Pendekatan
kurikulum masjid tentunya berdasarkan pada satu komitmen
penting yang seyogyanya dihayati oleh setiap pribadi
muslim. Persoalan penting dari kurikulum masjid bukanlah
semata-mata berorientasi pada rancang bangun masjid
secara fisik, tetapi titik tekannya (stressing)
adalah kepada bagaimana pembentukan struktur masyarakat
Islam modern yang selaras dengan kemajuan, sekaligus
dapat menjawab tantangan zaman. Apabila umat Islam masih
terbuai pada pembicaraan berkisar kecantikan, keindahan
dan kemegahan masjid atau ketepatan penggunaannya
semata-mata, dapat dipastikan hasil rancangan masjid
tidak akan mampu memenuhi persoalan-persoalan substansi
masyarakat apalagi sampai meyentuh ruh dari eksistensi
masjid itu sendiri sebagai simbol kejayaan umat Islam.
Pemikiran
ini bermula dari persoalan yang dihadapi umat Islam
dewasa ini. Umat Islam dan masjid nyaris seperti tidak
ada keterkaitan. Masjid dirasakan tidak lebih dari
sebuah bangunan persinggahan, tempat melepas lelah dan
menjalankan ibadah seremonial seperti sholat Jum’at
dan sholat Iedain (idul fitri dan idul adha). Selain itu
kelemahan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan
menuntut kita mengkaji ulang sejarah, fungsi dan peran
masjid pada zaman pembentukkan dan perkembangan Islam,
dimana saat itu masjid tidak hanya berfungsi sebagai
tempat ritual semata, tetapi juga sebagai pusat
kebudayaan, ilmu, ketatanegaraan, dll. padahal saat itu
masjid masih berbentuk sebuah bangunan biasa.
Agar
masjid benar-benar menjadi tumpuan umat dalam segala
aspek kehidupannya, maka persoalan tentang masjid hanya
bisa dijawab dengan cara kita mempersoalkan tentang apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat muslim untuk
membina umat yang kental menghadapi tantangan zaman.
Semua kegiatan hanya ditujukan untuk membangun dan
memberdayakan umat.
Salah
satu contoh tentang persoalan yang jarang kita
ketengahkan untuk merancang pendekatan pembangunan
masjid adalah persoalan tentang krisis identitaas
masyarakat Islam.
Krisis
identitaas yang melanda komunitas Islam dewasa ini bukan
karena ketiadaan objek-objek atau bahan-bahan visual
yang menggambarkan identitaasas Islam. Di zaman modern
ini cukup banyak simbol-simbol Islam seperti model
pakaian, masjid yang besar dan indah dengan corak Timur
Tengah dan slogan-slogan politik ala Islam.
Memang
umat Islam telah berusaha keras dengan membuat kurikulum
pendidikan yang bernuansa “keislaman” dalam
lembaga-lembaga sekolah dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah
(MI) sampai ke Perguruan Tinggi, selain itu mereka juga
masih membangun majlis-majlis Ta’lim. Tetapi marilah
kita mencoba melihat dengan jujur, apakah out put dari
proses pembelajaran itu telah dapat dikatakan
berhasil…?
Krisis
identitaas yang dimaksudkan di atas adalah kehilangan
perasaan keislaman di dalam budaya hidup masyarakat.
Bayangkan keadaan di mana proses pembesaran seorang
individu tidak lagi diikat dengan budaya-budaya
keislaman seperti upacara berkahan, marhaban, perkawinan
dan khatam al-Quran. Jika kita mengaamati proses
kehidupan sebuah keluarga baru di dalam masyarakat Islam
sekarang ini terutama di kota-kota besar. Upacara
pernikahan tidak lagi dibuat di masjid tetapi di rumah.
Ketika isteri melahirkan anak, budaya tentang akikah dan
kenduri marhaban serta upacara penamaan dan pengumuman
jarang sekali diadakan. Upacara berkahan berlaku
biasanya di klinik dan berakhir di rumah. Pembelajaran
seni mempertahankan diri dipelajari secara berasingan
dari agama Islam dan bertempat pada sesuatu yang bukan
dari semangat perjuangan Islam. Ayah dan ibu tidak lagi
memainkan peranan yang cukup signifikan dalam komunitas
Islam. Masjid dibangun biasanya dengan memberikan uang
dan mempercayakan sepenuhnya kepada kontraktor, para ibu
tidak lagi membuat konsumsi untuk para pekerja dan
digantikan dengan catering, membuat nilai
kegotong-royongan dan rasa memiliki masyarakat Islam
makin berkurang.
Walaupun
terdapat pelajaran-pelajaran di sekolah-sekolah yang
beridentitaskan Islam, tapi para ahli pendidikan banyak
yang mengatakan bahwa hal itu tidak lebih dari swekedar
proses penghafalan doktrin dan bukan membangun perasaan
keislaman.
