SHALAT JUM'AT
Kullu ardhin Karbala, kulluyaumin Ashura

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari jum’at maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah oleh kalian jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”

Imam Shadiq (as) berkata, “Barangsiapa meninggalkan salat Jum’at sebanyak tiga kali tanpa sebab maka Allah akan menutup hatinya.” Zurarah berkata, “Imam Shadiq (as) menganjurkan kami untuk salat Juma’at, sampai kami menyangka bahwa beliau ingin supaya kami selalu mendatanginya. Maka saya bertanya kepada beliau, ‘Apakah kami harus mendatangi Tuan?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, saya hanya bermaksud agar kalian melakukannya.’”

Bentuk Salat Jum’at

Imam Shadiq (as) berkata, “Salat Jum’at bersama imam dua rekaat … Salat Jum’at dijadikan dua rakaat karena dua khutbahnya, yang merupakan salat sampai imam turun dari mimbar.”

Beliau juga berkata, “Imam memakai jubah dan surban, bertelekan busur panah atau tongkat, duduk sebentar diantara dua khutbah dan mengeraskan bacaan pada kedua rakaatnya sebelum rukuk.”

Muhammad bin Muslim bertanya kepada Imam Shadiq tentang salat Jum’at. Beliau menjawab, “Dengan azan dan qamat. Imam keluar setelah azan, lalu naik mimbar dan berkhutbah. Jangan ada yang salat selama imam diatas mimbar. Kemudian imam duduk diatas mimbar seukuran pembacaan surat al-Ikhlas, kemudian berdiri dan memulai khutbah (khutbah kedua), lalu turun dan salat bersama orang-orang. Pada rakaat pertama, ia membaca surat al-Jumu’ah; pada rakaat kedua, surat al-Munafiqin.

Fukaha: Salat Jum’at terdiri dari dua rakaat. Ia merupakan pengganti salat zuhur. Disunahkan mengeraskan bacaan pada kedua rakaat tersebut, dan, setelah al-Fatihah, membaca surat al-Jumu’ah pada rakaat pertama dan surat al-Munafiqin pada rakaat kedua.

Ada yang berpendapat, disunahkan di dalamnya dua qunut: sekali pada rakaat pertama setelah membaca surat dan sebelum rukuk, dan sekali lagi pada rakaat kedua setelah rukuk. Penulis al-Madarik berkata, “Sandaran fatwa ini adalah sebuah riwayat yang daif.” Kemudian beliau menukil dari Syekh Shaduq, penulis Man La Yahdhuruh al-Faqih, salah satu dari kitab Empat yang terkenal itu, mengatakan, “Yang dilakukan dan difatwakan serta diyakini oleh guru-guruku rahmahumullah ialah bahwa qunut dalam salat, baik Juma’at atau bukan, adalah rakaar kedua sebelum rukuk.” Kemudian penulis al-Madarik berkata, “Syekh Mufid dan sekelompok fukaha berpendapat bahwa di dalam salat Jum’at terdapat satu kali qunut pada rakaat pertama. Dan hal inilah yang dipegang karena adanya banyak riwayat yang menunjukkan hal itu.”

Kami sendiri sependapat dengan Syekh Shaduq, yang mensunahkan satu kali qunut setelah membaca surat dan sebelum rukuk pada rakaat kedua, sebagaimana yang berlaku dalam seluruh salat, sebab itulah yang dikenal di kalangan kita dari jalan syariat. Juga, karena hal itu telah ditetapkan didalam sebuah riwayat sahih dari Mu’awiyah bin Ammar, bahwa Imam (as) berkata, “Saya tidak mengenal qunut kecuali sebelum rukuk.” Di dalam kitab Mustamsak al-‘Urwah oleh Sayyid Hakim (jilid IV, halaman 327, cetakan pertama), dengan menukil dari kitab al-Sara’ir, disebutkan, “Sekali qunut adalah ajaran mazhab dan jimak kita.”

Syarat-syarat Salat Jum’at

Salat Jum’at diwajibkan dengan beberapa syarat:

1.      Imam Maksum

Salat Jum’at menjadi wajib atas setiap mukalaf dengan adanya pribadi Maksum (Nabi atau para Imam [as]) atau orang yang ditunjuk olehnya (aebagai wakil) khusus untuk salat ini, atau untuk salat ini dan salat laim sekaligus. Muqaddas Ardebilli berkata di dalam Syarh al-Irsad, “Tidak ada dalil untuk syarat ini dari jalur Syi’ah kecuali ijmak.”

