Mengapa Poso Kembali Mencekam?
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara semua,
Sebuah pertanyaan yang diangkat Kompas, 28/08/02, menggelitik saya. Pertanyaan
'Poso, Mengapa Kembali Mencekam?', yang digunakan sebagai judul berita,
kemudian diikuti oleh uraian yang cukup panjang, lalu diakhiri dengan pernyataan
kepada Pemerintah dan Aparat NKRI untuk 'menemukan siapa di balik aksi-aksi
tersebut.' Tetapi saya punya pendapat lain. Walaupun dengan urutan dan
pertanyaannya sama, saya ingin menutupnya dengan pernyataan agar, 'Pemerintah
dan Aparat NKRI menghentikan kegiatan mereka di balik aksi-aksi tersebut!'
Di dalam kesetaraan dengan situasi Maluku, saya pernah mengatakan: 'Sangat
dikuatirkan bahwa Pertemuan Malini I dan Malino II adalah semacam pupur pemanis
wajah Pemerintah NKRI di hadapan masyarakat internasional.' Hal ini terindikasi
dengan begitu getolnya beberapa Menteri terkait untuk menggembar-gemborkannya
kepada berbagai pwerwakilan Negara Asing di Jakarta sana. Begitu Malino I dan II
mengisi lembaran media massa asing, begitu situasi Poso dan Maluku diam-diam
kembali membara.
Adalah suatu hal yang mencurigakan jika kita pandangi sikap Pemerintah NKRI yang
sepertinya amat segan untuk mengeluarkan 'pihak ketiga' yang ikut mengeskalasi
kerusuhan di Poso dan Maluku, dari kedua darah yang katanya sudah didamaikan
atas prakarsa Pemerintah NKRI sendiri. Pemerintah malah menggunakan keberadaan
Laskar Jihad di Maluku sebagai alasan untuk menjaga perimbangan kekuatan.
Karena itu, walaupun media massa pernah bikin heboh dengan berita 'perintah
Pemerintah NKRI kepada Laskar Jihad untuk keluar dari Poso', keadaan akhir-akhir
ini menyatakan yang sebaliknya.
Sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa 'Berbagai personil dan satuan Aparat
Keamanan NKRI, baik TNI maupun POLRI, terlibat di dalam kerusuhan Maluku dan
Poso.' Tangkapan YONGAB di Maluku dan penolakan warga Poso terhadap satuan
keamanan tertentu adalah dua dari sekian bukti tentang hal itu. Adalah juga sangat
mencurigakan bahwa tangkapan yang begitu sering terhadap desertir TNI dan POLRI,
tidak diikuti oleh jumlah pagelaran MAHMIL atau Pengadilan Sipil yang berimbang.
Lebih parah lagi, di Maluku malahan terasa seakan-akan ada 'program desersi bergilir'
pada satuan-satuan TNI dan POLRI tertentu. Catatan terakhir adalah ulah Pasukan
KOPASUS yang tidak normal dan mencurigakan dan Peristiwa Pembantaian di Desa
Kristen, Soya yang memilukan.
Kembali ke Poso, seperti hujan di siang bolong, tiba-tiba sepasukan Kopasus masuk
ke Sulteng dengan alasan untuk menyelidiki kemungkinan kebenaran rumor yang
berkembang tentang adanya pasukan asing di Poso. Warga setempat sendiri
terpana. Isu atau rumor yang mana? Siapa yang menyebarkan rumor tersebut, dan di
antara siapa-siapa saja rumor tersebut beredar? Kalau saya, saya ingin melihatnya
dari fungsi 'menyelidiki'. Apakah Kopasus memang punya kekhususan untuk
menyelidiki kebenaran suatu isu? Lalu apa fungsinya informan, intelijen, atau entah
apa nama menterengnya itu? Apapun jawabannya, beberapa saat setelah Kopasus
masuk ke Sulteng, teror pasukan misterius berketrampilan militer dan bergaya jihad
mulai melanda Poso dan sekitarnya. Lalu 'ke mana' dan 'bikin apa' pasukan Kopasus
tersebut? Asik mengejar pasukan asing, sehingga WNI sendiri disengsarakan
perusuh misterius? Atukah kita sedang disuguhi peristiwa Soya ala Poso?
