Alangkah Menyedihkan
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara semua,
Dua orang Kristen yang saat ini menjadi pusat perhatian dan pemberitaan media
massa adalah Pdt. R. Damanik dari Poso, dan Dr. A. Manuputty dari Maluku. Yang
satu dituduh sebagai provokator dan yang lain dituduh sebagai pelaku tindakan
makar. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang mencoba unjuk gigi dan
taring hukumnya terhadap apa yang mereka sebut sebagai perusuh-perusuh negara
kelas wahid. Apa benar demikian? Apakah kedua tokoh yang kebetulan beragama
Kristen ini adalah gembong-gembong perusuh dan apakah NKRI memang sedang
menegakkan keadilan dan kebenaran? Ataukah ini hanya bagian dari 'keadilan dan
kebenaran yang muncul terbalik'?
Dr. Alex Manuputty (dan Semmy Waeleruny, SH) dituduh melakukan upaya makar
(pasal 106 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 pasal 64 ayat 1 KUHP), bermufakat
melakukan kejahatan (pasal 110 ayat 1 juncto pasal 106 juncto pasal 64 ayat 1
KUHP, dan mempersiapkan serta memperlancar kejahatan (pasal 110 ayat 2 ke-1
juncto pasal 106 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto pasal 64 ayat 1 KUHP).
Tentunya segala tuduhan di atas ini berkaitan erat dengan 'Pengibaran Bendera RMS'
di dalam perayaan HUT Kemerdekaan RMS, 25 April 2002 yang lalu. Dengan
demikian, setiap orang herus menyimpulkan bahwa RMS adalah sebuah 'republik tak
sah' di dalam wilayah dan kedaulatan NKRI. Hal ini berarti, NKRI pernah menyatakan
secara resmi di dalam Lembaran Negara dan berbagai produk Perundang-undangan
yang berdasarkan hukum serta keadilan, dan diakui oleh dunia Internasional, bahwa
RMS adalah 'republik yang tidak sah'. Jika hal ini pernah dilakukan, maka yang perlu
dipertanyakan di sini adalah 'Dasar hukum dan keadilan manakah yang digunakan
NKRI untuk itu?'
Jika RMS adalah republik tak sah atau gerakan terlarang, berarti memiliki atribut
RMS, baik bendera, lambang, dll. haruslah merupakan pelanggaran terhadap hukum
dan kedaulatan NKRI. Hal ini diperjelas dengan rencana operasi SERA terhadap
beberapa desa Kristen di Maluku Tengah, karena memiliki dan mengibarkan bendera
RMS. Pertanyaan yang terkait dengan hal ini adalah, 'Mengapa NKRI tidak menuntut
para pembuat dan pemilik sekitar 40 lembar bendera RMS di Mesjid Al Fatah, dan
sekitar 200 lembar lagi di Pemukiman Muslim Galunggung, yang disita oleh Aparat
TNI yang dipimpin oleh Kol. Inf. K.A. Rallahalu, Danrem 417 Maluku saat itu?'
Jika RMS melakukan pemberontakan terhadap NKRI, mengapa proses pengadilan
dan eksekusi terhadap Dr. Ch. Soumokil harus dilakukan seperti menjual kucing di
dalam karung? Utusan dari negara-negara manakah yang menjadi saksi pada saat
itu? Jika RMS melakukan pemberontakan terhadap NKRI, mengapa Ibukota NKRI
harus ada di Jojakarta dan NKRI bukannya menggunakan UUD-1945, tetapi Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS), ketika RMS memprolamirkan Kemerdekaannya?
Apakah itu NKRI, RIS, Negara Indonesia Timur (NIT), Republik Indonesia (RI) dan
RMS pada tahun 1950?
Menurut kuasa hukum Dr. Manuputty, Christian Raharjaan, SH, ‘makar’ harus
diartikan sebagai 'perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah (NKRI) yang sah'.
