah~masalah individual, yaitu apabila dirasakan ada
ketakutan. Namun, jika ketakutan dan tekanan itu hilang, tidak ada alasan untuk
melakukan taqiyah.
Penutup
Kami
asumsikan bahwa taqiyah merupakan tindak kejahatan yang dilakukan seseorang
untuk memelihara jiwa, kehormatan, dan hartanya. Akan tetapi, pada hakikatnya,
hal itu kembali pada kondisi yang mengharuskan seorang Syi’ah yang Muslim
melakukan taqiyah dan mendorongnya menampakkan sesuatu dalam ucapan dan
perbuatan yang tidak diyakininya. Maka bagi orang yang mencela taqiyah terhadap
sesama Muslim yang tertindas hendaklah memberikan kebebasan kepada orang itu
dalam kehidupan dan membiarkannya di dalam keadaannya. Setidaknya yang dapat
dibenarkan akal adalah menanyakan kepadanya tentang dalil akidahnya dan sumber
pengamalannya. Jika didasarkan pada hujah yang jelas, ikutilah. Namun, jika
sebaliknya, maafkanlah ia dalam mengikuti ijtihad dan jihad ilmiahnya.
Kami mengajak kaum
Muslim untuk memperhatikan motif-motif yang mendorong kaum Syi’ah melakukan taqiyah.
Hendaklah mereka, sedapat mungkin, memberikan keleluasaan kepada saudara mereka
seagama. Karena setiap ahli fiqih Muslim memiliki pendapat dan pandangan serta
kesungguhan dan kemampuan- nya sendiri.
Kaum Syi’ah
mengikuti jejak para imam ahlulbait dalam akidah dan syariat; meriwayatkan
pendapat mereka. Sebab mereka adalah orang-orang yang dihilangkan oleh A1lah
kotoran dari mereka dan menyucikan mereka sesuci-sucinya dan salah satu dari tsaqalain
yang diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk dijadikan pegangan dalam
bidang akidah dan syariat. Inilah akidah mereka yang dapat diketahui oleh siapa
saja. Itulah hujah bagi semuanya.
Kami memohon kepada
Allah swt agar memelihara darah dan kehormatan kaum Muslim dari gangguan
orang-orang yang menyimpang; menyatukan barisan mereka; menyatukan hati mereka;
menyatukan kembali mereka; dan menjadikan mereka satu barisan dalam menghadapi
musuh. Sesungguhnya atas semua itu Dia Mahakuasa dan Mahapantas mengabulkan
doa.