ANALISIS
Ada pendapat bahwa
komunisme pada saat ini bukan lagi ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa
Indonesia, karena komunisme sebagai ideologi saat ini sudah tidak punya
kekuatan dan aktualitas lagi setelah negara-negara Blok Timur meninggalkan
sosialisme dan membuka diri dengan kapitalisme. Disamping itu ada upaya
dari mantan Tapol dan Napol untuk memutar balikan fakta sejarah menyangkut
peristiwa G.30.S/PKI.
Pendapat yang menyatakan bahwa komunisme
bukan lagi sebagai ancaman menunjukkan adanya indikasi mulai melemahnya
penangkalan terhadap komunisme. Sedangkan upaya pemutaran balikan fakta
sejarah menyangkut peristiwa G.30.S/PKI adalah usaha tokoh-tokoh PKI untuk
membersihkan diri dan legalisasi gerakan pemberontakan yang terjadi tahun
1965.
Bagaimanapun komunisme masih merupakan
ajaran yang berbahaya dan bangsa Indonesia belum bisa melupakan sejarah
bagaimana kebiadaban komunisme di Indonesia telah menelan korban jiwa yang
mencapai ratusan ribu jumlahnya, yang diantaranya putra-putri terbaik bangsa.
Pendapat bahwa biar saja masyarakat yang
menilai baik buruknya ajaran komunis untuk bisa atau tidaknya dihidupkan
kembali di Indonesia adalah pendapat yang sangat tidak tepat. Bangsa Indonesia
memiliki Pancasila sebagai Dasar Negara dan bangsa kita masih belum mapan
dalam penerapan demokrasi, sehingga sistem instruksional dengan cara dipandu
oleh negara secara jelas dan tegas mengenai ajaran yang membahayakan kehidupan
bangsa masih perlu dilakukan.
TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966 telah melarang
kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme,
kecuali untuk dipelajari secara ilmiah diberbagai perguruan tinggi dalam
rangka mengamankan Pancasila.
Pelaksanaan TAP MPRS tersebut, semula
di back up oleh UU No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan kegiatan
Subversi yaitu setiap kegiatan penyebaran atau pengembangan paham atau
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme ditentukan sebagai tindak pidana subversi
dan ketentuan ini cukup efektif untuk menangkal bahaya komunisme.
Perkembangan diera reformasi memunculkan
tuntutan penghapusan Undang-undang Subversi, karena Undang-undang ini dianggap
sebagai alat penguasa untuk menekan lawan politik dan substansinya dianggap
bertentangan dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Pencabutan UU No.11/Pnps/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi berkaitan hilangnya sanksi hukum bagi pelaku
penyebar atau pengembang paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Oleh karena itu, pada saat pengajuan RUU Pencabutan UU No.11/Pnps/1963
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, sekaligus Pemerintah mengajukan
RUU tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap Keamanan
Negara, yang didalamnya diatur delik-delik mengenai penyebaran dan pengembangan
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Setelah melalui pembahasan di DPR, maka
UU Pencabutan UU No.11/Pnps/1963 tentang Pemberantan Kegiatan Subversi
telah diundangkan melalui UU No.26 tahun 1999 , sedangkan perubahan KUHP
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap Keamanan Negara telah diundangkan
melalui UU No. 27 tahun 1999. UU tentang Perubahan KUHP yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap Keamanan Negara berisi 6 pasal tambahan yang
disisipkan antara pasal 107 dan pasal 108 KUHP yaitu pasal 107A, 107B,
107C, 107D, 107E dan 107F. Dari 6 pasal tersebut, 4 pasal mengatur delik
menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/leninisme sebagai berikut
:
1. Pasal 107A mengancam pidana penjara paling lama
12 tahun terhadap barangsiapa secara melawan hukum dimuka umum, baik dengan
lisan, tulisan dan atau melalui media apapun , menyebarkan atau mengembangkan
ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya.
2. Pasal 107C mengancam pidana penjara paling lama
15 tahun terhadap barangsiapa secara melawan hukum dimuka umum, baik dengan
lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarluaskan ajaran komunisme/marxisme-leninisme
yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban
jiwa atau kerugian harta benda.
