HARRY  POTTER

and the Order of  the Phoenix

 

 

-- BAB  TIGA  PULUH  DELAPAN --

Perang Kedua Dimulai

 

DIA  YANG  NAMANYA  TIDAK  BOLEH  DISEBUT  KEMBALI

    'Dalam sebuah pernyataan singkat pada hari Jumat malam, Menteri Sihir Cornelius Fudge membenarkan bahwa

    Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut telah kembali ke negara ini dan sekali lagi telah aktif.

        '"Dengan rasa penyesalan besar saya harus menegaskan bahwa penyihir yang menyebut dirinya Lord --well,

    kalian tahu siapa yang kumaksud -- masih hidup dan telah berada di antara kita lagi," kata Fudge, terlihat lelah

    dan bingung ketika berbicara kepada para reporter. "Dengan rasa penyesalan yang hampir sama besarnya kami

    melaporkan bahwa pemberontakan massal para Dementor Azkaban, yang telah memperlihatkan penolakan mereka

    untuk terus bekerja bagi Kementerian. Kami percaya para Dementor sekarang menerima perintah dari Lord -- Itu.

        '"Kami mendesak masyarakat sihir tetap waspada. Kementerian sekarang menerbitkan penuntun-penuntun

    pertahanan rumah dan pribadi tingkat dasar yang akan dikirimkan secara cuma-cuma kepada semua rumah 

    penyihir dalam bulan mendatang."

        'Penyataan Menteri disambut dengan kecemasan dan ketakutan dari komunitas sihir, yang sampai baru-baru ini

    hingga Rabu lalu menerima jaminan Kementerian bahwa "tidak ada kebenaran apapun dalam rumor-rumor

    berkepanjangan bahwa Kau-Tahu-Siapa sedang beroprerasi di antara kita sekali lagi".

        'Detil mengenai kejadian-kejadian yang mengarah pada perubahan haluan Kementerian masih kabur, walaupun

    diyakini bahwa Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut dan sekumpulan pengikutnya yang terpilih (dikenal

    sebagai Pelahap Maut) masuk ke dalam Kementerian Sihir sendiri pada hari Selasa malam.

        'Albus Dumbledore, yang baru-baru ini dikembalikan ke kedudukan Kepala Sekolah Sihir Hogwarts, anggota

    Konfederasi Penyihir Internasional dan Ketua Penyihir Wizengamot, sampai saat ini belum bisa diminati komentar,

    Beliau telah bersikeras selama setahun belakangan ini bahwa Anda-Tahu-Siapa belum mati, seperti yang

    diharapkan dan diyakini secara luas, melainkan sedang merekrut pengikut sekali lagi untuk percobaan baru

    merebut kekuasaan. Sementara itu, "Anak Laki-Laki yang Bertahan Hidup" --

    'Di sana kamu, Harry, aku tahu mereka akan menyeret kamu ke dalamnya bagaimanapun,' kata Hermione, sambil memandang lewat puncak surat kabar kepadanya.

    Mereka sedang berada di sayap rumah sakit. Harry sedang duduk di ujung tempat tidur Ron dan mereka berdua sedang mendengarkan Hermione membacakan halaman depan Sunday Prophet. Ginny, yang mata kakinya telah disembuhkan dengan sekejab mata oleh Madam Pomfrey, bergelung di kaki ranjang Hermione; Neville, yang hidungnya juga telah dikembalikan ke ukuran dan bentuk normal, berada di sebuah kursi di antara kedua tempat tidur; dan Luna, yang telah datang berkunjung, menggenggam edisi terbaru The Quibbler, sedang membaca majalah itu terbalik dan tampaknya tidak mendengarkan sepatah katapun yang sedang dikatakan Hermione.

    'Dia "anak laki-laki yang bertahan hidup" lagi sekarang, bukan begitu?' kata Ron dengan muram. 'Bukan tukang pamer yang suka menipu lagi, eh?'

    Dia mengambil segenggam penuh Cokelat Kodok dari tumpukan besar di atas lemari sisi tempat tidurnya, melempar beberapa kepada Harry, Ginny dan Neville dan merobek pembungkus cokelatnya sendiri dengan giginya. Masih ada bilur dalam di lengannya tempat tentakel-tentakel otak itu membelitnya. Menurut Madam Pomfrey, pikiran bisa meninggalkan bekas luka yang lebih dalam daripada hampir semua benda lain, walaupun sejak dia mulai memakaikan sejumlah besar Minyak Penghilang Dr Ubbly tampaknya telah ada sedikit perbaikan.

    'Ya, mereka memuji-muji kamu sekarang, Harry,' kata Hermione, sambil membaca sekilas artikel itu. '"Satu-satunya suara kebenaran ... dianggap tidak seimbang, namun tidak pernah ragu-ragu dalam ceritanya ... dipaksa menanggung ejekan dan fitnah ..." Hmmm,' katanya, sambil merengut, 'kuperhatikan mereka tidak menyebut fakta bahwa merekalah yang melakukan semua ejekan dan fitnahan itu di Prophet ...'

    Dia mengerenyit sedikit dan meletakkan sebelah tangan ke tulang iganya. Kutukan yang digunakan Dolohov kepadanya, walaupun kurang efektif daripada seharusnya kalau dia bisa mengatakan manteranya kuat-kuat, meskipun demikian mengakibatkan, dengan kata-kata Madam Pomfrey, 'cedera yang cukup parah'. Hermione harus meminum sepuluh jenis ramuan yang berbeda setiap harinya, membaik dengan cepat, dan sudah bosan dengan sayap rumah sakit.

    'Usaha Terakhir Anda-Tahu-Siapa untuk Mengambil Alih, halaman dua hingga empat, Apa yang Seharusnya Diberitahu Kementerian Kepada Kita, halaman lima, Mengapa Tak Seorangpun Mendengarkan Albus Dumbledore, halaman enam hingga delapan, Wawancara Eksklusif dengan Harry Potter, halaman sembilan ... Well,' kata Hermione, sambil melipat surat kabar itu dan melemparkannya ke samping, 'jelas memberi mereka banyak bahan untuk ditulis. Dan wawancara dengan Harry itu tidak eksklusif, yang satu itu sudah ada di The Quibbler berbulan-bulan lalu ...'

    'Daddy jual kepada mereka,' kata Luna dengan tidak jelas, sambil membalikkan satu halaman The Quibbler. 'Dia juga dapat harga yang sangat bagus, jadi kami akan pergi pada ekspedisi ke Sweden musim panas ini untuk melihat apakah kami bisa menangkap seekor Snorckack Tanduk-Kisut.'

    Hermione tampaknya bergumul dengan dirinya sendiri sejenak, lalu berkata, 'Itu kedengarannya menyenangkan.'

    Ginny beradu pandang dengan Harry dan mengalihkan pandangannya cepat-cepat, sambil nyengir.

    'Jadi, ngomong-ngomong,' kata Hermione, sambil duduk sedikit lebih tegak dan mengerenyit lagi, 'apa yang sedang terjadi di sekolah?'

    'Well, Flitwick sudah menghilangkan rawa-rawa Fred dan George,' kata Ginny, 'dia melakukannya dalam waktu sekitar tiga detik. Tapi dia menyisakan sepetak kecil di bawah jendela dan dia memberi tali di sekitarnya --'

    'Kenapa?' kata Hermione, tampak terkejut.

    'Oh, dia cuma bilang itu sihir yang sangat bagus,' kata Ginny sambil mengangkat bahu.

