Indonesia Tattoo Scene JAVA = TATTOO = CLUB on-line sejak 2001-updated Jan 03 |
|
Photo Gallery / Tattoo Links / Indonesia Tribal / Articles / Tattoo Tips / Convention / Oddities / Tattoo Band
Newsletter / People / Tattoo SIND / Java Tattoo Club / Pure Black Tattoo
KUMPULAN Artikel Tentang Seniman Tattoo di Indonesia
***
Tukang Tato telah menerapkan standar profesionalisme dalam dunia pertatoan. Seperti kebersihan peralatan, pengetahuan mengenai struktur tubuh manusia, memiliki standar harga berdasarkan tingkat kesulitan desain.
Tukang Gores, biasanya membuat tato tanpa mempedulikan pengetahuan mengenai tubuh manusia. Mereka tidak memiliki disiplin profesi dan bisa dibayar dengan segala bentuk kompensasi, misalnya satu ekor ayam dll.
Aikon edisi 49 akhir Juli 1996
Suka Duka: PEMBUAT TATTO, Tatto di Payudara, Wih " Harus Canggih " Men-tatto kulit hitam paling sulit , Pelanggan terbanyak turis Ero Minggu Pagi Sabtu, 13 Okt 2001
MESKI
ada yang memandang tatto identik dengan kriminalitas, penyuka tatto makin
meningkat. Sebab tak sedikit yang menilai, tatto merupakan karya seni. Di Eropa
dan negara Barat lain, tatto biasa didapati pada remaja. Baik cowok maupun
cewek, yang berhati lembut maupun berpenampilan macho. Di Indonesia, lihat
misalnya para petinju, tak sedikit yang bertatto. Sutadi Sanjaya (32), biasa
dipanggil Bedot, adalah seniman tatto. Dia buka praktik di bilangan Sosrowijayan
Utara. Customer-nya lebih banyak para bule. Bisa dimengerti, karena Sosrowijayan
memang dikenal sebagai ‘perkampungan turis’ di Yogyakarta.
SEJAK SD saya memang hobi menggambar. Keterusan hingga SMU. Setiap ada
ekstrakurikuler menggambar, pasti saya ikuti. Hobi ini tak berhenti meski saya
gagal masuk ISI. Nyatanya saya malah bisa cari duit dengan kebisaan itu.
Misalnya membuat gambar-gambar untuk T-shirt. Juga melukis di kain kanvas.
Hasilnya saya jual di Malioboro. Lukisan-lukisan itu bergaya surealis dan
realis. Juga bermotif dekoratif.
Rumah saya berada di tengah-tengah ‘perkampungan turis’. Orangtua memakainya
untuk berdagang garmen. Ketika terjadi booming lukisan batik, saya juga membuat
lukisan batik. Maka rumah saya jadi gallery. Setelah terjadi krisis dan turis
menyurut drastis, apalagi lukisan batik jenuh, saya konsentrasi pada lukisan di
kain kanvas.
MEMBUAT tatto, berawal dari permintaan teman-teman. Tatto pertama yang
saya buat bermotif surealis. Karena banyak yang suka, maka saya komersialkan.
Untuk memberi pelayanan profesional, saya kemudian membuka studio di sebelah
gallery. Customernya para bule. Barangkali, studio tatto itu merupakan
satu-satunya di Yogya. Kalau pun ada teman-teman berpraktik untuk warga lokal,
biasanya panggilan atau buka praktik di Malioboro.
Harga lukisan tatto tergantung ukuran, motif dan jumlah warna. Pembayaran sering
dilakukan dengan dolar. Ongkos tatto berukuran paling kecil, bila dirupiahkan
sekitar Rp 50 ribu. Makin gede, ongkos bisa ratusan ribu. Pernah ada yang
mencapai Rp 1,5 juta.
Kebanyakan turis, gentleman dalam bertransaksi. Toh begitu ada yang nakal.
Pernah saya digabur ongkos tatto sebesar Rp 1,2 juta. Padahal kaki kanan turis
Amerika itu sudah saya penuhi tatto sesuai pesanannya. Biar saja. Saya doakan
semoga kaki kirinya tidak sering menginjak mbelek lencung, atawa menginjak
ranjau.
DULU, alat yang saya pergunakan berasal lokal. Terdiri satu jarum yang
digerakkan motor-tape. Cara kerjanya memang kurang oke, tapi hasilnya lumayan
juga. Karena ingin kerjanya lebih profesional, alat-alat itu saya ganti bikinan
Jerman yang lebih canggih. Saya beli melalui teman bule asal Jerman. Harga alat
tatto bervariasi. Sesuai type-nya.
Satu unit paling sederhana, sekitar Rp 1,5 juta. Dulu saya memakai itu, tapi
kini saya ganti dengan alat seharga sekitar Ep 7 juta. Harga tintanya, sebotol
kecil sekitar Rp 300 ribu setiap warna. Bila alat komplet, selain kerja jadi
lebih enak, hasilnya juga relatif memuaskan.
Perkakas pembuat rajah kulit itu ada yang berjarum lebih dari satu. Malah ada
yang bermata 8 jarum. Makin banyak jarum, hasil pewarnaan jadi makin halus. Mata
jarum menembus kulit ari sedalam sekitar 1 (satu) milimeter.
Membuat tatto jelas butuh kepiawaian. Kalau tidak, customer bisa kesakitan.
Apalagi kalau kulit yang akan di-tatto dekat dengan tulang. Kalau salah
menusukkan jarum, kualitas warnanya pun bisa mudah rusak.
SETIAP kali membuat tatto, jarum harus disterilkan dengan alat khusus
lebih dulu. Bila jarum kotor, selain bisa menyebabkan infeksi juga bisa
menularkan penyakit. Tak bedanya jarum suntik yang sering dipergunakan para
dokter. Tangan saya pun harus selalu memakai kaus tangan pula.
Lukisan bisa digambar memakai ballpoint lebih dulu. Bisa pula memakai kertas
copy yang ditempel di kulit. Motifnya beragam. Selain surealistik, banyak pula
yang realistik. Semisal bentuk flora atau fauna. Untuk flora biasanya bergambar
bunga. Sedang satwa misalnya lumba-lumba, harimau, dragon, kobra dan sebagainya.
Saya punya banyak contoh motif. Sebagian besar saya beli dari Eropa. Customer
bisa memilih sepuasnya.
Meski jarang ada permintaan menggambar wanita, tapi pernah ada lelaki bule,
tangannya minta digambari banyak wajah wanita. Katanya, untuk mengingatkan para
wanita yang pernah dipacarinya.
CUSTOMER bule berasal dari beragam ras. Terutama bule Jerman dan
negara-negara Skandinavia. Letak tatto paling disuka adalah di bahu, dada,
tangan, kaki. Ada juga yang meminta tatto di wajah. Meski dibayar berapa pun,
tak akan saya kerjakan. Pokoknya saya pantang menatto wajah. Titik.
Saya memang belum pernah menangani turis kulit hitam. Kalau pun ada, saya pasti
ekstra keras konsentrasi. Mana ada ‘kanvas hitam’ mudah digambari. Kulit
bule toh menyerupai kanvas putih. Warnanya bisa cemerlang pula.
Menatto tubuh wanita di bagian paling sensitif juga sering. Meski saya laki-laki
normal, suer, saya tak pernah merasa terangsang. Saya selalu memegang prinsip,
konsentrasi harus diutamakan. Saya sadar, sekali iman bergoyang melihat dada
putih mulus, misalnya, hasil karya bisa jeblok. Membuat tatto toh harus sekali
jadi. Kalau ada kesalahan, tak mungkin bisa dihapus. Padahal, tak sedikit wanita
bule minta ditatto seperti itu. Misalnya di sebelah wudel. Malah ada yang
meminta di pantat segala.
