KTSP:

Orientasi Kerja Birokrasi vs Orientasi Kerja Akademik

 

Oleh: Lukman A. Irfan

 

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta,

Bekerja di Program Pascasarjana Magister Studi Islam Yogyakarta

Bidang Pengembangan Akademik.

 

 KTSP adalah semangat otonomi yang diberikan oleh pemerintah bagi  praktisi pendidikan untuk mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan satuan tingkat pendidikan maupun daerah di mana satuan tingkat pendidikan tersebut berada. Pelaksanaan KTSP yang sarat dengan peraturan-peraturan administrasi-birokrasi yang mengikat tersebut diberikan kepada dunia pendidikan bukannya tanpa sebab. Pada hakekatnya peraturan tersebut adalah wujud dari kepatuhan pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan) terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Dalam Bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 36 menyebutkan bahwa Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. 

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang adalah wujud dari keingingan ‘Rakyat’ yang dimanifestasikan oleh DPR. Oleh karenanya, Pemerintah tidak salah menerapkan KTSP. Karena KTSP adalah wujud dari kepatuhan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kenapa pada praktiknya terjadi polemik? Hal ini disebabkan oleh penerjemahan dari Undang-Undang tersebut yang relative, dalam pengertian KTSP mempunyai subtansi yang dipandang dari sudut yang berlainan: pandangan semangat kontrol (sentralistis) dan pandangan semangat otonomi. Pandangan semangat kontrol ini terwujud dari begitu ketatnya aturan penerapan standar isi dan standar kompetensi yang diterapkan dalam desain pembelajaran oleh guru. Dan pada akhirnya, masih harus dievaluasi oleh Ujian Nasional. Pihak lain, diwakili oleh pakar dan praktisi pendidikan di luar Think Thank KTSP, melihat subtansi KTSP tidak lain adalah sebuah orientasi kerja administrasi-birokrasi yang keterlaluan, dan dengan semangat mengurui yang kental.

Polemik ini sebenarnya, menurut hemat penulis dapat ditengahi dengan pembagian bidang kerja administrasi-birokrasi dan bidang kerja akademik (sebagaimana digagas oleh Prof Mastuhu dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, 2002, Safiria Insania Press, Yogyakarta). Pendidikan sebagai kerja di bawah otorita kekuasaan lengkap dengan praktik administratif dan birokrasi yang imperative, sudah harus diganti orientasi baru yang sesuai dengan tantangan dan kebutuhan serta hakekat dari makna itu sendiri, yaitu harus dilaksanakan di bawah otorita akademik dan demokratik.

Di dalam kerja akademik yang dipentingkan adalah pengembangan proses berpikir atau metodologi mencari kebenaran dan proses pendewasaan berpikir, emosi dan spiritual. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berati bahwa penyelenggara sekolah sama sekali tidak memerlukan otorita administrasi-birokrasi sebagai bagian otorita kekuasaan dari suatu organisasi. Dalam otorita penyelenggaraan sekolah, otorita administrasi-birokrasi diperlukan untuk menunjang dan menfasilitasi kelancaran proses pembelajaran. Hal ini berbeda dengan otorita administrasi-birokrasi dalam kerja kantor yang merupakan kekuatan inti bagi penyelenggaraan suatu kantor non-kependidikan. Secara kekuasaan birokrasi-administrasi, sekolah memang harus tunduk pada supersistem di atasnya, namun secara akademik tidak mengenal hirarki kekuasaan. 

Untuk menuju pendidikan yang bermutu diperlukan penyelenggaraan pendidikan di bawah otorita akademik dan ditunjang dengan sistem birokrasi-administrasi sekolah yang benar-benar bermutu. Penyelenggaraan di bawah otorita akademik dan sistem birokrasi administrasi pendidikan dapat tercapai apabila perangkat-perangkat penyelenggara pendidikan mempunyai wawasan akademik dan paradigma akademik yang progresif.

Sekolah harus melakukan pembaruan dalam penyelenggaraannya di mana kerja akademik harus ditonjolkan dan menjadi basic kerja. Birokrasi administrasi harus berparadigma akademik. Untuk mencapai penguatan Kerja Akademik di Lembaga Pendidikan diperlukan kerja keras mengikuti alur pendekatan sistem dalam pendidikan. Sekolah memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya, hendaknya menjadikan proyek penguatan kerja akademik ini sebagai salah satu langkah membangun pendidikan menjadi lebih baik, dan pada gilirannya melahirkan generasi cakap, anggun dan bermoral.

Secara praktis, pemerintah perlu menegaskan ulang bahwa pengembangan pendidikan harus mengakomodasi dua orientasi ini, yaitu orientasi kerja pendidikan birokrasi-administrasif dan orientasi akademik. BNSP, dalam hal ini hendaknya membagi dua bidang kerja tersebut secara ketat, sehingga didapat kejelasan mana kerja administartif dan mana kerja akademik. Dengan praktik seperti ini, kurikulum pendidikan dasar dan menengah dapat dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

Dengan paradigma baru ini, maka ujian nasional masih tetap menjadi standar kelulusan yang pertama, namun yang kedua. Dalam pengertian, ujian nasional adalah kerja administratif untuk melihat sejauh mana pencapaian standar minimal pendidikan yang telah dicapai, bukan penentuan apakah siswa layak diluluskan atau tidak. Kelulusan siswa adalah kerja akademik yang merupakan hak guru untuk menentukannya. Tentu guru yang menentukan kelulusan ini pun dikontrol oleh suatu sistem yang menegaskan bahwa guru tersebut adalah guru yang bermutu.

Lebih jauh, KTSP adalah hasil kerja panjang dari para pakar dan praktisi pendidikan yang diorganisasi oleh pemerintah, oleh karenanya sikap yang bijak dari Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Perwujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum tersebut terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembangan kurikulum sesungguhnya.