    'Kukira dia meninggalkannya sebagai monumen untuk Fred dan George,' kata Ron, melalui semulut penuh cokelat. 'Mereka mengirim ini semua untukku, kau tahu,' dia memberitahu Harry, sambil menunjuk pada gunung kecil Kodok di sampingnya. 'Pastilah sukses dari toko lelucon itu, eh?'

    Hermione memandang dengan agak mencela dan bertanya, 'Jadi apakah semua masalahnya sudah berhenti sekarang setelah Dumbledore kembali?'

    'Ya,' kata Neville, 'semuanya sudah kembali seperti biasanya.'

    'Kurasa Filch senang, bukan?' tanya Ron, sambil menyandarkan sebuah Kartu Cokelat Kodok yang menggambarkan Dumbledore ke teko airnya.

    'Tidak sama sekali,' kata Ginny. 'Sebenarnya dia benar-benar sengsara ...' Dia merendahkan suaranya menjadi bisikan. 'Dia terus berkata Umbridge hal terbaik yang pernah terjadi di Hogwarts ...'

    Mereka berenam semuanya memandang berkeliling. Profesor Umbridge sedang berbaring di tempat tidur di seberang mereka, menatap ke atas ke langit-langit. Dumbledore telah berjalan sendirian ke dalam Hutan untuk menyelamatkannya dari para centaur; bagaimana caranya -- bagaimana dia muncul dari pohon-pohon sambil menyokong Profesor Umbridge tanpa satu goresan pun pada dirinya -- tak seorangpun tahu, dan Umbridge jelas tidak akan cerita. Sejak dia kembali ke kastil dia belum, sejauh yang mereka tahu, mengucapkan sepatah katapun. Tak seorangpun juga benar-benar tahu apa yang salah dengan dirinya. Rambut tikusnya yang biasanya rapi sangat berantakan dan masih ada potongan-potongan ranting dan daun di dalamnya, tetapi selain itu dia tampak tidak cedera.

    'Madam Pomfrey bilang dia cuma terguncang,' bisik Hermoine.

    'Lebih seperti merajuk,' kata Ginny.

    'Yeah, dia menunjukkan tanda-tanda kehidupan kalau kalian melakukan ini,' kata Ron, dan dengan lidahnya dia membuat bunyi keletak-keletuk pelan. Umbridge mendadak duduk tegak, sambil memandang ke sekitarnya dengan liar.

    'Ada yang salah, Profesor?' seru Madam Pomfrey, sambil menjulurkan kepalanya dari pintu kantornya.

    'Tidak ... tidak ...' kata Umbridge, sambil terbenam kembali ke bantalnya. 'Tidak, aku pasti bermimpi ...'

    Hermione dan Ginny meredam tawa mereka di seprai.

    'Berbicara tentang centaur,' kata Hermione, saat dia sudah pulih sedikit, 'siapa guru Ramalan sekarang? Apakah Firenze akan tetap tinggal?'

    'Dia harus,' kata Harry, 'para centaur lain tidak mau menerimanya kembali, bukan?'

    'Tampaknya dia dan Trelawney dua-duanya akan mengajar,' kata Ginny.

    'Aku yakin Dumbledore berharap dia bisa menyingkirkan Trelawney untuk selamanya,' kata Ron, sekarang sedang mengunyah Kodoknya yang keempat belas. 'Kalian ingat, seluruh mata pelajaran itu tidak berguna kalau kalian tanya aku, Firenze tidak lebih baik ...'

    'Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?' Hermione menuntut. 'Setelah kita baru saja menemukan bahwa ada ramalan yang sebenarnya?'

    Jantung Harry mulai berpacu. Dia belum memberitahu Ron, Hermione atau siapapun juga apa isi ramalan itu. Neville telah memberitahu mereka benda itu pecah saat Harry menariknya menaiki tangga batu di Ruangan Kematian dan Harry belum mengkoreksi kesan ini. Dia tidak siap melihat ekspresi mereka saat dia memberitahu mereka bahwa dia harus menjadi pembunuh atau korban, tidak ada cara lain ...

    'Sayang ramalan itu pecah,' kata Hermione pelan, sambil menggelengkan kepalanya.

    'Yeah, memang,' kata Ron. 'Tetap saja, setidaknya Kau-Tahu-Siapa juga tidak akan pernah menemukan apa isinya -- mau ke mana kamu?' dia menambahkan, tampak terkejut sekaligus kecewa ketika Harry berdiri.

    'Er -- ke tempat Hagrid,' kata Harry. 'Kalian tahu, dia baru saja kembali dan aku janji aku akan ke sana menemuinya dan memberitahu dia bagaimana keadaan kalian.'

    'Oh, kalau begitu baiklah,' kata Ron menggerutu, sambil memandang keluar dari jendela kamar asrama itu ke petak langit biru cerah di baliknya. 'Kuharap kami bisa ikut.'

    'Berikan salam kami kepadanya!' seru Hermione, ketika Harry turun dari bangsal itu. 'Dan tanya dia apa yang terjadi dengan ... teman kecilnya!'

    Harry melambaikan tangannya untuk memperlihatkan dia mendengarnya dan mengerti ketika dia meninggalkan kamar asrama itu.

    Kastil kelihatannya sangat tenang bahkan untuk hari Minggu. Semua orang jelas sedang berada di luar di halaman sekolah yang cerah, menikmati akhir ujian mereka dan prospek beberapa hari terakhir semester itu tidak terhambat oleh pengulangan pelajaran atau pekerjaan rumah. Harry berjalan lambat-lambat menyusuri koridor yang sepi, sambil mengintip keluar dari jendela; dia bisa melihat orang-orang bermain-main di air dekat lapangan Quidditch dan sejumlah murid berenang di dalam danau, ditemani oleh cumi-cumi raksasa.

    Dia mendapati sulit untuk memutuskan apakah dia mau berada dekat orang-orang atau tidak; kapanpun dia mendapat teman dia ingin menjauh dan kapanpun dia sendirian dia ingin ditemani. Namun, dia mengira dia mungkin sebaiknya pergi mengunjungi Hagrid, karena dia belum berbicara kepadanya dengan pantas sejak kembalinya ...

    Harry baru saja menuruni anak tangga pualam terakhir ke Aula Depan saat Malfoy, Crabbe dan Goyle muncul dari sebuah pintu di sebelah kanan yang Harry tahu mengarah ke ruang duduk Slytherin. Harry terdiam di tempat; begitu pula Malfoy dan yang lainnya. Satu-satunya suara adalah teriakan, tawa dan ceburan yang masuk ke Aula dari halaman sekolah melalui pintu-pintu depan yang terbuka.

    Malfoy memandang sekilas ke sekeliling -- Harry tahu dia sedang mencari tanda-tanda guru -- lalu dia melihat kembali kepada Harry dan berkata dengan suara rendah, 'Mati kau, Potter.'

    Harry mengangkat alisnya.

    'Lucu,' katanya, 'kau akan mengira aku akan berhenti berjalan ke sana ke mari ...'

    Malfoy tampak lebih marah daripada yang pernah dilihat Harry; dia merasakan semacam kepuasan melihat wajahnya yang pucat dan runcing berubah bentuk karena marah.

    'Kau akan bayar,' kata Malfoy dengan suara yang hampir tidak lebih keras daripada bisikan. 'Aku akan membuatmu membayar apa yang sudah kamu lakukan pada ayahku ...'

    'Well, aku ngeri sekarang ...' kata Harry dengan kasar. 'Kurasa Lord Voldemort hanya pemanasan dibandingkan dengan kalian bertiga -- ada apa?' dia menambahkan, karena Malfoy, Crabbe dan Goyle semuanya tampak terkejut mendengar nama itu. 'Dia sobat ayahmu, bukan? Tidak takut padanya, kalian?'