SAYA prihatin tatto dianggap bagian dunia kriminal. Apa hubungannya ?
Kriminal tidak bertatto pun bejibun jumlahnya. Saya menyayangkan salah satu teve
swasta, setiap menayang pelaku kriminal, selalu memfokuskan pada tattonya.
Silakan saja. Tapi ini sikap tidak adil terhadap karya seni. Bagi saya, tatto
merupakan karya seni, maka harus dihormati sebagaimana lainnya.
Di Barat, cukup banyak remaja bertatto. Menurut saya, lebih separuh remaja Eropa
bertatto. Saya tahu karena pernah bekerja di Jerman. Tapi mereka yang
diperbolehkan, hanya yang berusia lebih 18 tahun. Di bawah itu, dilarang. Kalau
sampai dilanggar, orangtua bersangkutan bisa menggugat pembuatnya.
Masyarakat Barat lebih rasional menyikapi seni tatto. Setiap warga yang ingin
bertatto dipersilakan karena memang hak azasinya. Meski tak sedikit karena
dorongan emosional, tapi lebih banyak yang rasional. Bila mereka sudah punya
keinginan, sulit dicegah. Contohnya, pernah ada wanita saya minta untuk
mempertimbangkan lebih dulu. Jawabnya, dia sudah memikirkan selama dua tahun !
Sebelum mengerjakan tatto, saya memang selalu begitu. Sebab tatto akan melekat
sepanjang hidup. Kalau pun ingin dihilangkan, biayanya amat mahal. Jauh lebih
mahal ketimbang saat membuat. Harus memakai sinar laser segala.
TIDAK mudah mengerjakan tatto. Terutama kalau kebetulan tempatnya
nylempit. Maka selain ada tatto bisa diselesaikan sehari, banyak pula yang
memakan waktu berhari-hari. Apalagi kalau motifnya rumit. Oh ya, malah pernah
ada cewek bule, karena tak bisa menahan sakit, menggambarnya harus datang
berkali-kali segala.
Pekerjaan ini bagi saya merupakan talenta. Maka akan saya jalani selama saya
masih mampu. Selain karena sesuai hobi, tatto juga merupakan karya seni yang
mendatangkan fulus. Ya, kan ?!diceritakan kepada jb santoso
SEBAGAI tukang tato, Rudy (26) tak pernah risi dengan pekerjaannya. Meski banyak orang berpandangan negatif terhadap tato, karena dikaitkan dengan persoalan yang berbau kejahatan, pemuda lajang itu tak banyak mempersoalkan anggapan tersebut. Dia cuek, bahkan berani membuka usaha di tengah-tengah Kota Rembang, bahkan di depan pondok pesantren Kauman. "Saya punya semboyan, bekerja itu lebih baik daripada menjadi pengangguran. Itu saja," tandas Rudy yang hampir sebagian tubuhnya bertato. Dia mengakui memang masih ada orang yang berpandangan negatif terhadap tato. Misalnya tato selalu diidentikkan dengan kejahatan. Pandangan itu salah. Sebab banyak orang bertato, namun perbuatannya baik. Sebaliknya, ada saja orang yang tanpa tato, tapi perbuatannya sering merugikan orang lain. "Kalau toh ada penjahat yang bertato, itu jangan lantas disalahkan tatonya. Yang berbuat jahat itu orangnya." Saat disinggung soal konsumen, Rudy yang asli Semarang tapi sudah 11 tahun tinggal di Rembang itu mengungkapkan, sebagian besar konsumennya justru dari kalangan tua. Anak-anak dan remaja, meski ada yang minta ditato, jumlahnya tidak banyak. "Saya juga pernah menato pegawai negeri. Bahkan wanita pun ada yang minta ditato." Memang untuk daerah Rembang, masalah tato belum begitu merakyat seperti di kota-kota besar, sehingga kerap konsumennya malu ditato di tempat umum. Jika menjumpai konsumen demikian, dia harus tanggap, sehingga proses pembuatannya di ruangan tertutup. Rudy menjelaskan, sekarang dia hanya melayani pembuatan tato permanen. Artinya, tato buatannya bila sudah menempel di tubuh tak bakalan hilang. Sebab proses pembuatannya dengan jarum dan tinta khusus. Dia mengemukakan, dalam proses pembuatan ada cara khusus untuk menghindari penularan penyakit. Misalnya menjaga jarum tetap bersih dan harus dibuang setelah digunakan sekali. "Jika ada orang yang minta tato, pasti saya beri jarum baru."
Ongkosnya? Rudy menyatakan semakin rumit gambarnya, ongkos semakin mahal. Namun ongkos rata-rata Rp 30.000 setiap gambar ukuran 10x10 cm. Selain menjadi tukang tato, Rudy juga tukang kunci. Kedua usaha itu dipromosikan lewat tulisan yang terpampang di tempat usahanya. Dengan cara itu, orang akan mudah tahu.
Untuk pembuatan kunci duplikat, baik kunci rumah maupun kendaraan roda dua, tarif Rp 5.000/buah. Kunci duplikat mobil Rp 10.000/buah. Pembuatan kunci dingdong, baik untuk kendaraan roda dua maupun mobil, tarif Rp 60.000 dengan garansi satu tahun. Dari mana kedua keahlian itu diperoleh? Rudy menuturkan, untuk ilmu tato dari temannya di Semarang. Sementara itu, keahlian membuat/memperbaiki kunci juga diperoleh di Semarang. "Saya dahulu pernah ikut tukang kunci."(Djamal A Garhan-58j)
Tato Bali Banyak Digandrungi Turis Asing17/9/2001 06:21 —Liputan6.com
Sejak dulu tato telah menjadi ekspresi seni sebagian besar masyarakat Bali. Saat ini semakin banyak turis asing yang menghiasi tubuhnya dengan tato
Bali: Sejak dulu tato adalah ekspresi seni sebagian besar masyarakat di Pulau Bali. Belakangan, tato tersebut banyak digandrungi wisatawan asing. Soalnya, tato dari Pulau Dewata itu mempunyai corak yang unik dan bernuansa etnik. Tak ayal, tubuh wisatawan asing baik pria maupun wanita banyak dihiasi tato yang harganya bervariasi antara Rp 5.000 hingga Rp 5 juta. Para turis asing sangat menyenangi tato bergambar etnis khas Bali adalah kenang-kenangan dan pertanda yang pas setelah berlibur ke Bali. Tak heran, jika para seniman tato banyak ditemukan di berbagai sudut dan tempat-tempat wisata di Bali. Tato yang dibuat dapat bersifat temporer dengan menggunakan tinta Cina. Jika menginginkan yang abadi, pembuatan tato menggunakan peralatan khusus. Dari segi biaya, harga yang dipatok pun bervariasi, tergantung tingkat kerumitan dan besar gambar. Ada berbagai jenis dan corak tato. Mulai dari gambar binatang, bunga, huruf, gambar etnik, hingga gambar abstrak yang banyak disukai wanita. (DEN/Yudah Prakoso dan Iwan Gunawan) lengkap >>
Sabtu, 28 Des 2002 Jawa Pos
Seni Tatto Tubuh, Kini Tak Lagi untuk Sangar-sangaran
Tatto bagi kebanyakan orang, masih dikesankan sebagai aksesoris tubuh yang
berkonotasi negatif. Tapi, kesan ini agaknya semakin terkikis. Buktinya,
belakangan semakin banyak saja pengusaha muda, mahasiswa, bahkan ibu-ibu rumah
tangga yang suka tubuhnya ditatto. Mengapa?
