|
|
|
|
TELAAH
UTAMA
|
Agama di Balik Keberingasan
Pasukan
Salib Tak dapat dipungkiri,
pembantaian yang dilakukan pasukan Salibis terhadap umat Islam
adalah lantaran sentimen
agama...
|
Akhirnya
kekhawatiran Amien Rais terbukti. Akibat kelambanan
pemerintah dalam menyelesaikan konflik Maluku, Mataram pun
meledak. “Kalau peristiwa Ambon sudah menjalar sampai ke
Mataram menuju ke Barat maka Bali bisa kena juga. Kalau ini
sampai terjadi di daerah-daerah yang banyak turisnya, akan
mengurangi income kita,” kata Amien. Menurut Ketua MPR
ini, jika kekhawatiran itu betul-betul terjadi, maka demokrasi
yang kita cita-citakan akan hilang. “Kita kembali ke titik
satu lagi seperti dua tahun yang lalu, dan ini
berbahaya,”
ujarnya.
Untungnya kerusuhan di Mataram berhasil dengan cepat
dikendalikan aparat. Tak ada korban dari pihak Kristen. Yang
ada justru dari kalangan Islam, setelah aparat bertindak tegas
terhadap mereka, berakibat bentrokan tak terhindarkan. Lantas,
mengapa aparat tak pernah tegas dengan konflik yang terjadi di
Maluku? Lebih dari setahun pertikaian di Ambon berlangsung,
tapi hingga kini belum ada titik-titik terang akan selesainya
konflik tersebut. Ada apa? Padahal untuk letupan di Mataram
dengan sigapnya aparat mematahkan kerusuhan, sehingga tak
menjalar ke
mana-mana.
Menurut sumber SABILI, jelas ada tangan-tangan jahat yang
bermain lewat kerusuhan Mataram dalam rangka untuk membalikkan
opini, sehingga umat Islam kembali jadi tertuduh. “Pembunuhan
besar-besaran di Maluku jadi tenggelam dan semua nanti
membicarakan pembakaran gereja. Akhirnya umat Islam yang
dipojokkan. Sebenarnya ini sebuah skenario,” kata Eggy Sudjana
yang dituding berada di balik kerusuhan Mataram. Apalagi,
menurut Sosiolog UI Dr. Imam Prasodjo, Mataram meledak saat
tabligh akbar sedang berlangsung. “Tabligh akbar belum
selesai, gereja di samping Kantor Wali Kota telah terbakar.
Jadi tabligh akbar bukan pemicu kerusuhan. Saya punya saksi
seorang ibu,”
katanya.
Toh kerusuhan Mataram sudah berhasil dikendalikan. Sementara
belum jelasnya kapan konflik Maluku berakhir, agaknya
berkaitan erat dengan akar konflik yang lebih dilatarbelakangi
sentimen agama. Jelas, misi Kristen dengan semangat Gold,
Gospel dan Glory membuat konflik Maluku tak kunjung usai. Toh
pembantaian demi pembantaian yang mereka lakukan atas umat
Islam, jelas membuat kalangan Kristen jadi ketar-ketir,
lantaran mereka khawatir kemungkinan umat Islam akan melakukan
pembalasan. Mereka tentu sadar, bahwa keberingasan yang telah
dilakukan pasukan Salib di Maluku akan sangat membekas di hati
kaum muslimin. Belum lagi aparat yang ketahuan berpihak pada
pasukan Salib. Sumber SABILI dari kalangan militer misalnya
menceritakan, saat Pangdam Pattimura Maxtamaela, seorang
Kristen, disarankan membersihkan sniper-sniper pasukan Salib
yang bersembunyi di beberapa tempat strategis, Max justru
mencegahnya dan meminta pembersihan dilakukan esok harinya.
Tapi, esoknya, ketika aparat mau membersihkan gedung yang
dikuasai para sniper itu, wuih, pasukan Salib sudah
menghilang. Jelas, Pangdam dan aparat keamanan dari kalangan
Salibis turut bermain.
