Masalah Keempat Belas:
Kalau pewarisan dengan 'ashabah itu terjadi ketika fardh
tidak menghabiskan seluruh harta pusaka, maka 'aul adalah kelebihan fardh atas
harta pusaka. Kata itu diambil dari kata 'ala
-ya 'ulu - 'awlan yang
berarti lebih. Atau, kata itu diambil dari kata 'awl yang berarti al-mayl
(kecenderungan). Di antaranya, kata itu digunakan dalam firman Allah
swt, "Yang demikian itu lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya (an ta'ulu)" (QS. an-Nisa' [4]:
3). Seakan-akan faridhah itu
adalah keaniayaan karena kecenderungan pada kejahatan terhadap para pemilik
saham dengan dengan membebankan kekurangan terhadap mereka. Atau, kata itu
diambil dari kata 'awl yang
berarti mengangkat. Seperti dikatakan, 'alat
an-naqah dznabaha (unta itu mengangkat ekornya) hal itu disebabkan
terangkatnya fardh karena bertambahnya saham. Bagaimanapun, 'aul itu merupakan
lawan dari ta'shib.
Masalah 'aul, yakni kelebihan faraid atas saham tirkah,
termasuk masalah-masalah baru yang tidak ada nasnya dari Rasulullah saw. 'Umar
telah diuji dengan hal itu ketika pada masa kekhalifahannya seorang perempuan
meninggal dunia. sedangkan ia memiliki seorang suami dan dua orang saudara
perempuan. Kemudian ia mengumpulkan para sahabat dan berkata kepada mereka,
" Allah swt telah menetapkan fardh bagi suami, yaitu seperdua dan bagi dua
orang saudara perempuan itu dua pertiga. Jika aku memulai memberikan bagian
kepada suami, maka dua orang saudara itu tidak memperoleh hak yang semestinya.
Sebaliknya, jika aku memulai memberikan bagian kepada dua orang saudara
perempuan, maka suami itu tidak memperoleh haknya yang semestinya. Karenanya,
bermusyawarahlah untuk mencari jalan keluarnya bagiku." Kemudian ia
menyepakati pendapat sebagian besar mereka untuk menetapkan 'aul. yaitu
membebankan pengurangan kepada semua ahli waris tanpa mendahulukan ashhabul
furudh atas yang lain. Namun, pendapat itu ditentang oleh Ibn ' Abbas. la
mengatakan bahwa suami-istri itu mendapatkan seluruh haknya dan kekurangan itu
dibebankan kepada anak-anak perempuan.
Sejak masa itu, para fukaha terbagi ke dalam dua
kelompok, mazhab-mazhab yang empat (Ahlusunah) dan mazhab-mazhab fiqih
pendahulunya berpendapat adanya ‘aul. Sedangkan Syi’ah imamiyah-tentu karena
mengikuti Imam 'Ali as dan muridnya, Ibn 'Abbas-berpandangan sebaliknya. Mereka
membebankan kekurangan itu hanya kepada sebagian ahli waris sehingga tindakan
mereka itu merupakan tarjih tanpa murajjih.
Ringkasan dari pendapat mazhab Syi'ah adalah bahwa harta
pusaka itu jika tidak mencukupi saham-saham ahli waris, maka mereka yang berhak
mendapatkan saham-saham yang telah ditegaskan, yaitu kedua orang tua dan
suami-istri didahulukan atas anak-anak perempuan, dan saudara-saudara perempuan
seibu didahulukan atas saudara-saudara perempuan sekandung atau seayah. Sisa
dari saham-saham mereka diberikan kepada anak- anak perempuan dan
saudara-saudara perempuan sekandung atau seayah. Ibn 'Abbas ra berpendapat
seperti ini. ‘Atha ‘bin Abi Rayah juga berpendapat demikian.
Para fukaha Ahlusunah meriwayatkan pendapat ini dari
Muhammad bin' Ali bin Husain al-Baqir as. Inilah pendapat Dawud bin' Ali
al-lshbahani. para fukaha yang lain mengatakan bahwa harta pusaka apabila tidak
mencukupi saham-saham ahli waris, dibagi di antara mereka berdasarkan kadar
saham mereka masing- masing. Hal serupa dilakukan dalam masalah utang dan
wasiat ketika tirkah tidak mencukupinya. Yang menunjukkan kesahihan pendapat
yang kami anut adalah ijmak sekelompok ulama terhadap masAlah itu. Mereka tidak
berbeda pendapat dalam masAlah tersebut. Kami telah menjelaskan bahwa ijmak
mereka merupakan hujah.
Syekh ath-Thusi berkata, "'Aul bagi kami adalah
batal. Setiap masalah mengalami 'aul menurut pendapat mereka yang menyimpang.
Pendapat kami dalam masalah itu berbeda dengan pendapat mereka."
Pendapat itu juga dikemukakan Ibn ' Abbas. la membebankan
kekurangan itu kepada anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan dari anak
laki-laki, dan saudara-saudara sekandung atau seayah.
Pendapat yang sama dikemukakan Muhammad bin al-Hanafiyah,
Muhammad bin 'Ali bin al-Husain bin 'Ali bin Abi Thalib as, dan Dawud bin' Ali.
Sedangkan seluruh fukaha meng'aulkannya.
Untuk menjelaskan pendapat tentang 'aul, tidak mengapa
ditunjukkan salah satu dari masalah-masalah 'aul yang dikenal dengan Ummul Farwah. Kami cukupkan dengan
beberapa kasus ahli waris.
I. CONTOH SATU
Suami dan dua orang saudara perempuan. Suami mendapat
seperdua, yaitu tiga bagian dari enam bagian. Sedangkan dua saudara perempuan
mendapat dua pertiga, yaitu empat bagian dari enam bagian. Jelas bahwa besarnya
harta pusaka kurang dari seperdua + dua pertiga. Kalau dari enam bagian itu
diambil seperduanya, sisanya tidak dua pertiga bagian. Demikian pula
sebaliknya. Maka saham-saham itu di'aulkan menjadi tujuh bagian (3 + 4 = 7).
