Masalah
Kesepuluh:
Semua ulama fiqih sepakat bahwa ketika diceraikan, perempuan itu harus suci dari haid dan nifas. Dalam hal ini tidak ada per bedaan pendapat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal kesucian itu, apakah ia merupakan syarat sahnya talak atau syarat kesempurnaannya. Dengan kata lain, apakah ia merupakan hukum taklifi yang dikenakan kepada laki-laki yang menceraikan, yaitu ia harus melepaskan ikatan ketika perempuan itu suci dari haid dan nifas, sehingga Kalau menyimpang ia berdosa tetapi talaknya sah; atau ia merupakan hukum wadh’i yang mengikat keabsahan talak, sehingga jika tidak begitu talak itu batAl? Syi’ah Imamiyah dan sejumlah kecil pengikut mazhab-mazhab fiqih yang lain memilih yang kedua. Sedangkan kebanyakan mazhab yang lain memilih yang pertama. Berikut ini pembahasan pendapat mereka.
Syekh ath-Thusi
dalam Al-Khilaf berkata, “Talak yang haram adalah menceraikan
istri yang telah dicampuri ketika ia dalam masa haid atau suci setelah
dicampuri. Lalu, apa hukumnya, karena bagi kami talak itu tidak sah. Akad itu
tetap berlaku seperti semula. Pendapat ini dikemukakan lbn ‘Aliyyah. Tetapi
semua ulama fiqih berpendapat bahwa talak itu sah wAlaupun dilarang.
Pendapat ini juga dianut
oleh Abu Hanifah dan kawan-kawannya, MAlik, Al-Awza.i, ats-Tsawri, dan
asy-Syafi’i - dalil kami-sebagai ijmak firqah. Prinsipnya adalah tetap
berlakunya akad. Sedangkan sahnya talak tersebut memerlukan dalil syar’i. Juga
firman Allah swt: fathalliquhunna li’iddatihinna (maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] iddahnya (yang wajar).Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud adalah liqabla
‘iddtlihinna (sebelum masa iddah mereka) .Tidak ada perbedaan pendapat,
bahwa maksud ayat itu demikian wAlaupun tidak boleh dibaca seperti itu. Jika
diterima, hal itu menunjukkan apabila talak itu dilakukan selain pada masa
suci, talak tersebut haram dan dilarang. Larangan itu menunjukkan buruknya apa
yang dilarang.
Akan
dijelaskan kepada Anda bahwa ayat tersebut menunjukkan disyaratkannya kesucian
dari haid dan nifas ( dalam talak) .
Ibn
Rusyd tentang hukum orang yang melakukan talak pada masa haid, mengatakan,
"Para ulama berbeda pendapat dalam bebarapa hal berkenaan dengan hal itu.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Sedangkan ulama yang lain
mengatakan bahwa talak itu tidak boleh dilakukan dan tidak sah. Mereka yang
berpendapat bahwa talak itu boleh dilakukan mengatakan bahwa ia diperintahkan
untuk rujuk. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Satu kelompok mengatakan
bahwa hal itu wajib. la harus dipaksa melakukan itu. Pendapat ini dikemukakan
oleh MAlik dan kawan-kawannya. Sedangka.n kelompok lain mengatakan bahwa ia
dianjurkan untuk melakukan itu, tidak dapat dipaksa. Pendapat ini dikemukakan
oleh asy-syafi'i, Abu Hanifah, ats-Tsawri, danAhmad.
Al Jaziri memberikan
uraian terperinci dan menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha dalam kitabnya.
Inilah
pendapat-pendapat itu. Namun, pembahasan tersendiri menuntut dikesampingkannya
taklid dan melewati jAlan yang disusun kAlangan ulama sAlaf. Mereka berbicara
terang-terangan dan tidak takut pada celaan orang-orang yang menyimpang. Mereka
tidak takut kecuali kepada Allah. Kalau kita menemukan dalil yang menolak
pendapat-pendapat mereka dAlarn Al-Qur'an dan sunah, kedua sumber itulah yang
lebih patut diikuti.
Argumentasi dengan
Al-Qur'an
Allah swt berfirman, "Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu."
( QS. ath- Thalaq [ 65] : 1
)
Penjelasan kedalilan
ayat tersebut bergantung pada penjelasan makna iddah dalam ayat tersebut.