    'Kau kira kau sangat hebat, Potter,' kata Malfoy, maju sekarang, Crabbe dan Goyle mengapitnya. 'Tunggu saja. Aku akan menghabisimu. Kau tidak bisa memasukkan ayahku ke dalam penjara --'

    'Kukira baru saja kulakukan,' kata Harry.

    'Para Dementor sudah meninggalkan Azkaban,' kata Malfoy pelan. 'Dad dan yang lainnya akan segera keluar ...'

    'Yeah, kuduga begitu,' kata Harry. 'Tetap saja, setidaknya semua orang tahu sampah seperti apa mereka sekarang --'

    Tangan Malfoy melayang ke arah tongkatnya, tetapi Harry terlalu cepat baginya; dia telah mengambil tongkatnya sendiri sebelum jari-jari Malfoy bahkan memasuki kantong jubahnya.

    'Potter!'

    Suara itu berdering menyeberangi Aula Depan. Snape telah muncul dari tangga yang mengarah ke kantornya dan ketika melihatnya Harry merasakan desakan kebencian melampaui apapun yang dirasakannya terhadap Malfoy ... apapun yang Dumbledore katakan, dia tidak akan pernah memaafkan Snape ... takkan pernah ...

    'Apa yang sedang kamu lakukan, Potter?' kata Snape, sedingin dulu, ketika dia berjalan kepada mereka berempat.

    'Aku sedang mencoba memutuskan kutukan apa yang akan kugunakan pada Malfoy, sir,' kata Harry dengan garang.

    Snape menatapnya.

    'Simpan tongkatmu seketika,' dia berkata dengan kaku. 'Sepuluh poin dari Gryff--'

    Snape memandang jam pasir raksasa di dinding dan tersenyum mengejek.

    'Ah, kulihat tidak ada lagi poin yang tersisa di jam pasir Gryffindor untuk dibuang. Kalau begitu, Potter, kita hanya harus --'

    'Menambah lagi?'

    Profesor McGonagall baru saja berjalan menaiki undakan batu ke dalam kastil; dia membawa tas kotak-kotak di satu tangan dan bersandar hebat ke sebuah tongkat berjalan dengan tangan lainnya, tetapi selain itu tampak sangat sehat.

    'Profesor McGonagall!' kata Snape, sambil berjalan maju. 'Keluar dari St Mungo, kulihat!'

    'Ya, Profesor Snape,' kata Profesor McGonagall, sambil melepaskan mantel bepergiannya, 'Aku sama sekali sudah sehat. Kalian berdua -- Crabbe -- Goyle --'

    Dia memberi isyarat dengan memerintah kepada mereka untuk maju dan mereka datang sambil menyeret kaki-kaki besar mereka dan tampak canggung.

    'Ini,' kata Profesor McGonagall, sambil menyorongkan tasnya ke dada Crabbe dan mantelnya ke dada Goyle, 'bawa ini ke kantorku.'

    Mereka berpaling dan berjalan pergi menaiki tangga pualam.

    'Baik kalau begitu,' kata Profesor McGonagall, sambil memandang ke atas kepada jam pasir di dinding. 'Well, kukira Potter dan teman-temannya harus mendapatkan lima puluh poin seorang karena menyiagakan dunia atas kembalinya Kau-Tahu-Siapa. Bagaimana menurut Anda, Profesor Snape?'

    'Apa?' kata Snape keras, walaupun Harry tahu dia mendengarnya dengan baik. 'Oh -- well -- kurasa ...'

    'Jadi masing-masing lima puluh untuk Potter, kedua Weasley, Longbottom dan Miss Granger,' kata Profesor McGonagall, dan hujan batu rubi jatuh ke dasar jam pasir Gryffindor ketika dia berbicara. 'Oh -- dan lima puluh untuk Miss Lovegood, kurasa,' dia menambahkan, dan sejumlah batu safir jatuh ke dalam jam pasir Ravenclaw. 'Sekarang, Anda ingin mengambil sepuluh dari Potter, kukira, Profesor Snape -- jadi ini dia ...'

    Beberapa rubi kembali ke bola bagian atas, walau begitu meninggalkan sejumlah besar di bagian bawah.

    'Well, Potter, Malfoy, kukira kalian seharusnya berada di luar di hari cerah seperti ini,' Profesor McGonagall meneruskan dengan cepat.

    Harry tidak perlu disuruh dua kali -- dia memasukkan tongkatnya kembali ke bbagian dalam jubahnya dan menuju langsung ke pintu-pintu depan tanpa memandang sekalipun kepada Snape dan Malfoy.

    Sinar matahari yang panas mengenainya ketika dia berjalan menyeberangi halaman sekolah menuju kabin Hagrid. Murid-murid yang berbaring di atas rumput bermandikan sinar matahari, sambil berbincang-bincang, membaca Sunday Prophet dan makan permen, memandangnya ketika dia lewat; beberapa memanggilnya, atau melambai, jelas sangat ingin memperlihatkan bahwa mereka, seperti Prophet, sudah tahu apa yang terjadi tiga hari yang lalu, tetapi sejauh ini dia menghindari ditanya dan lebih suka  menjaganya terus begitu.

    Awalnya dia mengira saat dia mengetuk pintu kabin Hagrid bahwa Hagrid keluar, tetapi kemudian Fang menyerbu dari sudut dan hampir menggulingkannya karena antusiasme penyambutannya. Hagrid, ternyata, sedang memungut kacang bersulur di kebun belakangnya.

    'Baik-baik saja, Harry!' katanya, sambil tersenyum, saat Harry mendekati pagar. 'Masuk, masuk, kita akan minum secangkir jus dandelion ...'

    'Bagaimana keadaannya?' Hagrid bertanya kepadanya, ketika mereka duduk di meja kayunya dengan masing-masing segelap jus dingin. 'Kau -- er -- baik-baik saja, bukan?'

    Harry tahu dari tampang kuatir di wajah Hagrid bahwa dia tidak sedang mengacu pada kesehatan fisik Harry.

    'Aku baik,' kata Harry cepat, karena dia tidak sanggung membahas hal  yang dia tahu berada dalam pikiran Hagrid. 'Jadi, ke mana saja kamu?'

    'Sembunyi di pegunungan,' kata Hagrid. 'Di gua, seperti Sirius waktu dia --'

    Hagrid berhenti, berdehem dengan kasar, memandang Harry, dan minum jusnya banyak-banyak.

    'Ngomong-ngomong, sudah balik sekarang,' dia berkata dengan lemah.

    'Kamu -- kamu tampak lebih baik,' kata Harry, yang bertekad menjaga percakapan itu menjauh dari Sirius.

    'Apa?' kata Hagrid, sambil mengangkat sebelah tangannya yang besar dan merasakan wajahnya. 'Oh -- Oh yeah. Well, Grawpy sudah jauh lebih baik kelakuannya sekarang, jauh. Tampaknya sangat senang melihatku waktu aku balik, sejujurnya. Dia anak yang baik, sebenarnya ... Aku telah memikirkan untuk mencoba temukan teman wanita untuknya, sebenarnya ...'

    Harry biasanya akan mencoba membujuk Hagrid keluar dari gagasan ini seketika; prospek raksasa kedua yang berdiam di Hutan, mungkin lebih liar dan lebih brutal daripada Grawp, sangat mengkhawatirkan, tetapi entah bagaimana Harry tidak bisa mengerahkan tenaga yang diperlukan untuk mendebatkan poin itu. Dia mulai berharap dia sendirian lagi, dan dengan ide mempercepat kepergiannya dia meneguk jus dandelionnya banyak-banyak beberapa kali, setengah mengosongkan gelasnya.