Sementara kaum muslimin Maluku diinjak-injak, di Jakarta
Munashoroh tentang tragedi Maluku rada dipersulit. Beberapa
tabligh akbar berkenaan dengan tragedi Maluku yang rencananya
digelar di kawasan Jabotabek urung dilaksanakan. Ada tekanan
dari aparat? Bisa jadi. Di Bojong Gede, Bogor, misalnya, dalam
sebuah acara pengumpulan dana, foto-foto tragedi Maluku oleh
aparat setempat tak boleh dipamerkan. Hal yang mirip-mirip
dengan Bojong Gede terjadi pula di Masjid Babussalam, Perumnas
Klender, Jakarta
Timur. Sehari
sebelum acara berlangsung, aparat keamanan mendatangi panitia,
dan mempertanyakan acara Munashoroh tentang tragedi Maluku
yang digelar 23 Januari lalu. Saat hari ‘H’ nya, massa jamaah
yang memadati masjid itu jadi kecewa, gara-gara petugas
keamanan yang datang seabreg, melarang pemutaran film tentang
tragedi Maluku. Perundingan berlangsung alot. Panitia
beralasan, jamaah akan kecewa dengan pelarangan ini. Akhirnya,
saking lamanya panitia berunding dengan petugas, sebagian
jamaah pun keburu meninggalkan tempat. Film memang sempat
diputar tapi hanya sebagian. Dan yang menyebalkan, petugas
meminta panitia untuk mengecilkan loud speaker, tak boleh
keras-keras. Huuh ...! Jadi teringat tahun 1980-an.
Sementara di
Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, acara
tabligh akbar yang dikoordinir RISKA (Remaja Islam Sunda
Kelapa) batal digelar. Mengapa? Menurut surat pembatalan
dari Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa yang ditandatangani
Ketua Umumnya, Ir. H. Hasjrul Harahap, dan ditujukan pada
Ketua Umum RISKA, pertimbangan pembatalan acara tabligh 23
Januari lalu itu, telah diputuskan dalam rapat Pengurus Masjid
Agung Sunda Kelapa tanggal 22 Januari 2000. Alasannya:
pertama, acara tersebut bersamaan waktunya dengan acara
resepsi pernikahan yang telah ditentukan jauh hari sebelumnya.
Kedua, untuk mendukung terciptanya suasana yang sejuk di
tengah kondisi sosial saat
ini. Namun
menurut sumber SABILI di lingkungan Masjid Sunda Kelapa,
sebetulnya tak ada kaitannya antara acara resepsi dengan
tabligh akbar, karena resepsi berlangsung di aula, sedang
tabligh di masjidnya. “Saya tidak tahu apakah ada tekanan
dari pihak aparat, yang jelas mereka sangat khawatir akan
terjadi kejadian yang tak diinginkan, karena masjid berdekatan
dengan gereja dan rumah dinas wapres Megawati,” tutur
sumber tersebut.
Dugaan adanya tekanan atau manuver dari aparat keamanan, makin
kuat, lantaran Panglima TNI Widodo sendiri mengatakan pada
SABILI, bahwa pihaknya sangat mencermati konsentrasi massa.
“Bila tidak dicermati, maka menjadi tidak terkendali,”
katanya. Karena itulah, kata Panglima, pihak aparat, baik TNI
maupun Polri sedapat mungkin mencegah kerumunan massa yang
bisa menimbulkan kerusuhan dan keberingasan. Tragedi Bosnia
adalah contoh lain dari keberingasan itu. Sebuah tragedi yang
disebut-sebut sebagai kelanjutan dari perang Salib itu,
kemudian berhasil membantai—setidaknya sampai bulan April
1992—80 ribu muslim-muslimah.
“Bagaimanakah
chetnik-chetnik Serbia itu dapat mengenali orang-orang Islam,
padahal mereka berpakaian sama dengan etnik Serbia? Mudah
saja. Pasukan Salibis Serbia itu menelanjangi orang-orang yang
dicurigainya. Bila ternyata orang itu berkhitan, maka dia
muslim. Cara seperti ini mereka lakukan di Bilina. Orang-orang
yang didapati berkhitan mereka bunuh. Mereka menorehkan salib
dengan pisau di tubuh orang Islam,” tulis Muhammad Abdul
Mun’im dalam Jihad di Bosnia. Sadisnya Serbia tak dapat
dipungkiri. Konon lebih kejam dari Nazi. Setelah pembantaian
atas muslim Bosnia mereda, kaum Salibis pun mengarahkan
sasarannya pada muslim Kosova. Rupanya Serbia tak rela dengan
kemerdekaan Kosova, 1991, setelah 90% rakyatnya—lewat
referendum—menginginkan lepas dari
Serbia.
Pembantaian demi pembantaian terhadap kaum muslimin, memang,
bukan cerita baru. Dendam kesumat kaum kuffar terhadap kaum
muslimin tak pernah pudar. Al-Qur’an banyak mengabadikan kisah
pembantaian yang dilakukan kaum pembangkang terhadap
orang-orang beriman. Rentetan sejarah yang diceritakan
Al-Qur’an terus berulang. Pada 1096 M, Paus Urbanus II dengan
beringasnya melakukan pembantaian terhadap kaum muslimin.