Orang yang berpendapat adanya 'aul membagi tirkah menjadi
tujuh saham dari enam saham. Maka suami mendapat tiga saham dan dua orang
saudara perempuan mendapat empat saham. tetapi dari tujuh bagian. Dengan
demikian. kekurangan dibebankan kepada semuanya. Karenanya, suami tidak
mewarisi seperdua yang hakiki dan dua orang saudara perempuan pun tidak
mewarisi dua pertiga yang hakiki. Melainkan masing- masing mendapatkan saham
yang kurang dari besar saham yang semestinya.
2. CONTOH DUA
Seperti kasus di atas-yaitu suami dan dua orang saudara
perempuan (sekandung)-dan seorang saudara perempuan seibu yang fardhnya
seperenam. Jelaslah bahwa jumlah tirkah itu kurang dari dua seperdua + pertiga
+ seperenam. Maka tirkah itu di'aulkan menjadi delapan saham (3 + 4 + 1 = 8).
Orang yang berpendapat adanya ‘aul membebankan kekurangan
itu kepada semuanya. Maka harta pusaka itu dibagi menjadi delapan saham. Suami
mendapat tiga bagian, dua saudara perempuan (sekandung) mendapat empat bagian,
dan seorang saudara perempuan seibu mendapat satu bagian, tetapi semuanya dari
delapan saham. Karenanya suami tidak memperoleh seperdua, dua orang saudara
perempuan (sekan- dung) tidak mendapat dua pertiga, dan seorang saudara seibu
tidak mendapat seperenam.
3. CONTOH TIGA
Seperti kasus di atas-yaitu suami dan dua orang saudara
perempuan (sekandung), dan seorang saudara perempuan seibu yang fardhnya
seperenam-dan seorang saudara laki-laki seibu yang fardhnya juga seperenam.
Maka fardh itu di ‘aulkan men- jadi sembilan bagian (3 + 4 + 1 + 1 = 9).
Suami mendapat tiga bagian, dua saudara perempuan
(sekandung) mendapat empat bagian, seorang saudara perempuan seibu mendapat
satu bagian, dan seorang saudara laki- laki seibu memperoleh satu bagian,
tetapi semuanya dari sembilan saham, bukan dari tujuh saham. Karenanya suarni
tidak memperoleh seperdua, dua saudara perempuan (sekandung) tidak memperoleh
dua pertiga, seorang saudara perempuan seibu tidak memperoleh seperenam, dan
saudara laki- laki seibu tidak memperoleh seperenam, melainkan secara lafaz
saja.
Hal itu dinamakan Ummul
Farwakh karena di'au1kan dengan bilangan ganjil dan juga dengan bilangan
genap.
Terdapat satu masalah lain yang dinamakan masalah al-minbariyah. Masalah itu pernah
ditanyakan kepada Imam ' ALi as ketika ia sedang berada di atas mimbar. Ketika
itu, seorang laki-laki ber- diri dan bertanya, "Wahai Amirul Mukminin,
seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggAlkan dua orang anak perempuan,
kedua orang tua, dan seorang istri, bagaimana pembagian warisnya?" Imam as
menjawab, "Seperdelapan saham untuk perempuan menjadi sepersembilan."
Maksudnya, menurut pendapat yang paling kuat, sahamnya menjadi sepersembilan.
Hal itu karena bilangan penyebut gabungan dari dua
pertiga + seperenarn + seperdelapan adalah 24. Maka dua pertiganya adalah 16,
dua perenamnya adalah 8, dan seperdelapannya adalah 3. Ketika itu, fardh
tersebut di'aulkan menjadi 27 saham (16 + 8 + 3 = 27).
Orang yang berpendapat adanya 'aul membebankan kekurangan
itu kepada semua ashhabul furudh. Maka yang fardhnya dua pertiga memperoleh 16
saham, kedua orang tua memperoleh 8 saham, dan seorang istri memperoleh 3 saham
dari 27 saham dari yang seharusnya 24 saham. Istri walaupun mendapat 3 saham,
tetapi bukan dari 24 saham sehingga fardhnya seperdelapan yang hakiki,
melainkan dari 27 saham, yaitu sepersembilan tirkah yang seharusnya 24 saham.
Inilah teori 'aul dan penjelasannya secara mudah, tanpa
menggunakan penghitungan yang rumit. Walau demikian, penjelasannya terperinci.
Berikut ini kami kemukakan dalil-dalil mereka yang berpendapat adanya 'aul.
Dari penjelasan Sayid al-Murtadha tampaklah bahwa mereka
yang berpendapat adanya 'aul kadang-kadang sejalan dengan pendapat mazhab
imamiyah dalam beberapa kasus, seperti se- orang perempuan yang meninggAl dunia
meninggAlkan dua orang anak perempuan, kedua orang tua, dan seorang suami.
Jumlah harta peninggalannya kurang dari dua pertiga + dua perenam + seperempat.
Kita dapat melakukan beberapa hal berikut; membebankan kekurangan itu pada
masing-rnasing saham ini atau pada sebagiannya. Umat telah sepakat bahwa dua
orang anak perempuan mendapat pengurangan saham, tanpa diragukan. Maka kita
harus memberikan kepada kedua orang tua itu seperenam dan kepada suami itu
seperempat. sedangkan sisanya untuk dua orang anak perempuan. Kekurangan itu
hanya dibebankan kepada mereka karena mereka boleh mendapat pengurangan menurut
ijmak.
Mereka yang berpendapat adanya ‘aul berdalil dengan
beberapa alasan berikut:
I. POINT SATU
Orang-orang yang berutang membagi harta pusaka menurut
kadar keterbatasan bagian itu dari utang mereka. Demikian pula, para ahli
waris, semuanya berhak atas harta pusaka itu.
Catatan: Hal
itu merupakan qiyas ma’al fariq, karena
utang bergantung pada jaminan, sedangkan tirkah seperti boroug bagi kreditur.
Dengan kata lain, utang itu bergantung pada harta pusaka sebagai ketergantungan
kepemilikan (istihqaq), bukan
ketergantungan keterbatasan ( inhishar)
. Kalau mereka tidak memenuhi hak kreditur, maka kreditur itu dapat
mengambil-alih harta pusaka itu dan pemenuhan tuntutannya melalui penyitaan.