Dilihat sekilas dari luar, bangunan yang terletak di samping kolam renang Taman
Remaja Surabaya di Jalan Kusuma Bangsa itu terlihat sepi. Di depan bangunan
tersebut ada plakat bertuliskan: Yanche Salon.
Di tempat itulah, belakangan semakin banyak dikunjungi warga metropolis yang
ingin tubuhnya ditatto. Dan, tatto yang dibuat di salon itu permanen.
"Kami ingin mengembangkan tatto ini sebagai sebuah karya seni, semacam body
painting. Kalau dulu mungkin untuk sangar-sangaran, supaya kelihatan serem.
Sekarang sudah tidak lagi seperti itu," kata Herman, bos Yanche Salon, kepada
Jawa Pos, kemarin.
"Dan, kami tak asal-asalan membuat tatto. Kami berani menjamin keamanannya. Yang
seperti ini, sangat jarang di Surabaya," kata lajang 40 tahun ini.
Ketika ditemui Jawa Pos, kebetulan punggung Herman sedang ditatto oleh Yusepthia
Soewardy, salah satu anak buahnya. Tampak, punggung Herman penuh dengan tatto
bergambar naga yang sedang bertarung. "Semua tatto ini buatan
Kent (panggilan
Yusepthia Soewardy, Red). Butuh waktu lima jam lebih untuk menggambar semua
tatto ini," kata Herman.
Ditambahkan, sudah lima tahun ini dia bekerjasama dengan
Kent membuka salon yang
khusus menangani tatto. "Setahun belakangan ini, yang datang ke sini semakin
banyak. Sudah 1.000 gambar yang kami bikin. Kebanyakan yang datang adalah
mahasiswa, pengusaha muda dan ibu-ibu muda," ujarnya. "Kami memang hanya mau
melayani mereka yang umurnya di atas 18 tahun," lanjutnya, bersemangat.
Ketika Jawa Pos di salon itu, kebetulan bertemu dengan Ny Hartuti, salah satu
dari tiga ibu muda yang sedang ditatto. Ny Hartuti minta ditatto di pergelangan
kaki kanannya dengan gambar three ball (semacam rangkaian tiga bola).
Ibu tiga anak yang tinggal di sebuah perumahan elit di Kenjeran itu mengaku
sudah sejak setahun lalu menggemari tatto. Hanya saja, tatto saya dulu temporer
(gampang dihapus) dan berglitter (berkerlap-kerlip). Setiap seminggu sekali saya
ganti-ganti gambar. Sekarang, begitu mendengar tatto permanen di salon ini, saya
langsung tertarik," kata wanita berumur 35 tahun ini.
Mengapa suka tatto? "Supaya terlihat seksi," kata ibu berambut sepundak ini.
Hartuti menceritakan, tiga kali seminggu dia selalu rajin ke fitness. "Kebetulan,
saya punya teman satu geng di fitness itu yang sama-sama suka tatto," ujarnya.
Nggak takut disebut wanita nakal? "Kalau itu sih tergantung hatinya. Banyak
wanita yang tak bertatto, tapi mereka nakal," katanya.
Apa tren gambar tatto yang sekarang sedang banyak diminati wanita atau ibu-ibu
metropolis? "Pokoknya gambar-gambar feminin. Misalnya kupu-kupu, bunga,
lumba-lumba dan bidadari," paparnya.
Herman membenarkan penjelasan Hartuti ini. Ketika ditanya harga rata-ratanya,
dia menyebut jumlah ratusan ribu rupiah. "Kalau tatto seperti saya ini bisa
sampai Rp 10 juta," katanya.
Bagaimana dengan keamanannya? Herman menjamin, proses tatto di tempatnya punya
standar medis. "Di sini, satu jarum untuk satu orang. Peralatan untuk tatto pun
standar Jerman, begitu pula tintanya. Sebelum jarum digunakan, lebih dulu
direndam di dalam larutan alkohol," jelas pria berambut gondrong ini.
Bagi orang yang ditatto, lanjut Herman, juga diberikan obat oles yang fungsinya
untuk menghilangkan bakteri atau kuman.
Saat ini, kata Herman, ada jenis tinta untuk tatto yang baru masuk ke Indonesia
yang belakangan ini kian banyak peminatnya. Nama jenis tinta tatto itu adalah
glow in the dark (bersinar di dalam gelap). "Dengan tinta ini, jika tubuh yang
ditatto berada di bawah sinar yang mengandung fosfor, akan terlihat tattonya.
Tapi, kalau sinar biasa, tidak kelihatan," ujar laki-laki asli Surabaya ini.(shintia)
MulyonoTak Ada Kanvas, Mengukir Bagian Tubuh Pun Jadi Rabu, 16 Oktober 2002 Kompas Abdul Lathif
BERBAGAI macam cara orang menuangkan imajinasi karya seni rupanya, apakah itu dalam bentuk patung, seni lukis, kumpulan barang-barang bekas, sampai seni modern seperti video art. Seribu satu kisah para perupa coba menemukan jalan hidup yang paling cocok bagi dirinya. Kalau Rudi Isbandi tidak puas dengan karya lukis abstrak lalu coba menembus karya seni rupa dari kumpulan barang loakan, maka berbeda pula dengan kisah Mulyono yang gagal menjadi pelukis kanvas. Mulyono (54 tahun) berputar haluan ketika melihat peluangnya makin sulit menjadi pelukis tato, dan sampai sekarang namanya lebih dikenal dengan Cak Mul Tato.
"Sebelum menjadi tukang tato, awalnya saya menekuni seni lukis dengan media pensil dan ponte, tetapi hasilnya pas-pasan. Lalu, saya kepingin meningkatkan karya saya, tetapi saya tak mampu membeli cat maupun kanvas," tuturnya. Bapak empat orang anak itu mengisahkan awal aktivitasnya sebagai tukang tato sekitar tahun 1973/1974. Teknik dan penguasaan "melukis" diperolehnya secara otodidak.
Cak Mul Tato, warga Kampung Gembong Gang IV Surabaya, ini masih tetap melayani permintaan gambar tato kepada siapa saja yang memang membutuhkan keahliannya, walaupun untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga sehari-hari, lelaki berambut gondrong dan brewokan ini mengaku mengandalkan penghasilan sebagai karyawan percetakan di kawasan Ambengan Selatan, Surabaya. "Sampai sekarang ini kalau ada orang yang datang ke rumah untuk ditato masih saya layani, tetapi sejak tiga tahun terakhir ini saya lebih mementingkan pekerjaan di percetakan, karena jarang orang yang datang untuk meminta ditato," kata Cak Mul ketika ditemui Kompas di tempat kerjanya. Kiprahnya sebagai tukang tato memberikan pengalaman pribadi yang unik untuk dirinya sendiri. Hal itu tercermin tatkala ia mengisahkan masa lampaunya ketika harus membuat tato gambar pada bagian-bagian tubuh perempuan. "Pernah ada seorang cewek yang minta ditato bokongnya, karena di situ ada bekas bisul. Ya, saya tato saja dengan gambar kembang dan kobra," ujarnya. Pengalaman lain yang menarik, kata Cak Mul, sewaktu kedatangan seorang perempuan sehabis bedah caesar dan memintanya untuk ditato agar bekas jahitan tidak terlihat mencolok. "Waktu itu dia minta digambar bentuk pedang dililit naga, ya, saya gambar saja," ujarnya. Pergulatannya pada dunia tato itu ternyata menyimpan sebuah kenangan yang menggelikan tatkala harus menato gambar celana dalam pada bagian rahasia perempuan. "Perempuan itu datang bersama seorang lelaki, dan sang lelaki itulah yang meminta untuk menato bagian bokong pasangannya persis celana dalam," ujarnya. MESKIPUN telah menemukan lahan penghasilan sebagai tukang tato, Cak Mul tak pernah merasa puas atas hasil kerjaannya, sehingga tahun 1983 ia memutuskan mencari pekerjaan lain. Dan, beruntunglah ia dapat pekerjaan di percetakan. "Walaupun hidup sehari-hari sudah susah, tetapi saya tetap merasa happy. Dan, anak-anak saya pun sudah besar dan semuanya tamat sekolah menengah atas," ujarnya. Cak Mul tak mengungkapkan berapa ongkos per gambar tato dan berapa besar upah sebagai karyawan percetakan. Namun demikian, kehidupan keseharian ia lakoni penuh kebahagiaan, walaupun terasa berat. "Sampai sekarang ini saya masih aktif di panggung teater, walaupun freelance,"ujarnya.