Sama halnya dengan yang sudah terjadi di Maluku, Poso sekarang mengalami teror
dari 'pasukan misterius' yang tidak dikenal. Sampai saat ini, pasukan yang saya
sebut sebagai 'ninja hijau' itu tetap tidak dikenal di Maluku, dan rutan Polda maupun
Kodam serta Kejaksaan Maluku, tetap bersih dari tapak kaki anggota pasukan
misterius ini. Saya sangat yakin bahwa pasukan teror 'ninja hijau' itu akan tetap 'tidak
diketahui' di Poso. Yang penting dipertanyakan sekarang adalah, 'Apakah bagi
Pemerintah dan Aparat Keamanan NKRI, pasukan ini juga tidak diketahui?' Saya
amat sangat meragukan hal itu.
Biarlah saya kutip paragraf di dalam pemberitaan Kompas tersebut ssebagai berikut:
'Warga Kabupaten Poso yang tergabung dalam Forum Peduli Masyarakat Poso di
Jakarta (FPMPJ) menyatakan keheranannya karena petugas keamanan belum juga
berhasil menemukan kelompok-kelompok yang senantiasa menimbulkan kekacauan,
padahal wilayah Poso tidak terlalu besar dibanding banyaknya pasukan TNI dan Polri
yang dikerahkan ke sana.'
Sebuah pernyataan menarik yang akan saya coba kupas! Coba perhatikan situasi
pasca penyerangan desa Mayumba, Kabupaten Morowali, di daerah perbatasan
Kabupaten Poso, 15 Agustus 2002. Dimana aparat berada dan apa yang mereka
lakukan? Mereka melakukan sweeping ke sekitar desa Mayumba yang baru saja
diserang perusuh misterius, dan katanya menangkap Pdt. Reinaldy Damanik dengan
belasan pucuk senjata dan ratusan amunisi. Apa gunanya sweeping atas daerah
yang baru diserang oleh kelompok perusuh misterius? Bukankah daerah itu malah
harus dilindungi?
Pada mulanya, aparat gabungan tersebut mengaku bahwa 'mereka tidak bisa
menangkap Pdt. Damanik, karena jumlah mereka terlalu sedikit (17 orang)
dibandingkan dengan ratusan masa (tentunya Kristen) yang mendukung Pdt.
Damanik. Sekarang mereka akui bahwa pembatalan penahanan terjadi karena alasan
teknis. Mereka ditentang oleh ratusan massa dengan 'pagar betis' ketika mereka
hendak menangkap Pdt. Damanik di Tentena. Selain cerita yang simpang-siur, kita
jadi bertanya: 'Mengapa Pdt. Damanik harus ditangkap ketika beliau berada di
Tentena? Sebab Tentena adalah pusat perlindungan warga Kristen, pusat Crisis
Center GKST, dan bagian teakhir dari pertahanan warga Kristen Poso. Tentena mirip
dengan Kudamati di Ambon! Perhatikan bagaimana Kudamati dilumpuhkan dari dalam
oleh Kopasus, dan bandingkan dengan situasi Tentena di bawah ini, maka anda akan
mendaptkan sedikit gambaran tentang grand skenario Pemerintah dan Aparat NKRI
sekarang ini.
'"Masyarakat Tentena harus berjalan kaki selama enam jam melewati Desa Deuwa
untuk mendapatkan angkutan umum. Tentena diblokir dari semua penjuru. Polisi dan
tentara ada di mana-mana," kata Dedi Askary, Direktur Lembaga Pengembangan
Studi Advokasi dan Hak Asasi Manusia (LPS HAM) Palu, kepada Kompas, kemarin.'
Pemerintah dan Aparat Keamanan NKRI membalik keadaan, seolah-olah Pdt.