Kalau mereka melunasi utang bukan dari harta pusaka, maka kreditur tidak boleh
menolak. Oleh karena itu, tidaklah mustahil kalau seseorang memiliki utang
kepada orang pertama seribu, kepada orang kedua dua ribu, dan kepada orang
ketiga sepuluh ribu, dan utang itu menjadi berlipat ganda dari jumlah harta
pusaka. Sebab, debitur telah menggunakan harta orang lain melalui peminjaman
atau kredit. Maka ia menjadi debitur dengan harta yang digunakannya, baik
kadamya sebesar hartanya, lebih dari hartanya maupun kurang dari hartanya.
Tidak ada masalah dalam keterkaitan berlipatgandanya harta pusaka dengan
.jaminan karena ia memadai lebih dari itu;
Adapun saham-saham warisan hanya berkaitan dengan harta
pusaka dan benda yang diwariskan. Mustahil harta itu men- cakup seperdua +
seperdua + dua pertiga. Pemilikan atas warisan dari harta pusaka dengan jumlah
fardh sebesar ini tidaklah masuk akal. Karenanya, saham-saham itu harus diubah
dengan bentuk lain yang dapat tercukupi dari harta pusaka agar sebagian dalil
furudh tidak dimutlakkan mencakup dua hal, yaitu keterpisahan dua penggabungan
sehingga tidak menjadi mustahil. Akan dikemukakan kepada Anda penjelasan
tentang apa yang mengandung pemutlakan keadaan pengabungan dengan furudh yang
lain dan apa yang tidak mengandung pemutlakan.
Para sahabat kami telah menjelaskan secara terperinci
berbagai aspek dalam mengkritik dalil ini. Berikut ini kami sebutkan yang
terpenting di antaranya.
Al-Murtadha berkata, " Apa yang mereka katakan
tentang 'aul, yaitu jika si mayit memiliki utang tetapi harta pusaka tidak
memadai untuk melunasinya, maka harta pusaka itu harus di- bagi di antara para
kreditur menurut kadar piutang mereka tanpa membebankan kekurangan kepada
sebagian mereka. HAl itu karena para kreditur adalah sama dAlam kewajiban pe-
lunasan harta mereka dari harta pusaka si mayit. DAlam hAl itu, seorang
kreditur tidak memiliki keistimewaan daripada kreditur yang lain. Jika harta
pusaka itu memadai, hak-hak mereka terpenuhi. Tetapi jika harta pusaka itu tidak
mencukupi, maka mereka galing membaginya. Namun, tidak demikian dalam
masalah-masalah 'aul. Sebab, telah kami jelaskan bahwa sebagian ahli waris
lebih pantas untuk mendapat pengurangan jumlah saham daripada ahli waris yang
lain. Kedudukan mereka tidak samma, tidak seperti para kreditur. Kedua hal itu
berbeda."
2. POINT DUA
Pembayaran dengan cicilan dengan adanya keterbatasan-
keterbatasan ini harus dilakukan dalam wasiat kepada semua. Maka dalam waris
pun seperti itu. Gabungan dari keduanya adalah semua berhak atas harta pusaka
itu. Kalau seseorang memberikan wasiat kepada Zaid seribu, kepada 'Umar sepuluh
ribu, dan kepada Bakar dua puluh ribu, sementara itu seper- tiganya tidak
memadai jumlah itu, maka pengurangan dibebankan pada semua menurut kadar saham
mereka.
Catatan: Ketentuan
itu tidak dapat diterima menjadi landasan qiyas sebelum tampak keadaan sesuatu
yang diqiyaskan padanya. Bahkan, menurut ketentuan itu, wasiat diberikan
menurut skala prioritas menurut urutannya hingga harta itu habis dibagi.
Sedangkan bagi mereka yang tidak tercukupi dari sepertiga harta itu gugur
haknya. Sebab, ia memberikan wasiat dengan sesuatu yang tidak dimilikinya maka
wasiatnya batal.
Benar, kalau ia menyebutkan semua nama, seperti apabila
ia mengatakan, "'Zaid, 'Umar, da:n Bakar masing-masing mendapat
seribu," tetapi harta peninggalannya tidak mencukupi, maka tidak diragukan
bahwa pengurangan dikenakan kepada semuanya. Perbedaan contoh ini dan contoh di
atas adalah penjelasan pemberi wasiat tentang 'aul. Kalau penjelasan seperti
itu dAlam syariat-kami menyimpang dulu dari apa yang akan dijelaskan kepada
Anda harus diikuti maka mengapa dilakukan qiyas seguatu yang tidak terkandung
dalam penjelasan tersebut.
3. POINT TIGA
Kekurangan itu harus dibebankan kepada ahli waris seperti
halnya kelebihan saham. Menurut orang yang berpendapat adanya 'aul, kekurangan
itu dikenakan kepada semua ahli waris. Sedangkan menurut yang lain, kekurangan
itu dibebankan kepada sebagian ahli waris. Akan tetapi, ini merupakan tarjih
tanpa murajjah.
Catatan: Menghilangkan
kemustahilan pembagian waris dengan membebankan kekurangan kepada semua ahli
waris merupakan upaya menjaga kesahihan pokok pensyariatannya. Adalah sah
seseorang memiliki seperdua dari harta pusaka itu, yang lain memiliki seperdua
yang lain, dan orang ketiga memiliki dua pertiganya. Tetapi Anda telah
mengetahui bahwa hal itu tidak benar. Harta pusaka itu tidak mencukup furudh
tersebut. Karena penetapannya tidak benar, pada gilirannya tidak sampai pada
pembebanan kekurangan atas semua ahli waris dan pembentukan ‘aul. Membebankan
kekurangan itu kepada semua berarti penyimpangan dari fardh dan pengakuan bahwa
dalam hal itu tidak ada seperdua, seperdua, dan sepertiga, sebagaimana akan
tampak dalam penjelasan dalil- dalil mereka yang berpendapat batalnya 'aul.
Di samping itu, adanya kemungkinan yang ditunjukkan Imam
Amirul Mukminin dan muridnya, Ibn ' Abbas-akan dikemukakan kemudian pendapat
mereka-, serta keluarga suci (ahlulbait).
4. POINT EMPAT
Abu Thalib al-Anbari meriwayatkan hadis melalui sanadnya
dari Samak dari ‘Ubaidah as-Sulmani: ‘Ali as sedang berada di atas mimbar.