Apakah maksudnya tiga kali suci atau tiga kali haid? Perbedaan ini menyebabkan
perbedaan yang lain, yaitu dalam menafsirkan kata quru' dengan kesucian
atau haid.
Penjelasannya, para
fukaha berbeda pendapat dalam mengartikan firman Allah, "Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru"' (QS.
Al-Baqarah [2]: 228). Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
quru' adalah tiga kali suci. Dalam hal itu mereka berpegang pada hadis yang
diriwayatkan dari ' Ali as: Zurarah meriwayatkan dari Abu Ja 'far as: Aku
berkata, "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda. Bolehkan saya
mengatakan bahwa quru' yang disebutkan dalam AI-Qur'an itu berarti suci di
antara dua haid, bukan haid itu sendiri?" Imam as menjawab. "Benar”.
la juga pernah berkata; "Quru ' itu berarti suci: Pada masa itu darah
terkumpul. Kemudian, ketika tiba masa haid, darah itu dikeluarkan”
Sedangkan
mazhab-mazhab yang lain - kecuali sedikit sekali di antara mereka, seperti
Rabi'ah-berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru' adalah haid. Di sini bukan
tempatnya untuk membahas masalah tersebut. Melainkan kami ingin menjelaskan
bahwa-berdasarkan kedua mazhab-ayat tersebut menunjukkan disyaratkannya
kesucian ketika dilakukan talak. Setelah menge tahui bahwa orang yang
membolehkan talak pada masa haid mengatakan bahwa haid tersebut tidak dipandang
sebagai bagian dari quru', kami katakan sebagai berikut.
Jika
kita katakan bahwa yang dimaksud dengan iddah dalam firman Allah Swt: li’iddatihinna
adalah tiga kali suci maka huruf lam di situ berarti menunjukkan
tujuan (ghayah) dan sebab (ta’lil). Maka arti ayat tersebut
menjadi: "Maka ceraikanlah mereka agar mereka menunggu masa iddah".
Asalnya, tujuan itu disebutkan tepat di akhir kalimat itu tanpa pemisah-selama
tidak ada dalil lain yang menunjukkan sebaliknya. Misalnya, firman Allah swt, "Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka” (QS. an-Nahl [16]: 44); "Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur'an) ini melainkan agarkamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu" (QS.
an-Nahl [16]: 64). Kemungkinan, huruf tam itu menunjukkan akibat (lil
'aqibah) yang kadang- kadang di situ memisahkan antara tujuan (ghayah) dan
bagian akhirnya, seperti firman Allah SWT, "Maka dipungutlah ia oleh
keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi
mereka" (QS. Al-Qashash [28]: 8) tidaklah benar. Sebab, penggunaannya
dalam sesuatu yang jika hasilnya dipahami pada bagian akhirnya merupakan akibat
yang dipaksakan, bukan akibat yang muncul dengan sendirinya seperti yang
tertera dalam ayat itu, seperti ucapan mereka, Ladu lil mawt wabnu lil
khardb ( tumbuhkanllah yang mati dan bangunlah yang rusak) .
Jika
kami katakan bahwa iddah dalam ayat tersebut berarti tiga kali haid, padahal masa
haid saat dilakukannya talak tidak dipandang sebagai iddah menurut kesepakatan
mereka yang berpendapat bolehnya talak pada masa haid, maka perintahnya di situ
berarti permainan belaka dan menyegerakan sesuatu tanpa tujuan. Pada saat
seperti itu, para mufasir tidak menemukan solusi kecuali dengan menganggap
adanya kalimat yang tersembunyi, seperti mustaqbilatin li 'iddatihinna (mereka
dapat menghadapi masa iddah mereka). Misalnya,-dalam ucapan mereka: Laqaytuhu
li tsalats minasy syahr (Saya menemuinya tiga bulan lagi)." Maksudnya
tiga bulan mendatang. Berarti hal itu menunjukkan jatuhnya talak pada masa
suci. Hal itu karena apabila iddah itu berarti haid maka sebclumnya berarti
lawannya, yaitu kesucian.
Dari situ kami
menyimpulkan bahwa secara lahiriah ayat tersebut berkenaan dengan
disyaratkannya kesucian dari haid dalam sahnya talak.
Kemudian,
sebagian peneliti menyebutkan hikmah dalam larangan talak pada masa haid.
Yaitu, hal tersebut memperpanjang masa iddah bagi perempuan. Sebab, jika ia
sedang haid, haidnya tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Maka ia
harus menunggu hingga suci dari haidnya dan menyempumakan masa sucinya.
