WB01042_.GIF (955 bytes) TELAAH UTAMA


Agama di Balik Keberingasan
Pasukan Salib
Tak dapat dipungkiri, pembantaian yang dilakukan pasukan Salibis terhadap umat Islam adalah lantaran sentimen agama...

Akhirnya kekhawatiran  Amien Rais terbukti. Akibat kelambanan pemerintah dalam menyelesaikan konflik Maluku, Mataram pun meledak. “Kalau peristiwa Ambon sudah menjalar sampai ke Mataram menuju ke Barat maka Bali bisa kena juga. Kalau ini sampai terjadi di daerah-daerah yang banyak turisnya, akan mengurangi income kita,” kata Amien. Menurut Ketua MPR ini, jika kekhawatiran itu betul-betul terjadi, maka demokrasi yang kita cita-citakan akan hilang. “Kita kembali ke titik satu lagi seperti dua tahun yang lalu, dan ini berbahaya,” ujarnya.
          Untungnya kerusuhan di Mataram berhasil dengan cepat dikendalikan aparat. Tak ada korban dari pihak Kristen. Yang ada justru dari kalangan Islam, setelah aparat bertindak tegas terhadap mereka, berakibat bentrokan tak terhindarkan. Lantas, mengapa aparat tak pernah tegas dengan konflik yang terjadi di Maluku? Lebih dari setahun pertikaian di Ambon berlangsung, tapi hingga kini belum ada titik-titik terang akan selesainya konflik tersebut. Ada apa? Padahal untuk letupan di Mataram dengan sigapnya aparat mematahkan kerusuhan, sehingga tak menjalar ke mana-mana.
         Menurut sumber SABILI, jelas ada tangan-tangan jahat yang bermain lewat kerusuhan Mataram dalam rangka untuk membalikkan opini, sehingga umat Islam kembali jadi tertuduh. “Pembunuhan besar-besaran di Maluku jadi tenggelam dan semua nanti membicarakan pembakaran gereja. Akhirnya umat Islam yang dipojokkan. Sebenarnya ini sebuah skenario,” kata Eggy Sudjana yang dituding berada di balik kerusuhan Mataram. Apalagi, menurut Sosiolog UI Dr. Imam Prasodjo, Mataram meledak saat tabligh akbar sedang berlangsung. “Tabligh akbar belum selesai, gereja di samping Kantor Wali Kota telah terbakar. Jadi tabligh akbar bukan pemicu kerusuhan. Saya punya saksi seorang ibu,” katanya.
         Toh kerusuhan Mataram sudah berhasil dikendalikan. Sementara belum jelasnya kapan konflik Maluku berakhir, agaknya berkaitan erat dengan akar konflik yang lebih dilatarbelakangi sentimen agama. Jelas, misi Kristen dengan semangat Gold, Gospel dan Glory membuat konflik Maluku tak kunjung usai. Toh pembantaian demi pembantaian yang mereka lakukan atas umat Islam, jelas membuat kalangan Kristen jadi ketar-ketir, lantaran mereka khawatir kemungkinan umat Islam akan melakukan pembalasan. Mereka tentu sadar, bahwa keberingasan yang telah dilakukan pasukan Salib di Maluku akan sangat membekas di hati kaum muslimin. Belum lagi aparat yang ketahuan berpihak pada pasukan Salib. Sumber SABILI dari kalangan militer misalnya menceritakan, saat Pangdam Pattimura Maxtamaela, seorang Kristen, disarankan membersihkan sniper-sniper pasukan Salib yang bersembunyi di beberapa tempat strategis, Max justru mencegahnya dan meminta pembersihan dilakukan esok harinya.

        Tapi, esoknya, ketika aparat mau membersihkan gedung yang dikuasai para sniper itu, wuih, pasukan Salib sudah menghilang. Jelas, Pangdam dan aparat keamanan dari kalangan Salibis turut bermain.
       Sementara kaum muslimin Maluku diinjak-injak, di Jakarta Munashoroh tentang tragedi Maluku rada dipersulit. Beberapa tabligh akbar berkenaan dengan tragedi Maluku yang rencananya digelar di kawasan Jabotabek urung dilaksanakan. Ada tekanan dari aparat? Bisa jadi. Di Bojong Gede, Bogor, misalnya, dalam sebuah acara pengumpulan dana, foto-foto tragedi Maluku oleh aparat setempat tak boleh dipamerkan. Hal yang mirip-mirip dengan Bojong Gede terjadi pula di Masjid Babussalam, Perumnas Klender, Jakarta Timur.