    'Semua orang tahu kau katakan yang sebenarnya sekarang, Harry,' kata Hagrid pelan dan tak terduga. Dia sedang mengamati Harry dengan seksama. 'Itu pasti lebih baik, bukan?'

    Harry mengangkat bahu.

    'Lihat ...' Hagrid mencondongkan badan ke arahnya dari seberang meja, 'Aku kenal Sirius lebih lama dari kamu ... dia mati dalam pertarunganm dan begitulah cara kepergian yang diinginkannya --'

    'Dia tidak mau pergi sama sekali!' kata Harry dengan marah.

    Hagrid menundukkan kepala berewokannya yang besar.

    'Tidak, kukira tidak,' katanya dengan pelan. 'Tetap saja, Harry ... dia tidak akan pernah jadi seseorang yang duduk di rumah dan membiarkan orang lain bertarung. Dia tidak akan bisa menerima dirinya sendiri kalau dia tidak pergi membantu --'

    Harry melompat bangkit.

    'Aku harus pergi mengunjungi Ron dan Hermione di sayap rumah sakit,' dia berkata seperti mesin.

    'Oh,' kata Hagrid, tampak agak terganggu. 'Oh ... kalau begitu baiklah, Harry ... jaga dirimu, dan kembalilah ke sini kalau kamu punya ...'

    'Yeah ... benar ...'

    Harry menyeberang ke pintu secepat yang dia bisa dan menariknya membuka; dia berada di luar di bawah sinar matahari lagi sebelum Hagrid selesai mengatakan selamat tinggal, dan berjalan pergi menyeberangi halaman. Sekali lagi, orang-orang memanggilnya ketika dia lewat. Dia menutup matanya sejenak, berharap mereka semua menghilang, sehingga dia bisa membuka matanya dan mendapati dirinya sendirian di halaman sekolah ...

    Beberapa hari yang lalu, sebelum ujiannya selesai dan dia melihat pandangan yang ditanamkan Voldemort ke dalam pikirannya, dia akan memberikan hampir semuanya agar dunia sihir tahu dia menceritakan yang sebenarnya, agar mereka percaya bahwa Voldemort sudah kembali, dan tahu bahwa dia bukan pembohong ataupun orang sinting. Namun, sekarang ...

    Dia berjalan sedikit mengitari danau, duduk di tepinya, terlindung dari tatapan orang yang lalu-lalang di belakang semak-semak, dan menatap ke air yang berkilauan, sambil berpikir ...

    Mungkin alasan dia ingin sendirian adalah karena dia merasa terisolasi dari semua orang sejak pembicaraannya dengan Dumbledore. Suatu penghalang yang tidak tampak telah memisahkan dirinya dari sisa dunia yang lain. Dia -- selalu -- menjadi orang yang ditandai. Hanya saja dia tidak pernah benar-benar mengerti apa artinya itu ...

    Dan duduk di sini di tepi danau, dengan kesedihan berat yang berlarut-larut, dengan kehilangan Sirius yang baru saja terjadi, dia tidak bisa mengerahkan rasa takut apapun. Hari itu cerah, dan halaman sekolah di sekelilingnya penuh orang-orang yang sedang tertawa, dan walaupun dia merasa jauh dari mereka seolah-olah dia berasal dari ras yang berbeda, masih sangat sulit percaya saat dia duduk di sini bahwa hidupnya harus melibatkan, atau berakhir dengan, pembunuhan ...

    Dia duduk di sana lama, sambil menatap air, mencoba tidak memikirkan ayah angkatnya atau mengingat bahwa tepat di seberang sinilah, di tepi seberang, Sirius pernah tumbang sambil mencoba menyingkirkan seratus Dementor ...

    Matahari telah terbenam sebelum dia sadar dia kedinginan. Dia bangkit dan kembali ke kastil, sambil menyeka wajahnya pada lengan bajunya.

    Ron dan Hermione meninggalkan sayap rumah sakit sembuh sepenuhnya tiga hari sebelum akhir semester. Hermione terus menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara tentang Sirius, tetapi Ron cenderung membuat suara mendiamkan setiap kali dia menyebut namanya. Harry masih tidak yakin apakah dia ingin berbicara mengenai ayah angkatnya atau tidak; keinginannya berganti-ganti sesuai dengan suasana hatinya. Namun, dia tahu satu hal: walaupun dia tidak senang pada saat ini, dia akan sangat merindukan Hogwarts dalam waktu beberapa hari saat dia kembali berada di Privet Drive nomor empat. Walaupun sekarang dia mengerti benar mengapa dia harus kembali ke sana setiap musim panas, dia tidak merasa lebih baik mengenainya. Bahkan, dia belum pernah lebih ketakutan atas kepulangannya.

    Profesor Umbridge meninggalkan Hogwarts sehari sebelum akhir semester. Tampaknya dia keluar diam-diam dari sayap rumah sakit waktu makan siang, jelas berharap pergi tanpa terdeteksi, tetapi sayangnya bagi dia, dia bertemu Peeves di tengah jalan, yang meraih kesempatan terakhirnya untuk melakukan seperti yang diperintahkan Fred, dan mengejarnya dengan senang dari tempat itu sambil memukulnya bergantian dengan sebuah tongkat berjalan dan sebuah kaus kaki penuh kapur. Banyak murid berlarian ke Aula Depan untuk menonton dia berlari pergi di jalan setapak dan Kepala-Kepala Asrama mencoba dengan setengah hati untuk menahan mereka. Bahkan, Profesor McGonagall terbenam kembali ke kursinya di meja guru setelah sedikit celaan lemah dan jelas-jelas terdengar menyatakan penyesalan bahwa dia tidak bisa berlari menyoraki Umbridge sendiri, karena Peeves meminjam tongkat berjalannya.

    Malam terakhir mereka di sekolah tiba; kebanyakan orang telah selesai berkemas dan sudah menuju pesta perpisahan akhir tahun ajaran, tetapi Harry bahkan belum mulai.

    'Lakukan saja besok!' kata Ron, yang sedang menunggu di pintu kamar asrama mereka. 'Ayolah, aku kelaparan.'

    'Aku tidak akan lama ... begini, kamu pergi saja dulu ...'

    Tetapi ketika pintu kamar asrama menutup di belakang Ron, Harry tidak berusaha mempercepat berkemasnya. Hal terakhir yang ingin dilakukannya adalah menghadiri Pesta Perpisahan. Dia kuatir Dumbledore akan membuat acuan kepada dirinya dalam pidatonya. Dia pasti menyebut kembalinya Voldemort; lagipula, dia telah membicarakan hal itu kepada mereka tahun lalu ...

    Harry menarik beberapa jubah kusut keluar dari bagian paling dasar kopernya untuk memberi ruang bagi jubah-jubah yang terlipat dan, ketika dia berbuat demikian, memperhatikan sebuah paket yang terbungkus sembarangan tergeletak di salah satu sudut koper. Dia tidak bisa memikirkan untuk apa paket itu ada di sana. Dia membungkuk, menariknya keluar dair bawah celananya dan memeriksanya.

    Dia menyadari apa itu dalam beberapa detik. Sirius telah memberikannya kepadanya persis di dalam pintu depan Grimmauld Place nomor dua belas. 'Gunakan kalau kamu perlu aku, oke?'

    Harry merosot ke atas tempat tidurnya dan membuka pembungkus paket itu. Jatuhlah sebuah cermin kecil persegi. Cermin itu tampak tua; jelas kotor. Harry memegangnya di depan wajahnya dan melihat bayangannya sendiri memandang balik kepadanya.