Kemudian ia memulai menghitung masa iddah dari haid berikutnya.
Ini berdasarkan
mazhab-mazhab Ahlusunah dalam menafsirkan kata quru' dan pada gilirannya
menafsirkan iddah dengan masa haid. Adapun menurut mazhab Imamiyah, quru '
ditafsirkan sebagai masa suci. Maka harus dikatakan, “Jika peempuan itu sedang
haid, haidnya itu tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Maka ia harus
menunggu hingga suci dari haidnya, dan iddah dimulai pada hari ia suci dari
haid tersebut."
Bagaimanapun, mereka
sepakat bahwa masa haid saat dijatuhkannya talak tidak dihitung sebagai bagian
dari masa iddah baik dengan disyaratkannya kesucian maupun tidak dihitungnya
iddah dari haid tersebut. Sehingga masa iddah bagi perempuan itu menjadi
panjang baik permulaannya adalah masa suci maupun masa haid berikutnya.
Argumentasi dengan Sunah
Banyak
hadis diriwayatkan dari para imam ahlulbait yang mensyaratkan kesucian.
Al-Kulaini meriwayatkan hadis dengan sanad sahih dari Abu Ja’far Al-Baqir as:
“Setiap talak tanpa iddah (sunah) bukanlah talak. Yaitu, perempuan ditalak
dalam masa haid, masa nifas, atau setelah digauli sebelum mengalami haid.
Karenanya talaknya tidak sah."
Ini menurut faham
Syi’ah. Adapun menurut faham Ahlul Sunah, yang penting bagi mereka dalam
mensahihkan talak pada masa haid adalah riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang
menceraikan istrinya ketika sedang mengalami haid: Hadis itu telah dikutip
dengan berbagai redaksi, di antaranya sebagai berikut.
Pertama,
hadis yang menunjukkan
tidak dipandang sah talak tersebut. Berikut ini penjelasannya.
I.
Abu az-Zubair ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam
masa haid. la menjawab, :Abdu1lah bin ‘Umar ra menceraikan istrinya dalam masa
haid pada zaman Rasulullah saw” Umar ra memberitahukan kepada Rasulullah saw,
“Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa haid” Nabi saw menjawab,
“Hendaklah ia kembali kepada istrinya” la mengembalikannya kepadaku dan
berkata, 'Jika ia telah suci, maka ceraikanlah ia atau tahanlah” Ibn ‘Umar
berkata, Nabi saw membaca ayat, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. ath- Thalaq [65]: I). Yakni,
sebelum berakhir masa iddahnya.
2. Abu az-Zubair
meriwayatkan: Aku bertanya kepada Jabir tentang seorang laki-laki yang
menceraikan istrinya ketika sedang haid. la menjawab, "Abdullah bin 'Umar
menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian 'Umar menemui Rasulullah saw dan
memberitahukan hal itu. Rasulullah saw menjawab, 'Hendaklahnya ia kemblli
kepadanya karena ia masih merupakan istrinya."'
3. Nafi’, budak Ibn
'Umar, meriwayatkan hadis dari Ibn 'Umar bahwa ia berkata tentang seorang
laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. Ibn 'Umar berkata,
"Talaknya tidak sah."
Kedua,
hadis yang berisi
penjelasan bahwa talak tersebut dipandang sebagai talak yang sah walaupun
diharuskan mengulangi talaknya. Berikut ini kutipannya.
1. Yunus bin Jubair
berkata: Aku bertanya kepada Ibn 'Umar, "Seorang laki-laki menceraikan
istrinya dalam masa haid." la menjawab, "Engkau tahu 'Abdullah bin
'Umar?" Saya jawab, "Ya." la berkata, "'Abdullah bin 'Umar
pernah menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian 'Umar ra menemui Nabi saw
dan menanyakan hal itu kepadanya. Kemudian beliau memerintahkan Ibri 'Umar agar
kembali kepada istrinya dan menceraikannya dalam masa 'iddahnya." Aku
bertanya, "Apakah talak tersebut dipandang sah?" Ia menjawab,
"Ya." la berkata, " Apakah kamu menganggap dia itu sudah pikun
dan bodoh?"
2.
