The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024
& 1367286044


Ambon Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

MENYIKAPI PROSES ISLAMISASI WARGA KRISTEN
KESUI-TEOR DAN BEBERAPA WILAYAH KRISTEN LAINNYA

Oleh: Jacky Manuputty

Pemberitaan seputar proses islamisasi warga Kristen di pulau Kesui dan Pulau Teor Kecamatan Geser, belakangan telah menjadi polemik hangat berbagai pihak. Baik yang ramai dibicarakan pada hampir semua segmen masyarakat di Maluku, maupun tanggapan berbagai pihak di tingkat nasional ataupun internasional. Ironisnya persoalan yang berkembang menjadi polemik terbuka - sejak sekumpulan warga dan sekaligus saksi mata proses islamisasi Kesui-Teor berhasil dievakuasi ke Ambon - cenderung terbingkai sebagai sebuah diskursus sosial semata.

Kesui - Teor

Baik penguasa darurat sipil, pihak gereja, serta berbagai institusi yang memiliki kompetensi pada upaya penanggulangan kasus ini seakan-akan kehabisan energi dan daya sinergis untuk sesegera mungkin menyeimbangkan percepatan perkembangan polemik disatu pihak, dengan percepatan operasional penanggulangan di pihak lainnya. PDS bukan saja terkesan lambat, tetapi disinyalir memperoleh tekanan yang cukup berat dari pihak perusuh yang merupakan kontributor kasus ini.

Dikhwatirkan bahwa langkah penyelesaian yang seakan-akan belum menemukan formatnya, akan memberi ruang bagi suatu upaya terstruktur dan sistematis pihak perusuh untuk terus berapologia sambil melakukan suatu proses destruksi dan bahkan dekonstruksi sosial masyarakat Kristen di Kesui dan Teor. Hal mana telah dilansir secara terbuka dalam beberapa pemberitaan media masa lokal di Ambon akhir-akhir ini. Celakanya bahwa proses destruksi tidak saja dialami sebagai suatu realitas sosial, tetapi juga suatu realitas kognitif dan moral. Proses pendidikan dalam upaya peralihan agama dibawah suatu kondisi traumatis dan bahkan ancaman, secara sangat jelas dan tegas merupakan suatu upaya paksa cuci otak menuju pada rekonstruksi sosial yang baru.

Bila demikian yang terjadi, maka ini merupakan suatu realitas pelanggaran HAM yang sangat biadab, yang bandingannya hanya bisa ditemukan pada berbagai camp konsentrasi perang dunia II ataupun pusat-pusat konsentrasi dan rehabilitasi pada sel-sel isolasi penjara pulau ataupun penjara-penjara bawah tanah. Tentunya akan sangat naïf bila upaya menyikapi keadaan ini hanya dilakukan melalui suatu kunjungan PDS yang direncanakan berlangsung di Kesui dan Teor. Bahkan mengirimkan tim investigasi kesanapun tak akan berarti banyak, jika semata-mata bertujuan pergi dengan membawa sejumlah pertanyaan didalam kategori "Benar-Tidak Benar".

Tegasnya suatu sikap responsive semata yang mengandaikan pembuktian empirik, tentunya tak akan berhasil efektif ditengah realitas korban yang mengalami situasi trauma serta destruksi moral dan kognisi. Karenanya suatu mekanisme investigasi barangkali akan terasa lebih efektif bila mendahuluinya diberikan ruang pastoral sebagai instrumen penyeimbang dalam situasi keterpurukan psikis dan moral masyarakat Kristen Kesui-Teor.

Tentunya hal ini mengandaikan keberanian moril PDS dalam proses tawar menawar, atau bahkan melalui suatu mekanisme represif terhadap pihak perusuh, guna mempersiapkan suatu ruang pastoral yang akan diisi oleh otoritas kelembagaan umat Kristen. Dalam hal ini direpresentasikan dengan keikut sertaan pihak Keuskupan dan Sinode GPM. Soal berikutnya adalah keberanian moril PDS untuk mengalokasikan lebih dahulu suatu ruang dan lokasi bebas tekanan, yang memungkinkan masyarakat Kristen Kesui-Teor berkumpul dan melakukan suatu percakapan pastoral terbuka dengan pihak counsellor dari Keuskupan dan Sinode GPM.

