Smith Alhadar
Anggota IDE (Institute for Democracy Education)
Pertikaian antarkomunitas agama di Maluku Utara kian berdarah dan
mengerikan. Di Halmahera Utara, ribuan jiwa melayang sia-sia. Mereka
dibantai oleh gabungan suku-suku Kristen di kawasan itu sebagai balasan
atas kerusuhan di Ternate, Tidore, dan desa-desa di Halmahera Tengah
awal November lalu di mana golongan Kristen menjadi sasaran amuk massa
Muslim. Juga terkait dengan kerusuhan tiga hari (27-29 Desember 1999) di
Ternate di mana pasukan Muslim mengalahkan Sultan Ternate Mudaffar Syah
dan pasukan adatnya. Kendati Muslim, Sultan Ternate merupakan tokoh
utama penyokong golongan Nasrani. Konflik ini dipicu oleh terbakarnya
laboratorium sekolah Katolik Roma (27/12) di kawasan Ternate Selatan.
Tak jelas penyebab atau pelakunya. Namun, orang menduga ini dilakukan
orang Islam sebagai balasan atas pembantaian kaum Muslim di Halmahera
Utara yang dimulai pada 26 Desember. Buntutnya, Kampung Pisang dan Tanah
Tinggi, pemukiman Muslim di Ternate Selatan, dibakar pasukan adat yang
kebanyakan anggotanya terdiri atas golongan Nasrani asal Halmahera
Utara. Tentu ini kesalahan fatal. Segera kaum Muslim di selatan, diikuti
kemudian oleh pihak utara yang tadinya merupakan penyokong utama
Mudaffar Syah, bangkit bersatu melawan musuh bersama. Mereka dipimpin
oleh Sultan Tidor Djafar Danoyunus bersama pasukan adatnya serta orang
Makian. Ini sebuah kejutan, sebab sebelumnya tak seorang pun berani
menantang Mudaffar Syah dan pasukannya yang terkenal ''kebal'' dan
brutal. Pasukan Muslim berhasil masuk hingga ke kadato (keraton)
dan memaksa Mudaffar bertekuk lutut.
Memang, sudah sejak awal November 1999 rakyat Ternate Selatan hidup
tertekan oleh kehadiran sosok Mudaffar dan pasukan adatnya yang arogan.
Mengambil kesempatan dalam kerusuhan 6 November di Ternate Selatan,
Mudaffar menurunkan 4.000 personel pasukannya untuk mengamankan kota.
Kendati demikian, orang mempertanyakan eksistensi PAM Swakarsa ini
karena kedudukannya yang ilegal dan hanya menciptakan preseden buruk.
Lalu, Mudaffar dicurigai hendak menanamkan pengaruhnya di selatan.
Sebagaimana diketahui, Ternate Selatan merupakan kawasan yang lebih
maju, modern, bebas, dan berorientasi ke luar. Sebaliknya, daerah utara
sangat terikat dengan kesultanan yang sinkretis, konservatif, dan
berorientasi ke masa lalu. Sementara pasukan adat banyak melakukan
penculikan dan penyiksaan atas tokoh-tokoh Ternate Selatan, yang
dianggap terkait dengan insiden 6 November.
Insiden 6 November
Peristiwa 6 November di Ternate Selatan berhubungan dengan peristiwa
serupa di Pulau Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah, tiga hari
sebelumnya. Ketika itu, sebagaimana di Tidore, golongan Islam
melampiaskan kemarahannya atas sasaran-sasaran Kristen di Ternate
Selatan. Mereka terprovokasi oleh beredarnya surat Ketua Badan Pekerja
Sinode Gereja Protestan Maluku, Pendeta SP Titaley STI, kepada Ketua
Gereja Masehi Injili Halmahera (Gemih) Tobelo, yang isinya menggambarkan
upaya gereja mengadu domba umat Islam dan menguasai wilayah Halmahera
Utara dengan cara kekerasan di Maluku Utara. Banyak pihak mengatakan itu
surat palsu. Bagaimanapun, kerusuhan antarumat beragama di Ambon yang
berlarut-larut dan dampak yang harus dipikul Ternate kian menciptakan
ketegangan dan frustrasi di kalangan masyarakat, setelah sebelumnya
ditimpa krisis moneter.
