Agama dan Good Coorporate Governance

 

Oleh Lukman A. Irfan

 

 

Dekade pertama reformasi telah berlalu. Pengelolaan organisasi pemerintahan Indonesia masih sarat silang-sengkarut kepentingan-kepentingan yang tidak kunjung mendekat pada kemakmuran rakyat bersama. PP Nomor 37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerakan Cabut Mandat Presiden; Perdebatan Konstitusional UUD 45 dan UUD Amandemen; Perseteruan Komisi Yudisial (KY) dengan Mahkamah Agung (MA) mengenai kewenangan dan kebijakan penanganan perkara; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berseteru dengan Mahkamah Konstitusi (MK) karena telah membatalkan dan mengembalikan beberapa produk undang-undangnya; Polisi dan TNI Baku Hantam di beberapa daerah; Pemerintah Pusat dan Daerah berbeda suara tentang Poso Berdarah Januari 2007; Musibah Adam Air yang berujung pada terkuaknya Indikasi Departemen Perhubungan ‘tunduk’ pada kepentingan Perusahaan Swasta; Musibah Kapal Motor (KM) Senopati Nusantara yang membuktikan bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar; Harga Bahan Pokok yang naik tidak terkendali; Flu Burung Mengganas: pemerintah melakukan vaksin secara acak, Dokter Hewan mencerca; Bahkan hiruk pikuk ini dikabarkan sampai pada isu terbentuknya Dewan Revolusi, dan kasus terbaru adalah perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan Yusril Ihza Mahendra.

"Mari kita letakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan!" Seru Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono di Balai Sidang Senayan tanggal 27 Desember 2006. Seruan ini dapat dinilai sebagai bukti betapa berbagai kesulitan yang dihadapi bangsa ini belum menemukan jalan keluarnya. Lagi-lagi, karena beberapa silang-sengkarut mungkin benar-benar perjuangan untuk kemakmuran bersama, namun muncul pihak lain yang mencoba mengganjal perjuangan tersebut. Semua beralasan dan berdalih bahwa yang mereka lakukan dan perjuangkan adalah untuk kemakmuran rakyat.

Fenomena tersebut membuat kalangan agamawan meradang. Semua pelaku silang-sengkarut adalah pribadi-pribadi yang beragama, namun nyatanya mereka tidak memakainya sebagai pedoman hidupnya. Bahkan beberapa di antara mereka memanfaatkan agama sebagai dalih pembenaran terhadap perilaku naif mereka. Pendeta Albertus Patty dari Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung saat seminar "Transparansi Anggaran dalam Perspektif Agama-Agama" yang diselenggarakan oleh Bandung Institute on Governance Studies (BIGS) Rabu (22/12/2007) menanggapi fenomena ini dengan mengatakan:

"Kebanyakan manusia yang berdosa itu adalah yang dikuasai oleh nafsunya pada uang dan kekuasaan. Keinginannya memberontak pada Allah, inti pemberontakannya adalah bahwa manusia ingin menjadi sama seperti Allah. Oleh karena itu, ia mempersetankan Allah dan sesama, ia memperalat Allah untuk mengabsahkan nafsunya pada uang dan kekuasaan."

 

Hal senada dikemukakan oleh Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat[1], bahwa:

Selama ini berkembang paradigma yang salah kaprah dalam praktik beragama di lingkungan masyarakat. Para pejabat misalnya, kerap menganggap bahwa ibadah ritual seperti shalat, berzakat, kemudian beribadah umrah dan haji hingga berkali-kali dianggap dapat menghapuskan atau mencuci kemaksiatannya merampas hak-hak rakyat. Paradigma seperti itu salah. Yang benar adalah Pejabat atau pemimpin yang tidak jujur dan tidak amanat, justru akan menghapuskan semua amal ibadat yang telah diperbuatnya. Sikap shidq dan amanah adalah ukuran sejati kesalehan. Hal ini secara tegas disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “Janganlah kamu tertipu dengan shalat dan puasa mereka, karena orang bisa saja sangat tekun menjalankan shalat dan puasanya sehingga mereka merasa tidak enak meninggalkannya. Ujilah mereka dalam kejujuran menyampaikan informasi dan memenuhi amanat."