Para fukaha berikhtilaf : bolehkah mengadakan salat Jum’at pada masa gaib Imam (as), seperti masa sekarang ini, ataukah tidak? Sebagian mengatakan boleh, seperti Syekh Thusi, sementara yang lain mengatakan tidak boleh, seperti Syarif Murtadha.

Yang benar ialah bahwa salat Jum’at disyariatkan pada masa gaib Imam dengan jalan boleh memilih antara salat Jum’at dan salat Zuhur. Masyhur fukaha berpendapat seperti itu berdasarkan kesaksian Allamah Hilli di dalam kitab al-Tadzkirah dan berdasarkan ucapan Imam Shadiq (as) tentang  salat jum’at, “Jika telah berkumpul tujuh orang dan mereka tidak merasa takut, maka salah seorang dari mereka menjadi imam.” Lahiriah ucapan beliau ini ialah seorang dari mereka menjadi imam tanpa ditunjuk oleh Imam (as), apalagi tidak ada seorangpun yang menukil dari para Imam bahwa mereka telah menunjuk imam salat Jum’at secara khusus. Syekh Hamdani, di dalam kitab Mishbah al Faqih, berkata, “Tidak sepatutnya mempersoalkan lagi hal ini, sebagaimana juga tidak sepatutnya mempersoalkan bahwa jika salat Jum’at boleh maka salat Zuhur tidak wajib lagi.

Yang paling menarik ialah apa yang dikatakan oleh Syekh Yang Mulia, penulis al-Jawahir, ketika berbicara tentang syarat ini. Beliau berkata, “Sebagian ulama berlebihan dan sangat keras dalam mewajibkan salat Jum’at atas setiap mukalaf pada masa gaib, samapi-sampai tidak boleh ber-ihtiath dengan melakukan salat Zuhur bersamanya. Tidak ada sumber dari sikap berlebihan mereka ini kecuali cinta kedudukan dan kekuasaan serta peran yang mereka peroleh di negeri-negeri Ajam (bukan-Arab). Inilah kebiasaan mayoritas yang berpendapat seperti itu. Dikatakan bahwa sebagian lagi berlebihan dalam mengharamkan salat Jum’at ketika tidak punya kekuatan, tapi begitu mempunyai kekuatan, mereka pun berlebihan pula dalam mewajibkannya … Jika tidak karena khawatir membosankan, kami akan menukil sebagian besar ucapan mereka tentang masalah ini, dan akan kami buktikan kepada Anda kekeliruan dan keanehan-keanehan mereka.

Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh penulis al-Jawahir jika ia melihat para ulama sekarang yang telah berpaling dari Kitab Allah, sunah Nabi-Nya, ijmak ulama, dan sifat malu, dan menjadikan syahwat serta bahwa nafsu sebagai pengukur agama dan syariat …

Segala puji bagi Allah yang telah menjauhkan saya dari kedudukan yang demikian itu, yang telah memuliakan saya dengan kitab dan pena, serta mengarahkan saya untuk membahas dan mengkaji ajaran-ajaran keluarga Rasul yang suci (saw) dan ulama-ulama mereka yang mulia, seperti penulis al-Jawahir dan sebagainya.

 

2.      Jumlah  

Salat Jum’at tidak bisa diadakan kecuali oleh sedikitnya lima orang. Imam Shadiq (as) berkata, “Suatu kaum bisa mengadakan salat Jum’at jika jumlah mereka mencapai lima orang atau lebih. Jika kurang dari lima maka tidak ada salat Jum’at bagi mereka.”

Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa jumlah minimal adalah tujuh orang. Di dalam satu riwayat, angka tujuh dan lima sama-sama disebutkan. Zurarah berkata, “Saya bertanya kepada Imam Abu Ja’far Shadiq (as), ‘Atas siapakah kewajiban salat Jum’at itu?’ Beliau menjawab, ‘Atas tujug orang dari kaum Muslim. Dan tidak ada salat Jum’at jika kurang dari lima orang, sudah termasuk imam.’”

Banyak fukaha menggabungkan riwayat yang menyebut angka tujuh dan lima dengan mengatakan bahwa tujuh orang adalah syarat wajib ‘aini pada masa hadirnya Imam Maksum, sedangkan lima orang adalah syarat wajib takhyiri (boleh pilih) antara salat Jum’at dan salat Zuhur pada masa gaibnya Imam. Untuk penggabungan ini, mereka berdalil dengan riwayat zurarah di atas yang menyebutkan dua angka (tujuh dan lima) dan dengan ucapan Imam (as) di dalam riwayat lain, “Jika telah berkumpul lima orang, sudah termasuk imam, maka mereka boleh mendirikan salat Jum’at.” Kata-kata “mereka boleh” menunjukkan tidak adanya keharusan salat Jum’at, dan yang demikian itu jika Imam Maksum atau wakil khususnya tidak hadir.

