|
|
MUALLAF MALUKU IKHLAS PILIH
ISLAM Ribuan Nasrani dan
Animis Maluku masuk Islam. Jalan hidayah makin lempang,
meski rintangan masih banyak
menghadang.
|
Tragedi Maluku memang
memilukan. Tapi Maluku juga menampakkan bukti-bukti kebenaran
Islam: “Beserta kesulitan ada kemudahan. Sungguh, beserta
kesulitan ada kemudahan.” Selain kembalinya kampung-kampung
muslim yang pernah dirampas kaum kafir kristen,ada sesuatu
yang lebih membahagiakan, ribuan kaum kristen dan kaum animis
masuk Islam dengan tulus, tanpa merasa
dipaksa. Di
Pulau Seram, misalnya, cahaya Islam mulai bersinar terang.
Tercatat, ada 1006 muallaf lebih dari Kec. Werinama, tersebar
di 8 dusun. Team PKPU yang diketuai oleh Idrus Spd, dengan
anggota dr. Kushariyadi, Rahwan Ahmad (perawat) Ahmad Mujahid
Lc, (mubaligh), Ibrahim Mahu dan penunjuk jalan, Amir Kelian
melakukan perjalanan dari dusun ke dusun. Sepanjang dusun
sejak dari Gusalaut, Osong, Hatumeten, Budi Jaya, Budi Mulia,
Nayaba, Funa, dan dusun-dusun lainnya team itu melakukan aksi
sosial. Selain pelayanan pengobatan gratis, mereka juga
menyerahkan hewan kurban.
Gerakan masuk
Islam bersama juga terjadi di Pulau Buru. Tak kurang 1000
muallaf tersebar di beberapa daerah transmigrasi. Antara lain,
Desa Waetele, Waekasar, Waenetat, Parbulu, Grandeng, Waegeren,
Waelo, dan
Waetina.
Gelombang masuk Islam juga terjadi di Kec. Masohi. Ratusan
kaum animis, yang dulunya berafiliasi ke kaum kristen banyak
yang masuk Islam. Samadikun BA, seorang tokoh Partai
Kebangkitan Bangsa Maluku Tengah, bercerita kepada SABILI,
banyak kaum animis yang tinggal di pegunungan kini masuk
Islam. Samadikun, yang saat Gus Dur datang ke Maluku menjadi
penuntunnya bersama Ratih itu mengisahkan, “Salah satu
penyebab mereka masuk Islam karena mereka pernah tertipu oleh
orang-orang Nasrani yang memberi mereka uang lima puluh ribuan
bergambar Megawati. Ketika mereka turun gunung, uang itu tidak
laku. Akhirnya mereka marah, dan berbalik mendukung umat
Islam.” Agak bergeser ke
barat, ribuan kaum kristen dan animis di Pulau Bacan juga
masuk Islam. Menurut Drs Agus Wahid, da’i PKPU yang baru
pulang dari sana, tercatat 1130 orang (581 laki-laki dan 549
orang wanita) dari desa Lata-lata masuk Islam.
Penduduk desa-desa lain
juga mengikuti jejak penduduk Lata-lata. Tercatat, desa Imbu
96 orang, Tamba Poma 7 orang, Tutupu 16 orang, Kaputusan 15
orang, Lele 43 orang, Binoi 50 orang, Labua 6 orang. Menurut
Agus, insya Allah akan segera menyusul dari Desa Wayauwa
sekitar 800 orang, dan ratusan lagi dari Boso, Yaba, Geti
Baru, dan Geti Lama. Namun,
ada juga tanggapan miring dari beberapa pihak atas masuk
Islamnya orang-orang tulus itu. Tabloid Jemaat Indonesia (No.
51) misalnya, menulis Head Line besar-besar, bahwa 72 warga
nasrani dipaksa pindah agama. Beberapa media lain nampaknya
juga ingin menggiring opini bahwa di Maluku telah terjadi
proses “Islamisasi” dalam pengertian pemaksaan untuk masuk
Islam. Benarkah begitu
keadaanya? Tak sulit menjawabnya. Melihat fakta di lapangan
jauh lebih baik daripada berdebat dengan lisan. Para Muallaf
di Kec. Werinama misalnya, dengan senang hati masuk Islam.
Mereka umumnya transmigran dari pulau Jawa yang dulunya
dipaksa masuk Kristen oleh para missionaris yang berkedok
Kepala Unit Pemukinan Transmigrasi (KUPT).
Menurut pemuka masyarakat
Desa Waekasar, salah satu cara para missionaris (KUPT) itu
untuk memurtadkan para transmigran adalah dengan cara menyetop
pemberian jatah pangan dan membiarkan para transmigran
kelaparan. Kemudian mereka memaksa para transmigran masuk
kristen untuk mendapatkan jatahnya kembali. Bantuan-bantuan
lain berupa sapi, semen dan lain-lain sengaja diberikan dengan
cuma-cuma untuk menarik transmigran masuk Kristen.
Mereka tertekan. Baru
setelah para missionaris diusir dari dataran Waiapu (lokasi
transmigrasi) mereka berbondong-bondong kembali ke pangkuan
Islam. Jadi, yang benar siapa memaksa
siapa? Di desa Tunsai,
banyak muallaf dari desa Lapela. Jumlah mereka 265 jiwa dari
57 KK. Bagaimana kisah masuk Islam warga Lapela itu? Hasan
Kapitan, Kepala Desa Lapela menjelaskan, Mulanya diadakan
musyawarah antara masyarakat seluruhnya dengan bapak pendeta
saat mereka melarikan diri ke hutan. Hasil musyawarah
memutuskan dengan bulat bahwa mereka semua secara ikhlas
bersedia memeluk agama Islam kecuali sang pendeta yang tetap
bersikeras dengan pendiriannya. Kepala Desa Lapela beserta
sekretarisnya kemudian mendatangi Kepala Desa Tunsai dan bapak
Imamya untuk menyatakan keinginan mereka memeluk agama Islam.
