Republika Online edisi:
26 May 2000

Presiden Baru Turki dan Kejayaan Sekularisme

''Tak seorang pun berada di atas hukum,'' tegas Ahmet Necdet Sezer di hadapan parlemen seusai pelantikannya sebagai presiden Turki, sebuah negara penganut sekularisme di perbatasan benua Eropa dan Asia. Sezer menekankan, hukum -- konstitusi, undang-undang, dan kesatuan perangkat hukum -- harus mengikat semua orang.

Pernyataan Sezer yang memulai tugasnya sebagai presiden ke-10 pada 16 Mei lalu tak mengejutkan para konstituennya. Maklumlah, sebelum ini Sezer adalah kepala hakim di Pengadilan tertinggi Turki, sebelum parlemen memilihnya untuk duduk di kursi kepresidenan Turki. Ia menggantikan posisi Suleyman Demirel untuk periode tujuh tahun mendatang.

''Melindungi hak asasi manusia (HAM) dan hukum, melindungi pandangan dan keyakinan individu, dan tidak memeras tenaga kerja adalah tugas pertama saya,'' janji Sezer di hadapan parlemen.

Kendati demikian, sementara pengamat memberikan reserve cukup besar untuk Sezer. Ini lantaran dalam pidato pelantikannya Sezer memuji peran militer Turki. ''Memperkuat angkatan darat kita adalah tugas pertama di masa depan sebagaimana halnya saat ini,'' tegasnya kepada para jenderal.

Padahal sebelum ini kuping petinggi militer Turki kerap dibuat merah oleh kritik tajam Sezer. Sebagai hakim, misalnya, Sezer pernah menyerukan dilakukannya judicial review atau tinjauan ulang atas suatu keputusan hukum yang dibuat Dewan Militer Tertinggi. Sezer memang dikenal sangat menjunjung supremasi hukum. Namun ia pun menyebutkan bahwa banyak perundang-undangan Turki yang harus diperbaharui.

Reserve tersebut bukannya tanpa alasan. Bagi militer, yang telah tiga kali melakukan aksi perebutan kekuasaan sejak 1960 lalu, gerakan politik Islam adalah ancaman terbesar bagi rejim sekular Turki. Dalam beberapa tahun terakhir, Dewan Militer Tertinggi telah melakukan pembersihan dalam tubuh militer dari personil-personil yang diduga mendukung atau bersimpati terhadap perjuangan gerakan Islam. Jumlah mereka mencapai ratusan orang.

Apakah dengan naiknya Sezer berarti gerakan Islam akan mendapat angin segar? Tampaknya belum tentu. Presiden berusia 58 tahun ini sejak awal telah berjanji akan tetap mempertahankan tradisi sekular Turki yang selama ini menjadi haluannya.

Dengan janjinya itu banyak pihak melihat konsistensi Sezer. Ketika menjabat sebagai kepala hakim, Sezer dikenal getol mendukung undang-undang yang melarang penggunaan jilbab oleh para muslimah di sekolah dan kantor-kantor publik.

''Prinsip sekularisme akan dilindungi dengan ketegasan dan tanpa kelonggaran apa pun,'' tegasnya.

Jelas, umat Islam tetap tak mendapat tempat untuk menjalankan ajaran agama yang dinilai bertentangan dengan prinsip sekularisme. Jilbab hanya salah satu dari simbol antisekularisme yang dilarang.

Sikap tegas Sezer dalam mengusung prinsip sekularisme ini bisa jadi merupakan tameng menuju demokrasi yang diinginkan Barat. Tepatnya, sekularisme adalah ''karcis'' bagi Turki untuk mencapai sesuatu yang diidamkan selama ini: meraih simpati dan menjadi bagian dari Eropa serta peradaban Barat pada umumnya.

''Adalah suatu keharusan bagi Turki untuk menerapkan nilai-nilai Uni Eropa. Keberhasilan kita dalam demokrasi dan penegakan hukum akan mendongkrak citra kita di tengah masyarakat internasional. Kita harus mencapainya tanpa menunda-nunda lagi.''

Meski sejak lama ingin diakui sebagai bangsa Eropa dan berniat menjadi anggota badan tersebut, baru Desember mendatang UE akan memberi kartu keanggotaan sebagian kepada Turki. Dan untuk mengamankan jalan menuju penyatuan dengan Eropa itulah Sezer sejak pagi-pagi sudah menegaskan kesetiaannya terhadap cita-cita Kemal Ataturk, bapak sekularisme Turki.

''Kita tidak boleh membuang waktu lagi dalam memastikan bahwa demokrasi berakar dengan baik dalam kehidupan politik kita dan supremasi hukum menjadi bagian integral dalam tatanan negara kita,'' tuturnya berapi-api.

Banyak pengamat prodemokrasi berharap terpilihnya Sezer akan kian memuluskan jalan menuju demokrasi penuh, yang antara lain ditandai dengan makin besarnya kebebasan berekspresi. Dan catatan Sezer dalam hal ini memang cukup meyakinkan. Ia misalnya menyerukan pembaruan hukum mengenai kebebasan berbicara. Padahal sikap ini cukup berseberangan dengan pemerintah militer yang terhitung sering mengirim orang-orang yang melakukan mimbar bebas, menulis buku, atau artikel yang dinilai mengancam keamanan nasional, ke penjara.