 

Nilai-nilai luhur agama ini seharusnya melandasi berbagai kebijakan publik termasuk dalam bidang politik dan ekonomi. Sikap shidq dan amanah seharusnya menjadi komitmen dan tanggung jawab setiap pengelola organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun swasta. Dalam bahasa organisasi modern, shidq dan amanah ini terangkum dalam konsep transparansi atau keterbukaan. Mengelola organisasi publik, apalagi organisasi pemerintahan, pasti terkait dengan pengelolaan anggaran. Kejujuran dalam pengelolaan anggaran tidak bisa dijalankan kecuali dengan transparansi. Dalam kaidah ushul fiqh ditegaskan, bahwa mâ lâ yatimmul wâjib illâ bihî fahuwa wâjib, bahwa apabila suatu kewajiban tidak bisa dijalankan kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu wajib hukumnya. Bersikap dan berperilaku jujur adalah adalah wajib, dan tanpa transparansi kejujuran tidak bisa dilaksanakan, maka transparansi juga wajib hukumnya. Berkaitan dengan hal ini, secara lugas Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa transparansi anggaran adalah salah satu bentuk sikap shidq dan menyembunyikan anggaran sebaliknya adalah bentuk kebohongan yang paling jelas.

Transparansi merupakan perangkat yang sangat penting bagi organisasi dalam mencapai tujuannya. Tanpa adanya transparansi sulit rasanya bagi setiap anggota dalam organisasi untuk bekerja sama secara efektif sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya, transparansi sangatlah penting bagi suatu organisasi untuk dapat mengkomunikasikan produk-produk yang dihasilkan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban organisasi kepada stakeholders & shareholders-nya. Transparansi merupakan sarana bagi suatu organisasi untuk menjaga kepercayaan yang diamanahkan stakeholders & shareholders-nya. Dalam konteks organisasi pemerintahan, transparansi akan menjaga kepercayaan rakyat kepada negara. Tanpa kepercayaan dari rakyat, penyelenggara negara akan mengalami krisis kepercayaan yang berujung pada tidak berjalannya kebijakan-kebijakan dan roda penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya akan mengakibatkan kekacauan. Kalau penyelenggara pemerintahan yang bertujuan utama adalah menciptakan kemakmuran bersama seluruh rakyat, dan sebaliknya mengakibatkan kekacauan, maka fungsi utama penyelenggara pemerintahan tidak terpenuhi.

Pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran karena anggaran adalah uang masyarakat yang dalam pengalokasiannya harus memprioritaskan kepentingan masyarakat. Dengan keterbukaan informasi, masyarakat akan mengetahui apakah anggaran berpihak kepada masyarakat atau tidak, bersifat manipulatif atau tidak, efektif dan efisien atau tidak. Hal itu kemudian akan menimbulkan kesadaran masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara. Transparansi juga sebagi perwujudan pemerintah yang baik, bersih dan bertanggung jawab dibuktikan dengan adanya kemauan untuk menberikan informasi yang cukup kepada pihak manapun yang membutuhkan informasi anggaran. Diharapkan dengan informasi yang diperoleh, akan terjadi kontrol dari masyarakat. Akhirnya akan terjadi keseimbangan politik antara negara dam masyarakat sehingga menciptakan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya proses demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil.