    Dia membalikkan cermin itu. Di sisi sebaliknya tercoret catatan dari Sirius.

    Ini cermin dua arah, aku punya pasangannya. Kalau kamu perlu

    bicara denganku, sebut saja namaku kepada cermin; kamu akan muncul

    dalam cerminku dan aku akan bisa berbicara ke dalam cerminmu. James

    dan aku dulu menggunakannya waktu kami kena detensi di tempat terpisah.

Jantung Harry mulai berpacu. Dia teringat melihat orang tuanya yang sudah meninggal di dalam Cermin Tarsah empat tahun yang lalu. Dia akan bisa berbicara dengan Sirius lagi, sekarang juga, dia tahu itu --

    Dia memandang berkeliling untuk memastikan tak ada seorangpun di sana; asrama itu kosong. Dia memandang balik kepada cermin, mengangkatnya ke depan wajahnya dengan tangan gemetaran dan berkata, keras dan jelas, 'Sirius.'

    Napasnya berkabut di permukaan kaca. Dia memegang cermin itu lebih dekat lagi, rasa gembira membanjiri dirinya, tetapi mata yang berkedip balik kepadanya melalui kabut jelas matanya sendiri.

    Dia menyeka cermin itu supaya jelas lagi dan berkata, sehingga setiap suku kata berdering dengan jelas di ruangan itu:

    'Sirius Black!'

    Tak ada yang terjadi. Wajah frustrasi yang memandang balik dari cermin itu masih, jelas, wajahnya sendiri ...

    Sirius tidak membawa cerminya saat dia melewati atap melengkung itu, kata sebuah suara kecil di kepala Harry. Itulah sebabnya cermin itu tidak bekerja ...

    Harry terdiam sejenak, lalu melemparkan cermin itu kembali ke dalam koper tempat cermin itu pecah. Dia sudah yakin, selama satu menit penuh, bahwa dia akan bisa melihat Sirius, berbicara dengannya lagi ...

    Kekecewaan membara di tenggorokannya; dia bangkit dan mulai melemparkan barang-barangnya sembarangan menutupi cermin pecah itu --

    Tapi sebuah ide timbul dalam dirinya ... ide yang lebih baik daripada cermin ... ide yang jauh lebih besar, jauh lebih penting ... kenapa dia belum pernah memikirkannya sebelumnya -- kenapa dia tidak pernah bertanya?

    Dia berlari cepat keluar dari kamar asrama dan menuruni tangga spiral, menghantam dinding di sepanjang jalan dan hampir tidak memperhatikannya; dia menderu cepat menyeberangi ruang duduk yang kosong, melalui lubang potret dan menyusuri koridor, mengabaikan Nyonya Gemuk, yang memanggilnya: 'Pesta sudah akan dimulai, kau tahu, kau hampir saja terlambat!'

    Tetapi Harry tidak berniat menghadiri pesta ...

    Kenapa bisa tempat itu penuh hantu saat kau tidak perlu seorang, namun sekarang ...

    Dia berlari menuruni tangga-tangga dan menyusuri koridor-koridor dan tak bertemu siapapun yang hidup maupun mati. Mereka semua, jelas, berada di Aula Besar. Di luar ruang kelas Jimat dan Guna-Guna dia berhenti, sambil terengah-engah dan berpikir dengan sedih bahwa dia harus menunggu sampai kemudian, setelah akhir pesta ...

    Tetapi persis ketika dia telah menyerah, dia melihatnya -- seseorang yang tembus pandang yang melayang menyusuri akhir koridor itu.

    'Hei -- hei Nick! NICK!'

    Hantu itu menjulurkan kepalanya dari dinding, memperlihatkan topi yang luar biasa dan kepala yang bergoyang berbahaya milik Sir Nicholas de Mimsy-Porpington.

    'Selamat malam,' katanya, sambil menarik sisa tubuhnya dari batu padat dan tersenyum kepada Harry. 'Kalau begitu, aku bukan satu-satunya yang terlambat? Walaupun,' dia menghela napas, 'dengan arti yang agak berbeda, tentu saja ...' (Late selain terlambat, juga bisa diartikan sebagai mendiang)

    'Nick, boleh aku tanya sesuatu kepadamu?'

    Suatu ekspresi yang sangat aneh timbul di wajah Nick si Kepala-Nyaris-Putus ketika dia memasukkan sebuah jari ke kerut kaku di lehernya dan menariknya sedikit lebih tegak, tampaknya untuk memberi dirinya sedikit waktu berpikir. Dia hanya berhenti saat kepalanya yang terpotong sebagian kelihatannya akan jatuh.

    'Er -- sekarang, Harry?' kata Nick, tampak tidak nyaman. 'Tak bisa tunggu sampai akhir pesta?'

    'Tidak -- Nick -- tolong,' kata Harry, 'aku benar-benar butuh berbicara kepadamu. Bisakah kita masuk ke dalam sini?'

    Harry membuka pintu ke ruang kelas terdekat dan Nick si Kepala-Nyaris-Putus menghela napas.

    'Oh, baiklah,' katanya, tampak menyerah. 'Aku tidak bisa berpura-pura belum menduganya.'

    Harry sedang memegang pintu terbuka baginya, tetapi alih-alih dia melayang melalui dinding.

    'Menduga apa?' Harry bertanya, ketika dia menutup pintu.

    'Kamu akan datang menjumpaiku,' kata Nick, sekarang meluncur ke jendela dan melihat keluar pada halaman sekolah yang semakin gelap. 'Terjadi, kadang-kadang ... saat seseorang menderita ... kemalangan.'

    'Well,' kata Harry, menolak dialihkan. 'Kamu benar, aku -- aku datang untuk menjumpaimu.'

    Nick tidak berkata apa-apa.

    'Hanya --' kata Harry, yang mendapati ini lebih canggung daripada yang diharapkannya, 'hanya saja -- kamu sudah mati. Tapi kamu masih ada di sini, bukan?'

    Nick menghela napas dan terus menatap keluar ke halaman.

    'Itu benar, bukan?' Harry mendesaknya. 'Kamu mati, tapi aku berbicara kepadamu ... kamu bisa berjalan di Hogwarts dan segalanya, bukan?'

    'Ya,' kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus dengan pelan, 'Aku bisa jalan dan bicara, ya.'

    'Jadi, kamu kembali, bukan?' kata Harry mendesak. 'Orang-orang bisa kembali, bukan? Sebagai hantu. Mereka tidak harus menghilang sepenuhnya. Well?' dia menambahkan dengan tidak sabar, saat Nick terus tidak mengatakan apa-apa.

    Nick si Kepala-Nyaris-Putus bimbang, lalu berkata, 'Tidak semua orang bisa kembali sebagai hantu.'

    'Apa maksudmu?' kata Harry cepat-cepat.

    'Cuma ... cuma penyihir.'

    'Oh,' kata Harry, dan dia hampir tertawa karena lega. 'Well, kalau begitu OK, orang yang kutanyai adalah penyihir. Jadi dia bisa kembali, benar?'

    Nick berpaling dari jendela dan memandang Harry dengan sedih.

    'Dia tidak akan kembali.'

    'Siapa?'

    'Sirius Black,' kata Nick.

    'Tapi kau kembali!' kata Harry dengan marah. 'Kau kembali -- kamu sudah mati dan kamu tidak menghilang --'

    'Para penyihir bisa meninggalkan jejak mereka di atas bumi, untuk berjalan tempat diri mereka yang masih hidup dulu berjalan,' kata Nick dengan sengsara. 'Tapi sangat sedikit penyihir yang memilih jalan itu.'