Lebih dari 70 ribu muslim mati
syahid. Bahwa
konflik, peperangan dan pembantaian yang dilakukan kaum
Salibis atas umat Islam lantaran sentimen keagamaan, tak dapat
dipungkiri. Kebiadaban dan keberingasan pasukan Salibis di
Maluku terhadap kaum muslimin, atas dasar agama, adalah contoh
lainnya. Meski seorang Mandagi, Uskup Amboina di Ambon,
menganggapnya sebagai tafsiran—karena itu menurutnya, bila ada
isu demikian, “Marilah kita sama-sama bicarakan,”—toh seorang
Suaidi Marasabessy yang mantan Pangdam Pattimura dan putra
asli Maluku, juga punya keyakinan, bahwa konflik di Maluku
merupakan konflik agama. Suaidi, kini Kasum TNI, pun
menyatakan keheranannya terhadap berbagai analisis pakar
tentang konflik Maluku, lantaran tak berani menyebutnya
sebagai konflik yang dilatarbelakangi agama. “Padahal
nyata-nyata yang terjadi adalah konflik karena agama,”
tandasnya.
Kepada SABILI, Ketua Timsus 19 (masalah Maluku) ini
menegaskan, “Konflik di sana adalah konflik agama.
Karenanya, bila pemahaman masalah tidak tepat, maka
identifikasinya bisa salah, penyelesaiannya pu n salah. Kalau
masalahnya politik, maka penyelesaiannya dengan bagi-bagi
jabatan. Tapi karena merupakan konflik agama, maka peredaman
konflik di sana adalah dengan cara pembagian demarkasi menurut
agama.” Nah, lantaran faktor agama inilah pertikaian di
Maluku cenderung berlarut-larut. Semangat untuk memaksakan
kehendak dan mengganti satu wilayah menjadi wilayah agama
tertentu, membuat masalah jadi semakin tak berkesudahan.
Akan halnya
kaum muslimin di Maluku, karena merasa agamanya diinjak-injak,
dihina dan dinista, mereka pun bangkit. Sehingga, kabarnya,
kaum remaja yang biasa mabuk-mabukan dan ngeboat saja pun kini
sadar, dan turun ke medan jihad, membela agamanya. Rasa harga
diri (‘izzah) kaum muslimin yang aqidahnya terancam dan
hatinya tercabik-cabik kini kontan muncul. Mereka jelas tak
rela negeri ini dicabik-dicabik. Mengingat pertikaian di
Maluku merupakan konflik agama, sebagaimana dikatakan Suaidi,
maka otomatis setiap orang (termasuk prajurit TNI/Polri) akan
terusik rasa keimanan/aqidahnya. Karena itulah, umat Islam
khususnya, merasakan adanya sikap keberpihakan aparat
keamanan, baik oknum ataupun kesatuan/korps tertentu kepada
salah satu kelompok agama yang bertikai.
Dendam kesumat.
Itulah yang kini merasuk dalam hati dan pikiran kaum Salibis
terhadap umat Islam, termasuk di Maluku. Yusuf Rahimi, salah
seorang tokoh Maluku, memaparkan secara historis asal-usul
dendamnya kelompok Kristen pada kaum muslimin. Menurutnya,
Islam lebih dahulu masuk ke Maluku, pada abad ke-13, melalui
perdagangan. Bangsawan Ternate dan Hitu termasuk deretan yang
paling awal menerima Islam. Sejak itulah Islam menyebar secara
luas ke seluruh Jazirah Al-Mulk selama tiga
abad. Setelah Perang
Salib, abad ke-17, Portugis masuk ke Maluku. “Motivasi
Portugis ke Maluku tak hanya karena rempah-rempahnya, tetapi
lebih banyak karena dendam, setelah mengalami kekalahan pada
perang Salib dari umat Islam. Karena itu, kedatangan Portugis
tak hanya membawa misi dagang (Gold), tetapi lebih dari itu,
yakni misi agama. Namun karena agama yang disebarkan Portugis
dilakukan dengan cara kekerasan, maka perang agama pun tak
terelakan,”
urainya. Yusuf pun
yakin, perang yang sekarang terjadi di Maluku adalah perang
agama untuk yang kedua kalinya. “Satu abad Portugis berkuasa,
satu abad pula perang agama berlangsung,” tuturnya. Setelah
itu masuklah Belanda. Motivasinya ekonomi, bukan agama.