        Sehari sebelum acara berlangsung, aparat keamanan mendatangi panitia, dan mempertanyakan acara Munashoroh tentang tragedi Maluku yang digelar 23 Januari lalu. Saat hari ‘H’ nya, massa jamaah yang memadati masjid itu jadi kecewa, gara-gara petugas keamanan yang datang seabreg, melarang pemutaran film tentang tragedi Maluku. Perundingan berlangsung alot. Panitia beralasan, jamaah akan kecewa dengan pelarangan ini. Akhirnya, saking lamanya panitia berunding dengan petugas, sebagian jamaah pun keburu meninggalkan tempat. Film memang sempat diputar tapi hanya sebagian. Dan yang menyebalkan, petugas meminta panitia untuk mengecilkan loud speaker, tak boleh keras-keras. Huuh ...! Jadi teringat tahun 1980-an.
        Sementara di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, acara tabligh akbar yang dikoordinir RISKA (Remaja Islam Sunda Kelapa) batal digelar. Mengapa?
Menurut surat pembatalan dari Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa yang ditandatangani Ketua Umumnya, Ir. H. Hasjrul Harahap, dan ditujukan pada Ketua Umum RISKA, pertimbangan pembatalan acara tabligh 23 Januari lalu itu, telah diputuskan dalam rapat Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa tanggal 22 Januari 2000. Alasannya: pertama, acara tersebut bersamaan waktunya dengan acara resepsi pernikahan yang telah ditentukan jauh hari sebelumnya. Kedua, untuk mendukung terciptanya suasana yang sejuk di tengah kondisi sosial saat ini.
        Namun menurut sumber SABILI di lingkungan Masjid Sunda Kelapa, sebetulnya tak ada kaitannya antara acara resepsi dengan tabligh akbar, karena resepsi berlangsung di aula, sedang tabligh di masjidnya. “Saya tidak tahu apakah ada tekanan dari pihak aparat, yang jelas mereka sangat khawatir akan terjadi kejadian yang tak diinginkan, karena masjid berdekatan dengan gereja dan rumah dinas wapres Megawati,” tutur sumber tersebut.
        Dugaan adanya tekanan atau manuver dari aparat keamanan, makin kuat, lantaran Panglima TNI Widodo sendiri mengatakan pada SABILI, bahwa pihaknya sangat mencermati konsentrasi massa. “Bila tidak dicermati, maka menjadi tidak terkendali,” katanya. Karena itulah, kata Panglima, pihak aparat, baik TNI maupun Polri sedapat mungkin mencegah kerumunan massa yang bisa menimbulkan kerusuhan dan keberingasan. Tragedi Bosnia adalah contoh lain dari keberingasan itu. Sebuah tragedi yang disebut-sebut sebagai kelanjutan dari perang Salib itu, kemudian berhasil membantai—setidaknya sampai bulan April 1992—80 ribu muslim-muslimah.
        “Bagaimanakah chetnik-chetnik Serbia itu dapat mengenali orang-orang Islam, padahal mereka berpakaian sama dengan etnik Serbia? Mudah saja. Pasukan Salibis Serbia itu menelanjangi orang-orang yang dicurigainya. Bila ternyata orang itu berkhitan, maka dia muslim. Cara seperti ini mereka lakukan di Bilina. Orang-orang yang didapati berkhitan mereka bunuh. Mereka menorehkan salib dengan pisau di tubuh orang Islam,” tulis Muhammad Abdul Mun’im dalam Jihad di Bosnia. Sadisnya Serbia tak dapat dipungkiri. Konon lebih kejam dari Nazi. Setelah pembantaian atas muslim Bosnia mereda, kaum Salibis pun mengarahkan sasarannya pada muslim Kosova. Rupanya Serbia tak rela dengan kemerdekaan Kosova, 1991, setelah 90% rakyatnya—lewat referendum—menginginkan lepas dari Serbia.
        Pembantaian demi pembantaian terhadap kaum muslimin, memang, bukan cerita baru. Dendam kesumat kaum kuffar terhadap kaum muslimin tak pernah pudar. Al-Qur’an banyak mengabadikan kisah pembantaian yang dilakukan kaum pembangkang terhadap orang-orang beriman. Rentetan sejarah yang diceritakan Al-Qur’an terus berulang. Pada 1096 M, Paus Urbanus II dengan beringasnya melakukan pembantaian terhadap kaum muslimin. Lebih dari 70 ribu muslim mati syahid.