Tapi, benih kemarahan kaum Muslim terhadap Nasrani dan Mudaffar Syah
bermula dari pembumihangusan 16 desa Muslim di Kecamatan Malifut, yang
dihuni transmigran asal Pulau Makian, pada 24 Oktober silam. Serangan
sistematis di pagi buta itu, diduga kuat mendapat dukungan Sultan
Ternate. Memang, sejak pemerintah memindahkan orang Makian ke Malifut,
tetangga Kao, tahun 1975, untuk menghindari ancaman gunung berapi Kie
Besi, warga Kao telah menunjukkan ketidaksenangannya. Mereka curiga hal
itu disengaja pemerintah dan DPRD II yang didominasi orang Makian untuk
menghambat ekspansi Kristen ke selatan Halmahera. Persoalan lain timbul
setelah di wilayah Gosowong, perbatasan Kao-Malifut dijadikan lokasi
kontrak karya PT Nusa Halmahera Minerals, perusahaan pertambangan emas
raksasa yang mengeksploitasi kawasan itu. Lokasi kontrak yang dulu di
Kao, kini di bawah Malifut.
Pertikaian warga Kao-Malifut bulan Agustus 1999 mereda setelah Sultan
Ternate dan Muspida Maluku Utara turun tangan. Tapi, dua bulan kemudian
terjadi insiden. Ini kejutan luar biasa. Orang sulit percaya melihat
keganasan orang Kristen Kao ini. Selain kaum Muslim merupakan mayoritas
di Maluku Utara, orang Kao sendiri patuh pada Kesultanan Ternate, yang
menjajahnya hingga tahun 1652. Kecurigaan pada Mudaffar kian kuat
manakala orang menghubungkan sikapnya menyangkut kasus ini sebelumnya.
Ketika itu, ia meminta Pemda Maluku Utara memindahkan orang Makian ke
pulau lain, lalu orang Kao ditanyai apa kemauannya.
Jelas, Pemda tak akan menanggapi usul itu. Masalahnya, mengapa warga
Malifut, bukan Kao, yang harus pindah? Karena wilayah sengketa itu tanah
adat Kesultanan Ternate, orang mudah menduga bahwa di balik usul itu
sebenarnya Mudaffar juga ingin ikut memiliki tambang emas. Alasan lain,
ia ingin memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat Kao, pendukung
fanatiknya. Penghancuran pemukiman Makian itu menciptakan tak kurang
dari 10.000 pengungsi, yang sebagian besar dibawa ke Ternate. Mereka
inilah, dibantu orang Tidore yang bermukim di Ternate, yang memelopori
kerusuhan 6 November.
Mudaffar Syah
Peristiwa di Ternate tak akan terjadi apabila Mudaffar mengutuk
insiden Malifut, sebagaimana ia mengecam keras peristiwa yang terjadi di
Ternate Selatan. Sikap aneh Mudaffar ini dapat dijelaskan sebagai
berikut. Ia tak populer di mata kaum Muslim Maluku Utara umumnya. Yang
mendukungnya hanya sedikit rakyat Ternate Utara, Pulau Hiri, dan
komunitas Kristen di Halmahera Utara. Dengan demikian, ia sangat terikat
dengan aspirasi mereka guna memenangkan pemilihan gubernur Juni
mendatang. Di pihak lain, ia harus berhadapan dengan elite Ternate
Selatan seperti Bahar Andili (Bupati Halmahera Tengah), Syamsir Andili
(Walikota Ternate), dan Taib Armayn (Sekwilda I Maluku Utara). Andili
bersaudar ini, khususnya Bahar Andili, mendapat dukungan Sultan Tidore
Djafar Danoyunus, sedangkan Taib Armayn disokong komunitas Makian. Dalam
konflik fisik antara pasukan Muslim di selatan dengan pasukan adat
Ternate, mereka bersatu.