Begitu pentingnya sikap dan perilaku transparansi ini, namun fenomena di Indonesia berfakta lain. Parahnya sikap dan perilaku tidak tranparansi ini sudah menjalar bahkan mungkin sudah mewabah di banyak bidang di Indonesia. Untuk mengurus paspor, umpamanya, sebenarnya mudah dan berbiaya murah: dibutuhkan cuma akte kelahiran, pas foto dan biaya administrasi sejumlah Rp 200.000-an. Namun paspor kita baru akan beres setelah kita 'sogok sana sogok sini' dan akhirnya paspor baru keluar dengan biaya total (formal dan informal) Rp 400.000 (empat ratus ribu). Kalau tidak mengikuti 'aturan main' mungkin sebulan lamanya paspor kita baru akan beres. Bahkan lebih parah lagi, urusan haji-pun di Indonesia kerap diselenggarakan secara tidak transparan. Usaha untuk membuat transparan urusan haji oleh Menteri Agama RI pada tahun 1427 H, bahkan membuat penyelenggaraan haji menjadi runyam dengan terlantarnya katering jamaah di Arafah dan Mina. Sikap dan perilaku tidak transparan ini bahkan sudah menjalar ke dunia pendidikan. Penyalahgunaan dana bantuan pendidikan dan merebaknya gelar dan ijazah aspal adalah sebagian dari indikasinya. Di tingkat grass root, sikap dan perilaku tidak transparan ini dapat ditemui pada: umpamanya banyaknya pungutan liar di jalanan terhadap truk-truk pengangkut barang dan banyaknya fenomena menyiasati muatan truk dengan trik-trik tertentu, semisal menata batu kali dengan membuat ‘ruang kosong’ di bagian bawah muatan truk.

Usaha yang dilakukan untuk mengagas transparansi dalam penyelenggaraan organisasi swasta, maupun negara bukannya tidak pernah dan berhenti dilakukan. Namun, sebagaimana ungkapan Syafi’i Ma’arif, “Jika musibah demi musibah yang datang beruntun tidak mampu lagi menyadarkan kita untuk mengubah kelakuan, lalu apa lagi yang kita tunggu?”[2] Problem utama dalam mengagas Budaya Transparansi, dan juga variabel Good Corporate Governance yang lain adalah tidak adanya niat dan kehendak baik. Niat dan kehendak baik yang seharusnya menjadi dasar dari setiap interaksi dalam organisasi tenggelam dalam nafsu menggali keuntungan untuk memperkaya diri dan berkuasa. Oleh karenanya, Syafi’i Ma’arif memperingatkan, “lalu apa lagi yang kita tunggu?”

Budaya trasparansi dan indikator Good Corporate Governance lainnya seperti fairness, accountability, responsibility, partisipasi stakeholders, efektivitas dan efisiensi, dan visi strategis, sulit diwujudkan apabila tidak ada kesadaran yang menyeluruh dari seluruh komponen organisasi, swasta maupun pemerintah. Hal ini disebabkan kepentingan-kepentingan untuk memperkaya diri dan berkuasa dimiliki banyak pihak yang apabila tidak ada kesadaran menyeluruh, maka gerakan transparasi akan lambat karena muncul gerakan penentangnya. Nurcholish Madjid berkaitan dengan kesadaran menyeluruh ini mengungkapkan bahwa:

Dalam pengelolaan yang benar dan baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan dapat diibaratkan sebagai laut zona tropis yang panas, yang akan meluluhkan gunung es budaya KKN. Dalam hal ini diperlukan kekuatan yang besar untuk dapat menyeret gunung es itu ke sekitar khatulistiwa. Kekuatan besar itu adalah tekad bersama seluruh komponen bangsa untuk secara bahu membahu menanggung beban tanggungjawab penyelesaian masalah nasional dan penyatuan seluruh kekuatan nasional dalam semangat “samen bundeling van alle krachten van de natie”. [3]

 

