Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421  

Tragedi Ulangan Proletar Lawan Borjuis

Zimbabwe menguji coba `penyelesaian' model marxisme untuk petani miskin. Hasilnya kekacauan. Di Indonesia, komunis malah sedang naik daun

Angan-angan sosialisme diawali oleh ketidakpuasan atas problem sosial yang cenderung menyengsarakan kaum buruh dan kelompok miskin, di saat kaum majikan bisa menikmati hidup enak. Solusi yang mereka tawarkan adalah langkah ekstrem, untuk meniadakan pengkelasan buruh-majikan ataupun petani-pemilik tanah, dan sejenisnya. Caranya, dengan menggugah kesadaran kelas bawah —yang biasa disebut proletar— itu untuk berontak menuntut hak-haknya, melawan majikan yang biasa dikelompokkan kapitalis atau borjuis. Marx, Engels, Lenin, dan Stalin mematangkan konsep-konsep sosialisme ini hingga mewujud sebuah negara komunis adidaya, Uni Soviet. Rivalnya, Cina, lebih memilih jalur Mao dalam strateginya. Di kedua negara itu pernah tidak ada tuan tanah, karena tanah dimiliki oleh negara.

Semangat komunisme yang merangsang emosi kelompok miskin menjadi jalan pintas bagi yang ingin cepat berhasil merebut kekuasaan. Itulah yang terjadi di Zimbabwe, tatkala harus mengenyahkan penjajah Inggris sejak tahun 1960-an. Janji khas golongan komunis untuk membagi-bagi tanah —utamanya milik kulit putih— telah mengantarkan Rhodesia Selatan ke gerbang kemerdekaan, pada tahun 1980, dan mengubah namanya menjadi Zimbabwe. Robert Gabriel Mugabe, seorang Katolik Roma lulusan sekolah misionari yang hampir sepuluh tahun memimpin kelompok gerilyawan marxis, akhirnya terpilih menjadi presiden.

Tetapi Zimbabwe tidak kunjung menjadi negara komunis. Tanahnya yang luas dan dihuni oleh kurang dari sejuta penduduk, sebenarnya cukup berlimpah-limpah bila konsep bagi-bagi tanah itu dilaksanakan. Kenyataannya, Mugabe terjebak oleh penyakit para pemimpin untuk melupakan janjinya. Justru kaum `kapitalis', yang notabene mayoritas kulit putih, membeli lagi tanah-tanah itu. Pembeliannya legal, dan konon mengikuti harga pasar.

Selang 20 tahun, pemilikan pertanian kaum borjuis itu telah mencapai 11 juta hektar, oleh sekitar 4.500 orang bule saja. Tanah-tanah itu juga subur dan relatif strategis. Sementara sejuta rakyat kulit hitam memiliki 16 juta hektar sisanya, yang kebanyakan masuk kelompok tanah kelas dua, yang tak subur dan kurang strategis. Kenyataan ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan di negara-negara bekas jajahan, termasuk di Indonesia yang perekonomiannya dikuasai non-pri. Asal tahu saja, di Zimbabwe hingga kini ada lebih dari 100 ribu warga kulit putih.

Kesenjangan yang menganga itu akhirnya tersulut api, ketika para bekas pejuang menuntut penghargaan dari negara. Pertama-tama mereka minta diberi uang pensiun. Mugabe, yang punya hubungan khusus dengan pemimpin pejuang Chenjerai Hunzvi, mengabulkan. Lima puluh ribu veteran mendapat pensiun sekitar 100 USD sebulan, atau 2,5 kali rata-rata gaji pegawai. Berikutnya, para `pahlawan yang belum meninggal' itu meminta diberi tanah gratis untuk pertanian. Mugabe pun mengajukan Undang-Undang Landreform sebagaimana konsep di negara sosialis. Parlemen, yang 95% diisi oleh wakil partai Mugabe, Zimbabwe African National Union (Zanu)-PF, menyetujuinya.

Tetapi karena dalam pelaksanaannya ditentang oleh banyak negara tetangga hingga membuat Mugabe bimbang, Hunzvi bersama pendukungnya kemudian merampas paksa tanah-tanah pertanian kaum kulit putih. Mengikuti doktrin komunis, Hunzvi menyatakan tindakannya legal saja. Sebab, itulah cara untuk mewujudkan `revolusi', slogan yang selalu didengungkan pejuang sosialisme. Dan revolusi selalu meminta korban. Ia memberi pilihan kepada para bule, untuk `mengalihkan secara sukarela' sambil tetap tinggal di Zimbabwe, atau meninggalkannya dengan sukarela pula. Pembunuhan telah terjadi di mana-mana.

Keberatan dari para `borjuis' itu disebabkan mereka merasa membeli, dan itu dilakukan setelah Zimbabwe merdeka. Bagaimana mungkin kini tanah-tanah itu harus dirampas dengan mudahnya, sekalipun oleh rakyat pribumi. Mereka menolak dikaitkan dengan dosa penjajahan yang dituduhkan. Sekalipun, sulit dikonfirmasi, apakah dana besar yang mereka gunakan untuk mengelola pertanian dengan produk utama tembakau itu hasil dari menjajah atau bukan.