    'Kenapa tidak?' kata Harry. 'Lagipula -- tidak masalah -- Sirius tidak akan peduli kalau itu tidak biasa, dia akan kembali, aku tahu itu!'

    Dan begitu kuatnya keyakinannya, Harry bahkan memalingkan kepalanya untuk memeriksa pintu, yakin, selama sepersekian detik, bahwa dia akan melihat Sirius, seputih mutiara dan tembus pandang tetapi tersenyum, berjalan melalui pintu itu ke arahnya.

    'Dia tidak akan kembali,' ulang Nick. 'Dia pasti sudah ... pergi.'

    'Apa maksudmu, "pergi"?' kata Harry cepat. 'Pergi ke mana? Dengar -- apa yang terjadi waktu kamu mati? Ke mana kamu pergi? Kenapa tidak semua orang kembali? Kenapa tempat ini tidak penuh hantu? Kenapa --?'

    'Aku tidak bisa menjawab,' kata Nick.

    'Kamu sudah mati, bukan?' kata Harry dengan putus asa. 'Siapa yang bisa menjawab lebih baik dari kamu?'

    'Aku takut pada kematian,' kata Nick dengan lembut. 'Aku memilih tetap tinggal. Aku kadang-kadang bertanya-tanya apakah seharusnya tidak kulakukan ... well, tidak di sini maupun di sana ... nyatanya, aku tidak di sini maupun di sana ...' Dia memberikan kekeh kecil yang sedih. 'Aku tidak tahu apa-apa tentang rahasia kematian, Harry, karena aku memilih tiruan hidupku yang lemah sebagai gantinya. Aku percaya para penyihir yang berpendidikan mempelajari masalah itu di Departemen Misteri --'

    'Jangan bicarakan tempat itu denganku!' kata Harry dengan garang.

    'Aku minta maaf tidak bisa lebih membantu,' kata Nick lembut. 'Well ... well, aku permisi dulu ... pesta, kau tahu ...'

    Dan dia meninggalkan ruangan, meninggalkan Harry di sana sendirian, menatap hampa ke dinding tempat Nick baru menghilang.

    Harry merasa hampir seolah-olah dia telah kehilangan ayah angkatnya sekali lagi karena kehilangan harapan bahwa dia mungkin akan bisa melihat atau berbicara kepadanya lagi. Dia berjalan lambat-lambat dan dengan merana kembali naik di kastil kosong itu, bertanya-tanya apakah dia akan pernah merasa ceria lagi.

    Dia telah berbelok di sudut menuju koridor Nyonya Gemuk saat dia melihat seseorang di depan sedang memasang sebuah catatan ke papan di dinding. Pandangan kedua memperlihatkan kepadanya itu Luna. Tidak ada tempat persembunyian yang baik di dekat situ, dia pasti telah mendengar langkah-langkah kakinya, dan bagaimanapun, Harry hampir tidak bisa mengerahkan tenaga untuk menghindari siapapun saat itu.

    'Halo,' kata Luna samar-samar, sambil memandang sekilas kepadannya ketika dia mundur dari pengumuman itu.

    'Kenapa kamu tidak menghadiri pesta?' Harry bertanya.

    'Well, aku kehilangan hampir semua barang-barangku,' kata Luna dengan tenang. 'Orang-orang mengambilnya dan menyembunyikannya, kau tahu. Tapi karena ini malam terakhir, aku benar-benar butuh barang-barang itu kembali, jadi aku memasang pengumuman.'

    Dia memberi isyarat ke papan pengumuman itu, benar juga, di atasnya dia telah menyematkan daftar buku-buku dan pakaiannya yang hilang, dengan permintaan akan pengembalian barang-barang itu.

    Suatu perasaan aneh timbul dalam diri Harry, suatu emosi yang sangat berbeda dari rasa marah dan duka yang telah memenuhinya sejak kematian Sirius. Beberapa saat kemudian barulah dia sadar bahwa dia merasa kasihan kepada Luna.

    'Kenapa orang-orang menyembunyikan barang-barangmu?' dia bertanya kepadanya, sambil merengut.

    'Oh ... well ...' dia mengangkat bahu. 'Kukira mereka berpikir aku agak aneh, kau tahu. Nyatanya, beberapa orang memanggilku "Loony" Lovegood.'

    Harry memandangnya dan perasaan kasihan yang baru mendalam agak menyakitkan.

    'Itu bukan alasan bagi mereka untuk mengambil barang-barangmu,' dia berkata dengan datar. 'Apakah kamu perlu bantuan menemukannya?'

    'Oh, tidak,' dia berkata, sambil tersenyum kepadanya. 'Barang-barang itu akan kembali, selalu begitu pada akhirnya. Hanya saja aku mau berkemas malam ini. Ngomong-ngomong ... kenapa kamu tidak menghadiri pesta?'

    Harry mengangkat bahu. 'Tidak ingin.'

    'Tidak,' kata Luna, sambil mengamatinya dengan mata menonjol yang anehnya kuyu. 'Kukira tidak. Pria itu yang dibunuh para Pelahap Maut adalah ayah angkatmu, bukan? Ginny bilang padaku.'

    Harry mengangguk singkat, tetapi mendapati bahwa karena alasan tertentu dia tidak keberatan Luna berbicara tentang Sirius. Dia baru saja ingat bahwa Luna juga bisa melihat Thestral.

    'Apakah kamu pernah ...' dia mulai. 'Maksudku, siapa ... apakah seseorang yang kamu kenal pernah mati?'

    'Ya,' kata Luna dengan sederhana, 'ibuku. Dia penyihir yang sangat luar biasa, kau tahu, tapi dia suka bereksperimen dan salah satu manteranya salah arah suatu hari. Aku berumur sembilan tahun.'

    'Aku ikut berduka,' Harry bergumam.

    'Ya, agak mengerikan,' kata Luna dengan nada berbincang-bincang. 'Aku masih merasa sangat sedih mengenainya kadang-kadang. Tapi aku masih punya Dad. Dan lagipula, bukannya seolah-olah aku tidak akan pernah bertemu Mum lagi, benar 'kan?'

    'Er -- bukan begitu?' kata Harry dengan tidak pasti.

    Dia menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya.

    'Oh, ayolah. Kamu mendengar mereka, persis di balik tudung, bukan?'

    'Maksudmu ...'

    'Di ruangan itu yang ada atap melengkungnya. Mereka cuma sembunyi dari penglihatan, itu saja. Kau dengar mereka.'

    Mereka saling berpandangan. Luna sedang tersenyum sedikit. Harry tidak tahu apa yang harus dikatakan, atau dipikirkan; Luna percaya begitu banyak hal yang luar biasa ... namun dia yakin dia juga telah mendengar suara-suara dari balik tudung itu.

    'Apakah kamu yakin kamu tidak mau aku membantumu mencari barang-barangmu?' katanya.

    'Oh, tidak,' kata Luna. 'Tidak, kukira aku hanya akan turun dan makan sedikit puding dan menunggu semuanya muncul ... selalu begitu pada akhirnya ... well, semoga liburanmu menyenangkan, Harry.'

    'Yeah ...  yeah, kamu juga.'

    Luna berjalan menjauh darinya dan, ketika dia memperhatikannya pergi, dia mendapati berat mengerikan dalam perutnya tampaknya telah berkurang sedikit.