 

3.      Dua Khutbah  

Ima Shadiq (as) berkata, “Imam Jum’at berkhutbah dalam keadaan berdiri dengan memuji Allah dan memuliakan-Nya, lalu mewasiatkan takwa kepada Allah, kemudian membaca satu surat pendek dari Al-Qur’an, lalu duduk, kemudian berdiri (untuk khutbah yang kedua) dan memuji Allah serta memuliakan-Nya, bershalat atas Muhammad dan para imam kaum Mulim, lalu meminta ampun untuk mukminin dan mukminat. Jika sudah selesai, muazin mengucapkan qamat, lalu imam (khatib) salat bersama jamaah dua rakaat. Pada rakaat pertama ia membaca surat al-Jumu’ah (setelah al-Fatihah), dan pada rakaat kedua surat al-Munafiqin.”

Fukaha : Mereka menganggap dua khutbah sebagai syarat, padahal keduanya sama hukumnya dan tata caranya dengan salat. Karena itulah Syekh Hamdani mengatakan bahwa menganggap keduanya sebagai syarat adalah musamahah (toleransi). Bagaimanapun, waktu dua khutbah adalah saat tergelincirnya matahari, bukan sebelumnya. Keduanya harus sebelum salat. Masing-masing dari keduanya harus mengandung hamdalah, salawat atas Nabi dan keluarganya, bacaan atau surat pendek atau satu ayat lengkap yang membawa manfaat. Imam wajib berkhutbah dalam keadaan berdiri jika mampu, dan memisahkan dua khutbah dengan duduk sebentar.

Disunahkan agar menjadi imam (sekaligus khatib) orang yang bagus bahasanya dan menjaga waktu-waktu salat fardu, memakai surban, baik di musim dingin di musim panas, dan memakai jubah Yamani.

 

4.      Berjamaah 

Seluruh kaum muslim sepakat bahwa salat Jum’at dilakukan berjamaah, tidak sah dilakukan sendiri-sendiri.

5.      Satu Salat Jumat 

Imam Shadiq (as) berkata, “Jika antara dua jamaah terdapat jarak tiga mil maka keduanya boleh mengadakan salat Jum’at.”

Bersandar pada riwayat ini, para fukaha berkata bahwa jika dua Jum’at didirikan sedangkan jarak antara keduanya tidak kurang dari satu farsakh maka keduanya sama-sama sah – telah kami sebutkan bahwa 1 farsakh adalah sekitar 6 kilometer. Jika antara keduanya kurang dari satu farsakh maka keduanya batal, kecuali jika kita mengetahui bahwa salah satunya mendahului yang lain, walau dengan takbiratul ihram.

6.      Waktu  

Salat wajib dilakukan pada awal tergelincirnya matahari sampai bayangan sesuatu sama panjang dengan sesuatu itu. Sesudah waktu ini, tidak boleh melakukan salat Jum’at, dan wajiblah salat Zuhur.

 

Yang Wajib Melakukan Salat Jum’at

Imam Abu Ja’far Shadiq, “Allah mewajibkan atas manusia 35 kali salat dari Jum’at ke Jum’at, yaitu  salat  Jum’at. Allah menggugurkan salat ini dari anak kecil, orang tua (yaitu yang sudah sangat tua), orang gila, musafir, budak, perempuan, orang sakit, orang buta, dan orang yang berada di dua farsakh – yaitu yang rumahnya berjarak sekian itu dengan tempat salat Jum’at.”

Riwayat-riwayat Ahlulbait (as) yang ada dalam sumber-sumber kami tidak menyebutkan orang pincang. Tapi para fukaha yang menyebutkannya. Mereka sepakat mengamalkan riwayat di atas, dan bahwa orang sakit, pincang, sangat tua, perempuan, musafir, dan setiap orang yang tidak berkewajiban salat Jum’at, jika ia hadir dan melakukannya, maka salatnya sah dan gugurlah salat Zuhur darinya. Tapi, orang semacam ini tidak bisa melengkapi jumlah orang yang dituntut dalam salat Jum’at. Jumlah salat minimal tersebut harus terpenuhi dengan selain orang pincang, buta, perempuan, atau budak.

Salat Jum’at terlewat dengan habisnya waktu. Tapi, orang yang wajib melakukannya, tidak mengadakannya jika terlewat, berdasarkan ucapan Imam (as), “Barangsiapa tidak melakukan salat bersama imam di dalam satu jamaah, maka tidak ada salat baginya dan tidak ada kewajiban qada atasnya.”