Aktivitasnya pada dunia panggung diawali bersama komunitas Teater Krikil, lalu berhimpun dengan Teater Nuansa dan Teater Sandradipta. Sekarang ini dia bergabung bersama komunitas Gentengkali Surabaya. "Bersama komunitas Gentengkali saya diajak ikut bermain teater untuk pementasan Teater Onik TVRI yang menurut rencana akan ditayangkan bulan November mendatang," ujarnya. Meskipun tak pernah mendapat peran penting dalam pementasan teater, Cak Mul agaknya beruntung, karena masih berkesempatan ikut tampil pada sinetron-sinetron TVRI Surabaya, antara lain pernah bermain dalam sinetron Keluarga Karmun, tahun 2000. "Tahun 1983 saya sempat bermain sinetron Biola di TVRI Surabaya garapan Emil Sanosa, dan tahun 1984 bermain sinetron Dihadang Kabut garapan Gatut Kusumo. Terakhir, walaupun cuma satu episode, saya ikut bermain di dalam sinetron Ken Arok," ujarnya. Hampir setiap malam hari kongko-kongko di pos penjagaan Kompleks Taman Budaya Jawa Timur, itulah kesibukan lain di luar pekerjaannya sehari-hari. (TIF)
Belajar Usaha Lewat Tato
Kisah
- Sabtu, 26 Januari 2002 Minggu Pagi
KECINTAANYA pada seni tato, membuat anak muda satu
ini menemukan peluang usaha. Tanpa di-sadari oleh Munir, pemilik counter tato
‘Toxic’, desain dan gambar tatonya mulai digemari kalangan seniman, bahkan juga
bule-bule yang lagi liburan ke Yogyakarta. Awalnya, Munir memang cuma menerima
para penggemar tato di kamar kosnya. Dimulai dari teman kampusnya di ISI yang
meminta Munir untuk menato, lama kelamaan—dari mulut ke mulut—nama Munir mulai
dikenal sebagai penato handal. “Yang mereka sukai dari tato saya, mungkin karena
saya menato langsung ornamen atau desain gambar ke tubuh mereka. Jadi ibarat
melukis, saya mencurahkan karya saya ke tubuh orang itu. Hasilnya, lebih
orisinil. Soalnya saya nggak pakai contoh gambar,” ujar Munir, mahasiswa ISI
Jurusan Desain Komunikasi. Munir juga selalu menekankan sisi kebersihan
alat-alat tatonya. Untuk jarum tato, misalnya, hanya ia pakai sekali pada setiap
orang. “Jadi dijamin steril. Orang bule biasanya nggak mau ditato sebelum dia
melihat kebersihan alat-alat itu. Ya alasan mereka memang masuk akal, sebab
penularan virus AIDS/HIV kan juga disebabkan oleh pemakaian jarum yang
berulang-ulang,” kata Munir.
Karena penggemar tato Munir semakin banyak, anak muda ini lalu mendirikan
counter tato di seputar Surokarsan. Dengan modal tabungan hasil mentato selama
ini. Diajaknya pula beberapa rekan sekampus untuk ikutan usaha. “Dalam
perkembangannya, ada teman kami yang menitipkan kaos di toko
Toxic. Ini malah
memunculkan ide kami untuk bikin kaos dengan gaya street fashion. Selain itu,
tak cuma tato permanen yang kami tangani, namun juga tato temporari kami layani,”
kata Munir. Tak berhenti sampai di situ usaha Munir cs, dalam setiap acara yang
melibatkan anak muda seperti bazaar dan pergelaran musik, Toxic hadir di sana.
Selain memajang kaos mereka juga buka stand tato kecil-kecilan. Dari hasil
mentato, Munir jadi tak tergantung sama orangtuanya. Semua kebutuhan kuliahnya
yang memang memakan banyak biaya itu bisa ia penuhi. Juga untuk kebutuhan
sehari-hari. Lalu, bagaimana dengan kuliah Munir? “Lancar-lancar saja. Sambil
jaga counter kami malah bisa mengerjakan tugas-tugas dari kampus. Pokoknya
sambil menyelam minum air. Yang kami lakukan ini sebenarnya latihan mandiri.
Kalau sejak dini sudah mulai usaha, maka begitu lulus kuliah kita tak kaget lagi
terjun di tengah masyarakat,” kata
Munir.(Prass)
Tato Itu Bagian Ekspresi Seseorang Senin Kliwon 20 November 2000 BERNAS
Bagi seniman tato, Sapto Raharjo alias Athonk (29), seni tato merupakan bagian dari ekspresi seseorang. Karena itu tato bersifat personal. Pengerjaan tato juga harus dilakukan hati-hati dan profesional agar terlihat indah dan bercita rasa seni."Tato yang dikerjakan asal-asalan akhirnya memunculkan stigma tato untuk gali", paparnya kepada Bernas, Jumat (17/11) di sela-sela Gampingan Tatto Expo di bekas Kampus Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta pada 15 hingga 21 November.
Menurut Athonk, tato sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak dulu kala dan dilakukan secara tradisional dimana saja. "Hanya saja dalam perkembangan moderen, orang bertato sering dianggap keluar dari norma yang ada. Padahal alasan seseorang ditato sangat personal dan harus punya pendirian kuat," ujar pria yang membuka Studio Tato Pure Black Tattoo di Sosrowijayan GT 1/77 Yogyakarta.
Keinginan bertato, lanjutnya, harus berawal dari keinginan pribadi yang kuat dan secara etika tidak boleh memaksa seseorang untuk bertato, pilih orang yang benar-benar profesional di bidang tato, pilih gambar dan disain yang benar. Pengerjaan tato sesuai prosedur dan perwatan kulit paska tato diperlukan untuk kesehatan kulit yang mendukung keindahan seni tato," papar jebolan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta ini.
