Para
penyeru agama, sengaja ataupun tidak, seringkali menjadikan ummatnya
tertipu oleh ajaran mereka tentang meraih kekayaan ruhani dengan hidup
sengsara
Jauh
sebelum manusia bisa memproduksi pesawat terbang, dalam legenda Persia
kuno dikisahkan bahwa di antara raja-raja mereka ada memendam keinginan
yang kuat untuk bisa menjelajahi angkasa, terbang setinggi-tingginya.
Keinginan itu diutarakan kepada para pembantunya agar mereka dapat
mencari jalan keluarnya.
Setelah
bertahun-tahun memikirkannya, akhirnya ditemukan satu jalan yang
sekiranya dapat merealisasi keinginan sang Raja. Mereka mengetahui bahwa
burung rajawali merupakan burung yang sangat perkasa. Penduduk sering
memergoki burung rajawali memangsa seekor ayam kemudian dibawa terbang
setinggi-tingginya.
Akal
mereka mulai bekerja. Menurut jalan pikirannya, jika sekiranya empat
burung rajawali dikaitkan antara satu dengan lainnya, kemudian di
tengahnya diberi satu tatakan yang kuat, tentu dapat menerbangkan sang
raja. Ide yang orisinil ini segera mendapat persetujuan segenap
penasehat raja.
Proyek
imajiner ini segera dimulai dengan menangkap empat burung rajawali yang
masih kecil untuk dipelihara dan diberi latihan secukupnya. Setelah
burung-burung tersebut menginjak dewasa dan menjadi perkasa, maka segera
dibuatkan tenda persegi empat yang tiang-tiangnya diikatkan secara kuat
ke masing-masing burung. Di tengahnya dibuatkan tempat yang aman dan
nyaman untuk sang raja. Di bagian atasnya diletakkan onggokan daging
yang segar dan menggiurkan.
Pelepasan
"pesawat terbang" itu disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Dengan
lambaian tangan ribuan rakyatnya, burung-burung itupun mulai terbang
membawa sang Raja. Setelah berputar putar sekian lama, burung-burung
itupun mulai merasa lapar. Dilihatnya onggokan daging di atasnya,
keempat burung itu serentak mengerahkan tenaganya untuk meraihnya.
Semakin kuat keinginan mereka untuk meraih daging segar, lezat, dan
menggiurkan itu, semakin kuatkan tenaga penggeraknya, berarti semakin
tinggilah mereka terbang bersama sang raja. Sayang, daging segar itu tak
bisa diraihnya sama sekali, karena ditempatkan disati tempat yang tak
mungkin terjangkau oleh mereka.
Semakin
lapar, semakin bernafsu mereka untuk menggapainya, sampai akhirnya
mereka kehabisan tenaga. Seluruh tenaganya telah terkuras habis,
kepayahan diraskan ke seluruh anggota tubuh. Mereka mengalami kepayahan
yang amat sangat. Keinginan mereka untuk beristirahat tak mungkin bisa
dilakukan di ketinggian angkasa, sementara perut melilit tak
tertahankan. Akhirnya burung-burung itu meluncur ke bumi, jatuh terpuruk
bersama sang Raja. Mereka hancur berantakan bersama mimpi-mimpinya.
Apa
yang bisa kita petik dari tamsil kisah ini? Banyak orang yang
tergilincir jatuh karena mimpi-mimpinya. Mereka mengangankan sesuatu
yang tak bakal digapai kecuali dalam alam khayalnya.
Para
penyeru agama, sengaja ataupun tidak seringkali menjadikan ummatnya
seperti burung-burung rajawali yang tertipu seperti dalam kisah di atas.
Mereka memanipulasi ajaran zuhud bagai onggokan daging yang merangsang
dan menggiurkan. Dengan alasan untuk meningkatkan kehidupan ruhaninya,
mereka diajak terbang tinggi dan tinggi sekali. Untuk itu semua, mereka
menyiksa diri dengan membiarkan perutnya kelaparan tanpa isi.
Islam
adalah agama yang rasional, ia tidak saja memberikan bimbingan tapi
sekaligus memelihara fitrah manusia. Bahwa manusia bukanlah binatang,
tapi juga bukan malaikat. Manusia tetaplah manusia dengan segenap
kelebihan dan kekurangannya. Bahkan adanya kekurangan manusia itu
menunjukkan kesempurnaannya.
