DetikCom, Senin, 28 Januari 2002
Warga Ambon Menolak Rekayasa
Reporter : Didik Supriyanto
detikcom - Jakarta, Menkopolkam Yudhoyono ke Ambon, disambut dengan tebaran
spanduk yang menuntut penegakkan hukum. Begitu ia meninggalkan Ambon,
ledakan bom bergema lagi. Warga Ambon menolak jadi komudidtas politik dan
ekonomi.
Belum diketahui, apakah Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono sempat
menyaksikan spanduk-spanduk yang dipampang di beberapa jalan di Ambon Maluku
untuk menyambut kedatangannya pada Jumat (25/1/2002) lalu. Spanduk-spanduk itu
dipasang oleh kelompok muslim, yang secara tegas menuntut penegakkan hukum di
Maluku.
Sementara itu, sehari setelah dikunjunginya, kota Ambon kembali digemakan oleh
ledakan bom yang disertai rentetan tembakan. Sebagaimana dilaporkan Antara,
ledakan bom itu terjadi pada Sabtu (26/1/2002) malam di Kebun Cengkeh-Karang
Panjang dan Batumerah-Mardika, yang dikenal sebagai kawasan kristen.
Menurut Koordinator Bakebae (Program Kemanusiaan dan Rekonsiliasi di Maluku)
Ichsan Malik, dua kejadian tersebut merupakan pertanda, bawa warga Maluku,
khususnya Ambon, menolak atau paling tidak bersikap kritis terhadap rencana
perdamaian yang hendak dilakukan oleh Yudhoyono dan Menkokesra Yusuf Kalla.
“Meraka tidak mau direkayasa oleh elit-elit Jakarta,” katanya.
Ichsan, yang sudah terlibat dalam proses perdamaian di Maluku sejak konflik antara
kelompok muslim dan kristen pecah tiga tahun yang lalu, melihat bahwa warga
Maluku mulai mengerti, bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah
dalam upaya menyelesaikan masalah Maluku lebih menekankan dimensi politik dan
ekonomi.
“Pendekatan politik ekonomi itu, telah menempatkan warga Maluku sebagai komuditas
politik dan ekonomi, di mana elit lokal dan nasional secara bersama-sama
memanfaatkan konflik Ambon justru untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka
sendiri,” katanya. Itulah sebabnya mereka bersikap kritis terhadap rencana kerja
Yudhoyono dan Yusuf Kalla.
Jika memang pemerintah benar-benar hendak melaksanakan program rekonsiliasi
damai di Maluku, menurut Ichsan, pemerintah harus mengubah pendekatannya.
Kalau setiap solusi diarahkan pada politik dan ekonomi, maka konflik antara
antarwarga Ambon tak akan selesai. “Aspek korban, aspek kemanusiaan dan aspek
penegakkan hukum harus menjadi paradigma utama dalam menyelesaikan masalah
Maluku,” tegas Ichsan.
Ichsan juga menilai, pemerintah terlalu gegabah untuk menduplikasi model
penyelesaian konflik di Poso untuk kepentingan Maluku. Pertama, proses di Poso
sendiri belum apa-apa. “Di sana baru terjadi genjatan senjata. Lebih dari itu tidak
terjadi apa-apa,” tutur Ichsan.
Yang kedua, konflik di Maluku selain lebih kompleks juga mencakup jumlah
penduduk dan wilayah yang lebih besar. “Jadi, kalau saja model penyelesaian di
Poso berhasil, maka belum tentu kena di Maluku, karena kondisinya berbeda,” kata
Ichsan.
Menurut Ichsan, proses rekonsiliasi di Maluku tidak akan berhasil, jika tidak
melibatkan semua elemen masyarakat Malaku. “Dalam hal ini, tidak hanya
tokoh-tokoh agama, tetapi juga raja-raja desa (kepala desa) harus dilibatkan secara
intensif. Sebab mereka mempunyai pengaruh yang kuat di masyarakat,” tegas
Ichsan. (diks)
Copyright © 1998 - 1999 ADIL dan detikcom Digital Life.
|