3. Pasal 107D mengancam pidana penjara paling lama
20 tahun terhadap barangsiapa secara melawan hukum dimuka umum, baik lisan,
tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarluaskan atau mengembangkan
ajaran komunisme/marxisme-leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar negara.
4. Pasal 107E mengancam pidana penjara paling lama
15 tahun terhadap :
a. Barangsiapa mendirikan organisasi yang diketahui
atau patut diduga menganut paham komunisme/marxisme-leninisme dalam segala
bentuk dan perwujudannya.
b. Barangsiapa mengadakan hubungan dengan atau memberikan
bantuan kepada organisasi, baik didalam negeri maupun diluar negeri, yang
diketahui berasaskan komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan
perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah
yang sah.
Apabila dikaji lebih jauh maka Pasal 107A,
107C dan 107D mengandung substansi yang sama yaitu larangan terhadap penyebaran
atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk
dan perwujudannya dilakukan dimuka umum baik secara lisan, tulisan dan
atau melalui media apapun. Perbedaannya adalah bahwa Pasal 107A merupakan
delik formal, sehingga penerapan pasal ini tidak mensyaratkan terjadinya
akibat dari perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme
tersebut. Sedang Pasal 107C merupakan delik material, sehingga untuk penerapan
pasal ini harus terjadi akibat dari perbuatan menyebarkan atau mengembangkan
ajaran komunisme/marxisme-leninisme, yaitu berupa kerusuhan, menimbulkan
korban jiwa atau kerugian harta benda. Selanjutnya Pasal 107D mensyaratkan
bahwa perbuatan penyebaran atau pengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme
tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila
sebagai dasar negara. Pengertian " dengan maksud" pada pasal
ini, selain mununjukkan unsur kesengajaan (dolus) si pelaku, juga
merupakan "tujuan" dari si pelaku, sehingga dalam penerapan pasal
ini tidak perlu harus sudah benar-benar terjadi perubahan atau penggantian
Pancasila tersebut.
Memperhatikan kualitas perbuatan dan akibat
yang terjadi, maka ancaman pidana pada Pasal 107A, 107C dan 107D menunjukkan
gradasi yang semakin meningkat yaitu pidana penjara paling lama 12 tahun,
15 tahun dan 20 tahun.
Pasal 107E terdiri dari dua delik yaitu :
1. Delik mendirikan organisasi yang diketahui atau
patut diduga menganut paham komunisme/marxisme-leninisme.
2. Delik mengadakan hubungan dengan atau memberikan
bantuan kepada organisasi didalam atau diluar negeri yang diketahui berdasarkan
komu-nisme/marxisme-leninisme dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan pemerintah yang sah.
Perumusan unsur kesalahan dalam Pasal
107E ayat (1) adalah "yang diketahui atau patut diduga" (pro
partus dolus, pro partus culpa) mengandung arti bahwa pelaku mengetahui
(sengaja) mendirikan organisasi yang menganut paham komunisme/marxisme-leninisme
atau pelaku dapat menduga (culpa) bahwa organisasi yang didirikannya
menganut paham komunisme/marxisme-leninisme, misalnya karena kealpaan,
kurang hati-hati, kurang waspada atau kesembronoan.
Sedangkan pada Pasal 107E ayat (2) ditentukan
bahwa mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi
yang berdasarkan komunisme/marxisme-leninisme harus diketahui (dilakukan
dengan sengaja) oleh pelaku dan tujuannya untuk mengubah dasar negara atau
menggulingkan pemerintah yang sah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
dari aspek yuridis, kendati Undang-undang Subversi telah dicabut, namun
upaya penangkalan terhadap bahaya laten komunis dapat dilakukan dengan
menerapkan Pasal 107A, 107C, 107D dan 107E KUHP terhadap para pelaku yang
menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, pelaku
yang mendirikan organisasi yang menganut paham komunis/marxisme-leninisme,
maupun pelaku yang mengadakan hubungan atau memberikan bantuan kepada organisasi
yang berasaskan komunisme/marxisme-leninisme.
.
|