Orang bisa melihat dengan mudah bahwa bahwa FKM tidak melakukan perlawanan
bersenjata terhadap Pemerintah NKRI dan mereka pasti berpendapat bahwa
Pemerintah NKRI adalah Pemerintah yang sah. Tetapi, apakah Pemerintah NKRI
yang sah ini mampu membuktikan, sesuai dengan hukum yang berlaku, baik nasional
maupun internasional, bahwa NKRI adalah negara yang sah? Kenyataan yang sangat
menyedihkan, adalah bahwa Pemerintah NKRI yang sah ini menjadi bisu ketika
ditantang FKM untuk memperdebatkan legalitas kedua negara, NKRI dan RMS.
Ekor dari ‘bisunya’ Pemerintah NKRI yang sah ini terlihat di dalam omongan Ketua
Jaksa Penuntut Umum, Harry Koedoebun, SH. Beliau mengatakan, 'eksepsi yang
sudah dibacakan oleh kedua terdakwa, hanya berisi gambaran historis RMS
berdasarkan versi mereka.' Artinya, Jaksa Penuntut Umum yang mewakili Pemerintah
NKRI tentu memiliki versi sendiri yang mereka anggap lebih benar. Dengan demikian,
diharapkan bahwa sidang ini akan diramaikan dengan 'perang sejarah di dalam hukum
dan keadilan serta HAM, antara NKRI dan FKM', dimana masing-masing akan
memajukan versi sejarahnya yang ber;landaskan hukum dan konvensi internasional.
Tetapi, Harry Koedoebun, SH, kemudian menambahkan 'materi tersebut menurut
saya berada di luara konteks ekpsepsi. Dan itu berarti di luar konteks KUHAP'. Saya
tidak mengatakan bahwa beliau ini salah, dan malahan saya harus akui beliau
sebagai wakil Pemerintah NKRI yang sangat loyal. Cuma saja, beliau lupa bahwa
istilah 'makar' yang digunakan oleh KUHAP itu harus kena-mengena dengan 'sah atau
tidaknya RMS' yang ditetapkan berdasarkan bukti sejarah dan berlandaskan hukum,
di dalam sidang ini juga. Bagaimana pengadilan ini mampu berbuat itu, jika JPU-nya
mulai memainkan kartu 'bisu' dari Pemerintah NKRI?
Alangkah menyedihkannya negara ini, jika baik Pemerintahnya yang sah, maupun
perangkat Peradilannya, tidak mampu membuktikan bahwa NKRI adalah sebuah
negara yang sah, tetapi mendakwa orang dengan tindakan makar, karena melawan
Pemerintah yang sah yang tidak berbukti, walau tanpa senjata.
Pendeta Reinaldy Damanik menjadi target operasi (TO) Polda Sulteng yang didukung
oleh Danrem 132/Tadulako Kol. Inf. Suwahyuhadji, dan Gubernur Sulteng Aminuddin
Ponulele. Dasar dari semua ini adalah pengakuan ke 17 orang Pasukan Gabungan
TNI-Polri, yang menangkap Pdt. Damanik dengan 14 pucuk senjata api dan ratusan
amunisi, pada tanggal 17 Agustus 2002 (kata kesaksian mereka). Kadit Reserse
Polda Sulteng Kombes Tatang Sumantri lalu mengatakan bahwa, "Barang bukti dan
tersangka (Damanik) akan dibawa dengan helikopter."
Pertantanyaan saya yang pertama adalah, 'Siapa yang layak menetapkan
barang-barang tersebut sebagai barang bukti?' Siapa yang bisa menjadi saksi bahwa
sejata dan amunisi tersebut benar-benar milik Pdt. R. Damanik, dan bukan milik
orang atau pihak lain? Apakah ke-17 anggota gabungan TNI-Polri yang ketakutan
terhadap warga hendak dijadikan saksi sepihak? Mereka mengaku katakutan
terhadap ratusan warga pendukung Pdt. Damanik, tetapi mereka tidak pernah berpikir
untuk mengambil wakil dari ratusan yang hadir itu sebagai saksi. Mengapa pikiran
mereka jadi buntu? Atau mereka sudah begitu jujur untuk tidak main paksa dan pukul
untuk memeras pengakuan dari rakyat sipil?