Sebagai seorang presiden, beragam urusan luar negeri akan menjadi tanggung jawabnya. Kenyataannya, ia tak memiliki pengalaman di bidang ini. Pria yang akan mewakili Turki di panggung dunia ini bahkan tidak menguasai bahasa asing apa pun. Diperkirakan, jadwal lawatannya ke luar negeri tak akan menandingi jadwal Demirel yang terhitung padat.

Di luar dukungan rakyat yang mengantarkannya ke kursi kepresidenan, banyak politisi yang mempertanyakan kapasitas Sezer sebagai seorang pemimpin negara. Kritik pedas ini dilontarkan mengingat pendahulunya, Demirel, adalah seorang veteran politisi ulung.

Demirel memegang jabatan sebagai perdana menteri sebanyak tujuh kali. Dengan jam terbang sedemikian tinggi, ia mampu memainkan peran yang berpengaruh dalam kebijakan luar negeri selama menjabat sebagai presiden.

Kedudukan Sezer sebagai presiden memang hanya seremonial belaka. Pasalnya, kepala pemerintahan Turki dipegang oleh seorang perdana menteri. Namun ia dapat pula berfungsi sebagai ''pialang kekuasaan'' kala krisis politik melanda.

Sezer bahkan bisa mempunyai daya magnet dalam pidato di hadapan rakyat atau dengan mengusulkan undang-undang tertentu pada pertemuannya dengan para menteri. Pendeknya, ia bisa amat berpengaruh dalam tatanan politik jika pandai memainkan perannya di belakang layar.

Meski jam terbangnya di dunia politik minim, namun sebuah jajak pendapat menunjukkan mayoritas rakyat Turki suka melihat wajah baru di istana kepresidenan mereka.

Nama Sezer memang baru muncul setelah partai-partai politik Turki gagal mencapai konsensus untuk menentukan calon presiden dari parlemen. Namun ia akhirnya mendapat dukungan dari para petinggi koalisi pemerintah dan oposisi.

Selain itu, munculnya Sezer merupakan berita baik baik bagi Perdana Menteri Turki Bulent Ecevit. Pasalnya, Sezer adalah kuda hitam yang menyelamatkan stabilitas kepemimpinan Ecevit yang selama ini digoncang oleh beragam spekulasi mengenai pengganti Demirel.

Politik agama

Dalam 77 tahun tatanan sejarah Turki modern, munculnya Sezer memang terbilang unik. Betapa tidak, ia bukan seorang politisi aktif dan bukan pula seorang panglima militer yang memiliki dukungan kekuatan. Sepanjang hidupnya, ia memang memilih karir di bidang hukum.

Ahmet Necdet Sezer lahir di sebelah barat kota Afyon pada 1941. Ia lulus dari fakultas hukum Ankara University pada 1962. Gelar master bidang hukum perdata diraihnya pada sekitar 1970-an. Sebelum meraih gelar master, ia sempat bertugas sebagai hakim di beberapa kota.

Sezer terpilih untuk bertugas di pengadilan banding pada 1983. Pada saat itu, ia telah menjadi anggota pengadilan konstitusional selama 12 tahun dan menjadi presiden pengadilan tersebut selama dua tahun. Sezer menikahi seorang guru yang kemudian memberinya tiga orang anak.

Secara umum, Sezer adalah sosok liberal yang menolak politik keagamaan. Sezer diperkirakan akan mudah disukai oleh militer Turki karena ia seorang sekularis dan arah kepemimpinannya pun diyakini bisa diterima Barat.

Pendekatan yang dilakukan Sezer diharapkan berbeda dengan pendahulunya, Demirel. Semasa pemerintahan militer, misalnya, ia mengkritik Konstitusi yang disahkan pada 1982 yang memberikan kewenangan bagi presiden untuk membatasi gerak parlemen.

Selama ini parlemen kerap dibayang-bayangi oleh kekuasaan presiden yang biasa menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk memanipulasi tatanan politik dalam negeri. Dengan demikian, naiknya Sezer bisa dipandang sebagai kemenangan bagi parlemen.

Aksi manipulasi tersebut dapat dilihat pada Januari 1998 lalu. Ketika itu Demirel mengumumkan larangan Partai Kesejahteraan Islam dengan dalih partai tersebut menjadi ujung tombak aktivitas antisekularisme.

Ketua Partai Kesejahteraan, mantan PM Turki Necmettin Erbakan, bahkan dilarang melakukan aktivitas politik selama lima tahun. Ironisnya, Sezer adalah ketua pengadilan konstitusional yang memutuskan penutupan Partai Kebajikan -- yang menjadi cikal bakal Partai Kesejahteraan. Tak heran, jika kalangan agama (baca:Islam) kadung kecewa dan tak sepenuhnya mendukung Sezer.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000