Ada
banyak kesan terhadap krisis identitas ini. Gejala
sosial yang melanda remaja berkait erat dengan keadaan
remaja yang kurang mendapatkan tanggungjawab dalam
masyarakat. Orang dewasa yang menjadi ibu bapak (orang
tua) selalu disibukan mencari rezeki untuk memenuhi
hajat kehidupan yang mewah, sehingga mereka tidak
memiliki waktu lagi untuk memberikan perhatian,
pembinaan dan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Kerangka
Kurikulum Masjid
Sebuah
kurikulum merupakan suatu rancangan sistematik untuk
menghasilkan pelajar yang memenuhi cita-cita yang telah
ditentukan. Rancangan kurikulum bergantung kepada
situasi, kondisi, fisik dan psikologi pelajar, serta
tahap intelektual yang dikehendaki. Setelah memikirkan
tentang masalah-masalah utama yang dihadapi oleh
masyarakat Islam, kurikulum masjid hendaknya
mencanangkan rancangan utama diantarnya :
A.
Untuk menghasilkan individu muslim yang berfikiran
kritis, berkeadaan sehat dan mempunyai hubungan ukhuwah
yang kuat. Dari format ini, terdapat tiga objektif
kurikulum masjid yang dapat diperinci :
Pertama,
Menghasilkan Muslim yang dapat mencari dan menggunakan
sumber-sumber ilmu bagi pembangunan masyarakat.
Kedua,
Menghasilkan muslim yang memiliki hubungan silaturahim
kuat bagi sesama komunitas Islam.
Ketiga,
Menghasilkan Muslim yang mempunyai tubuh yang sehat dan
kuat agar mampu mempertahankan masyarakat, bangsa,
negara dan agama dari golongan yang sengaja membuat
kekacauan.
B.
Dalam pengisian akademik mempunyai beberapa hal penting
dalam pembinaan seorang muslim yang berilmu, beribadah,
bertanggungjawab dan berkepribadian tinggi.
Pertama,
Seorang muslim perlu memahami tanggungjawab individu
sebagai seorang muslim dari aspek memahami dan
mempraktikkan ibadah khusus dan tanggungjawab terhadap
keluarga, tetangga dan masyarakat. Mental seorang muslim
harus dibentuk agar ia lebih kritis mencari, memahami
dan menilai ilmu dan bukan bergantung semata-mata kepada
satu sumber ilmu saja.
Kedua,
Seorang muslim perlu menyadari tentang tanggungjawab
sebagai rakyat sebuah negara yang menjadi tanah tumpah
darahnya dengan memahami konteks sosial, politik,
ekonomi dan budaya setempat agar setiap muslim dapat
lebih berperan aktif dalam membangun negara.
Ketiga,
Seorang muslim perlu menyadari bagaimana tanggung
jawabnya terhadap sesama muslim di negara-negara lain
agar batasan geografi dan politik tidak memisahkan
ukhuwah kekeluargaan agama yang dituntut oleh Islam.
Keempat,
Seorang Muslim perlu mengetahui dan menghayati
tanggungjawabnya untuk mensyiarkan agama Islam kepada
orang-orang yang belum menerima penjelasan Islam dengan
baik. Muslim sejati harus bersedia menjadi pendakwah
yang berperan menjelaskan keharmonian Islam yang
dipraktekkannya dan bukan memaksa kaum lain.
Kelima,
Seorang muslim itu harus memiliki akhlak mulia dan dapat
menjadi pemimpin baik pada diri sendiri maupun bagi
ummat.
C.
Golongan remaja seharusnya diberikan perhatian khusus
sebagai generasi Islam yang mempunyai tanggungjawab
jelas. Mereka ini akan mewarisi budaya hidup Islam dan
memastikan keberlangsungannya di muka bumi ini.
D.
Kegiatan-kegiatan yang merupakan tradisi Islam seperti
hari keluarga, hari identitaas Islam (bersunat, akikah,
kelahiran, perkawinan), perayaan sejarah Islam (Perang
Badar, pembebasan Mekah dan sebagainya), kursus-kursus
motivasi dapat menemukan individu-individu serta
keluarga-keluarga supaya pertalian persahabatan dan
kekeluargaan menjadi lebih erat. Dengan cara ini, semua
komponen umat Islam dapat digerakkan untuk memenuhi
kebutuhan program-program pendidikan secara gotong-
royong.
Alangkah
indahnya jika kemakmuran masjid yang ditandai dengan
maraknya berbagai kegiatan pembinaan umat ini terwujud.
Dan dari pembinaan masjid, diharapkan melahirkan manusia
yang beriman, berilmu, bertaqwa dan berakhlakul karimah.
Penulis
: Satori ibnu Warsa