Penjajah tiga setengah abad Indonesia ini masuk ke Maluku,
lantaran pelabuhan Lisabon ditutup. Ketika Belanda masuk,
tengah berlangsung perang antara kerajaan Hitu (Islam) dengan
Portugis. Belanda pun membantu Hitu. Akhirnya Portugis dapat
diusir dari Maluku. Bahwa Belanda yang Protestan itu memilih
berseteru dengan Portugis yang katolik, itu ada
ceritanya. Menurut pakar sejarah dari Unpad, Prof. Ahmad
Mansyur Suryanegara, ketika bergulir, istilah “Reformasi”
diartikan oleh pembuat rusuh (trouble maker) di Ambon sebagai
perang agama, sebagaimana halnya yang terjadi di Eropa antara
gerakan Reformasi Protestan melawan gerakan Kontra Reformasi
Katolik pada abad ke-16 dan 17, atau seperti sekarang yang
masih berlangsung di Inggris.
“Istilah
Reformasi mulai dikenal oleh masyarakat Eropa dengan makna
gerakan Protestan. Hal ini akibat adanya gerakan protes Martin
Luther di Jerman, terhadap upaya penjualan Surat Aflat atau
‘Surat Pengampunan’ oleh Paus X, yang dinilainya sebagai
tindakan ‘bid’ah’,” urai Mansyur. Kelanjutannya, tulis Mansyur
dalam Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama, gerakan
Reformasi berubah menjadi gerakan nasionalisme dengan
pengertian sebagai gerakan anti penjajah Katolik di Eropa.
Perang agama antara Reformasi Protestan melawan Kontra
Reformasi Katolik pun tak terhindarkan.
Dari sinilah
benang merahnya, mengapa antara Belanda yang Protestan dengan
Portugis yang Katolik saling bermusuhan, sebagaimana paparan
Yusuf Rahimi tadi. Dan, tambah Mansyur, gambaran daratan Eropa
yang berkeping-keping, sekali lagi, merupakan sebagai produk
Reformasi. “Kenyataan sejarah ini sebagai bukti bahwa
Reformasi di Eropa ternyata menumbuhkan perang agama. Tidak
hanya antara Protestan lawan Katolik, tetapi berlanjut dengan
perang Kerajaan Katolik Perancis melawan Kerajaan Katolik
Spanyol, dan seterusnya,” ujarnya
lagi.
Selanjutnya, kata Mansyur, perang agama di Eropa melahirkan
konsep kenegaraan One Teritorial One Faith—Satu Wilayah Satu
Agama. “Agama Kristen pasang kuda-kuda supaya seluruh wilayah
jadi Kristen,” kata Dr. Thamrin Amal Tomagola, Sosiolog UI
asal Maluku. Artinya, sebuah keinginan untuk memecah belah
Eropa menjadi banyak negara agama yang kecil-kecil, hanya
seluas provinsi atau sebuah pulau di Indonesia. Makanya, dalam
konteks ini keterlibatan pihak asing macam Belanda terhadap
konflik di Maluku patut dicurigai sekaligus diwaspadai. Mereka
punya niat jahat, ingin membuat Indonesia jadi
berkeping-keping.
Terlebih lagi upaya-upaya yang mereka lakukan lewat
Kristenisasi yang belakangan makin intensif, menurut Prof. Dr.
Azyumardi Azra, jelas makin memperkuat kecurigaan di kalangan
kaum muslimin. Kalau kristalisasi ini makin mengeras,
sebagaimana yang terjadi di Maluku, kata Rektor IAIN Jakarta
ini, maka mau tidak mau simbol-simbol agama akan muncul ke
permukaan. “Kalangan Kristen menyatakan, itu sebagai
perang Salib, dan sebaliknya umat Islam menganggapnya sebagai
perang Sabil,”
katanya.
Nah, bila sudah begitu, keberingasan yang terjadi di Maluku
bisa terjadi di mana-mana, terutama di wilayah yang umat
Islamnya minoritas. Perang antara 'Sabil' dengan 'Salib' boleh
jadi tinggal menunggu waktu, terutama bila pemerintah dan
aparat keamanan masih tetap memble, apalagi berpihak!
Sebagaimana yang terjadi di Maluku. Kesabaran kaum muslimin
tentu ada batasnya. Ketika kezaliman demi kezaliman terus
diperlakukan terhadap umat Islam. Ketika kaum muslimin terus
diperangi dan dibantai. Maka, yang berlaku adalah qishos. Atau
seperti diungkapkan Prof. Dr. Nurcholis Madjid, “Allah
tidak suka pada kezaliman, maka kalau kita dizalimi, kita
boleh balas, tapi jangan berlebihan!”n
M. Ubay
Salman Laporan: Alim, Eman, Mia, Rivai,
Wasilah
|
HAK CIPTA ©
PT. BINA MEDIA SABILI
1999 JL.
Cipinang Cempedak II/16 Polonia, Jakarta Timur 13340 INDONESIA
Design by :
CYBERNEWS
SABILI
| |
|