        Bahwa konflik, peperangan dan pembantaian yang dilakukan kaum Salibis atas umat Islam lantaran sentimen keagamaan, tak dapat dipungkiri. Kebiadaban dan keberingasan pasukan Salibis di Maluku terhadap kaum muslimin, atas dasar agama, adalah contoh lainnya. Meski seorang Mandagi, Uskup Amboina di Ambon, menganggapnya sebagai tafsiran—karena itu menurutnya, bila ada isu demikian, “Marilah kita sama-sama bicarakan,”—toh seorang Suaidi Marasabessy yang mantan Pangdam Pattimura dan putra asli Maluku, juga punya keyakinan, bahwa konflik di Maluku merupakan konflik agama. Suaidi, kini Kasum TNI, pun menyatakan keheranannya terhadap berbagai analisis pakar tentang konflik Maluku, lantaran tak berani menyebutnya sebagai konflik yang dilatarbelakangi agama. “Padahal nyata-nyata yang terjadi adalah konflik karena agama,” tandasnya.
        Kepada SABILI, Ketua Timsus 19 (masalah Maluku) ini menegaskan, “Konflik di sana adalah konflik agama. Karenanya, bila pemahaman masalah tidak tepat, maka identifikasinya bisa salah, penyelesaiannya pu n salah. Kalau masalahnya politik, maka penyelesaiannya dengan bagi-bagi jabatan. Tapi karena merupakan konflik agama, maka peredaman konflik di sana adalah dengan cara pembagian demarkasi menurut agama.” Nah, lantaran faktor agama inilah pertikaian di Maluku cenderung berlarut-larut. Semangat untuk memaksakan kehendak dan mengganti satu wilayah menjadi wilayah agama tertentu, membuat masalah jadi semakin tak berkesudahan.
        Akan halnya kaum muslimin di Maluku, karena merasa agamanya diinjak-injak, dihina dan dinista, mereka pun bangkit. Sehingga, kabarnya, kaum remaja yang biasa mabuk-mabukan dan ngeboat saja pun kini sadar, dan turun ke medan jihad, membela agamanya. Rasa harga diri (‘izzah) kaum muslimin yang aqidahnya terancam dan hatinya tercabik-cabik kini kontan muncul. Mereka jelas tak rela negeri ini dicabik-dicabik. Mengingat pertikaian di Maluku merupakan konflik agama, sebagaimana dikatakan Suaidi, maka otomatis setiap orang (termasuk prajurit TNI/Polri) akan terusik rasa keimanan/aqidahnya. Karena itulah, umat Islam khususnya, merasakan adanya sikap keberpihakan aparat keamanan, baik oknum ataupun kesatuan/korps tertentu kepada salah satu kelompok agama yang bertikai.
        Dendam kesumat. Itulah yang kini merasuk dalam hati dan pikiran kaum Salibis terhadap umat Islam, termasuk di Maluku. Yusuf Rahimi, salah seorang tokoh Maluku, memaparkan secara historis asal-usul dendamnya kelompok Kristen pada kaum muslimin. Menurutnya, Islam lebih dahulu masuk ke Maluku, pada abad ke-13, melalui perdagangan. Bangsawan Ternate dan Hitu termasuk deretan yang paling awal menerima Islam. Sejak itulah Islam menyebar secara luas ke seluruh Jazirah Al-Mulk selama tiga abad.
       Setelah Perang Salib, abad ke-17, Portugis masuk ke Maluku. “Motivasi Portugis ke Maluku tak hanya karena rempah-rempahnya, tetapi lebih banyak karena dendam, setelah mengalami kekalahan pada perang Salib dari umat Islam. Karena itu, kedatangan Portugis tak hanya membawa misi dagang (Gold), tetapi lebih dari itu, yakni misi agama. Namun karena agama yang disebarkan Portugis dilakukan dengan cara kekerasan, maka perang agama pun tak terelakan,” urainya.
       Yusuf pun yakin, perang yang sekarang terjadi di Maluku adalah perang agama untuk yang kedua kalinya. “Satu abad Portugis berkuasa, satu abad pula perang agama berlangsung,” tuturnya. Setelah itu masuklah Belanda. Motivasinya ekonomi, bukan agama. Penjajah tiga setengah abad Indonesia ini masuk ke Maluku, lantaran pelabuhan Lisabon ditutup. Ketika Belanda masuk, tengah berlangsung perang antara kerajaan Hitu (Islam) dengan Portugis. Belanda pun membantu Hitu. Akhirnya Portugis dapat diusir dari Maluku. Bahwa Belanda yang Protestan itu memilih berseteru dengan Portugis yang katolik, itu ada ceritanya.