Yunus bin Jubair berkata: Aku berkata kepada Ibn 'Umar bahwa seorang laki-laki
menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, "Tahukah engkau Ibn
'Umar? la menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian 'Umar bertanya kepada
Nabi saw Maka beliau memerintahkan agar Ibn 'Umar kembali kepada
istrinya." Aku bertanya, "Apakah talak tersebut dipandang sah?"
la menjawab, "Mengapa tidak? Apakah engkau menganggap bahwa ia sudah pikun
dan bodoh?"
3. Yunus bin Jubair
berkata: Aku mendengar Ibn 'Umar berkata, " Aku pemah menceraikan istriku
ketika ia sedang haid. Kemudian 'Umar bin Al-Khaththab ra menemui Nabi saw dan
memberitahukan hal itu. Nabi saw bersabda, "Hendaklah ia kembali kepada
istrinya. Apabila ia telah suci, silakan ia menceraikannya." Yunus
berkata: Kemudian aku bertanya kepada Ibn ‘Umar, "Apakah engkau
menganggapnya sah?" la menjawab, " Apa yang mencegahnya? Apakah
engkau mengira bahwa ia telah pikun dan bodoh?"
4. Anas bin Sirin berkata:
Aku pernah mendengar Ibn 'Umar berkata, " Aku menceraikan istriku dalam
masa haidnya. Kemudian 'Umar memberitahukan hal itu kepada Nabi saw. Maka
beliau bersabda, "Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Apabila ia telah
suci dari hadinya, silakan ia menceraikannya." Anas berkata: Aku bertanya
kepadanya-yakni kepada Ibn 'Umar ra- , " Apakah engkau menganggapnya
sah?" la menjawab, "Mengapa tidak?"
5. Anas bin Sirin
berkata: la menyebutkan hadis di atas. Tetapi dalam hadis itu, beliau bersabda,
"Hendaklah ia menceraikannya jika ia mau." Ibn 'Umar berkata: 'Umar
ra berkata, "Wahai Rasulullah, apakah Anda memandang sah perceraian
itu?" Beliau menjawab, "Ya."
6. Anas bin Sirin berkata:
Aku pernah bertanya kepada Ibn 'Umar tentang perceraiannya dengan istrinya. la
menjawab, " Aku menceraikannya dalam masa haidnya. Hal itu diberitahukan
kepada 'Umar yang kemudian memberitahukannya kepada Nabi saw. Maka beliau
bersabda, 'Perintahkanlah ia agar merujuknya kembali. Apabila istrinya telah
suci dari haidnya, silakan ia menceraikannya. ' Aku merujuknya, lalu
menceraikannya setelah ia suci dari haidnya." Anas bin Sirin bertanya,
" Apakah Anda menganggap sah perceraian dengan istrimu ketika ia sedang
haid?" la mehjawab, "Mengapa aku tidak menganggapnya sah walaupun aku
telah tua dan pikun."
7. ' Amir berkata:
Ibn 'Umar menceraikan istrinya yang sedang haid dengan talak satu. Kemudian
'Umar pergi menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Beliau
memerintahkan kepada 'Umar, "Jika perempuan itu telah suci dari haidnya,
hendaklah Ibn 'Umar merujuknya. Kemudian ia mengulangi talaknya ketika istrinya
sedang dalam masa iddah. Engkau boleh memandang sah talaknya yang
pertama."
8. Nafi'
meriwayatkan hadis dari Ibn 'Umar ra bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang
haid. Kemudian ‘Umar ra menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Nabi
saw memandang talak itu sebagai talak satu.
9. Sa'id bin Jubair
meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Umar ra : "Dipandang sah talak yang kulakukan
itu."
Ketiga,
riwayat-riwayat yang tidak
menjelaskan apakah talak itu sah atau tidak.
I. Ibn Thawus dari
bapaknya: la mendengar Ibn ‘Umar pemah ditanya tentang seorang laki-laki yang
menceraikan istrinya yang sedang haid. la
menjawab, "Tahukah engkau ‘Abdullah bin ‘Umar?" la menjawab,
"Ya." Kemudian Thawus berkata, "la pernah menceraikan istrinya
yang sedang haid. Kemudian ‘Umar ra pergi menemui Nabi saw dan memberitahukan
hal itu. Beliau memerintahkan agar Ibn ‘Umar kembali kepada istrinya." Thawus
berkata, "Saya mendengar tidak lebih dari itu."
2.
Manshur bin Abi wa'il: Ibn ‘Umar menceraikan istrinya yang sedang haid.
