Masalah
Ketujuh:
Di antara yang membedakan
Syi’ah Imamiyah dari mazhab-mazhab lainnya adalah pendapat Imamiyah bahwa
kesaksian dua orang yang adil merupakan syarat dalam jatuhnya talak. Jika tidak
ada dua orang saksi yang adil maka talak itu tidak sah. Hal ini ditentang oleh
para fukaha yang lain
Syekh ath-Thusi
berkata, "Setiap talak yang tidak disaksikan oleh dua orang Muslim yang
adil, walaupun terpenuhi syarat- syarat lainnya, adalah tidak sah. Hal ini
ditentang oleh semua fukaha lain dan tidak seorang pun di antara mereka yang
menganggap keharusan adanya saksi."
Pembahasan ini tidak
terdapat di dalam kitab-kitab fiqih Ahlu- sunah. Masalah tersebut hanya
terbatas pada pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab tafsir ketika menafsirkah
firman Allah swt, “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujuklah mereka dengan baik ata.u lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” ( QS. ath- Thalaq [65 ] : 2)
.Ada di antara mereka yang menjadikan kesaksian itu sebagai syarat dalam talak
dan rujuk dan adapula yang menjadikannya sebagai syarat khusus dalam rujuk yang
dipahami dari kalimat: maka rujuklah mereka dengan baik.
Ath- Thabari
meriwayatkan hadis dari as- Saddi bahwa ia menafsirkan firman Allah swt: dari
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu kadang-kadang dalam rujuk. la pun berkata, “Hadirkanlah saksi dalam menahan
itu jika mereka menahan istri-istrinya." Yang dimaksud adalah rujuk. Di
tempat lain disebutkan bahwa persaksian itu dalam rujuk dan dalam talak. la
berkata, “(Persaksian itu) adalah ketika dilakukan talak dan ketika dilakukan
rujuk."
Dinukil
dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menafsirkannya (persaksian itu) dalam talak dan rujuk.
As-Suyuthi
berkata, “‘Abdur Razzaq
meriwayatkan hadis dari 'Atha': Nikah itu dengan saksi, talak itu dengan saksi,
dan rujuk itu juga dengan saksi."
'Imran bin Hushain
ditanya tentang seorang laki-laki yang menalak istrinya tanpa kehadiran saksi
dan merujuknya kembali tanpa kehadiran saksi. la menjawab, “Itu merupakan
seburuk-buruk perbuatan. la menalak istrinya dengan cara bid'ah dan merujuknya
kembali dengan tidak mengikuti sunah. Hendaklah ia menghadirkan saksi dalam
talak dan rujuknya. Dan hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah."
Al-Qurthubi berkata,
“Firman Allah swt: ...dan persaksikanlah ...memerintahkan kepada kita
untuk menghadirkan saksi dalam melakukan talak. Ada pula yang berpendapat bahwa
harus menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk. Yang jelas, keharusan
persaksian itu adalah dalam rujuk, tidak dalam talak. Kemudian, persaksian itu
hukumnya mandub (sunah) menurut Abu Hanifah, seperti firman Al1ah swt, dan
persaksikanlah jika kalian melakukan jual beli. " Sedangkan menurut
Imam Syafi’i, persaksian itu wajib dalam rujuk.
Al-Alusi berkata, “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil ketika melakukan rujuk jika
kalian memilihnya atau ketika melakukan talak jika kalian memilihnya sebagai
upaya melepaskan diri dari kecurigaan."
Masih banyak
pendapat-pendapat lain tentalig penafsiran ayat tersebut.
Ada dua ulama yang
mengungkapkan hakikat ini. Mereka adalah Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi
al-Mishri dan Syekh Abu Zahrah. Ahmad
Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri, setelah menukil dua ayat pertama surah ath-
Thalaq, mengatakan, "Yang tampak dari konteks kedua ayat itu adalah bahwa
firman Allah ...dan persaksikanlah ...berlaku dalam talak dan rujuk
sekaligus. Perintah itu menunjukkan wajib karena madlul (yang
ditunjukkannya) adalah sesuatu hakiki. Perintah itu tidak ditujukan pada
sesuatu yang bukan wajib-seperti mandub-kecua1i dengan adanya qarinah.
Sedangkan di sini tidak ada qarinah yang memalingkannya pada selain wajib.
Bahkan qarinah-qarinah yang ada di sini menegaskan pengertiannya sebagai
sesuatu yang wajib."
Selanjutnya ia
mengatakan, "Barangsiapa yang menghadirkan saksi dalam melakukan talak
maka talaknya itu dilakukan sesuai dengan cara yang telah diperintahkan.
Seperti itu pula orang yang menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk.