    Perjalanan pulang di atas Hogwarts Express keesokan harinya penuh kejadian dalam beberapa cara. Pertama-tama Malfoy, Crabbe dan Goyle, yang jelas telah menunggu sepanjang minggu mencari peluan guntuk menyerang tanpa disaksikan guru-guru, mencoba menyergap Harry tiba-tiba di tengah kereta api ketiak dia kembali dari toilet. Penyerangan itu mungkin berhasil kalau bukan karena fakta bahwa mereka dengan tidak bijaksana memilih melakukannya tepat di luar sebuah kompartemen yang penuh anggota DA, yang melihat apa yang sedang terjadi melalui kaca dan bangkit bersatu untuk menolong Harry. Pada saat Ernie Macmillan, Hannah Abbot, Susan Bones, Justin Finch-Fletchey, Anthony Goldstein dan Terry Boot telah selesai menggunakan beragam guna-guna dan kutukan yang telah Harry ajarkan kepada mereka, Malfoy, Crabbe dan Goyle menyerupai tiga siput raksasa yang tertekan ke dalam seragam Hogwarts sementara Harry, Ernie dan Justin mengangkat mereka ke atas rak bagasi dan meninggalkan mereka di sana untuk menetes-netes.

     'Aku harus bilang, aku sangat ingin melihat wajah ibu Malfoy saat dia turun dari kereta api,' kata Ernie, dengan sedikit kepuasan, selagi dia mengamati Malfoy menggeliat di atasnya. Ernie belum benar-benar mengatasi kemarahannya kepada Malfoy karena mengurangi nilai dari Hufflepuff selama masa jabatannya yang singkat sebagai anggota Regu Penyelidik.

    'Namun, ibu Goyle akan sangat senang,' kata Ron, yang telah datang menyelidiki sumber keributan itu. 'Dia jauh lebih tampan sekarang ... ngomong-ngomong, Harry, troli makanan baru saja berhenti kalau kamu mau sesuatu ...'

    Harry berterima kasih kepada yang lainnya dan menemani Ron kembali ke kompartemen mereka sendiri, di mana dia membeli setumpuk besar bolu kuali dan pai labu. Hermione sedang membaca Daily Prophet lagi, Ginny sedang mengisi kuis di The Quibbler dan Neville sedang membelai Mimbulus mimbletonianya, yang telah tumbuh banyak sepanjang tahun itu dan sekarang membuat suara menyanyi aneh saat disentuh.

    Harry dan Ron menghabiskan sebagian besar waktu di perjalanan itu dengan bermain catur penyihir sementara Hermione membacakan potongan-potongan dari Prophet. Koran itu sekarang penuh artikel tentang bagaimana memukul mundur Dementor, usaha-usaha Kementerian untuk menemukan para Pelahap Maut dan surat-surat histeris yang mengklaim bahwa penulisnya telah melihat Lord Voldemort berjalan melewati rumah mereka pagi itu juga ...

    'Belum benar-benar mulai,' Hermione menghela napas dengan murung, sambil melipat suratkabar itu lagi. 'Tapi tidak akan lama lagi sekarang ...'

    'Hei, Harry,' kata Ron pelan, sambil mengangguk ke arah jendela kaca ke koridor.

    Harry memandang berkeliling. Cho sedang lewat, ditemani Marietta Edgecombe, yang memakai topi yang menutupi wajah. Matanya dan mata Cho beradu sejenak. Cho merona dan terus berjalan. Harry memandang kembali ke papan catur tepat waktu untuk melihat salah satu pionnya dikejar dari petaknya oleh menteri Ron.

    'Ngomong-ngomong, apa -- er -- yang terjadi antara kamu dengan dia?' Ron bertanya pelan.

    'Tidak ada,' kata Harry sejujurnya.

    'Aku -- er -- dengar dia sedang kencan dengan orang lain sekarang,' kata Hermione ingin melihat reaksinya.

    Harry terkejut mendapati bahwa informasi ini tidak menyakitkan sama sekali. Ingin mengesankan Cho tampaknya berada di masa lalu yang tidak berhubungan dengannya lagi; seperti apa yang diinginkannya sebelum kematian Sirius terasa akhir-akhir ini ... minggu yang telah berlalu sejak dia melihat Sirius terakhir kalinya tampaknya jauh, jauh lebih lama; minggu itu terentang di dua alam, yang satu dengan Sirius di dalamnya, dan yang lainnya tanpa Sirius.

    'Kau bagus keluar dari itu, sobat,' kata Ron bertenaga. 'Maksudku, dia sangat cantik dan segalanya, tapi kamu ingin seseorang yang sedikit lebih ceria.'

    'Dia mungkin cukup ceria untuk kencan dengan orang lain,' kata Harry, sambil mengangkat bahu.

    'Ngomong-ngomong, dengan siapa dia sekarang?' Ron bertanya kepada Hermione, tetapi Ginny yang menjawab.

    'Michael Corner,' katanya.

    'Michael -- tapi --' kata Ron, sambil menjulurkan lehernya untuk menatapnya. 'Tapi kamu yang kencan dengannya!'

    'Tidak lagi,' kata Ginny dengan tegas. 'Dia tidak suka Gryffindor mengalahkan Ravenclaw di Quidditch, dan jadi sangat merajuk, jadi kucampakkan dia dan dia lari mencari penghiburan pada Cho.' Dia menggaruk hidungnya sambil melamun dengan ujung pena bulunya, membalikkan The Quibbler dan mulai menandai jawabannya. Ron tampak sangat senang.

    'Well, aku selalu mengira dia agak idiot,' katanya, sambil menyodok ratunya maju ke benteng Harry yang gemetaran. 'Bagus untukmu. Pilih saja seseorang yang -- lebih baik -- lain kali.'

    Dia memberi Harry pandangan sembunyi-sembunyi secara aneh saat dia mengatakannya.

    'Well, aku sudah memilih Dean Thomas, apakah kamu akan mengatakan dia lebih baik?' tanya Ginny dengan samar.

    'APA?' teriak Ron, sambil membalikkan papan caturnya. Crookshanks meloncat mengejar bidak-bidaknya dan Hedwig dan Pigwidgeon bercicit-cicit dan beruhu dengan marah dari atas kepala.

    Saat kereta melambat mendekat ke King's Cross, Harry berpikir dia tidak akan pernah lebih tidak ingin  meninggalkannya. Dia bahkan bertanya-tanya sekilas apa yang akan terjadi kalau dia sama sekali menolak turun, melainkan tetap duduk di sana dengan keras kepala sampai satu September, saat kereta itu membawanya kembali ke Hogwarts. Namun, ketika kereta akhirnya diam, dia mengangkat sangkar Hedwig turun dan bersiap-siap menyeret kopernya dari kereta seperti biasa.

    Namun, saat pemeriksa tiket memberi tanda kepada Harry, Ron dan Hermione bahwa sudah aman untuk melewati rintangan sihir antara peron sembilan tiga perempat dan sepuluh, dia menemukan kejutan menantinya di sisi lain: sekelompok orang yang berdiri di sana untuk menyambutnya yang sama sekali tidak diduganya.

    Ada Mad-Eye Moody, tampak sangat menyeramkan dengan topinya tertarik rendah menutupi mata sihirnya seperti yang akan terlihat tanpa topi itu, tangannya yang berbonggol-bonggol menggenggam sebuah tongkat panjang, tubuhnya terbungkus dalam sebuah mantel bepergian yang sangat besar. Tonks berdiri tepat di belakangnya, rambut merah-jambu-permen-karetnya berkilauan di sinar matahari tampak dari kaca kotor langit-langit stasiun, mengenakan celana jins yang banyak tambalan dan kaus ungu terang bertuliskan The Weird Sisters. D i sebelah Tonks ada Lupin, wajahnya pucat, rambutnya kelabu, mantel  panjang tipis menutupi sweater dan celana lusuh. Di depan kelompok itu berdiri Mr dan Mrs Weasley, berpakaian dengan pakaian Muggle terbaik mereka, dan Fred dan George, yang keduanya mengenakan jaket baru dari sejenis bahan bersisik yang menyeramkan, berwarna hijau.