Pria berambut punk dengan cat kuning merah menyala ini mengaku dirinya bertato karena memberontak dari keinginan orangtua yang menyuruhnya masuk Akabri. "Waktu kelas 2 SMA orangtua menyuruh saya masuk militer, karena nggak mau saya tato lengan kanan dengan tato Donald Bebek," ungkapnya sambil menunjukan tato di lengan kanannya. Tato pertama yang berkesan ternyata membuat dirinya serasa ingin ditato lagi hingga tangan dan punggungnya dipenuhi tato bahkan leher dan kaki juga tak luput dari tato. "Sayapun mulai tertarik bergelut di bidang tato dengan belajar sendiri dan praktek antar teman," ungkapnya menyebut tahun 1994 mulai menggeluti tato secara profesional. Dari hasil hobi tato yang dikerjakan secara profesional, sambungnya, setiap bulan ia mampu mengantongi Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Untuk mengerjakan tato, ia tidak main-main. "Sehari biasanya ada satu sampai tiga orang minta ditato. Tarif tergantung desain dan tingkat kesulitannya. Saat ini yang lagi ngetrend desain etnik tribal, memadukan desain etnik yang ada," paparnya menyebut perawatan kulit dengan cream lotion membuat kulit sehat dan tato enak dilihat. (cr7)
Oct - Dec 2000 |
Skin signatures Once feared as the mark of a criminal, tattoos are today almost a teenage fad Megan Baker |
Athonk knows his art form like the back of his tattooed hands. The owner of Pure Black Tattoo Studio in Yogyakarta can tell you that Australians in Melbourne have the most desirable tattooing skin because the needle easily penetrates their fine, cold hide. Indonesians have the least suited skin. A red heart tattoo on his throat beats as he swallows. His passion for tattooing grew out of drawing comics. Athonk studied at the Indonesian Institute of Art (ISI) in Yogyakarta until lack of funds put an end to formal education. He then learnt to apply his artistic skills to skin through friends, magazines, and a trip to study the art form in Australia. A vast collection of photographs proves his technical competence. Designs range from small simple turtle motifs to large detailed tribal patterns applied to limbs and backs. New Order tattoo artists used to work underground. In the early 1980s Yogyakarta was the least safe place for tattooed Indonesians. Tattoos were a sign of a previous prison sentence. The government embarked on an operation to 'clean' the city of troublesome citizens. 'Mysterious gunmen' (petrus - penembak misterius) shot down tattooed street thugs known as gali (gabungan anak liar). Men with tattoos were told to report to the police. Their tattoos were noted, and in some cases forcibly removed with a hot iron. The stigma forced artists underground, where drugs or alcohol became payment for artwork and hence part of tattoo culture. Athonk once received a chicken from a poor client.
The tattoo artist creates a lifetime mark. The relationship between designer and client at times resembles that of psychologist and patient. In a state of pain, Athonk says, clients easily 'confess all'. One got a tattoo because he was ordered to marry someone he did not love. Rebellion continues to be a prime inspiration, like the anti-military 'peace punk' tattoos in the US in the 1970s. Many clients make a ceremony of the process, inviting friends, preparing party food for the minute of completion.
Hygiene is a big concern. In the 1930s tattoo studios in New England were blamed for the spread of syphilis. Athonk worries about street tattooists who use dirty tools. Few studios use gloves as they are expensive and artists do not know where to purchase them. Athonk tries to educate other artists by organising Tattoo fashion parades and establishing the Java Tattoo Club. Artists need to learn the technicalities of tattooing machines and the latest ink types, as well as how to apply designs to skin. There are too few skilled tattoo artists to meet increasing demand. Studios not ready to 'go public' continue to operate from small outlets in heavily touristed areas of Yogyakarta like Sosrowijayan. The tattooed community considers non-tattooed people 'stark naked' (telanjang bulat), a term Athonk claims originates with tattoo. In the early 1990s the music of Red Hot Chili Peppers and Guns 'n' Roses had a 'phenomenal' influence on Indonesian youth. They wanted tattoos of the cover image on the first Red Hot Chili Peppers album. Now Indonesian youth, aware of a new 'individuality' which comes packaged in consumerism, are requesting more self-devised designs as well as common popular hearts and roses. Their choice of designs provides a visual reading of attitudes in a transforming society. Athonk also owns the only professional studio in Jakarta. Many clients come from wealthy families. In fact most are teenage girls who come to the studio with their parents. Tattooists are increasingly seen as 'fine artists'. But 'sensationalism' remains part of modern tattooing culture. Foreign tourists come to Indonesia in search of the more raw tradition lacking in the West. They ask for exotic tribal designs, symbols of eternity and spirituality, or pictures of Javanese wayang puppets. Javanese do not have a strong tattooing tradition. But tattooing is an integral part of the more tribal Dayak and Mentawaian cultures. Bunga Terong, the top part of an eggplant, originated in Borneo and is now an internationally recognised tattoo. In Kalimantan (Indonesian Borneo) women tattoo symbols on their foreheads to indicate skills such as weaving which increase their worth in the eyes of potential husbands. Men were expected to earn their tattoos by taking heads. Megan Baker (megabak@hotmail.com) studies at the University of Technology Sydney, Australia. Find Athonk near Supermans in Sosrowijayan, Yogyakarta. |
"Ketika Tato Menjadi Sebuah Persahabatan"
Ini Tentang Atonk, seorang seniman Tato di Djogja !
Pure Black Tattoo studio ?
Suatu ungkapan unik, karena pure atau murni selalu identik
dengan putih dan bukan hitam. Satu hal yang terasa dari
ungkapan ini adalah kekuatan untuk memutuskan sebuah jalan
hidup. Dan menjadi seniman tato adalah jalan yang telah dipiih
Atonk sejak 5 tahun terakhir ini. Lahir di Semarang tahun 1969
dengan nama Sapto Rahardjo. Tahun 1990, kegemaran dan talenta
di wilayah seni disalurkannya melalui studi di jurusan grafis
murni ISI Yogyakarta. Namun hanya beberapa tahun di ISI,
dengan sadar Atonk memutuskan keluar dari dunia akademis.
Mengapa ? "Dari kecil saya memang tidak senang sekolah,
sepertinya saya lebih pintar dari guru, bukannya mau sombong,
"ujarnya sambil tertawa. Tapi proses penciptaan seni tetap
mengalir, ia membuat komik, juga karya-karya grafis. Daya
ungkap karyanya sangat sarat dengan semangat ressitensi.
Walhasil, beberapa kali karyanya disensor di berbagai
peristiwa pameran. Ketertarikannya pada wilayah tato mentato
dimulai pada kesukaan akan musik-musik alternatif. Saat itu
suasana dan lingkup pergaulan di kampus ISI cukup mempunyai
andil, juga area tinggalnya di perkampungan turis Sosrowijayan
menegaskan pilihannya menekuni dunia tato. Ia pun mulai
belajar teknik pembuatan tato, bereksperimen di tubuhnya
sendiri maupun teman-temannya. Setelah dua tahun menyelami
dunia rajah, Atonk merasa siap melakoni profesionalisme tato.
Kesiapannya ditandai dengan standar pengetahuan yang dimiliki
plus penguasaan alat tato. Standar ini tidak terbatas pada
keapikan desainnya, yang lebih penting adalah pengenalan akan
tubuh manusia, kesterilan pembuatan tato, pengetahuan medis
tentang efek tato, dan disiplin. "Saya harus menerima siapapun
yang ingin ditato, apakah itu seorang homoseksual atau
siapapun, ini adalah salah satu sikap profesionalime", ujarnya.
Atonk sangat menyadari, bahwa membuat tato adalah keputusan
besar dalam hidup seseorang. Sehingga saat menghadapi kliennya,
ia selalu bertanya "sudah pernah di tato ? dan "mengapa di
tato ?". Dan jawabannya, ada bermacam-macam alasan diungkapkan,
dari persoalan senang menggambari tubuh sampai pada patah hati.