Barangsiapa yang tidak melakukan demikian, ia telah melalaikan hukum-hukum
Allah yang telah ditetapkan sehingga perbuatannya itu menjadi batal, tidak
menghasilkan konsekuensi apa-apa."
Kemudian ia
menambahkan, "Syi’ah berpendapat wajibnya menghadirkan saksi dalam talak,
karena hal itu merupakan salah satu rukunnya. Tetapi mereka tidak mewajibkannya
dalam rujuk. Membedakan di antara keduanya merupakan sesuatu yang aneh, tanpa
dalil."
Abu
Zahrah berkata, "Para fukaha Syi’ah lmamiyah dan Isma’iliyah mengatakan
bahwa talak itu tidak sah tanpa kehadiran dua orang saksi yang adil. Hal itu
berdasarkan firman Allah swt tentang. hukum-hukum talak dalam surat ath-Thalaq,
"... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar: Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya" (QS. ath-Thalaq[65]: 2-3). Perintah untuk
menghadirkan saksi ini datang setelah menyebutkan ditetapkannya talak dan
dibolehkannya rujuk. Maka yang pantas adalah memberlakukan persaksian itu dalam
talak. Alasan ditetapkannya persaksian itu adalah untuk memberikan pelajaran
kepada orang- orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Sehingga hal
itu akan menjernihkan dan menguatkan imannya. Sebab, kehadiran saksi yang adil
tidak luput dari pelajaran yang baik yang dipersembahkan kepada pasangan suami-istri tersebut. Maka
mereka berdua mendapatkan jalan ke luar untuk menghindari talak yang merupakan
sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah swt. Ka1au kami boleh memilih
untuk diberlakukan di Mesir, tentu kami akan memilih pendapat ini. Sehingga
bagi sahnya talak, disyaratkan kehadiran dua orang saksi yang adil."
Uraian di atas
menunjukkan adanya kelompok yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam
rujuk saja dan ada pula yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam
rujuk dan talak. Tidak ada yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam
talak saja kecuali yang saya ketahui dari ucapan Abu Zahrah. Berkenaan dengan
itu, setelah menukil teks tersebut, kami harus mendalami dan mengambil petunjuk
dari Kitab Allah untuk me- netapkannya.
Allah
swt berfirman, "Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri- istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka ( diizinkan) ke luar kecuali kalau
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan
barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesunguhnya dia telah berbuat
lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati
akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar: " (QS. ath-Thalaq [65]: 1-2)
Yang dimaksud dengan
balaghna ajalahunna adalah mereka mendekati akhir masa iddahnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan amsikuhunna adalah ungkapan kiasan yang
berarti rujuklah mereka, sebagaimana yang dimaksud dengan bimufaraqatihinna yang
berarti membiarkan mereka keluar dari masa iddahnya dan menjadi ba'in.
Tidak
diragukan bahwa firman Allah swt, ...dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil menunjukkan perintah wajib seperti perintah-perintah lainnya yang terdapat dalam
syariat dan tidak dapat diubah menjadi pengertian lain kecuali dengan dalil
lain. Terdapat beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1. Kalimat tersebut
menjadi syarat bagi kalimat: maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya.
2.
Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka rujuklah mereka dengan
cara yang baik.
3.
Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang baik.
Tidak seorang pun
mengatakan bahwa syarat itu berlaku pada bagian yang terakhir. Sehingga
berlakunya syarat itu berkisar pada bagian pertama dan bagian kedua. Yang
jelas, syarat tersebut berlaku pada bagian pertama. Ha1 itu karena ayat
tersebut menjelaskan hukum-hukum talak dan dibuka dengan ka1imat: Hai Nabi,
Apabila kamu menceraikan istri-istrimu Dalam ayat tersebut disebutkan
beberapa hukum talak sebagai berikut:
Apabila Anda
perhatikan sejumlah ayat da1am surat ini dari ayat pertama hingga ayat ketujuh,
Anda akan menemukan bahwa ayat-ayat tersebut menjelaskan hukum-hukum talak.
Sebab, itulah maksud sebenamya, bukan rujuk yang dipahami dari firman-Nya: famsikuhunna
(maka rujuk1ah mereka) yang merupakan sisipan saja.
Berikut ini adalah beberapa
riwayat dari para imam kami as. Muhammad bin Muslim meriwayatkan: Seorang
laki-laki datang kepada Amirul Mukminin as di Kufah. la berkata, “Saya telah
menceraikan istri saya setelah ia suci dari haidnya sebelum saya
mencampurinya." Amirul Mukminin as bertanya, “Apakah engkau menghadirkan
dua orang saksi yang adil seperti yang Allah perintahkan kepadamu?" Orang
itu menjawab, "Tidak." Maka beliau berkata, “Kembalilah kepadanya
karena talakmu tidak sah."