    'Ron, Ginny!' panggil Mrs Weasley, sambil bergegas maju dan memeluk anak-anaknya dengan erat. 'Oh, dan Harry sayang -- bagaimana keadaanmu?'

    'Baik,' bohong Harry, ketika dia menariknya ke pelukan erat. Lewat bahunya dia melihat Ron melongo pada pakaian baru si kembar.

    'Seharusnya apa itu?' dia bertanya, sambil menunjuk ke jaketnya.

    'Kulit naga terbaik, 'dik' kata Fred, sambil menyentuh sedikit risletingnya. 'Bisnis berkembang pesat dan kami pikir kami akan memberi hadiah kepada diri sendiri.'

    'Halo, Harry,' kata Lupin, ketika Mrs Weasley melepaskan Harry dan berpaling untuk menyambut Hermione.

    'Hai,' kata Harry. 'Aku tidak menduga ... apa yang sedang kalian semua lakukan di sini?'

    'Well,' kata Lupin dengan senyum kecil, 'kami kira kami akan berbincang-bincang sedikit dengan bibi dan pamanmu sebelum membiarkan mereka membawamu pulang.'

    'Aku tak tahu apakah itu ide yang bagus,' kata Harry seketika.

    'Oh, kukira begitu,' geram Moody, yang telah terpincang-pincang mendekat. 'Itu mereka, bukan, Potter?'

    Dia menunjuk dengan jempolnya lewat bahunya; mata sihirnya jelas sedang mengintip melalui belakang kepalanya dan topinya. Harry mencondongkan badan sekitar satu inci ke kiri untuk melihat ke mana Mad-Eye menunjuk dan di sana, benar juga, ada tiga orang anggota keluarga Dursley, yang tampak benar-benar terkesima melihat komite penyambutan Harry.

    'Ah, Harry,' kata Mr Weasley, sambil berpaling dari orang tua Hermione, yang baru saja disapanya dengan antusias, dan sekarang sedang bergantian memeluk Hermione. 'Well -- kalau begitu, haruskah kita lakukan?'

    'Yeah, kurasa begitu, Arthur,' kata Moody.

    Dia dan Mr Weasley memimpin menyeberangi stasiun menuju keluarga Dursley, yang tampaknya terpaku ke lantai. Hermoine melepaskan dirinya dengan lembut dari ibunya untuk bergabung dengan kelompok itu.

    'Selamat sore,' kata Mr Weasley dengan menyenangkan kepada Paman Vernon ketika dia berhenti tepat di hadapannya. 'Anda mungkin ingat saya, namaku Arthur Weasley.'

    Karena Mr Weasley telah menghancurkan sebagian besar ruang tamu keluarga Dursley dengan seorang diri dua tahun sebelumnya, Harry akan sangat terkejut kalau Paman Vernon telah melupakannya. Benar juga, Paman Vernon berubah warna dan melotot kepada Mr Weasley, tetapi memilih tidak mengatakan apa-apa, sebagian, mungkin, karena keluarga Dursley kalah jumlah dua banding satu. Bibi Petunia tampak takut sekaligus malu; dia terus memandang ke sekitar, seolah-olah ngeri seseorang yang dikenalnya akan melihatnya dengan orang-orang seperti ini. Sementara itu, Dudley kelihatannya sedang berusaha terlihat kecil dan tidak berarti, suatu hal yang sama sekali gagal dilakukannya. 

    'Kami pikir kami hanya akan berbicara beberapa patah kata dengan Anda mengenai Harry,' kata Mr Weasley, masih tersenyum.

    'Yeah,' geram Moody. 'Tentang bagaimana dia diperlakukan waktu dia berada di tempatmu.'

    Kumis Paman Vernon kelihatannya tegak karena marah. Mungkin karena topi yang dikenakannya memberi kesan salah bahwa dia sedang berurusan dengan orang yang punya perhatian yang sama, dia berbicara kepada Moody.

    'Saya tidak sadar kalau apa yang terjadi di dalam rumahku itu urusan Anda --'

    'Kuduga apa yang tidak kau sadari akan bisa mengisi beberapa buku, Dursley,' geram Moody.

    'Ngomong-ngomong, itu bukan intinya,' sela Tonks, yang rambut merah jambunya tampaknya menyinggung Bibi Petunia lebih dari semua yang lainnya, karena dia menutup matanya daripada memandangnya. 'Intinya adalah, kalau kami mendapati kalian bersikap mengerikan kepada Harry --'

    '-- Dan jangan salah, kami akan mendengarnya,' tambah Lupin dengan menyenangkan.

    'Ya,' kata Mr Weasley, 'bahkan kalau kamu tidak mengizinkan Harry menggunakan feliton --'

    'Telepon,' bisik Hermione.

    '-- Yeah, kalau kami dapat petunjuk apapun bahwa Potter diperlakukan dengan tidak benar dalam cara apapun, kalian harus menghadapi kami,' kata Moody.

    Paman Vernon menggembung tidak menyenangkan. Rasa terhinanya tampaknya bahkan lebih berat dari ketakutannya pada kelompok orang aneh ini.

    'Apakah Anda sedang mengancam saya, sir?' dia berkata, begitu keras sehingga orang-orang yang lalu-lalang bahkan berpaling untuk menatap.

    'Ya, memang,' kata Mad-Eye, yang tampaknya agak senang Paman Vernon telah mengerti fakta ini begitu cepatnya.

    'Dan apakah aku tampak seperti laki-laki yang bisa diintimidasi?' gertak Paman Vernon.

    'Well ...' kata Moody, sambli mendorong ke belakang topinya untuk memperlihatkan mata sihirnya yang berputar menyeramkan. Paman Vernon melompat mundur ketakutan dan menubruk sebuah troli bagasi dengan menyakitkan. 'Ya, aku harus bilang kamu memang begitu, Dursley.'

    Dia berpaling dari Paman Vernon untuk mengamati Harry.

    'Jadi, Potter ... teriak pada kami kalau kamu butuh kami. Kalau kami tidak dengar kabar darimu tiga hari berturut-turut, kami akan mengirimkan seseorang ke sana ...'

    Bibi Petunia merengek memilukan. Tak mungkin lebih jelas lagi bahwa dia sedang memikirkan apa yang akan dikatakan para tetangga kalau mereka melihat orang-orang ini berbaris ke jalan kebunnya.

    'Kalau begitu, selamat tinggal, Potter,' kata Moody, sambil memegang bahu Harry sejenak dengan tangannya yang berbonggol.

    'Jaga dirimu, Harry,' kata Lupin pelan. 'Terus berhubungan.'

    'Harry, kami akan membawamu dari sana secepat kami bisa,' Mrs Weasley berbisik, sambil memeluknya lagi.

    'Kami akan segera menemuimu, sobat,' kata Ron dengan gelisah, sambil menjabat tangan Harry.

    'Benar-benar secepatnya, Harry' kata Hermione bersemangat. 'Kami janji.'

    Harry mengangguk. Dia entah bagaimana tidak bisa menemukan kata-kata untuk memberitahu mereka apa artinya itu baginya, melihat mereka semua berkumpul di sana, di sampingnya. Alih-alih, dia tersenyum, mengangkat sebelah tangan mengucapkan selamat tinggal, berpaling dan memimpin jalan keluar dari stasiun ke jalan yang diterangi sinar matahari, dengan Paman Vernon, Bibi Petunia dan Dudley bergegas mengikutinya.

 

TAMAT

Previous Home Next