Pertanyaan saya yang kedua, 'Apa yang dilakukan ke-17 anggota TNI-Polri itu di desa
Mayumba, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali--sekitar 138 km selatan kota
Poso, pada 17 Agustus?' Desa Mayomba baru saja diserang sekelompok misterius
bersejnata sehingga meninggalkan korban luka, meninggal dan mengakibatkan
pengungsian besar-besaran, dimana warga desa Peleru, Tamonjengi, dan Era juga
ikut mengungsi karena tidak adanya jaminan keamanan dari aparat dan Pemerintah.
Apakah ke-17 aparat TNI-Polri ini dikirim untuk memberikan jaminan keamanan
dengan menyongsong kelompok pembunuh bersenjata standar tersebut? Padahal
menghadapi rakyat jelata saja, mereka katanya sudah segan. Apakah ke-17 aparat
gabungan TNI-Polri ini tidak sengaja dikirim untuk menangkap Pdt. Damanik atau
warga setempat yang ingin mempertahankan desa mereka?
Masariku Network melaporkan bahwa 'Ada dua markas/basis jihad didaerah ini, satu
di Korontowu suatu daerah pegunungan yang berhutan dan tidak ada penduduknya
(dekat Peleru) dan satunya lagi di perbatasan Kabupaten Poso dan Morowali Di
kedua tempat ini adalah salah satu tempat latihan tempur jihad yang cukup besar.'
Tetapi, satuan gabungan TNI-Polri bukannya mencium atau bersedia menyelidiki
tempat-tempat tersebut, malahan menangkap warga sipil yang menjadi korban
penyerangan di desa Mayomba (kalau saja temuan senjata dan amunisi dengan saksi
sepihak itu benar).
Sangat menyedihkan negara ini, bahwa sementara pengadilan negara
mempemainkan hukum untuk menanggantung maling ayam dan meloloskan koruptor
negara, TNI dan Polri sangat gemar menangkap dan menghajar warga negara sipil
yang sudah tunggang-langgang dihantam perusuh dan pembunuh bersenjata.
Pada kesempatan lain, Kapolda Sulteng Brigjen Pol Drs Zainal Ishak menyatakan
dengan gagah berani bahwa, "Prosesnya (mengusut dugaan keterlibatan Pdt.
Renaldy Damanik dalam kasus kepemilikan senjata api) terus dilakukan. Meski
lambat tetapi pasti." Bagaimana dengan proses penyelidikan, penangkapan terhadap
gerombolan bersenjata dan pemulihan keamanan masayarakat? Apakah sama
tegasnya dan sama pastinya serta sama gagah beraninya, seperti yang dilakukan
terhadap seorang Pendeta?
Untuk membersihkan diri dan koleganya, Kapolda Sulteng Brigjen Pol Drs Zainal
Ishak juga mengharapkan agar 'semua elemen masyarakat untuk tidak
membawa-bawa label agama.' Dengan tegas pula, Danrem 132/Tadulako Kolonel Inf
Suwahyuhadji mengatakan bahwa, "Jangan bawa-bawa agama atas rencana
penangkapan itu. Sebab, itu demi penegakan hukum." (Jawa Pos, 26/08/02)
Semuanya kelihatan begitu sempurna, seakan-akan negara ini memang menjamin
kesetaraan warganya di dalam hukum dan tidak membedakan warga negara karena
agama yang mereka anut. Tetapi jika memang benar demikian, mengapa harapan dan
pernyataan tidak terkaitnya penangkapan Pdt. Damanik dengan masalah agama,
harus diulang-ulang, sampai Gubernur Sulteng juga harus ikut turun tangan untuk
memperkuatnya? Ada apa ini sebenarnya?