Bakir bin A’yun
meriwayatkan hadis dari ash-Shadiqain as bahwa keduanya berkata, "Walaupun
ia menceraikannya dalam masa iddahnya dan dalam keadaan suci, belum dicampuri,
tetapi hal itu tidak dipersaksikan oleh dua orang yang adil, maka talaknya
tidak sah."
Muhammad bin
al-Fudhail meriwayatkan hadis dari Abu al- Hasan as bahwa beliau berkata kepada
Abu Yusuf, “Agama itu bukan qiyas seperti qiyas yang kamu dan kawan-kawanmu
lakukan. Allah menetapkan talak dalam Kitab-Nya dan menegaskannya dengan
kesaksian dua orang. Kedua saksi itu tidak diridhai kecuali dua orang yang
adil. Dia pun menetapkan pernikahan kembali (rujuk) dalam Kitab-Nya dan
membiarkannya tanpa saksi. Maka kalian mendatangkan dua orang saksi dalam
sesuatu yang dibatalkan Allah dan membatalkan dua orang saksi dalam sesuatu
yang ditegaskan Allah .Azza wa Jalla. Kalian mengesahkan perceraian oleh orang
gila dan yang sedang mabuk. Kemudian Dia menyebutkan hukum perlindungan
terhadap keluarga.
Ath-Thabrasi
berkata, “Para mufasir mengatakan, Mereka diperintahkan untuk mendatangkan dua
orang saksi yang adil ketika melakukan talak dan rujuk sehingga istri tidak
mengingkari rujuk dan suami tidak mengingkari talak setelah berakhir masa
iddah.” Ada juga yang mengatakan bahwa itu artinya, “Datangkanlah saksi dalam
melakukan talak untuk memelihara agama kalian.'"
Itu1ah
hadis-hadis yang diriwayatkan dari para imam kami as. Secara lahiriah, ini
lebih pantas. Karena, jika kita mengartikan bahwa kesaksian itu berlaku dalam
talak maka hal itu merupakan sesuatu yang menuntut penetapan wajib, dan
kesaksian itu termasuk syarat-syarat sahnya talak. Sedangkan orang yang
mengatakan bahwa kesaksian itu berlaku dalam rujuk, itu berarti kesaksian
tersebut merupakan sunah."
Kemudian, Syekh
Ahmad Muhammad Syakir, hakim syariat di Mesir, menulis sebuah buku tentang
talak dalam Islam. la menghadiahkan sebuah naskahnya disertai sepucuk surat
kepada
Allamah Syekh Muhammad
Husain Kasyif al-Ghithi' . Isi suratnya sebagai berikut: Saya berpendapat bahwa disyaratkan kehadiran dua orang
saksi ketika dilakukan talak. Jika talak dilakukan tanpa kehadiran dua orang
saksi, talak tersebut tidak sah. Walaupun pendapat ini bertenta~gan dengan
mazhab-mazhab yang empat (Ahlusunah) tetapi ditegaskan dengan dalil dan sesuai
dengan mazhab ahlulbait dan Syi'ah Imarniyah.
Saya juga
berpendapat bahwa disyaratkan kehadiran dua orang saksi ketika dilakukan rujuk.
Pendapat ini sesuai dengan salah satu qawl Imam Syafi'i tetapi
bertentangan dengan mazhab ahlulbait dan Syi'ah. Saya heranl terhadap pendapat
mereka yang membedakan di antara keduanya. Padahal dalilnya sarna yaitu,
"... dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu.”
Allamah Kasyif al-Ghitha.
menjawab dalam surat balasan kepadanya. Ia menjelaskan alasan membedakan di
antara keduanya. Berikut ini bagian yang terpenting dari teks surat tersebut:
Seakan-akan-semoga
Allah menerangi burhan Anda-di sini Anda tidak menujukan pandangan pada
ayat-ayat yang mulia sebagaimana yang biasa Anda lakukan dalam-masalah yang
lain. Jika Anda memperhatikan ayat-ayat itu, tentu tampak kcpada Anda bahwa
surah yang mulia tersebut berisi penjelasan tentang kekhususan dan hukum-hukum
talak sehingga surah tersebut dinamakan surah ath-Thalaq. Surah tersebut
diawali dengan firman-Nya, ". “Apabila kamu menceraikan istri- istrimu.