Kemudian seseorang berdiri dan bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, seorang
laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, kedua
orang tua, dan seorang istri, bagaimana pembagian warisnya?" Imam as
menjawab, "Seperdelapan saham perempuan itu menjadi sepersembilan."
Mereka mengatakan, "Ini merupakan penjelaan tentang ‘aul, karena kalian
mengatakan bahwa saham itu tidak boleh kurang dari seperdelapan, tetapi Imam as
menetapkan seperdelapan menjadi sepersembilan."
Bagian akhir hadis itu menunjukkan bahwa Imam
menyebutkannya sebagai persetujuan terhadap pendapat yang berlaku pada masa
itu. Jika tidak, siapa yang tidak mengetahui bahwa Imam dan keluarganya yang
suci serta pengikut jalan mereka menolak ‘aul dengan sungguh-sungguh. Berikut
ini komentamya.
Saya bertanya kepada 'Ubaidah, "Mengapa
demikian?" la menjawab, "pada masa kekhalifahan 'Umar bin
al-Khaththab terjadi suatu kasus tentang faraid, tetapi ia tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. la berkata, 'Dua anak perempuan itu mendapat dua pertiga, kedua
orang tua mendapat dua perenam, dan seorang istri mendapat seperdelapan.
Seperdelapan ini merupakan sisa setelah diberikan bagian untuk kedua orang tua
dan dua orang anak perempuan." Para sahabat Muhammad saw berkata
kepadanya, "Berikanlah kepada mereka fardh mereka; untuk kedua orang tua
seperenam, untuk istri seperdelapan, dan sisanya untuk kedua anak
perempuan." la bertanya, "Bukankah bagian mereka (dua anak perempuan
itu) dua pertiga?" ‘Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya, "Mereka
berdua memperoleh sisanya." Tetapi 'Umar dan Ibn Mas'ud menolaknya.
Kemudian ' AIi as berkata menurut pendapat 'Umar. 'Ubaidah berkata,
"Setelah itu, sekelompok sahabat ‘AIi as memberitahukan kepadaku tentang
kasus seperti itu bahwa suami memperoleh seperempat ketika bersamanya ada dua
anak perempuan, kedua orang tua mendapat dua perenam, dan sisanya diberikan
kepada dua anak perempuan. Inilah yang benar walaupun kaum kami
menolaknya."
Dari hadis itu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, ‘AIi
dan para sahabat Nabi saw yang lain, kecuali dua orang berpendapat yang
bertentangan dalam masalah 'aul dan
tersebarnya 'aul itu karena
ketika itu Khalifah mendukung hal tersebut.
Kedua, pada
dasarnya, Imam 'Ali as mengamalkan pendapatnya dan membebankan kekurangan itu
hanya kepada kedua anak perempuan itu. Berdasarkan hal itu, yang dimaksud
dengan ucapannya "Kemudian Imam 'Ali as berkata menurut pendapat
'Umar". Hanyalah sebagai basa-basi belaka. Jika tidak, berarti bagian
akhir hadis itu bertentangan dengan isi hadis tersebut.
Hingga di sini, selesailah kajian terhadap dalil-dalil
mereka yang berpendapat adanya 'aul. Kini, akan kami kemukakan dalil-dalil
mereka yang menolaknya.
1. POINT SATU
Mustahil Allah menjadikan dalam harta pusaka itu seperdua
+ sepertiga, atau dua pertiga + seperdua, dan penjumlahan lain yang tidak
sesuai (dengan jumlah harta tersebut). Jika tidak, tentu Dia tidak tahu atau
berbuat kesia-siaan. Maha Tinggi Allah dari berbuat demikian.
2. POINT DUA
Pendapat adanya ‘aul menimbulkan ketidakkonsistenan dan
anggapan ketidaktahuan. Tentang ketidakkonsistenan, hal itu telah kami jelaskan
ketika wenjelaskan pendapat adanya ‘aul. Yaitu, bahwa apabila seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan kedua orang tua, dua anak perempuan, dan seorang suami,
maka kami katakan bahwa fardh mereka diambil dari dua belas bagian. Artinya,
kedua orang tua memperoleh empat perdua belas bagian, dua orang anak perempuan
memperoleh delapan perdua belas bagian, dan suami memperoleh tiga perdua belas
bagian. Apabila pembagian itu kita ‘aulkan menjadi lima belas, maka kita
berikan kepada kedua orang tua empat perlima belas bagian, kepada dua orang
anak perempuan delapan perlima belas bagian, dan kepada suami tiga perlima
belas bagian. Kita memberikan kepada kedua orang tua itu seperlima + sepertiga
bagian dari yang seharusnya sepertiga, kepada suami sepe1ima bagian dari yang
seharusnya seperempat bagian, dan kepada dua orang anak perempuan sepertiga +
seperlima bagian dari yang seharusnya dua pertiga. Hal itu merupakan
ketidakkonsistenan.
Adapun adanya anggapan ketidaktahuan, karena Allah swt
menyebutkan seperlima + sepertiga sebagai sepertiga, seperlima sebagai
seperempat, dan sepertiga + seperlima sebagai dua pertiga.
Sepantasnya kedua dalil itu menentukan satu bentuk dalil
yang terbentuk dari masalah hakiki dengan mengatakan bahwa apabila Allah SWT
menjadikan dalam harta itu jumlah dua perdua + sepertiga, maka ada dua
konsekuensi. Pertama, apabila
hal itu ditetapkan tanpa menyertakan penyelesaian- dengan ‘aul, misalnya-, maka
sebagai konsekuensinya akan muncul anggapan bahwa Allah tidak tahu atau
melakukan perbuatan sia-sia. Mahatingi Allah dari berbuat demikian. Kedua, apabila menetapkannya dengan
menyertakan penyelesaian seperti dengan ‘aul, hal itu menimbulkan
ketidakkonsistenan
antara perkataan dan perbuatan, dan adanya anggapan
ketidaktahuan karena hal itu merupakan kejelekan.