Kepala Desa Tunsai dan Bapak Imamnya memberikan interval waktu
dua hari. Dua hari berikutnya, masyarakat Tunsai disertai
dengan aparat keamanan pergi ke desa Lapela untuk menjemput
masyarakat di desa tersebut dan dibawa ke Desa Tunsai untuk
kemudian diislamakan oleh Bapak Imam desa Tunsai.
Para muallaf di
desa Atiahu juga demikian. Desa ini menampung para muallaf dan
pengungsi dari tiga dusun: Dusun Sehati, Adabai, dan
Balaku. Jumlah muallaf di desa itu 313 jiwa
dari 89 KK yang ada. Satu hal yang sangat menarik dan urgen
untuk dikaji seputar realitas sejarah kehidupan beragama
mereka adalah bahwa sebelum mereka menganut kepercayaan
animisme, nenek moyang mereka yang tinggal di tengah hutan
belantara pada mulanya beragama Islam. Hal ini terbukti dengan
adanya peninggalan leluhur mereka, sebuah bangunan masjid tua,
sebuah Al-Qur’an dan sebuah kitab Al-Furqan (10 Juz), sebuah
buku tembaga (yang menceritakan tentang sejarah leluhur
mereka). Bahkan di sekitar masjid tua terdapat sebuah tiang
Alif, sebuah tongkat khutbah serta tempat air wudhu yang
terbuat dari kayu. Semua benda bersejarah itu masih ada.
Masjid tua itu berada
di dusun Balakeu yang jaraknya dengan desa Atiahu sepanjang
perjalanan dua-tiga hari. Berdasarkan penjelasan para muallaf
itu, beralihnya keyakinan mereka dari animisme ke agama Islam
merupakan amanat atau wasiat dari leluhur mereka ketika akan
meninggal dunia. Wasiat tersebut disampaikan secara
turun-temurun selama sepuluh generasi. Konon Masjid tua dan
masyarakat nenek moyang yang muslim itu hidup sekitar abad VI
sampai dengan XIII. Dugaan ini bisa jadi benar bila dikaitkan
dengan salah satu pendapat sejarawan tentang masuknya Islam ke
Indonesia. Menurut sejawaran UI, Anhar Gonggong, “Prof. Hamka
dan tokoh-tokoh Aceh seperti Ali Hasymi berpendapat bahwa
Islam masuk Indonesia abad ketiga. Malah, menurut Hamka, abad
kesatu dan langsung dari
Makkah.” Sementara para
muallaf Lata-Lata, Kec. Bacan, Pulau Bacan mengisahkan, bahwa
salah satu faktor pendorong mereka masuk Islam adalah karena
mereka kecewa kepada para pendeta. Kurang lebih dua bulan
sebelum mereka diserbu mujahidin, para pendeta banyak yang
melarikan diri untuk mencari selamat. Sementara umatnya
ditinggalkan begitu saja. Dari sini mereka berfikir buat apa
saya mengikuti agama yang pemimpin agamanya hanya mau mencari
selamat sendiri saja. Kisah
itulah yang didengar langsung oleh Agus Wahid ketika
mendakwahi mereka di Lata-lata. Hal itu juga dibenarkan oleh
Fahmi Bahmid, warga muslim dan penduduk asli Bacan yang ikut
membantu membimbing para muallaf. Fahmi menambahkan,
“Ketulusan mereka bisa dilihat saat pertama kali mereka
mengikuti shalat Idul Adha. Banyak dari mereka yang
menangis.” Di dusun
Gusalauw, para muallafnya berasal dari anak dusun Budi Mulia.
Jumlah mereka 53 orang terdiri dari 20 KK. Para muallaf yang
dulunya menganut kepercayaan animisme ini menyatakan bahwa
niat mereka untuk memeluk agama Islam adalah murni dan lahir
dari lubuk hati mereka tanpa ada paksanaan dari siapapun juga.
Bahkan menurut mereka agama Islam merupakan agama nenek moyang
mereka sejak dulu. Hal unik
lain adalah sikap para muallaf di Desa Lamahang, Kec. Buru
Utara Timur dan di Kec. Buru Utara Barat. Orang-orang suku
terasing yang selama ini masih animis telah menyatakan masuk
Islam setelah menyaksikan dan melihat kelakukan para obet yang
melakukan pengrusakan di Pulau Buru. Ungkapan mereka yang
sempat tercatat, mereka merasa telah mendapat bala’ (hukuman)
dari Tuhan karena telah menjalin hubungan dengan orang-orang
kristen. Akhirnya para suku terasing itu meninggalkan
rumah-rumah mereka dan tidak bersedia kembali lagi karena
meyakini bahwa rumah-rumah itu juga telah terkena bala’
sehingga tidak bisa digunakan lagi.
Kisah-kisah nyata di
atas tak lebih menegaskan bahwa Islam memang agama fitrah,
yang selaras dengan jiwa suci manusia. Bila manusia diberi
kebebasan untuk mengembangkan fitrahnya itu, tak perlu dengan
intimidasi, apalagi pemaksaan, dapat dipastikan mereka akan
memilih Islam dengan tulus.
Kini para muallaf itu
terus menanti amal nyata para da’i, khususnya dari luar
Maluku. Semestinya setiap kita peduli. Agar, jalan hidayah
yang telah mereka dapatkan tak sampai harus tergantikan lagi
dengan jalan ke neraka, lantaran keluar lagi dari Islam. Siapa
mau membimbing
mereka?
|
|