" Kemudian Dia menyebutkan keharusan dijatuhkan talak pada masa iddah;
bukan setelah bercampur dan bukan pu1a pada masa haid, keharusan menghitung
masa iddah, dan larangan bagi mereka untuk keluar rumah. Setelah itu, Dia
keluar dari topik pembahasan dengan menje1askan rujuk ketika menjelaskan
hukum-hukum talak. Al1ah swt berfirman,
"... Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka
dengan baik. "Yakni, apabi1a telah mendekati akhir iddah, kamu boleh
menahan mereka dengan rujuk atau meningga1kan mereka untuk berpisah. Kemudian
Dia kembali menyempurnakan hukum-hukum ta1ak. Al1ah swt berfirman, "
..dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu. "
Yakni, dalam talak yang merupakan konteks pembahasan untuk menjelaskan
hukum-hukumnya dan dipandang buruk mengembalikannya pada rujuk yang tidak
disebutkan kecuali sebagai sisipan saja. Tidakkah Anda perhatikan, kalau
seseorang mengatakan, 'Jika seorang alim datang kepadamu, kamu harus
menghormati dan memuliakannya. Hendaklah kamu menyambutnya baik ia datang
sendirian maupun bersama pelayan atau temannya. Wajib mengiringi dan bersikap
ramah.' Anda tidak akan memahami kalimat ini kecuali keharusan mengiringi dan
bersikap ramah kepada alim itu, bukan kepada pelayan dan temannya walaupun
kedua orang itu berjalan di belakangnya. Demi Allah, menurut kaidah-kaidah
bahasa Arab dan rasa bahasa ( dzawq) yang benar, ini sangat jelas dan
tidak samar bagi Anda. Anda lebih menguasai bahasa Arab kecuali kalau tidak
lalai-kelalaian lawan dari ketidakraguan. Ini dari lafaz dalil dan konteks ayat
yang mulia.
Terdapat ungkapan yang
mendalam dan benar dalam hal hikrnah syariat dan fa1safah Islam serta
ketinggian kedudukan dan keluasan wawasannya da1am hukum-hukumnya, yaitu bahwa
tidak ada sesuatu yang ha1a1 yang paling dibenci Allah swt kecua1i ta1ak.
Agarna Islam, seperti yang Anda ketahui tidak menghendaki jenis perpisahan apa
pun terutama da1am keluarga. Lebih khusus lagi da1am pernikahan setelah satu
sama lain sa1ing memberi.
Pembuat
syariat, dengan kebijaksanaan-Nya yang agung, hendak mengurangi terjadinya
perceraian dan perpisahan. Maka Dia memperbanyak syarat-syaratnya berdasarkan
kaidah yang sudah dikenal bahwa Apabila sesuatu itu banyak ikatannya akan
sedikit keberadaannya. Dia menetapkan adanya dua orang saksi yang adil, pertama
untuk memastikan dan kedua untuk menangguhkannya. Mudah-mudahan dengan
kehadiran dua orang saksi atau kehadir- an suami~istri atau salah satu dari
keduanya bagi mereka akan menimbulkan penyesalan dan mereka kembali
bersatu-sebagaimana ditunjukkan da1am finnan Allah swt, ". ..kamu tidak
tahu barangkali Allah menjadikan sesuatu yang baru setelah itu. "
Inilah hikmah yang mendalam dari ditetapkannya dua orang saksi. Tidak diragukan
bahwa ha1 itu sangat diperhatikan oleh Pembuat syariat Yang Maha bijaksana di
samping terdapat faedah-faedah yang lain. Ini semua merupakan kebalikan dari
masalah rujuk. Pembuat syariat ingin menyegerakannya, dan dalam
menunda-nundanya barangkali terdapat penyakit. Karenanya dalam rujuk tidak
diwajibkan satu syarat pun.
Menurut
kami, pengikut mazhab Imamiyah-dengan segala ucapan, perbuatan, dan isyarat
yang menunjukkannya-dalam rujuk tidak disyaratkan redaksi (shigat) tertentu
seperti yang di- syaratkan dalam talak. Semua itu untuk mempermudah
terlaksananya perkara yang dicintai Pembuat syariat yang Maha Pengasih kepada
hamba-hamba-Nya dan sangat menyukai persatuan mereka, bukan perpisahan. Bagaimana
tidak memadai dalam rujuk, bahkan cukup dengan isyarat, menyentuhnya, dan
meletakkan tangan padanya dengan maksud rujuk. Ia-yakni, perempuan yang ditalak
raj'i-bagi kami pengikut mazhab Imamiyah masih merupa- kan istri hingga keluar
dari iddahnya. Oleh karena itu, ia dapat mewarisi dari suaminya dan suami dapat
mevarisi darinya, wajib bagi suami menafkahinya, suami tidak boleh menikahi
saudara perempuannya, suami tidak boleh menikah dengan istri kelima, dan
berlaku baginya hukum-hukum pernikahan lainnya.