3. POINT TIGA
Pendapat adanya 'aul menyebabkan diutamakannya perempuan
atas laki-laki dalam beberapa kasus. Jelas, hal itu bertentangan dengan syariat
Islam. Kasus-kasus tersebut di antaranya sebagai berikut:
a. Apabila seorang perempuan meninggal dunia dan
meningalkan seorang suami, kedua orang tua, dan seorang anak laki-laki.
b. Apabila seorang perempuan meninggal dunia dan
meningalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan seibu, dan seorang
saudara laki-laki seayah.
Penjelasannya: Kalau seorang perempuan meninggal dunia
dan meninggalkan seorang suami dan kedua orang tua, maka menurut lahiriah nas,
kepada suami diberikan seperdua yakni tiga perenam bagian, kepada ibu diberikan
dua perenam bagian, dan kepada ayah diberikan seperenam bagian. Akan tetapi,
beberapa mazhab tidak mengamalkan lahiriah nas tersebut karena hal itu
menyebabkan diutamakannya perempuan atas laki-laki.
Dalam kedua kasus di atas, menurut pendapat yang
mengatakan adanya 'aul, hal itu menyebabkan mereka mengutamakan perempuan atas
laki-laki dengan penjelasan sebagai berikut.
Dalam kasus pertama, mereka harus memberikan seperempat
bagian kepada suami, d~ perenam bagian kepada kedua orang tua, dan sisanya
yakni lima perdua belas bagian diberikan kepada seorang anak laki-laki.
Dalam kasus kedua, mereka harus memberikan seperdua
bagian kepada suami, seperti~ bagian kepada dua orang saudara perempuan, dan
sisanya seperenam bagian diberikan kepada saudara laki-laki tanpa 'aul.
Akan tetapi, kalau kedudukan anak laki-laki itu
digantikan dengan anak perempuan dan saudara laki-laki seayah digantikan dengan
saudara perempuan seayah, keduanya mendapat bagian yang lebih besar daripada
yang telah disebutkan di atas.
Hal itu menyebabkan dilakukannya 'aul dalam kedua kasus
tersebut dan pengurangan dibebankan kepada semua.
Imam' Ali as mencela pendapat yang mengatakan adanya
'aul. la mengatakan, "Yang dapat menghitung pasir dalam gundukan
mengetahui bahwa saham itu tidak di'aulkan menjadi enam. Kalau mereka
memperhatikannya, saham itu tidak menjadi enam." Dari para imam ahlulbait
as juga sering terdengar ungkapan, "Saham itu tidak di'aulkan."
Tentang sejarah munculnya 'aul disebutkan dalam riwayat
dari Ibn ' Abbas dan dijelaskan penyelesaian yang ditempuh murid Imam ‘Ali ini
dalam riwayat dalam riwayat 'Ubaidullah bin' Abdullah. Berikut ini teksnya:
Pada suatu hari, aku duduk-duduk bersama Ibn ' Abbas. la
menjelaskan masalah faraid dalam harta warisan. Ibn 'Abbas berkata,
"Tahukah kamu, Allah swt yang dapat menghitungjumlah pasir dalam gundukan
itu menetapkan dalam suatu harta seperdua + seperdua + sepertiga. Dua perdua
itu sudah meliputi seluruh harta tersebut, lalu di mana yang
sepertiganya?"
Zafr bin Aus al-Bashri bertanya kepadanya, 'Siapa yang
pertama kali melakukan 'aul dalam faraid?'
Ibn ' Abbas menjawab, 'Umar bin al-Khaththab ketika
diajukan kepadanya masalah faraid dan masing-masing ahli waris mempertahankan
bagiannya maka ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu siapa di antara kalian
yang didahulukan Allah dan siapa di antara kalian yang diakhirkan. Aku tidak
menemukan sesuatu yang lebih memuaskan daripada membagikan harta itu kepada
kalian secara proporsional. Kepada setiap pemilik saham diberlakukan 'aul
faraid.' Demi Allah, kalau ia mendahulukan orang yang didahulukan Allah dan
mengakhirkan orang yang Dia akhirkan, tentu tidak akan terjadi 'aul di dalam
faraid."
Zafr bertanya lagi, "Siapa yang didahulukan dan
siapa yang diakhirkan?"
Ibn 'Abbas menjawab, "Setiap bagian faridhah (yang ditentukan) tidak
Allah turunkan dari suatu faridhah kecuali kepada faridhah yang lain. Inilah
yang didahulukan Allah. Yang diakhirkan ialah setiap faridhah jika kurang dari
fardhnya maka tidak ada baginya kecuali sisanya. Itulah yang diakhirkan. Yang
didahulukan itu adalah: suami memperoleh seperdua, apabila masuk kepadanya
sesuatu yang mengurangi bagiannya, maka bagiannya kembali menjadi seperempat
dan tidak ada sesuatu pun yang akan menguranginya lagi. Istri memperoleh
seperempat. Namun, apabila masuk sesuatu yang menguranginya, bagiannya menjadi
seperdelapan tanpa ada sesuatu pun yang akan menguranginya lagi. Ibu memperoleh
sepertiga. Tetapi apabila masuk sesuatu yang menguranginya, bagiannya menjadi
seperenam tanpa ada sesuatu pun yang akan menguranginya. Inilah faraid yang
didahulukan Allah. Adapun faraid yang diakhirkan sebagai berikut: faridhah
anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan adalah seperdua dan dua
pertiga. Apabila jumlah faraid kurang dari itu maka mereka tidak memperoleh
bagian kecuali jika ada sisa. Inilah yang diakhirkan. Apabila bergabung antara
yang didahulukan dan yang diakhirkan maka dimulai dari yang didahulukan, lalu
berikan haknya secara penuh. Jika ada sisa, maka sisa tersebut diberikan kepada
orang-orang yang diakhirkan. Tetapi jika tidak ada sisa, mereka tidak
memperoleh bagian apa-apa."
Dalam penjelasan dari Ibn 'Abbas tersebut terdapat
kelompok-kelompok yang tidak mendapat pengurangan bagian. Mereka itu adalah: pertama, suami; kedua, istri; ketiga, ibu. Mereka bersekutu, bahwa mereka tidak diturunkan
dari suatu faridhah kecuali pada faridhah yang lain. Ini pertanda bahwa saham
mereka sudah ditentukan, tidak boleh dikurangi.