Membagi saja kok repot

Robert Mugabe senantiasa merasa berutang budi kepada bekas gerilyawan. Karena Chenjerai Hunzvi kini mengetuai Asosiasi Veteran Perang, maka posisi Mugabe jadi serba sulit. Ia tidak pernah bisa bersikap tegas terhadap Chenjerai, sementara pengadilan juga tidak berani menyidangkannya karena risiko pribadi. Siapa yang memusuhi Hunzvi, maka keselamatan jiwanya terancam.

Yang menarik adalah, bila dulu Mugabe yang menjanjikan slogan komunis, kini Hunzvi yang gantian mempopulerkannya. Padahal keberadaan Hunzvi ditengarai bisa meruntuhkan kekuasaan Mugabe. Bila ini menjadi kenyataan, maka Zimbabwe akan menjadi negara pertama di abad ke-21 yang memberi tanah gratis kepada penduduknya, sebagaimana janji kaum komunis.

Tetapi sekalipun manis terdengar, kenyataannya pembagian itu menimbulkan kesulitan besar. Rupanya inilah di antara yang menghalangi Robert Mugabe. Yakni, bagaimana cara membagi yang dirasa adil dan menyelesaikan masalah. Sebab, infrastruktur yang menyedihkan, jalan-jalan yang sangat minim, telah memilah kelas-kelas tanah secara ekstrem. Mereka yang diberi tanah tapi tak punya jalan atau fasilitas lain, tak ada sekolah, sarana kesehatan, maka pasti menolak kecuali mau menyengsarakan diri sendiri. Sementara negara donor, rata-rata menolak konsep itu, sehingga Zimbabwe tidak kunjung bisa membangun infrastruktur. Negara juga sulit membedakan secara persis siapa yang berhak menerima dan yang tidak. Artinya, langkah bagi-bagi itu sangat potensial menyulut kerusuhan karena ketidakpuasan atau keirian.

Pernah, Mugabe berniat menyelesaikan secara lebih baik, dengan membeli dan membagikan kembali 1.500 lokasi perkebunan. Tetapi karena kemampuan dana, selama dua tahun hanya 50 lokasi saja yang bisa terbeli. Walhasil, setengah juta petani masih terus menunggu janji untuk mendapatkan tanah gratis itu sampai sekarang.

Afrika Selatan, Kenya, juga Nigeria, negara-negara yang punya pengaruh di belahan selatan Afrika, terus berupaya ikut menyelesaikan krisis tanah di Zimbabwe. Toh mereka tidak berani secara tegas menolak konsep bagi-bagi tanah. Hanya, mereka menengarai, agar distribusi itu dilakukan setelah legalitas hukumnya selesai. Jangan sampai, justru pemberian itu ibarat menanam bara dalam sekam, yang suatu saat akan berkobar kembali lewat ahli waris ataupun orang lain.

Konsep gagal kaum komunis

Bila Zimbabwe melakukan landreform sekarang, maka berarti akan mengulangi kesalahan negara-negara blok komunis setengah hingga seabad yang lalu. Hal serupa sudah pernah dilakukan di seluruh bekas Uni Soviet, dan ternyata kini ditinggalkan. Saat itu, mengikuti konsep `berikan kepada negara mengikuti keahlian, berikan kepada rakyat mengikuti kebutuhan', negara menguasai begitu banyak tanah, selain perusahaan. Negara menjadi sangat kaya, tetapi warganya miskin-miskin, dan tergantung kepada negara. Selain menyulitkan, ternyata ini memberi peluang aparat negara untuk menyeleweng dan sewenang-wenang. Negara tidak bisa salah, sekalipun aparatnya semaunya sendiri.

Konsep ini, setelah rakyatnya melek informasi, berubah menjadi belenggu, hingga Soviet ambruk. Cina, sebelum mengalami perpecahan, segera mengambil langkah antisipasi dengan meng-kapitalis-kan warganya. Pemerintah menjual sebanyak-banyaknya perusahaan milik negara setelah mengakui kepemilikan pribadi warganya secara wajar.

Setelah terlambat 50 tahun dari Rusia dan Cina, proletar di Zimbabwe tampaknya mendapatkan kemenangan, sekalipun secara paksa. Dan ini tentu akan mengilhami gerakan sosialisme di banyak negara lain, termasuk Indonesia. Kesenjangan buruh dari majikannya, membuat mereka sangat gampang tergiur janji untuk meminta bagian kepemilikan, secara baik-baik ataupun menggunakan ancaman. Bila tidak boleh, maka mogok, baik di perusahaan yang memberi gaji layak kepada buruhnya, ataupun yang tidak.

Dibereskannya kesenjangan seperti itu, barulah memberikan sinyal positif terhadap ide Presiden Gus Dur untuk memberikan kebebasan marxisme-leninisme-komunisme yang anti-Tuhan berkembang kembali di Indonesia.