Kita kembali pada peristiwa penangkapan Jaffar Umar Thalib terakhir kalinya,
sehingga Wakil Presiden NKRI, Hamzah haz menyempatkan diri untuk
mengunjunginya di tahanan Mabes Polri. Apa alasan yang dikemukakan Hamzah
Haz? 'Solidaritas sesama umat seiman!' Kunjungan itu dengan jelas memperlihatkan
penetrasi politik yang menunggangi agama ke dalam proses hukum dan peradilan
negara. Jika Wakil Presiden boleh melakukannya, apa dasar harapan Kapolda
Sulteng, Brigjen Pol. Drs. Zainal Ishak dan dasar penyataan Danrem 132/Tadulako
Kolonel Inf Suwahyuhadji? Supaya warga Kristen tutup mulut saja, ketika gembalanya
dibawa ke tiang gantungan hanya oleh kesaksian sepihak dan bukti tidak sah, dan
karena mati-matian membela umatnya yang disengsarakan dan hendak dipunahkan?
Negara ini sungguh menyedihkan, karena sebagain besar politisi dan pejabat
Militer/Polri menggunakan agama sebagai kendaraan politik dan tameng bagi
ketidakbecusan mereka untuk mendirikan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat
Indeonesia.
Akibatnya, berita tentang 'TNI Poso Tangkap 2 Pria Bersenjata M-16 Kepala Ditutup
Kain Hitam, Diduga Laskar Jihad' menjadi simpang-siur tidak karuan, sementara para
perwira Polda Sulteng seperti melakukan aksi tutup mulut. Jika yang tertangkap itu
benar anggota perusuh dan pembunuh yang dicari, tentulah yang besangkutan
beragama Islam. Jika perosalan penanganan keamanan di Poso tidak harus dikaitkan
dengan agama, 'Mengapa kedua orang itu harus dijadikan kucing di dalam karung?'
Tidak pelak lagi, pengalaman di Maluku sini akan terulang, bahwa yang berbau
'Islam/jihad' akan selalu lepas dari hukum, kalau tidak kabur dari tahanan Polisi.
Jika benar seperti yang diduga bahwa Pdt. Reinaldy Damanaik ada di antara kedua
orang bercadar tersebut, berarti kita dan seluruh rakyat Indonesia, terutama warga
Poso yang menderita, sementara ditipu mentah-mentah oleh beberapa pejabat
Pemerintah, TNI dan Polri yang tidak jujur dan tidak bersih hatinya.
Yang terakhir perlu diperhatikan adalah ucapan dari Danrem 132/Tadulako Kolonel Inf
Suwahyuhadji, bahwa 'TNI siap mem-back up rencana itu (menangkap dan mengadili
Pdt. Damanik)." Betapa menyedihkan jika kita harus berlindung pada prajurid dengan
kualitas seperti ini. TNI membackup Polisi untuk menangkap dan menghajar rakyat
yang selama ini menjadi korban penyerangan dan pembunuhan, sehingga terpaksa
mempersenjatai diri untuk menjaga tanah kelahirannya dan membela keluarganya???
Mengapa para satria ini seperti ketakutan dan menghindar dari para penyerang
bergaya jihad dan berseragam dan bertaktik militer itu? Karena akan berhadapan
dengan sesama baju hijau ataukah karena sesama jubah putih?
Apapun jawabannya, ini semua harus menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita
semua, supaya tidak mengharapkan perlidungan, keadilan dan kebenaran dari
manusia, siapapun dia. Tidak dari Menteri tidak pula dari Presiden. Berusahalah
memberlakukan keadilan dan kebenaran di dalam hidup kita, maka Dia yang adalah
Jalan dan Kebenaran dan Hidup akan hadir di tengah-tengah kita. Yesus adalah
harapan, perlindungan dan jawaban kita, dan firmanNya adalah senjata dan amunisi
yang tidak bisa diberangus tentara dunia.
Salam Sejahtera!
JL.
|