Bisa
jadi "onggokan daging" itu berupa paham bahwa guru sufi atau
mursyid adalah bayangan Allah di muka bumi, yang karenanya segala titah
dan perintahnya adalah juga titah dan perintah Tuhan. Kepadanya para
murid menyerahkan nasib baik buruknya. Penyerahan diri kepada sang Guru
ruhani atau pemimpin spiritualnya tak ubahnya seperti mayat yang diam
saja ketika dimandikan, dikafani, dan diusung dengan keranda ke liang
kubur.
Bisa
jadi "onggokan daging" itu berupa paham agama bahwa Tuhan
telah membagi-bagikan rizki kepada manusia dalam kadar yang telah
ditentukan-Nya, yang karenanya barangsiapa yang mencari rizki melebihi
kadar yang telah ditentukan untuknya berarti ia telah mengingkari
taqdir-Nya. Allah tentu murka kepadanya.
"Onggokan
daging" itu bisa berupa paham bahwa dunia ini tak lebih dari
bangkai busuk yang tak pantas bila dikaitkan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang mat tinggi dan mulia. Terlalu rendah bagi manusia yang
berusaha dan bekerja untuk mendapatkannya.
Dalam
kaitan ini Rasulullah Saw mengingatkan kita semua:
"Janganlah
kalian mencaci maki dunia. Dia adalah sebaik-baik kendaraan bagi seorang
mukmin . Dengannya kamu dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari
kejahatan." (HR ad-Dailami)
Untuk
mencapai kelezatan iman, manusia tidak perlu meninggalkan kehidupan
dunianya, menempuh cara hidup yang diciptakannya sendiri dalam suasana
yang tidak alami. Memencilkan diri dari kehidupan ramai, menolak total
aneka warna kehidupan untuk mencapai tingkat hakekat adalah kehidupan
zuhud yang ekstrim. Pola kehidupan seperti ini tak ubahnya seperti
burung rajawali yang ingin menggapai onggokan daging yang tak bakal
diperolehnya, selama-lamanya.
Terhadap
pola hidup seperti ini, Allah Swt secara tegas mematahkan argumentasi
mereka dengan firman-Nya:
"Katakanlah:
'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rizqi yang baik?' Katakanlah: 'Semua itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka
saja) di hari kiamat'. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui. (al-A'raaf: 32)
Dalam
konsep Islam, kehidupan dunia ini bukanlah untuk diludahi karena
kehidupan dunia bukanlah menjijikkan, bukan najis dan kotor. Sebaliknya,
kehidupan dunia adalah kudus, yang karenanya perlu disucikan dengan
produktivitas dan karya-karya besar. Kreativitas itu terus dikembangkan
sehingga menjadi lebih semarak, indah, dan makmur. Itulah tugas
kekhalifahan manusia di muka bumi.
Agama
Islam diturunkan bukan untuk memberkati lapar dan putus asa. Islam
didatangkan di permukaan bumi sebagai landasan bagi manusia agar
berusaha sekuat daya dan kemampuannya, tidak mudah lelah dan putus asa,
berusaha, berkarya, dan menikmati kehidupan dunia yang lebih baik.
Dengan
Islam hendaknya kaum Muslimin bangkit dari keterpurukannya, berangkat
menuju kehidupan, berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang dengan terus
menerus untuk mendapatkan segala yang terbaik di dunia ini. Dunia ini
bukan disiapkan untuk orang-orang kafir saja, tapi terutama adalah untuk
hamba-hamba-Nya yang shalih.
"Dan
sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah Kami tulis dalam Lauh
Mahfuhz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh."
(al-Anbiyaa: 105)
Jika
bumi ini diperuntukkan bagi hamba-hamba yang shalih, mengapa kita yang
seringkali mengaku kaum yang shalih tidak tergerak untuk mendapatkannya?
Mengapa kita puas ketika menerima sisa-sisa dari mereka? Ketika yang
baik-baik dari kehidupan dunia ini diambil oleh mereka, kita hanya
menonton sambil mengelus dada. Sampai kapan kita bisa lepas dari
belenggu ajaran sesat yang menjadikan ummat bagai rajawali-rajawali yang
menggapai-gapai onggokan daging yang kemudian jatuh terkulai? (Abu
Nafis)