Bukankah pertemuan antara gembala dengan umatnya tidak saja merupakan kewajiban dalam kerangka pastoral gereja, tetapi sekaligus hak gereja yang dijaminkan dengan undang-undang?. Dengan demikian suatu mekanisme investigasi tidak saja diandaikan didalam kategori "Benar-Tidak", tetapi juga dengan mengakomodir kategori "Baik-Buruk" maupun "Tepat-Tidak Tepat".

Artinya dengan menisbikan tekanan dan ancaman yang berakibat langsung pada suatu kondisi destruktif korban, tidak saja akan memperoleh pembenaran hukum tetapi sekaligus pembenaran moril yang tentunya tak harus ditolak oleh pihak manapun juga. Disamping itu tentunya mekanisme investigasi atau apapun namanya harus berlangsung di dalam posisi yang sejajar dari setiap elemen yang terlibat dan berkepentingan terhadap hasilnya. Tanpa ada yang harus merasa tersub-ordinasi hanya karena alasan-alasan tertentu.

Adapun pandangan di atas secara langsung memperhadapkan gereja pada hak dan kewajibannya sebagai institusi resmi yang mengayomi umat, untuk menyikapi kondisi ini secara serius dan strategis. Persoalan besar kita selama dua tahun kerusuhan ternyata masih tetap bertumpu pada proses integrasi internal yang diandaikan dapat menghasilkan daya sinergis untuk mengadvokasi berbagai pihak berkaitan dengan kerusuhan dan dampak yang diakibatkannya.

Kasus Kesui-Teor merupakan instrumen penguji bagi gereja secara institusional dan umat Kristen secara menyeluruh, seberapa jauh gerak oikumenes yang mengakomodir seluruh potensi umat dikondisikan untuk menghadapi dan menyikapi realitas dimaksud. Kita tidak bisa lagi terbingkai didalam kecenderungan inferiority phobia [ketakutan minoritas] yang lalu serta merta membiarkan terjadinya proses reduksi terhadap hak-hak gereja secara institusional maupun hak-hak keumatan berdasarkan alasan picik stabilitas serta berbagai upaya stabilisasi situasi konflik.

Ini berarti proses penegakan hak tidak semata-mata melingkar secara ruwet pada tuntutan demi tuntutan, tetapi harus diperjuangkan dengan sangat sistematis, taktis dan berstruktur jelas. Untuk merealisasikan hal ini maka tidak lagi bisa ditunggu-tunggu suatu proses pembentukan badan oikumenes pengkajian dan penanggulangan masalah islamisasi di Maluku, mengingat kasus Kesui-Teor hanya satu dari sekian banyak kasus yang sama, yang bahkan belum terekspose sama sekali. Kita masih mencatat merebaknya isu terjadinya proses islamisasi pada jemaat-jemaat Kristen di seram Timur dan Seram Utara seperti Salas, Solan, Bonfia, Dawang, Lapela Kadeli, Nayet. Serta berbagai jemaat kecil lainnya di Pulau Buru dan Pulau Bacan.

Karenanya diperlukan suatu penyikapan yang sangat pro aktif dan tidak hanya menunggu datangnya satu atau beberapa orang saksi mata, yang dalam kenyataannya ternyata sulit sekali untuk melepaskan diri dari lokasi keterjebakan mereka. Pentingnya pembentukan suatu badan seperti dimaksud di atas mengingat kasus-kasus Islamisasi paksa bukan saja disatu pihak merupakan realitas pelanggaran HAM yang sangat hakiki, tetapi juga pada pihak lainnya menyentuh wilayah sensitifitas yang sangat krusial dan berpotensi aktif pada proses pelanggengan konflik. Dan bila dalam hal ini kita sama sepakat bahwa pemerintah tidak lagi mampu atau telah gagal untuk menjalankan fungsi perlindungan masyarakat, maka konsekwensi logis yang harus kita terima dan jalankan adalah meningkatnya suhu peperangan dan pertarungan dalam proses advokasi kasus ini.

Tentunya peperangan yang pertama adalah peperangan dengan seluruh mekanisme internal yang melemahkan daya sinergis kita selama ini. Bersamaan dengan itu suatu pertarungan untuk membentuk atau menghadirkan mekanisme perlindungan HAM yang representatif bisa diperoleh melalui lembaga-lembaga internasional. Tentunya ini bukan soal sepele yang hanya bisa dilakukan melalui proses surat menyurat, atau pembentukan opini publik lewat media pada strata lokal. Mengingat peliknya birokrasi international dalam kaitan dengan proses advokasi kasus-kasus seperti ini, maka sudah saatnya lembaga-lembaga gereja secara oikumenes membentuk suatu tim terpadu yang bertugas melakukan road show pada tingkat nasional dan international secara simultan.