Karena itu, sering yang terjadi bukan hanya menato gambar
dikulit seseorang, tapi juga komunikasi rasa antara dirinya
dengan orang dari berbagai bangsa yang sedang berkunjung ke
Yogyakarta. Apakah ada daya magis dari kegiatan tato
mentatonya? "Saya tidak terlalu tahu. Tapi kadang ada orang
yang cocok dengan simbol-simbol tatonya dan mereka selalu
kembali ke saya "Berapa sih biaya satu kali mentato ? "Untuk
orang yang mulanya bukan teman, standar $30. Tapi kalau buat
teman lain, baik itu orang Indonesia atau asing,"akunya. Hal
paling menarik dari pengalamannya adalah kesadaran bahwa
setiap kali sedang menato seseorang, ia pun sedang menato
sebuah persahabatan. Sehingga dalam menjalankan kegiatan
tatonya Atonk tidak terlalu ngotot, kira-kira dalam satu
minggu ia mendapat 3-4 tamu. Aikon
edisi 49 akhir Juli 1996:
Jakarta , Selasa, 03-04-2001
21:13:46 Rajah Tubuh
Metode Rahasia Seniman TatoGATRA.com
- BALI ternyata juga surga bagi seni
tato. Seniman tato dan studio-studio tato tumbuh sangat subur di
Pulau Dewata ini. Tengok saja Jalan Raya Legian di Kuta. Hampir di
setiap 100 meter terdapat studio tato milik para seniman Bali. Dari
yang berukuran ekstra mini, hingga studio besar berlantai dua. Motif
yang dilayani studio-studio ini juga tak terhitung.
Ribuan motif yang mereka tawarkan tersimpan rapi dalam berderet
album. Sementara di dinding juga berderet aneka motif tato. Beragam
majalah tato luar negeri melengkapi koleksi motif tato di
salon-salon sepanjang Jalan Raya Legian ini. Sayang, belakangan ini,
situasi politik yang tak menentu membuat para seniman tato Bali
kehilangan pelanggan utamanya.
Ketut Santika, seniman tato di AS Studio Tatto and Piercing,
menuturkan, sepanjang tahun ini jumlah tamu pemesan tato jauh
menurun. Tahun lalu, setiap hari minimal dua orang datang memesan
tato di studio Ketut Santika. Tapi kini, satu klien dalam dua hari
sudah merupakan hal luar biasa. Ini sebenarnya tak mengherankan,
karena pelanggan utama studio tato di Bali adalah turis mancanegara.
Gungde, seniman tato lain, menyebut peminat tato yang datang ke
studionya kebanyakan turis asal Jepang, Australia, dan Jerman. ''Tamu
domestik sangat jarang, dan biasanya hanya meminta temporary
tattoo,'' katanya. Tampaknya, sebelum mereka kehilangan
pelanggan, penghasilan seniman tato Bali cukup menggiurkan.
Bayangkan saja, betapa Gungde bisa membayar sewa studio Rp 30 juta
setahun dari penghasilan menato para turis. Sementara pemilik AS
Studio Tatto and Piercing bersedia membayar Rp 15 juta untuk studio
yang hanya berukuran 3 x 4 meter. Konon, tarif satu kali tato oleh
para seniman Bali ini paling sedikit Rp 500.000 sampai Rp 700.000.
Di Bali, rezeki tato ini ternyata juga tak hanya dinikmati para
seniman tato mapan macam Gungde dan Ketut Santika. Di sepanjang
pantai Kuta, misalnya, banyak ditemui seniman tato jalanan. Dalam
hitungan Nengah, salah satu seniman jalanan di pantai Kuta, paling
sedikit ada 100 seniman tato jalanan seperti dirinya yang mencari
nafkah di Kuta.
Dengan tarif sekali tato Rp 40.000, seniman tato seperti Nengah bisa
menopang hidup. Dulu, banyak turis asing ikut mengantre layanan
mereka. Kini, konsumen mereka biasanya hanya pelajar atau mahasiswa
yang tengah berlibur di Bali. ''Yang sering kami layani adalah
pelajar atau mahasiswa asal Bandung atau Jakarta,'' kata Jacky,
salah satu seniman tato jalanan kawan Nengah.
Di kota lain, seniman tato jalanan juga tak kalah banyak. Di emperan
sepanjang Malioboro, Yogyakarta, misalnya, tak kurang dari 15
''studio tato jalanan'' berlomba bersaing dengan pedagang emperan
lainnya. Dengan tulisan ''Tato, Temporari dan Permanen'' pada
selembar karton, jadilah para seniman jalanan ini menawarkan
keterampilannya.
Di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, seniman tato jalanan juga
menjamur. Ucok, 25 tahun, salah seorang seniman tato jalanan di
kawasan itu, mengisahkan, dengan modal Rp 500.000 ia telah bisa
memiliki peralatan ''studio'' tato lengkap. Uang sebesar itu cukup
untuk membeli tinta tato, koleksi majalah luar negeri dengan aneka
model tato, dan biaya merakit alat tato buatan sendiri.
Alat tato rakitan Ucok terbuat dari rangkaian kumparan bekas gitar
listrik sebagai alat pemompa, dengan mesin tato sederhana yang di
dalamnya terdapat jarum dengan tinta. Alat ini digerakkan sebuah
dinamo berkekuatan 9 volt. Uniknya, Ucok tak hanya melayani
pembuatan tato, melainkan juga berani melayani permintaan
menghilangkan tato.
Mengenai cara yang digunakannya, Ucok seperti sengaja berahasia.
''Cara dan metodenya itu menyangkut paten perusahaan,'' katanya
bergurau kepada wartawan Gatra Bambang Febri. Tapi, Ucok juga
mengaku, pekerjaan menghilangkan tato ini berisiko. Maka, ia pun
hanya mau menerima permintaan menghilangkan tato yang berukuran tak
terlalu besar.
Sebab, menurut Ucok, jika tak punya daya tahan bagus, sehabis
dihilangkan tatonya, orang akan demam. Toh, jika ini terjadi, Ucok
sudah punya jalan keluar. ''Saya beri Ponstan,'' kata Ucok, menyebut
obat pereda nyeri. Cara Ucok menghilangkan tato jelas sangat berbeda
dengan cara I Gusti Agung K. Rata, dokter ahli kulit dan kelamin
bagian kosmetika kedokteran di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
Menurut Dokter Rata, banyak cara untuk menghilangkan tato permanen.
Di Kalimantan, suku Dayak menghilangkan tato dengan mengoleskan
sejenis getah rahasia. Orang Indian Amerika melakukan penatoan ulang
menggunakan air susu ibu. Ada juga cara yang banyak digunakan, yakni
dengan menggunakan air keras atau campuran kapur sirih dengan sabun
colek.
''Dengan larutan basa yang kuat, kulit bisa terbakar,'' kata Rata
kepada Amalia K. Mala dari Gatra. Jadi, prinsip penghilangan dengan
cara ini adalah menghancurkan lapisan atas kulit dan zat warnanya
sekaligus. Cara ini jelas berisiko. Secara modern --sebagaimana
dilakukan Rata-- menghilangkan tato dilakukan dengan bedah listrik
atau laser.
Di klinik Rata, pasien yang datang ingin menghilangkan tato tak
pernah berhenti mengalir. Para pemilik tato ini kebanyakan berubah
pikiran soal rajah permanen di tubuh mereka. Tarbeni, salah seorang
pasien Rata, misalnya, ingin tato hantu-hantu ramah dari film
Ghostbuster yang memenuhi sekujur punggungnya dihilangkan.
