Republika Online edisi:
18 Jan 2000

Tragedi Maluku Utara

Smith Alhadar
Anggota IDE (Institute for Democracy Education)

Pertikaian antarkomunitas agama di Maluku Utara kian berdarah dan mengerikan. Di Halmahera Utara, ribuan jiwa melayang sia-sia. Mereka dibantai oleh gabungan suku-suku Kristen di kawasan itu sebagai balasan atas kerusuhan di Ternate, Tidore, dan desa-desa di Halmahera Tengah awal November lalu di mana golongan Kristen menjadi sasaran amuk massa Muslim. Juga terkait dengan kerusuhan tiga hari (27-29 Desember 1999) di Ternate di mana pasukan Muslim mengalahkan Sultan Ternate Mudaffar Syah dan pasukan adatnya. Kendati Muslim, Sultan Ternate merupakan tokoh utama penyokong golongan Nasrani. Konflik ini dipicu oleh terbakarnya laboratorium sekolah Katolik Roma (27/12) di kawasan Ternate Selatan. Tak jelas penyebab atau pelakunya. Namun, orang menduga ini dilakukan orang Islam sebagai balasan atas pembantaian kaum Muslim di Halmahera Utara yang dimulai pada 26 Desember. Buntutnya, Kampung Pisang dan Tanah Tinggi, pemukiman Muslim di Ternate Selatan, dibakar pasukan adat yang kebanyakan anggotanya terdiri atas golongan Nasrani asal Halmahera Utara. Tentu ini kesalahan fatal. Segera kaum Muslim di selatan, diikuti kemudian oleh pihak utara yang tadinya merupakan penyokong utama Mudaffar Syah, bangkit bersatu melawan musuh bersama. Mereka dipimpin oleh Sultan Tidor Djafar Danoyunus bersama pasukan adatnya serta orang Makian. Ini sebuah kejutan, sebab sebelumnya tak seorang pun berani menantang Mudaffar Syah dan pasukannya yang terkenal ''kebal'' dan brutal. Pasukan Muslim berhasil masuk hingga ke kadato (keraton) dan memaksa Mudaffar bertekuk lutut.

Memang, sudah sejak awal November 1999 rakyat Ternate Selatan hidup tertekan oleh kehadiran sosok Mudaffar dan pasukan adatnya yang arogan. Mengambil kesempatan dalam kerusuhan 6 November di Ternate Selatan, Mudaffar menurunkan 4.000 personel pasukannya untuk mengamankan kota. Kendati demikian, orang mempertanyakan eksistensi PAM Swakarsa ini karena kedudukannya yang ilegal dan hanya menciptakan preseden buruk. Lalu, Mudaffar dicurigai hendak menanamkan pengaruhnya di selatan. Sebagaimana diketahui, Ternate Selatan merupakan kawasan yang lebih maju, modern, bebas, dan berorientasi ke luar. Sebaliknya, daerah utara sangat terikat dengan kesultanan yang sinkretis, konservatif, dan berorientasi ke masa lalu. Sementara pasukan adat banyak melakukan penculikan dan penyiksaan atas tokoh-tokoh Ternate Selatan, yang dianggap terkait dengan insiden 6 November.

Insiden 6 November

Peristiwa 6 November di Ternate Selatan berhubungan dengan peristiwa serupa di Pulau Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah, tiga hari sebelumnya. Ketika itu, sebagaimana di Tidore, golongan Islam melampiaskan kemarahannya atas sasaran-sasaran Kristen di Ternate Selatan. Mereka terprovokasi oleh beredarnya surat Ketua Badan Pekerja Sinode Gereja Protestan Maluku, Pendeta SP Titaley STI, kepada Ketua Gereja Masehi Injili Halmahera (Gemih) Tobelo, yang isinya menggambarkan upaya gereja mengadu domba umat Islam dan menguasai wilayah Halmahera Utara dengan cara kekerasan di Maluku Utara. Banyak pihak mengatakan itu surat palsu. Bagaimanapun, kerusuhan antarumat beragama di Ambon yang berlarut-larut dan dampak yang harus dipikul Ternate kian menciptakan ketegangan dan frustrasi di kalangan masyarakat, setelah sebelumnya ditimpa krisis moneter.