Ini berarti dengan sendirinya kita memasuki wilayah kerja didalam network system yang tentunya akan sangat menguras energi, dan sudah pasti biaya. Dalam kaitan ini menarik sekali bila kita mengikuti debat paling akhir yang dilakukan pada House of Common parliament Inggris {dan justru dilakukan beberapa hari sebelum kasus Kesui-Teor merebak sebagai wacana publik di Ambon}, yang di dalamnya kasus Maluku serta proses islamisasi dibicarakan dengan sangat hangat.

Yang menarik untuk diamati bukan saja proses debatnya, tetapi juga bagaimana Jubilee Campaign dengan susah payah mengadvokasi kasus ini sebagai data acuan dalam proses debat perlemen, ditengah kesulitan mereka memperoleh akses data dan fakta secara langsung dari Ambon. Ini tentunya suatu kenyataan menarik untuk dikonfrontir dengan berbagai pihak di Maluku yang memiliki sekian banyak akses terhadap data dan fakta, namun yang cenderung disimpan sebagai referensi yang memperkaya suatu ruang debat kusir semata.

Contoh lain yang menarik untuk disikapi adalah permintaan pihak kedutaan besar Amerika di Jakarta untuk bertemu langsung dengan beberapa orang korban dan saksi mata kasus Kesui, dan melalui mereka akan dikoordinir suatu percakapan langsung yang melibatkan beberapa kedutaan lainnya. Kendala yang lalu muncul adalah siapakah yang harus membantu untuk paling tidak mengongkosi perjalanan dimaksud?. Masih banyak bandingan yang bisa diajukan untuk sekedar mengatakan bahwa secara internal kita cenderung berteriak-teriak sambil mengharapkan datangnya hasil yang memadai pada tataran keterlibatan internasional, namun kita tidak siap untuk menginvestasikan seluruh potensi dan sumber daya yang secara integrative sesungguhnya memiliki kekuatan yang cukup sinergis.

Tentunya ini bukan sikap generalisasi yang bermaksud untuk mereduksi upaya-upaya lepas, yang telah dilakukan dengan sunggung-sungguh oleh beberapa pihak dalam kaitan dengan kasus ini. Apa yang mau dikatakan bahwa pada kenyataannya kita masih belum memaksimalkan potensi internal kita yang, yang sesungguhnya memiliki suatu daya tekan yang efektif dan sinergis.

Kembali kepada soal Kesui-Teor dan lainnya, kita perlu segera mengintegrasikan seluruh potensi internal untuk menanggulanginya bersama-sama. Selain berbagai lobi yang sementara dilakukan untuk kasus Kesui-Teor maka penanganan berbagai wilayah lainpun harus segera masuk dalam skala prioritas bertahap. Untuk maksud tersebut barangkali tepat untuk mengkaji dan merealisasikan suatu langkah "silent operation" pada beberapa wilayah dengan isu islamisasi yang kuat, seperti yang terjadi pada jemaat-jemaat kecil di kawasan Seram Utara dan Seram Timur.

Tujuan dari langkah ini pertama-tama tentunya mengadakan pemetaan secara menyeluruh dan akurat kondisi yang sesungguhnya terjadi pada berbagai jemaat tersebut. Untuk maksud ini tentunya tim yang bergerak perlu dilengkapi penuh dengan berbagai perlengkapan yang menunjang operasionalisasi maksud di atas.

Langkah berikutnya yang menjadi tanggung jawab tim ini adalah merealisasikan pemasangan beberapa jaringan komunikasi lintas Seram, yang diandaikan dapat menunjang koordinasi langkah-langkah penanggulangan selanjutnya, berdasarkan jaringan akses informasi yang cukup solid.

Selanjutnya menjadi tanggung jawab tim pula untuk sesegera mungkin membawa keluar beberapa saksi mata dari setiap jemaat yang kedapatan positif mengalami proses islamisasi paksa. Melalui beberapa langkah pada tahap pertama ini, diharapkan kita dapat menentukan posisi sikap strategis berikutnya, baik dalam upaya penanggulangan yang lebih baik (evakuasi misalnya), ataupun dalam upaya-upaya menggalang dukungan internasional.

BERSAMBUNG


Received via email from: Alifuru67@egroups.com

Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/maluku67
Send your comments to alifuru67@egroups.com