Kemudian Nabi saw memerintahkan kepadanya agar merujuknya kembali hingga ia
suci dari haidnya. Apabila istrinya telah suci, ia boleh menceraikannya.
3.
Maimun bin Mihran dari Ibn ‘Umar bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang
haid. Maimun bin Mihran berkata, "Kemudian Rasulullah saw memerintahkannya
agar ia kembali kepada istrinya hingga ia suci dari haidnya. Apabila istrinya telah
suci, ia boleh menceraikannya atau menahannya jika mau sebelum
mencampurinya."
Terdapat
satu riwayat lagi yang memiliki pengertian khusus yang berbeda dengan
riwayat-riwayat lainnya, yaitu riwayat dari Nafi: ‘Abdullah bin ‘Umar
menceraikan istrinya yang sedang haid pada zaman Rasulullah saw. Kemudian ‘Umar
bin Al-Khaththab menanyakan hal itu kepada Nabi saw. Beliau saw menjawab,
"Hendaklah ia kembali kepada istnnya. Hendaklah ia menahannya hingga
istrinya suci dari haidnya, kemudian mengalami haid, kemudian suci lagi. Jika
mau, ia boleh menahannya setelah itu atau menceraikannya sebelum digauli.
Itulah iddah yang diperintahkan Allah agar perempuan diceraikan pada waktu itu.
Setelah menyebutkan
riwayat-riwayat di atas, kami akan bahas kelompok riwayat yang lebih kuat ( rajih)
setelah mengetahui sanggahan-sanggahan yang ditujukan pada masing-masing
riwayat dan jawabannya.
Menyelesaikan Kontradiksi
Tidak diragukan,
riwayat-riwayat itu berkisar tentang satu kisah tetapi dalam bentuk yang
berlainan. Maka hujahnya berkisar antara bentuk-bentuk tersebut. Yang lebih
kuat adalah yang pertama karena sesuai dengan Al-Qur'an. Itulah hujah yang
qath'i. Sedangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an tidak dapat dijadikan
hujah. Maka yang dapat diamalkan adalah yang pertama.
Bentuk ketiga dapat
dirujukkan pada bentuk pertama karena tidak menyebutkan masa 'iddah dan sah.
Benar, di situ disebutkan rujuk yang kadang-kadang dipahami sebagai rujuk
setelah talak yang menunjukkan bahwa talak itu sah. Padahal, talak itu tidak
berarti apa-apa.
Yang dimaksud dengan
rujuk di situ adalah dalam pengertian bahasa, bukan rujuk kepada perempuan yang
telah ditalak raj’i. Hal itu ditegaskan Al-Qur'an yang menggunakan kata radd
dan imsak. Allah swt berfirman, "Dan suami-suaminya berhak
merujukinya (bi raddihinna) " (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Talak
itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi (fa imsak) dengan cara yang ma'ruf (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
Maka
rujukilah mereka (faamsikuhunna) dengan
cara yang ma'ruf (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Dan
janganlah kamu merujuki mereka (la
tamsikuhunna ) untuk memberi kemudharatan (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Benar,
penggunaan kata raj'ah (rujuk) dalam talak tiga adalah jika ia menikah
lagi dengan laki-laki lain lalu bercerai. Allah swt berfirman, "Kemudian
jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu mencerai- kannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan istri) untuk kawin kembali.(QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Kini, akan dibahas
nas-nas yang menunjukkan bahwa talak itu dipandang sah, dari bentuk kedua.
Untuk itu, perhatikan catatan-catatan berikut:
1. Penyimpangannya dari
Al-Qur’an dan menunjukkan tidak adanya anggapan bahwa talak itu sah.
2. Sebagian besar
riwayat yang menyebutkan bahwa talak itu sah tidak dinisbatkan kepada Nabi saw,
melainkan hanya dinisbatkan kepada pendapat Ibn 'Umar. Kalau Nabi saw
memerintahkan untuk memandang talak itu sah, tentu Ibn 'Umar besandar pada
perintah itu ketika memberikan jawaban kepada penanya. Tidak bersandamya Ibn
'Umar pada ketentuan Nabi saw menunjukkan bahwa hal itu tidak menunjukkan
adanya anggapan talak itu dari Nabi saw sendiri. Karenanya, nas-nas ini sejalan
dengan nas-nas yang tidak mengemukakan adanya anggapan bahwa talak itu sah.