Tapi, benih kemarahan kaum Muslim terhadap Nasrani dan Mudaffar Syah bermula dari pembumihangusan 16 desa Muslim di Kecamatan Malifut, yang dihuni transmigran asal Pulau Makian, pada 24 Oktober silam. Serangan sistematis di pagi buta itu, diduga kuat mendapat dukungan Sultan Ternate. Memang, sejak pemerintah memindahkan orang Makian ke Malifut, tetangga Kao, tahun 1975, untuk menghindari ancaman gunung berapi Kie Besi, warga Kao telah menunjukkan ketidaksenangannya. Mereka curiga hal itu disengaja pemerintah dan DPRD II yang didominasi orang Makian untuk menghambat ekspansi Kristen ke selatan Halmahera. Persoalan lain timbul setelah di wilayah Gosowong, perbatasan Kao-Malifut dijadikan lokasi kontrak karya PT Nusa Halmahera Minerals, perusahaan pertambangan emas raksasa yang mengeksploitasi kawasan itu. Lokasi kontrak yang dulu di Kao, kini di bawah Malifut.

Pertikaian warga Kao-Malifut bulan Agustus 1999 mereda setelah Sultan Ternate dan Muspida Maluku Utara turun tangan. Tapi, dua bulan kemudian terjadi insiden. Ini kejutan luar biasa. Orang sulit percaya melihat keganasan orang Kristen Kao ini. Selain kaum Muslim merupakan mayoritas di Maluku Utara, orang Kao sendiri patuh pada Kesultanan Ternate, yang menjajahnya hingga tahun 1652. Kecurigaan pada Mudaffar kian kuat manakala orang menghubungkan sikapnya menyangkut kasus ini sebelumnya. Ketika itu, ia meminta Pemda Maluku Utara memindahkan orang Makian ke pulau lain, lalu orang Kao ditanyai apa kemauannya.

Jelas, Pemda tak akan menanggapi usul itu. Masalahnya, mengapa warga Malifut, bukan Kao, yang harus pindah? Karena wilayah sengketa itu tanah adat Kesultanan Ternate, orang mudah menduga bahwa di balik usul itu sebenarnya Mudaffar juga ingin ikut memiliki tambang emas. Alasan lain, ia ingin memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat Kao, pendukung fanatiknya. Penghancuran pemukiman Makian itu menciptakan tak kurang dari 10.000 pengungsi, yang sebagian besar dibawa ke Ternate. Mereka inilah, dibantu orang Tidore yang bermukim di Ternate, yang memelopori kerusuhan 6 November.

Mudaffar Syah

Peristiwa di Ternate tak akan terjadi apabila Mudaffar mengutuk insiden Malifut, sebagaimana ia mengecam keras peristiwa yang terjadi di Ternate Selatan. Sikap aneh Mudaffar ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Ia tak populer di mata kaum Muslim Maluku Utara umumnya. Yang mendukungnya hanya sedikit rakyat Ternate Utara, Pulau Hiri, dan komunitas Kristen di Halmahera Utara. Dengan demikian, ia sangat terikat dengan aspirasi mereka guna memenangkan pemilihan gubernur Juni mendatang. Di pihak lain, ia harus berhadapan dengan elite Ternate Selatan seperti Bahar Andili (Bupati Halmahera Tengah), Syamsir Andili (Walikota Ternate), dan Taib Armayn (Sekwilda I Maluku Utara). Andili bersaudar ini, khususnya Bahar Andili, mendapat dukungan Sultan Tidore Djafar Danoyunus, sedangkan Taib Armayn disokong komunitas Makian. Dalam konflik fisik antara pasukan Muslim di selatan dengan pasukan adat Ternate, mereka bersatu.

Di luar itu, melihat kehidupan pribadi Mudaffar, rakyat meragukan komitmen keislamannya. Misalnya, dari empat istrinya, tiga di antaranya penganut Kristen. Demikian pula dua anaknya, Mudaffar sendiri menggemari alkohol. Hal ini tak menjadi persoalan kalau ia bukan sultan yang, dalam konsep budaya dan politik Ternate, merupakan pemegang otoritas politik sekaligus agama. Untuk menyelamatkan citranya, diedarkan cerita-cerita yang mengatakan bahwa khamar yang diminumnya akan berubah menjadi air begitu sampai di tenggorokannya. Rakyat awam bisa percaya cerita demikian karena ada pemahaman bahwa Sultan Ternate merupakan keturunan putri dari kahyangan dan tokoh mitos Jafar Shadiq dari Mekah. Dengan kata lain, mereka ma'sum (bebas dari kesalahan). Untuk menciptakan kesan religiusitas dan keistimewaan Kesultanan Ternate, dalam berbagai kesempatan Mudaffar Syah -- dengan mengemukakan filsafat Jou se Ngofangare yang sulit dipahami -- selalu mengatakan bahwa Islam lebih dulu turun di Ternate ketimbang di Mekah. Pemikiran filosofis ini sangat mengganggu tokoh Muslim di kawasan itu.