''Saya sulit dapat pekerjaan karena bertato,'' katanya. Apalagi,
menurut pengakuan Tarbeni, tato yang menghias punggungnya sejak 1981
itu dibuat hanya karena gengsi. ''Ikut-ikutan teman saja,'' katanya.
Mungkin karena itu, Rata mengingatkan para peminat tato untuk
berpikir panjang sebelum memutuskan bertato. Jika telah memutuskan
punya tato, juga harus hati-hati memilih penato.
Sebab, kualitas tato sangat ditentukan oleh keprofesionalan penato.
''Jika profesional, ia tahu sampai lapisan kulit mana jarum boleh
disuntikkan,'' kata Rata. Menurut Rata, jangan sampai jarum masuk
jauh di bawah lapisan dermis kulit. Jika jarum mencapai lapisan
subkutan, atau fasia (pembungkus otot), atau malah jaringan otot,
bisa berbahaya.
Rata tak mengada-ada. Awal Maret lalu, Annals of Internal
Medicine melaporkan pengalaman dokter Israel menemukan kasus
kerusakan otot akibat tato. Tiga pria yang baru selesai ditato
mendadak mengalami muscle wasting. Sayangnya, kasus ''kehilangan
otot'' yang ini ternyata permanen --alias tak tersembuhkan.
[Krisnadi Yuliawan] [Gatra
Nomor 20, Senin 2 April 2001]
Kang Uci mulai membuat tato sekitar tahun 1987 di rumahnya di kawasan Dago Pakar. Berawal dari rasa penasaran setelah melihat gambar tato temannya yang finilainya sangat jelek, Kang Uci mendesain "mesin" pembuat tato yang aman bagi kulit dan mudah digunakan. Setelah melakukan beberapa kali modifikasi dan percobaan, akhirnya Kang Uci menemukan mesin yang cocok yaitu dengan menggunakan "motor penggerak kecil" yang akan menggerakkan jarum seperti piston mobil. Dengan mesin ini, jalannya jarum sangat bagus dan stabil, sehingga garis dan gambar bisa terbentuk dengan baik.
Kang Uci menilai tato sebagai seni, sebagai bagian dari body painting. Karena itu, gambar-gambar tato yang dibuatnya benar-benar unik. Kang Uci selalu memberi saran kepada orang yang ingin dibuatkan tato agar jangan membuat gambar berupa figur atau mewakili satu golongan. Karena gambar tato seperti itu cepat membuat bosan. Padahal, tato menempel di badan seumur hidup. Gambar tato yang disenangi pelangan Kang Uci adalah motif-motif Primitif Art yang berasal dai Amerika Latin. Sedangkan ciri penanganan khas Kang Uci dapat dilihat dari garis dan cara arsirnya. "Dalam seni tato, siapa sih artisnya?" tanya Kang Uci.
Kalau menurutnya, dalam seni tato yang menjadi artis adalah pembuat tato dan pemilik badan. Tanpa kerjasama antar keduanya, tidak akan menghasilkan sebuah karya seni. Karena itu, sebelum membuat sebuah tato, ia selalu melakukan diskusi dengan pelanggannya. Mereka akan mempertimbangkan pantas tidaknya gambar disesuaikan dengan sifat, hobby, penampilan fisik dan segi estetika.
Kang Uci tidak melayani pembuatan tato untuk anak-anak SMA atau mereka yang belum bisa menentukan tujuan hidupnya. Dalam pertimbangannya, bila pelanggannya kemudian masuk ke pekerjaan-pekerjaan yang mempertimbangkan kebersihan fisik, tentu tato akan menjadi penghambat. Sedangkan sifat tato adalah permanen. Aikon edisi 49 akhir Juli 1996
Ayi Si Tukang Tato
Reporter: Daniel Mahendra
detikcom - SM Online Unisba, Sebuah Sepeda
motor tua jenis mathclees tahun 50-an, dan satu bangkai scotter,
terparkir di depan rumah sederhana. Kepala tengkorang terlukis pada
daun pintu, dikelilingi tulisan dari spotlight merah Old
Motor Cycle Club Bandung. Tak berala lama, dua pria muda, menguak
daun pintu, keluar diiringi sorang pria bertubuh kekar,
penampilannya terkesan slenge'an. Begitu pria muda itu meninggalkan
pelataran rumah, si kekar memandang SM Online, menebar senyum
sambil menyodorkan tangan, "Ayi!" dia memperkenalkan diri. Di
pojokan kota Bandung, tepatnya Cisitu Lama, ribuah orang datang
untuk digambar (baca ditatto) oleh Ayi. Orang mengenalnya sebagai
ahli tato. Ayi tato, julukan itu pun kemudian disandangnya. Bertutur
tentang keahliannya dalam seni tato, bermula saat mengadu nasib di
pulau dewata, Bali. Sedikit kemampuan seni yang dimilikinya (sempat
kuliah di Seni Rupa ITB), plus modal nekad, Ayi mencoba untuk
mengembangkan bakat seninya. Seni desain kaos dan kulit untuk
aksesoris, itulah yang digelutinya. Beberapa tahun berlalu, seorang
teman berpetualang, memperkenalkan Ayi seni tatto, yang di Bali
begitu menjamur. Ayi beranggapan bahwa ia pun mampu untuk
melakukannya. Sekitar satu tahun lamanya, Ayi bereksperimen dengan
seni yang terakhir ditemuinya, tatto. "Ya sebatas kawan-kawan dekat
saja," akunya. Dan sedikit demi sedikit, kemampuannya dalam seni
tato meningkat. Peralatan sederhana pun dirakitnya sendiri. Tujuh
tahun di Bali, ia kembali ke Bandung. Di kota kelahirannya, seperti
halnya saat awal di Bali, seni desain kaos dan kulit ditambah
aksesoris lukisan, digelutinya. Kemudian merambah seni airbrush.
Kemampuannya dalam seni tato yang sebatas iseng pun dipraktekan juga,
hanya orang-orang dekatnya saja. Lama kelamaan, dari mulut ke mulut
(yang pernah ditato-nya), keahliannya berseni tato dikenal orang.
Ribuan orang meminta ditato, sebagian ada bule, melahirkan nama baru,
Ayi tato. Padahal sang ayah menggelarinya nama Nahar Imran Syamsu. "Akhirnya
usaha tato ini malah lebih dominan dibandingkan dengan seni lainnya.
Padahal saya sama sekali tidak memasang iklan reklame, apalagi
studio tato," tutur seniman tato lulusan STM OI Bandung ini. Dirinya
sadar bahwa lingkungan masyarakat di sini kurang bisa menerima seni
tato ini. Tidak seperti halnya di Bali yang sedikit bisa bebas. Dari
tatto, pria kelahiran 26 Desember 1966, menghidupi istri dan seorang
putrinya, Friska Febriyanti Imran. Dalam sehari, sedikitnya satu
sampai dua orang datang meminta jasa tatonya. "Saya tak ingat lagi,
sudah berapa banyak orang yang datang minta ditato. Ah pokoknya
sudah banyak lah," ujarnya bangga. Apa tujuan kaum hawa membubuhkan
tatto pada tubuhnya. Bukankah sudah begitu indah keberadaannya? "Beragam
maksud dan tujuan mereka. Usia mereka rata-rata 20-25 tahun.
kebanyakan mereka ditato dengan desain-desain yang tidak terlalu
sangar, tapi motif-motif halus dan lucu. Semacam karikatur, bunga,
motif tradisional dan sejenisnya. Biasanya mereka di tato di
tempat-tempat yang tidak terlalu ekstrem, atau vulgar. Paling di
sekitar punggung, tapi terkadang ada yang meminta ditato pada
bagian-bagian yang (maaf) menjorok (daerah terlarang). "Ada
pengalaman yang tak terlupakan saat pertama membuatkan tato pada
wanita? seloroh SM Online. "Pertama kalinya waktu masih di
Bali. Wah, sampai keringat panas, hahaha...!" tawanya berderai,
terusik kenangan lalunya. "Ke sininya sih sudah biasa, seperti
dokter saja," lanjutnya. "Untuk dapat ditato olehnya bukanlah hal
yang mudah, karena sebelum ia mentato seseorang, terlebih dahulu
menasehati agar dipikir dahulu matang-matang. "Tidak
setengah-setengah. Jangan-jangan setelah ditato kemudian menyesal,
lalu menghapusnya." Ayi berprinsip, bahwa kulit orang itu sangat
mahal. "Seni tato ini sebenarnya seni yang sangat mahal dan
memerlukan ketelitian serta kesungguhan. Jadi tidak bisa main-main.