Ibn ' Abbas juga menyebutkan saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu, karena mereka pun tidak diturunkan dari suatu saham
(sepertiga) kecuali pada saham yang lain. Semuanya tercakup dalam ucapan Amirul
Mukminin as. Abu' Amr al-' Abd meriwayatkan hadis dari 'Ali bin Abi Thalib
bahwa ia pernah berkata, "Faraid itu dari enam saham, yaitu dua pertiga
ada empat saham, seperdua ada tiga saham, sepertiga ada dua saham, seperempat
ada satu setengah saham, dan seperdelapan ada tiga perempat saham. Tidak ada
yang mewarisi ketika bersamanya anak kecuali kedua orang tua, suami, dan istri.
Tidak ada yang menghalangi ibu untuk memperoleh sepertiga bagian kecuali anak
dan saudara laki-laki. Suami tidak memperoleh lebih dari seperdua dan tidak
kurang dari seperempat. Istri tidak memperoleh lebih dari seperempat dan tidak
kurang dari seperdelapan. Jika istri berjumlah empat orang atau kurang, dalam hal
ini mereka menempati kedudukan yang sama. Saudara seibu tidak memperoleh lebih
dari sepertiga dan tidak kurang dari seperenam. Dalam hal ini mereka menempati
kedudukan yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Mereka pun tidak terhAlang
untuk memperoleh sepertiga kecuali oleh anak dan ayah. Adapun denda ditanggung
bersama di antara orang-orang yang memperoleh warisan.
Benar. Abu Nashir meriwayatkan hadis dari Abu' Abdillah
as bahwa ia berkata, "Ada empat orang yang tidak tersentuh pengurangan
dalam warisan, yaitu kedua orang tua, suami, dan perempuan (istri)."
karena yang dimaksud dengan perempuan (al-mar'ah)
adalah istri, maka harus dibatasi riwayat tentang kaLalah ibu. Apa- bila mereka itu
termasuk orang-orang yang didahulukan Allah dan kepada mereka tidak dikenakan
pengurangan, maka mereka yang diakhirkan Allah adalah seorang anak perempuan,
dua orang anak perempuan, kerabat dari pihak ayah dan ibu atau ibu saja, baik
seorang saudara perempuan maupun beberapa orang saudara perempuan.
Muhammad bin Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Ja'far
as: Aku bertanya kepada Abu Ja'far as, " Apa pendapat Anda tentang seorang
perempuan yang meninggal dunia dan meninggalkan suami, beberapa orang saudara
laki-laki seibu, beberapa orang saudara laki-laki seayah, dan beberapa orang
saudara perempuan seayah?" AbuJa'far as menjawab, "Suami memperoleh
seperdua tiga saham, beberapa orang saudara laki-laki seibu memperoleh
sepertiga dua saham, dAlam hAl ini laki-laki dan perempuan sama. Sisanya
diberikan kepada saudara-saudara laki-laki seayah dan saudara-saudara perempuan
seayah. Allah swt berfirman, Laki-
laki memperoleh dua bagian perempuan. Sebab, saham itu tidak di 'aul dan
karena bagian suami tidak kurang dari seperdua dan bagian saudara-saudara
laki-laki seibu tidak kurang dari sepertiga. Jika lebih dari itu, mereka
bersekutu dalam sepertiga.
Terdapat ungkapan yang indah di dalam riwayat ash-Shaduq
dalam 'Uyun al-Akhbar yang
diriwayatkan dari ar-Ridha as dalam suratnya kepada al-Ma’mun, yaitu: “Pemilik Saham
lebih berhak daripada orang yang tidak memiliki saham”
Perbedaan antara
Anak Perempuan dan Kalalah Ibu
Kini tinggal pembahasan tentang masuknya seorang anak
perempuan, beberapa orang anak perempuan, Seorang saudara perempuan, dan
beberapa orang saudara perempuan ke dalam kelompok orang-orang yang dikenai
pengurangan, tetapi saudara perempuan dan saudara laki-laki seibu tidak masuk
ke dalamnya. Padahal, ketiga kelompok itu berada dalam satu tngkatan.
Maka seorang anak perempuan dan beberapa orang anak
perempuan memperoleh seperdua dari dua pertiga; beberapa saudara perempuan
memperoleh seperdua dari dua pertiga, kalalah
ibu memperoleh sepertiga dan seperenam. Apa perbedaan antara kelompok
ketiga dan dua kelompok pertama?
Jawabannya akan menjadi jelas dengan penjelasan berikut.
Masuknya saudara laki-laki ke dalam kalalah
ibu tidak menyebabkan kalalah itu
keluar dari kapasitasnya sebagai pewaris fardh. Seorang dari mereka,
baik.laki-laki maupun perempuan, memperoleh seperenam. Lebih dari seorang dari
mereka, baik laki-laki maupun perempuan, atau laki-laki dan perempuan,
memperoleh seper enam yang dibagi di antara mereka secara sama rata.
Ini berbeda dengan dua kelompok pertama. Maka Seorang
anak perempuan dan seorang saudara perempuan yang belum berkeluarga memperoleh
seperdua. Kalau mereka itu lebih dari seorang, mereka memperoleh dua pertiga.
Kalau seorang saudard laki-laki bergabung dengan mereka, maka laki-laki
memperoleh dua bagian perempuan di dalam kedua kelompok itu, yakni mereka tidak
mewarisi sebagai ashhabul furudh, melainkan sebagai kerabat.
Berdasarkan hal itu, kalalah Ibu merupakan pewaris mutlak fardh, yang tidak mewarisi
kecuali sebagai ashhabul furudh. Ini berbeda dengan seorang anak perempuan dan
selebihnya atau seorang saudara perempuan dan selebihnya. Kadang-kadang mereka
mewarisi sebagai kerabat. Hal itu terjadi apabila kepada mereka bergabung
seorang saudara laki-laki.
Jika Anda telah memahami apayang telah kamijelaskan, kami
akan menjelaskan hal berikut.
Kalalah ibu
mewarisi fardh secara mutlak baik mereka itu bersama seorang laki-Iaki maupun
tidak, baik mereka itu tersendiri dalam tingkatan warisan maupun tidak. Kalau
tidak ada ahli waris selain mereka, mereka mewarisi sepertiga fardh, dan
sisanya merupakan radd. Dalam
keadaan apa pun bagian mereka tidak berkurang kalau tidak bertambah ketika ada
radd. Ini mentinjukkan bahwa tidak ada pengurangan ketika jumlah harta pusaka
tidak mencukupi.