Tanpa kesadaran menyeluruh, Gerakan penentang upaya membangun budaya transparansi ataupun gerakan penentang good corporate governance dalam banyak hal dilakukan secara sistematis karena merupakan mekanisme penyelamatan diri para pelaku dari hukum. Bahkan gerakan penentang ini bergerak atas kepentingan-kepentingan yang dijustifikasi sebagai gerakan ‘kebenaran’ perspektif mereka.  Umpamanya, Presiden Transparency International Peter Eigen[4] menyebutkan bahwa kasus-kasus korupsi selama perang dingin disembunyikan oleh konspirasi negara-negara Industri karena, umpamanya seorang Marcos yang korup atau seorang Noriega yang korup dapat ditoleransi selama ia berada secara tegas di sisi kelompok kapitalis atau Blok negara Barat. Hal yang sama terjadi pada blok lainnya. Lebih spesifik, Sun Yan[5] ahli politik Asia yang mengajar di City University of New York, menemukan bahwa di banyak negara Asia, terutama di Cina, korupsi ternyata membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara.

Pengalaman negara yang mengedepankan transparansi dalam pengelolaan organisasi pemerintahan adalah Pemerintah Jepang. Jepang selalu memprioritaskan Transparansi dalam pengelolaan dana. Hal ini terlihat dari pernyataan Pemerintah Jepang melalui parlemennya yang menyatakan puas atas transparansi dan realisasi dana bantuan untuk bencana di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, dan akan memberikan bantuan tambahan setelah mengkaji pengelolaan bantuan yang sudah diberikan. Selama ini, transparansi dana bantuan memang selalu menjadi persyaratan prioritas pemerintah Jepang dalam memberikan keputusan penambahan dana bantuan[6]. Jepang sekitar tahun 1950 dengan mengusung Kaizen sebagai budaya kerja, merekayasa secara sengaja (dengan rekayasa yang tepat) budaya-budaya yang kurang menguntungkan menjadi budaya kerja yang produktif.

Negara lain yang mempunyai standar tinggi dalam transparansi adalah Malaysia. Hal ini sebagaimana dilansir oleh Bank Dunia yang menilai Malaysia memiliki standar yang tinggi dalam keterbukaan dan transparansi akuntansi. Laporan lembaga dunia atas kepatuhan standar dan aturan tata kelola perusahaan (ROSC: Report on Observance on Standard and Code) itu menyebutkan, implementasi tata kelola perusahaan (GCG: good corporate governance) di Malaysia bahkan lebih baik dibanding beberapa negara maju.[7] Indikator yang menyebabkan Malaysia masuk standar transparansi tinggi adalah memiliki nilai baik dalam keterbukaan informasi bagi pemegang saham (stakeholder) dan melindungi para pemberi informasi/pelapor (whistleblower).

Bagaimana dengan perkembangan laju transparasnsi di Indonesia? Semoga semakin membaik!

 

* Makalah ini adalah bagian dari Proposal Penerbitan Jurnal Millah Edisi Agustus 2007 yang ditulis pada tahun 2007.


 

[1] Bigs.or.id. Seminar "Transparansi Anggaran dalam Perspektif Agama-Agama" dikases dari www.bigs.or.id/media-seminar%2520agama.htm. tanggal 31 Desember 2006.

[2]Syafi’i Ma’arif. Tak Putus Dirundung Musibah. Diakses dari http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=101354. tanggal 17 Maret 2007.

[3] Dalam Budhy Munawar-Rachman (2006), Eksiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid 1. Badung: Mizan, p. 762.

[4] Transparansi.or.i. Akar Masalah Korupsi: Budaya atau Struktur? Diakses dari www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_4.html tanggal 25 Oktober 2006.

[5] Ibid.

[6] Tempo Interaktif. Parlemen Jepang Puas atas Transparansi Bantuan Bencana. Diakses dari http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2005/05/06/brk,20050506-12,id.html, tanggal 6 Januari 2007.

[7] Republika Online. Standar Transparansi Malaysia Tinggi Bank Dunia menilai Malaysia memiliki sistem GCG kelas dunia. Diakses dari http://republika.co.id/koran_detail.asp?-id=278977&kat_id=411, tanggal akses 20 Januari 2007.