Perangai dan sikap Mudaffar ini juga sebenarnya bukan hal baru dalam kehidupan para Sultan Ternate. Sejak berkenalan dengan Portugis di paro pertama abad ke-16, gaya hidup mereka sudah menyerupai kehidupan orang Barat. Malah Sultan Tabariji, kakak Sultan Khairun, masuk Kristen dengan mengubah nama menjadi Don Manuel. Adiknya yang perempuan, setelah masuk Kristen, mengubah namanya menjadi Dona Isabela. Ayah Mudaffar, Sultan Muhammad Jaber Syah, merupakan pendukung Belanda. Tak heran, ia ditangkap dan dibuang ke Jakarta pada tahun 1953(?). Salah seorang penangkapnya adalah ayah Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog Fisip UI yang kini daerahnya (Galela) di Halmahera Utara jadi sasaran pengepungan golongan Kristen. Sehari-hari di rumah, Sultan Djabaer Syah dan istrinya tak pernah menggunakan bahasa Indonesia, melainkan Belanda. Mudaffar sendiri besar di Jakarta dan baru pulang ke Ternate pada tahun '80-an.

Paradigma baru

Dengan memanfaatkan momentum keruntuhan Mudaffar dan Kesultanan Ternate, maka sudah seharusnya para elite Ternate mengembangkan paradigma baru yang bebas dari primordialisme dan keunggulan historis. Maka, harus segera dilakukan desakralisasi atas Kesultanan Ternate -- malah kalau bisa dihapuskan saja -- yang merupakan penghalang utama bagi perwujudan masyarakat madani. Mudaffar sendiri tampaknya tak punya visi milenium ketiga. Itu terlihat, misalnya, bahwa ia dan pendukungnya tak punya peran apa-apa dalam era reformasi ini. Ketika mahasiswa dan elite reformis di Jakarta sibuk menumbangkan Orde Baru, Mudaffar malah sibuk mengurusi provinsi dan konsolidasi politik, yang akhirnya terbukti telah menjadi sumber kerusuhan di Maluku Utara.

Kesultanan Ternate juga telah membuat pemerintah daerah setengah lumpuh sejak Soeharto turun dari kekuasaan. Betapa tidak, Mudaffar sering mengambil kebijakan sendiri, yang bertentangan dengan UU maupun keinginan Pemda. Dan, tak seorang pun berani menegurnya. Maklum, ia mempunyai pasukan adat yang akan menjalankan perintah apa pun. Misalnya, mereka pernah mengejar Bupati Maluku Utara Abdullah Assagaf dengan parang hanya karena Mudaffar tersinggung atas kritik Assagaf mengenai kegiatan sinkrestisme kesultanan. Kasus lain, pasukan adat pernah menurunkan spanduk dan bendera Partai Amanat Nasional (PAN) di jalan-jalan Ternate lantaran ''ancaman'' Amien Rais terhadap Kesultanan Yogyakarta dalam acara debat presiden beberapa waktu lalu. Ini menunjukkan ia tak toleran, antidemokrasi dan HAM.

Paradigma baru yang perlu dikembangkan adalah sebuah tatanan yang berkomitmen pada kemanusiaan, rasionalisme, demokrasi, penegakan hukum, dan HAM. Untuk itu yang harus dilakukan sekarang adalah penghentian pembantaian umat Islam oleh golongan Nasrani di Sidangoli, Kao, Tobelo, Jailolo, dan Galela, serta pertempuran sporadis Muslim-Nasrani di Halmahera Tengah. Kabarnya, sebagian kaum Muslim Maluku Utara sudah berada di lokasi kerusuhan untuk membantu saudara seagamanya. Sebenarnya ini tak perlu. Desak saja Mudaffar Syah untuk mengimbau pengikutnya agar menghentikan tindakan bodoh itu. Perdamaian yang menjadi syarat terbentuknya masyarakat madani, tak dapat dibangun dengan kekerasan. Sebaliknya, kekerasan hanya melahirkan kekerasan lain.

 

   

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000