Ringkasnya, kami tidak melihat pada mereka ada
penghilangan fardh dalam keadaan apa pun dan tidak ada pengurangan ketika
keadaan berkembang sedemikian rupa. Ini berbeda dengan seorang anak perempuan
dan seorang saudara perempuan kalau ke dalam kelompok mereka masuk seorang
saudara laki-laki. Fardh itu berubah dari seperdua atau dua pertiga menjadi
sejumlah yang tersisa setelah dibagikan saham yang lain, seperti kedua orang
tua atau kalalah ibu. Kemudian
mereka berbagi sepertiga-sepertiga. Bagian seorang anak perempuan, atau
beberapa orang anak perempuan, atau seorang saudara perempuan dan beberapa
orang saudara perempuan berkurang banyak dari seperdua dan dua pertiga. Ini
pertanda bolehnya membebankan pengurangan kepada mereka apabila jumlah harta
pusaka tidak mencukupi.
Dengan kata lain, kalalah
ibu selamanya mewarisi fardh apabila tersendiri. Adapun dua kelompok
pertama mewarisi fardh kadang- kadang saja, seperti apabila di antara mereka
terdapat seorang saudara laki-laki. Kadang-kadang mereka mewarisi sebagai
kerabat saja, seperti apabila bergabung bersama mereka seorang saudara
laki-laki. Demikian pula, kalalah ibu
tidak dikenai pengurangan dan bagian mereka pun tidak berkurang dari sepertiga
dan se- perenam. Ini berbeda dengan dua kelompok terakhir. Bagian mereka
berkurang dari seperdua dan dua pertiga.
Barangkali. apa yang kami bahas ini. dijelaskan juga oleh
penulis kitab Al-Jawahir. Ia berkata. "Selain orang yang berkerabat dengan
ibu yang tidak mewarisi kecuAli fardh. Berbeda dengan yang lainnya, ia
kadang-kadang mewarisi fardh dan kadang-kadang mewarisi sebagai kerabat,
seperti seorang anak perempuan dan dua orang anak perempuan yang apabila
bergabung bersama mereka, bagian mereka berkurang dari seperdua atau; dua
pertiga berdasarkan nas ayat tersebut. Karena. ketika itu bagian laki-laki
adalah dua bagian perempuan "
Al-‘Amili berkata, "Pengurangan itu dikenakan kepada
seorclng anak perempuan dan beberapa anak perempuan, karena apabila bergabung
bersama mereka dua orang anak laki-Iaki, kadang- kadang bagian mereka berkurang
dari sepersepuluh atau seperduanya berdasarkan nas ayat: bagi laki-laki dua bagian perempuan. Demikian
pula halnya dalam kasus seorang saudara perempuan dan beberapa orang saudara
perempuan dari pihak ayah atau dari pihak ayah dan ibu."
Al-Muhaqqiq berkata, “Pengurangan itu dikenakan kepada
ayah atau seorang anak perempuan atau dua orang anak perempuan atau seorang
saudara perempuan dan beberapa orang saudara perempuan sekandung atau seayah.
Tetapi pengurangan itu tidak dikenakan kepada seorang saudara perempuan dan be-
berapa orang saudara perempuan seibu."
Dalam kitab al-Qawa.id
Allamah tidak menyebutkan "ayah". Itu benar karena pembahasan
dalam masalah ini adalah tentang penambahan fardh atas tirkah (harta pusaka).
Maka pembahasan ini berkenaan dengan didahulukannya sebagian ashhabul furudh
atas sebagian yang lain. Adapun ahli waris yang bukan ashhabul furudh adalah di
luar pembahasan. Ayah juga demikian, karena bersamanya ada anak si mayit,
fardh-nya tidak berkurang dari se- perenam. Padahal, kalau tidak ada si mayit,
ia tidak berhak mendapat fardh. Sebaliknya dengan ibu, karena ibu termasuk
ashhabul furudh secara mutlak.
Untuk mengetahui bahwa penyebab terjadinya 'aul itu
adalah suami atau istri apabila salah seorang di antara mereka bergabung
bersama seorang anak perempuan atau beberapa orang anak perempuan, atau bersama
seorang saudara perempuan atau beberapa orang saudara perempuan sekandung atau
seayah. Jika tidak, tentu tidak terjadi 'aul.
Berdasarkan hal itu, terjadi kasus-kasus berikut.
I. Kalau istri meninggal dunia dan meninggalkan seorang
suami, kedua orang tua, dan seorang anak perempuan, pengurangan hanya dikenakan
kepada seorang anak perempuan setelah dibagikan yang seperempat dan seperenam.
2. Kalau istri meninggal dunia dan meninggalkan seorang
suami, salah seorang dari kedua orang tua, dan dua orang anak perempuan,
pengurangan hanya dikenakan kepada dua orang anak perempuan itu setelah
dibagikan yang seperempat dan dua perenam.
3. Kalau suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang
istri, kedua orang tua, dan dua orang anak perempuan, pengurangan hanya
dikenakan kepada dua orang anak perempuan itu setelah dibagikan yang seperempat
dan dua perenam.
4. Kalau istri meninggal dunia dan meninggalkan seorang
suami bersama kalalah ibu dan
seorang saudara perempuan atau beberapa orang saudara perempuan sekandung atau
seayah, pengurangan dikenakan kepada seorang saudara perempuan atau beberapa
orang saudara perempuan setelah dibagikan yang seperdua dan seperenam apabila
kalalah itu seorang, atau setelah dibagi yang sepertiga apabila kalalah itu lebih dari seorang.
I. Hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas
menunjukkan 'bahwa "tinta umat" (orang yang sangat dalam
ilmunya-pent.) itu benar-benar membatalkan ‘aul hingga ia bersedia untuk
bersumpah (bermubahalah)’lbn Qudamah berkata, "Diriwayatkan dari Ibn '
Abbas bahwa ia berkata tentang seorang suami, seorang saudara perempuan, dan
seorang ibu, "Siapa yang ingin bermubahalah denganku, bahwa
masalah-masalah ini tidak dikenai 'aul. Sesungguhnya Zat yang dapat menghitung
jumlah pasir dalam sebuah gundukan sangat adil sehingga tidak menjadikan dalam
sebuah harta peninggalan itu seperdua + seperdua + sepertiga bagian. Dua perdua
ini saja sudah menghabiskan seluruh harta tersebut. Lalu, di mana bagian yang
se- pertiga itu?" Karenanya, kemudian masalah ini disebut masalah
mubahalah.