Menurut pakar sejarah dari Unpad, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, ketika bergulir, istilah “Reformasi” diartikan oleh pembuat rusuh (trouble maker) di Ambon sebagai perang agama, sebagaimana halnya yang terjadi di Eropa antara gerakan Reformasi Protestan melawan gerakan Kontra Reformasi Katolik pada abad ke-16 dan 17, atau seperti sekarang yang masih berlangsung di Inggris.
        “Istilah Reformasi mulai dikenal oleh masyarakat Eropa dengan makna gerakan Protestan. Hal ini akibat adanya gerakan protes Martin Luther di Jerman, terhadap upaya penjualan Surat Aflat atau ‘Surat Pengampunan’ oleh Paus X, yang dinilainya sebagai tindakan ‘bid’ah’,” urai Mansyur. Kelanjutannya, tulis Mansyur dalam Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama, gerakan Reformasi berubah menjadi gerakan nasionalisme dengan pengertian sebagai gerakan anti penjajah Katolik di Eropa. Perang agama antara Reformasi Protestan melawan Kontra Reformasi Katolik pun tak terhindarkan.
        Dari sinilah benang merahnya, mengapa antara Belanda yang Protestan dengan Portugis yang Katolik saling bermusuhan, sebagaimana paparan Yusuf Rahimi tadi. Dan, tambah Mansyur, gambaran daratan Eropa yang berkeping-keping, sekali lagi, merupakan sebagai produk Reformasi. “Kenyataan sejarah ini sebagai bukti bahwa Reformasi di Eropa ternyata menumbuhkan perang agama. Tidak hanya antara Protestan lawan Katolik, tetapi berlanjut dengan perang Kerajaan Katolik Perancis melawan Kerajaan Katolik Spanyol, dan seterusnya,” ujarnya lagi.
         Selanjutnya, kata Mansyur, perang agama di Eropa melahirkan konsep kenegaraan One Teritorial One Faith—Satu Wilayah Satu Agama. “Agama Kristen pasang kuda-kuda supaya seluruh wilayah jadi Kristen,” kata Dr. Thamrin Amal Tomagola, Sosiolog UI asal Maluku. Artinya, sebuah keinginan untuk memecah belah Eropa menjadi banyak negara agama yang kecil-kecil, hanya seluas provinsi atau sebuah pulau di Indonesia. Makanya, dalam konteks ini keterlibatan pihak asing macam Belanda terhadap konflik di Maluku patut dicurigai sekaligus diwaspadai. Mereka punya niat jahat, ingin membuat Indonesia jadi berkeping-keping.
         Terlebih lagi upaya-upaya yang mereka lakukan lewat Kristenisasi yang belakangan makin intensif, menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, jelas makin memperkuat kecurigaan di kalangan kaum muslimin. Kalau kristalisasi ini makin mengeras, sebagaimana yang terjadi di Maluku, kata Rektor IAIN Jakarta ini, maka mau tidak mau simbol-simbol agama akan muncul ke permukaan. “Kalangan Kristen menyatakan, itu sebagai perang Salib, dan sebaliknya umat Islam menganggapnya sebagai perang Sabil,” katanya.
         Nah, bila sudah begitu, keberingasan yang terjadi di Maluku bisa terjadi di mana-mana, terutama di wilayah yang umat Islamnya minoritas. Perang antara 'Sabil' dengan 'Salib' boleh jadi tinggal menunggu waktu, terutama bila pemerintah dan aparat keamanan masih tetap memble, apalagi berpihak! Sebagaimana yang terjadi di Maluku.
Kesabaran kaum muslimin tentu ada batasnya. Ketika kezaliman demi kezaliman terus diperlakukan terhadap umat Islam. Ketika kaum muslimin terus diperangi dan dibantai. Maka, yang berlaku adalah qishos. Atau seperti diungkapkan Prof. Dr. Nurcholis Madjid, “Allah tidak suka pada kezaliman, maka kalau kita dizalimi, kita boleh balas, tapi jangan berlebihan!”
n

M. Ubay Salman
Laporan: Alim, Eman, Mia, Rivai, Wasilah

   


HAK CIPTA © PT. BINA MEDIA SABILI 1999
JL. Cipinang Cempedak II/16 Polonia, Jakarta Timur 13340 INDONESIA
Design by : CYBERNEWS SABILI