Sebab, semua riwayat itu menunjukkan tidak adanya ketentuan Nabi saw tentang
sahnya talak tersebut. Kesimpulannya, sebagian riwayat tersebut meliputi
penisbatan anggapan sahnya talak tersebut kepada Ibn 'Umar sendiri. Itu
bukanlah hujah untuk menegaskan hukum syar'i. Benar, dua riwayat dari Nafi'
dengan dua redaksi yang berbeda menisbatkan adanya anggapan sahnya talak
tersebut dalam sAlah satu redaksinya kepada Nabi saw sendiri (riwayat keenam
pada bagian kedua). Padahal, yang kedua diriwayatkan dengan redaksi yang lain
yang berisi penisbatan kepada Ibn 'Umar dengan tidak adanya anggapan sahnya
talak tersebut (riwayat ketiga dalam bagian pertama) .
Adapun riwayat dari
Anas diriwayatkan dengan dua redaksi yang menunjukkan bahwa adanya anggapan
sahnya talak tersebut merupakan pernyataan Ibn 'Umar sendiri, bukan sabda
Rasulullah saw (riwayat kempat dan keenam dalam bagian kedua). Dengan redaksi,
riwayat itu menisbatkan adanya anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw
(riwayat kelima dalam bagian kedua) .Karena adanya kerancuan ini. riwayat
tersebut tidak dapat menegaskan penisbatan adanya anggapan sahnya talak
tersebut kepada Nabi saw.
3.
Asumsi tentang sahnya talak tersebut tidak sejalan dengan perintah Rasulullah
saw yang menyuruh merujuknya dan menceraikannya pada masa suci. Sebab, mereka
yang berpendapat sahnya talak tersebut yang dilakukan dalam masa haid tidak
membenarkan dilakukannya talak kedua dalam masa suci sesudahnya. Melainkan mereka
mensyaratkan diselinginya kedua masa suci itu dengan saat haid dan dilakukan
talak pada masa suci kedua. Karenanya, perintah Nabi saw untuk merujuk dan
menceraikannya pada masa suci kedua menafikan adanya anggapan sahnya talak
tersebut (yang pertama) adalah benar.
4.
Yang masyhur di dalam buku-buku sejarah adalah 'Umar mencela putranya sebagai
tidak mampu melakukan talak. Tampaknya hal itu menunjukkan bahwa apa yang
dilakukannya bukanlah talak syar'i.
Setelah
memperhatikan semua uraian di atas, jelaslah bahwa tidak benar menisbatkan
anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw. Yang tampak adalah bahwa nas
itu-dengan asurnsi bahwa nas itu ada-tidak mengandung pengertian adanya
anggapan sahnya talak tersebut dari Nabi saw. Melainkan hal itu merupakan
tambahan-tambahan dan dugaan-dugaan disebabkan kepuasan Ibn Umar atau sebagian
perawi hadis itu. Oleh karena itu, redaksi hadis itu menjadi rancu.
Adapun
riwayat dari Nafi' di atas, perhatikanlah. Riwayat itu tidak menunjukkan sahnya
talak yang pertama kecuali karena munculnya kata "rujuk" dalam sahnya
talak .Anda telah menge- tahui hal itu. Adapun perintah Nabi saw agar talak itu
dilakukan pada masa suci kedua setelah diselingi satu kali haid, dalam
sabdanya, "Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Hendaklah ia menahannya
hingga ia suci dari haid kemudian haid lagi dan kemudian suci lagi. Jika kamu
mau, tahanlah ia atau ceraikanlah ia sebelum dicampuri. Itu adalah iddah yang
diperintahkan agar perempuan diceraikan pada masa tersebut." Barangkali beliau
memerintahkannya setelah berlalu satu kali suci dan satu ha:id. Untuk menghukum
laki-laki (suami) yang tergesa-gesa melakukan talak dan menempatkannya tidak
pada tempatnya maka ia dipaksa untuk bersabar menunggu satu kali suci dan satu
kali haid. Apabila ia menghadapi masa suci kedua, hendaklah ia menceraikan atau
menahannya.
Setelah memahami
semua itu, kita dapat mentarjih hukum tentang batalnya talak dalam masa haid
kaena kerancuan penukilan hadis-hadis dari Ibn 'Umar, terutama setelah
memperhatikan ayat Al-Qur'an yang menunjukkan keharusan dilakukannya talak, itu
dalam masa iddah.