2. Seorang ahli fiqih Madinah, az-Zuhri, melakukan istihsan terhadap fatwa Ibn ‘Abbas
ini. la mengatakan, "Hal itu akan menjadi hujah kalau saja tidak didahului
oleh 'Umar bin al- Khaththab"
Syekh itu, di dalam al-Khilaf, meriwayatkan hadis dari 'Ubaidullah bin' Abdullah dan
Zafr bin Aws al-Bashri bahwa mereka berdua bertanya kepada Ibn ' Abbas,
"Siapakah orang pertama yang melakukan ‘aul dalam faraid?" Ibn '
Abbas menjawab, “umar bin al-Khaththab." lajuga pemah
ditanya, “Mengapa Anda tidak memberikan petunjuk kepadanya?" la men-
jawab, “Aku takut kepadanya dan perintahnya menakutkan."
Az-Zuhri berkata, “Kalau saja ia tidak mendahului Ibn
‘Abbas, seorang imam yang adil, yang menetapkan hukum dengan adil, dan diikuti
banyak orang, tentu tidak akan ada orang yang berbeda pendapat dengan Ibn
‘Abbas."
3. Musa Jarullah telah mengungkapkan pendapat yang
berlebihan berkenaan dengan masalah ‘aul hingga sangat membosankan. Di
antaranya ia mengatakan, “Saya kira, pendapat tidak adanya ‘aul di kalangan
Syi’ah adalah pendapat kaum Zhahiri. Sebab. ‘aul itu berarti pengurangan. Jika
pengurangan itu dikenakan kepada keseluruhan saham dengan perbandingan yang
proporsional, maka itu adalah ‘aul yang adil, ‘aul itulah yang diakui umat dan
dengannya mereka memelihara nas-nas Al- Qur'an. Tetapi, jika pengurangan dalam
saham itu tidak proporsional, maka itu adalah ‘aul yang batal yang dianut kaum
Syi’ah dan dengannya mereka menentang nas-nas Al-Qur'an.
Catatan:
1. Makna proporsional dalam ‘aul dalam hal ini adalah
penghilangan atau kecenderungan pada kebatilan. Menafsirkan ‘aul dengan
pengurangan-kalau kita asumsikan penggunaannya ini benar-sama sekali tidak
sesuai, karena menyebabkan kelebihan faraid dari saham tirkah. Penghilangannnya
walaupun lazim, tentu mengurangi tirkah dalam memenuhi seluruh fardh. Akan
tetapi, ia melihat masalah ini dari sisi kehilangan faraid, bukan pada
berkurangnya saham tirkah. Oleh karena itu, Ibn ‘Abbas berkata, “Demi Allah,
kalau mereka mendahulukan orang yang didahulukan Allah dan mengakhirkan orang
yang diakhirkan Allah, niscaya tidak terjadi ‘aul dalam faraid."
Jelaslah bahwa menafsirkan ‘aul dengan berkurangnya
faridhah tidaklah benar.
2. Kami bisa menerima kalau ‘aul diartikan kekurangan.
Akan tetapi, ia menuduh Syi’ah bahwa mereka berpendapat demikian karena
membebankan kekurangan itu kepada orang yang diakhirkan sebagai kelalaian dalam
pandangan mereka. Sebab, kekurangan itu hanya dapat terjadi apabila orang yang
diakhirkan itu adalah orang yang berhak mendapat fardh. Akan
tetapi, di kalangan mereka kekurangan itu tidak dibebankan kepada orang yang
berhak mendapat fardh, melainkan ia mewarisi karena kekerabatan, seperti orang
lain yang mewarisinya. Ketika itu, dalam hal itu sama sekali tidak dibenarkan
adanya pengurangan.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Ibn ' Abbas
bahwa orang yang didahulukan adalah mereka berhak memperoleh dua fardh,
sedangkan orang yang diakhirkan adalah mereka yang hanya berhak memperoleh satu
fardh. Hal itu berada di luar kasus ini. Dalam menjawab pertanyaan Zafr yang
menanyakan siapa yang didahulukan dan siapa yang diakhirkan, Ibn ‘Abbas
menjawab, “Orang yang diturunkan dari satu fardh ke fardh yang lain, itulah yang
didahulukan. Sedangkan orang yang diturunkan dari satu fardh ke sisa pem-
bagian, itulah yang diakhirkan Allah. Dengan kata lain, orang yang diakhirkan
Allah adalah orang yang tidak diberi hak telah ditetapkan dalam Al-Qur'an ( mafrud) ketika harta warisan tidak
mencukupi. Maka ia memperoleh sisa. dalam fardh ini ia bukan ashhabul furudh
karena ia adalah ahli waris karena kekerabatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa
tidak ada ‘aul menurut Syi'ah dalam pengertian yang dikenal dalam istilah para
fukaha.
3. la juga menyebutkan bahwa Ahlusunah memelihara nas-nas
AL-Qur'an. Sebaliknya karena membebankan kekurangan itu kepada orang yang
diakhirkan, Syi’ah menyimpang dari nas- nas AL-Qur'an. Ini ucapan yang aneh.
Apabila dibebankannya kekurangan itu kepada orang yang diakhirkan-dengan segala
maaf- adalah menyimpang dari lahiriah AL-Qur'an, maka me- masukkan kekurangan
itu kepada semua ahli waris menyimpang lebih jauh lagi dari AL-Qur'an. Dalam
penjelasan yang lalu Anda telah mengetahui bahwa orang yang Allah tetapkan
fardnya seperdua memperoleh bagian yang lebih sedikit
dari seperrdua, dan orang yang ditetapkan fardhnya dua pertiga, mendapat bagian
yang lebih sedikit dari dua pertiga. Bagaimana hal itu tidak dikalakan
menyimpang dari AL-Qur'an?