Reinaldy Damanik adalah Pemimpin gerombolan perusuh yang tidak dikenal dan yang
dicari-cari, sementara gerombolan 'ninja hijau', perusuh 'tak dikenal' adalah pencari
keadilan dan HAM bagi umat dan warga negara NKRI di Poso. Alasan tidak
ditangkapnya Pdt. Damanik ketika disweeping juga adalah alasan bohong yang
dibuat-buat. Pengakuan Pdt. Damanik bahwa beliau dan para pengungsi yang akan
dievakuasinya, diselamatkan oleh pasukan dari Yonif. 711 karena akan diserang
sekelompok warga, tidak memperlihatkan adanya dukungan ratusan warga Kristen
terhadap beliau dan karena itu kekuatan aparat gabungan menjadi sangat kecil. Pdt.
Damanik dan rombongan pengungsi malah sedang dihadang juga oleh satuan Polda
Sulteng.
Tuhan kiranya mengampuni saya jika saya keliru, tetapi saya hampir percaya bahwa
'kesulitan teknis' itu berkaitan dengan perbantahan antara pasukan TNI Yonif 711
yang menganggap bahwa Pdt. Damanik cs adalah korban yang mereka lindungi,
sementara kelompok gabungan TNI-Polri (17 orang) yang mengaku melakukan
sweeping dan menemukan Pdt. Damanik dengan belasan pucuk senjata serta
ratusan amunisi, hendak menangkap beliau saat itu juga. Hal seperti ini bukan saja
sudah terjadi tetapi amat sering terjadi di Maluku. Peristiwa perebutan Berty Loupatty
(Berty Coker) antara Aparat Polda Maluku dan Kelompok Kopasus di Kudamati
adalah satu contohnya, dan itulah yang saya katakan bahwa kita sepertinya
berhadapan dengan 'program desersi bergilir.'
Forum Peduli Masyarakat Poso di Jakarta (FPMPJ) tidak perlu heran, 'Mengapa
petugas keamanan belum juga berhasil menemukan kelompok-kelompok yang
senantiasa menimbulkan kekacauan, padahal wilayah Poso tidak terlalu besar
dibanding banyaknya pasukan TNI dan Polri yang dikerahkan ke sana?' Dengan
melihat situasi Tentena, kita bisa berkesimpulan bahwa jumlah aparat yang besar itu
bukan untuk menangkap perusuh, tetapi untuk mengepung dan memblokir serta
melumpuhkan Tentena, dengan Pdt. Damanik sebagai kambing hitam mereka.
Pernyataan Danrem Tadulako, Kolonel Inf. Suwahyuhadji agar Kapolda Sulteng tidak
usah ragu menangkap Damanik, 'sikat saja', adalah penyataan takabur yang
memperlihatkan tendensi umum aparat keamanan di Poso. Lalu pernyatan Kapolda
Sulteng, Brigjen Pol Drs Zainal Ishak dan Kolonel Inf. Suwahyuhadji, yang didukung
oleh Gubernur Sulteng, H Aminuddin Ponulele, untuk memisahkan masalah agama
dari rencan penangkapan Pdt. Damanik, justeru malah membantu untuk meng
ungkapkan segala-galanya di balik sandiwara yang tidak bersih ini.
Pdt. Damanik adalah orang keras yang sering mencela Pemerintah NKRI karena
ketidak-becusannya di dalam menanggulangi masalah Poso. Beliau juga tidak
segan-segan menunjuk kesalahan dan kebobrokan tindakan aparat keamanan di
Poso. Karena itu, Pdt. Damanik, seperti juga Dr. Alex manuputty, dianggap sebagai
orang yang berbahaya, bukan terhadap masyarakat atau terhadap bangsa dan
negara, tetapi terhadap kepentingan politik Pemerintah dan Aparat Keamanan NKRI.
Karena itu, mereka harus disingkirkan, dengan jalan halal atau dengan jalan haram
sekalipun.
Untuk itu, jika saya harus mengajukan usul kepada Pemerintah dan Aparat
Keamanan NKRI, sehubungan dengan judul di atas, maka yang bisa saya katakan
adalah: 'Berhentilah bermain di balik aksi-aksi teror tersebut!'
Doakanlah warga Poso dan Pdt. Damanik, serta doakan juga Pemerintah dan Aparat
Keamanan NKRI yang sudah hampir tidak sadar sedang menunjuk ke kiri ketika
mereka bilang 'kanan!'.
Salam Sejahtera!
JL.
|