Kalau mau dihapus, misalnya pakai laser, biayanya mahal. Per
sentinya sampai ratusan ribu," terangnya. Tentang cewek yang bertato
pada Ayi, banyak juga mahasiswi. Entah apa yang mendorong mereka
melukisi tubuh indahnya. "Jaman sudah edan!" komentarnya berkelakar.
Tentang tato yang identik dengan kejahatan, menurutnya ada perbedaan.
"Tato seni adalah tato yang halus, dan menekankan aspek keindahan
baik gambar maupun warnanya, serta tidak timbul. Sedangkan tatto
jalanan, kriminal, yang biasanya ada pada preman-preman, itu adalah
tato yang kasar. Gambarnya terkadang sangar dan timbul. Pihak
kepolisian pun sudah dapat membedakan mana tato seni, dan tato yang
biasa digunakan preman. Pernah ada yang ditahan karena berkelahi.
Ternyata tubuhnya bertato. Polisi pun pengorek tatonya, dan
sampailah polisi tersebut ke Ayi, karena orang yang ditahan mengaku
ditatto oleh dirinya. "Saya jelaskan pada polisi itu tentang seni
tato. Dan dia akhirnya minta ditato-kan," kenangnya. "Tatto
sebenarnya tergantung kepada masing-masing orang. Kalau tattonya
jenis seni, tapi orangnya berperilaku jahat, bagaimana? komentarnya.
Meski Ayi menganggap tato sebagai seni belaka, namun tidak semua
masyarakat menerimanya. "Sebagian masyarakat menilai miring kepada
mereka yang ditato. Padahal jahat tidaknya orang tergantung sikapnya,
bukan malah tatonya," keluhnya seperti menyesalkan. "Tapi saya nggak
menampik pandangan demikian, karena masyarakat kita memang belum
bisa menerima seni tato ini. Terlebih untuk kalangan tertentu, yang
fanatik agamanya kuat, tatto dianggap haram. Alasannya menghalangi
shalat. Saya juga tidak membuat tato di bagian tubuh yang biasa
dibasuh wudlu. Kecuali mereka memaksa. Hingga saat ini pun, saya
belum mengetahui hukum-hukumnya tentang masalah tato ini, baik
hadist maupun dalam Qur'an," dalihnya. Tentang tarih untuk tatonya,
Ayi berujar, "Terbilang murah, sebab masyarakat kita belum memahami
seni. Minimal Rp. 45 ribu, itu tarif saya. Kalau di luar negeri,
dengan keahlian begini kita bisa kaya," ungkapnya.
"Kenapa seorang seniman tatto enggak ngebedain profesinya dengan guru atau dokter," cetus Gusti ., salah seorang seniman tatto di Jakarta. Gusti yang membuka galeri tatto di bilangan Kemang Jakarta Selatan ini menganggap profesionalisme sangat penting bagi pekerjaan jenis ini. "Banyak seniman tatto yang masih memakai narkoba dan mabuk-mabukan," tutur pria berambut gondrong gimbal ini.
Alasan mereka yang masih berkutat dengan barang haram itu ialah untuk mendorong mood mereka bekerja. "Misalnya mereka bilang, gue baru bisa berfantasi kalo udah kena cimeng (ganja -red)," Gusti menuturkan salah satu alasan itu. Padahal, bagi Gusti, klien datang dengan kondisi mabuk saja sudah tabu bagi dirinya. Kalau klien yang datang tak boleh mabuk apalgi seniman tatto tentunya.
Tatto sendiri sudah menjadi sebuah beban moral, sudah sangat berat. Apalagi jika ditambah dengan kenyataan orang bertatto pemabuk pula. Tatto yang selama ini sudah dianggap lekat dengan dunia kriminal akan makin tak tertolong lagi. Gusti ingin meluruskan anggapan yang ada selama ini. "Bahwa Tatto tidak hanya berada di wilayah itu," jelasnya.
"Dan bukannya mau western-minded, tapi memang ada yang perlu kita tiru dari dunia tatto Barat selama itu masih sesuai," Gusti menambahkan. Ia mencontohkan soal penghargaan seorang terhadap tatto ialah ada klien yang mau berada di waiting list selama enam bulan untuk bisa dirajah kulitnya oleh seorang seniman tatto terkenal. "Masyarakat Barat sudah mencapai tahap di mana tatto benar-benar dianggap sebagai benda seni,"
Singkatnya Gusti ingin masyarakat kembali melihat tatto sebagai sebuah karya dan aliran seni. Usaha pertamanya ialah dengan memberi pengertian dan bukti kepada limgkungan sekitarnya bahwa galerinya bersih dari hal-hal kriminal. Ia membentuk suasana galerina bukan sebagai tempat nongkrong. Layaknya sebuah ruang dokter, klien hanya duduk untuk menunggu giliran. Setelah proses pebuatan tatto selesai, klien langsung pulang. "Jadi Untuk juga mencapai tujuannya, Gusti memperkaya wawasan dengan meneliti bentuk-bentuk tatto tradisional yang tersebar di Nusantara ini. "Sejak dulu sebenarnya tatto sudah menjadi satu aliran seni di Indonesia," jelasnya. Kebetulan trend tatto yang mengemuka saat ini adalah paduan dari corak tradisional dan futuristik. Seniman yang memiliki pelanggan dari berbagai kalangan, termasuk artis, ini bahkan berniat untuk menelusuri corak tatto tradisional langsung dari sumbernya. "Sayangnya waktu itu penelitian saya di Kalimantan gagal karena ada kerusuhan Sampit," sesal Gusti.
"Sebenarnya tatto sebagai tradisi, kita sudah punya," jelasnya lagi. Ia mencontohkan masyarakat suku Dayak Iban, Suku di kepulauan Mentawai, suku di Papua, dan sebagainya. "Kenapa itu tidak kita angkat," tegasnya. Baginya, ternyata budaya Indonesia bukan hanya musik, tari dan lainnya. "Ternyata selama ini ada satu bagian dari seni rupa yaitu seni merajah tubuh atau tatto." www.sanasini.com/profil/gusti_p01.html
NEW Seniman Tattoo Indonesia-kumpulan artikel di media massa
Korban Petrus-Tattoo dan Kriminalitas >>
Glosarius-Kamus-Indo Dictionary >>
[Sign
My Guestbook] - [Read
My Guestbook]
Photo Gallery / Tattoo Links / Indonesia Tribal / Articles / Tattoo Tips / Convention / Oddities / Tattoo Band
Newsletter / People / Tattoo SIND / Java Tattoo Club / Pure Black Tattoo