Di luar itu, melihat kehidupan pribadi Mudaffar, rakyat meragukan
komitmen keislamannya. Misalnya, dari empat istrinya, tiga di antaranya
penganut Kristen. Demikian pula dua anaknya, Mudaffar sendiri menggemari
alkohol. Hal ini tak menjadi persoalan kalau ia bukan sultan yang, dalam
konsep budaya dan politik Ternate, merupakan pemegang otoritas politik
sekaligus agama. Untuk menyelamatkan citranya, diedarkan cerita-cerita
yang mengatakan bahwa khamar yang diminumnya akan berubah menjadi
air begitu sampai di tenggorokannya. Rakyat awam bisa percaya cerita
demikian karena ada pemahaman bahwa Sultan Ternate merupakan keturunan
putri dari kahyangan dan tokoh mitos Jafar Shadiq dari Mekah. Dengan
kata lain, mereka ma'sum (bebas dari kesalahan). Untuk
menciptakan kesan religiusitas dan keistimewaan Kesultanan Ternate,
dalam berbagai kesempatan Mudaffar Syah -- dengan mengemukakan filsafat
Jou se Ngofangare yang sulit dipahami -- selalu mengatakan bahwa
Islam lebih dulu turun di Ternate ketimbang di Mekah. Pemikiran
filosofis ini sangat mengganggu tokoh Muslim di kawasan itu.
Perangai dan sikap Mudaffar ini juga sebenarnya bukan hal baru dalam
kehidupan para Sultan Ternate. Sejak berkenalan dengan Portugis di paro
pertama abad ke-16, gaya hidup mereka sudah menyerupai kehidupan orang
Barat. Malah Sultan Tabariji, kakak Sultan Khairun, masuk Kristen dengan
mengubah nama menjadi Don Manuel. Adiknya yang perempuan, setelah masuk
Kristen, mengubah namanya menjadi Dona Isabela. Ayah Mudaffar, Sultan
Muhammad Jaber Syah, merupakan pendukung Belanda. Tak heran, ia
ditangkap dan dibuang ke Jakarta pada tahun 1953(?). Salah seorang
penangkapnya adalah ayah Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog Fisip UI
yang kini daerahnya (Galela) di Halmahera Utara jadi sasaran pengepungan
golongan Kristen. Sehari-hari di rumah, Sultan Djabaer Syah dan istrinya
tak pernah menggunakan bahasa Indonesia, melainkan Belanda. Mudaffar
sendiri besar di Jakarta dan baru pulang ke Ternate pada tahun '80-an.
Paradigma baru
Dengan memanfaatkan momentum keruntuhan Mudaffar dan Kesultanan
Ternate, maka sudah seharusnya para elite Ternate mengembangkan
paradigma baru yang bebas dari primordialisme dan keunggulan historis.
Maka, harus segera dilakukan desakralisasi atas Kesultanan Ternate --
malah kalau bisa dihapuskan saja -- yang merupakan penghalang utama bagi
perwujudan masyarakat madani. Mudaffar sendiri tampaknya tak punya visi
milenium ketiga. Itu terlihat, misalnya, bahwa ia dan pendukungnya tak
punya peran apa-apa dalam era reformasi ini. Ketika mahasiswa dan elite
reformis di Jakarta sibuk menumbangkan Orde Baru, Mudaffar malah sibuk
mengurusi provinsi dan konsolidasi politik, yang akhirnya terbukti telah
menjadi sumber kerusuhan di Maluku Utara.
Kesultanan Ternate juga telah membuat pemerintah daerah setengah
lumpuh sejak Soeharto turun dari kekuasaan. Betapa tidak, Mudaffar
sering mengambil kebijakan sendiri, yang bertentangan dengan UU maupun
keinginan Pemda. Dan, tak seorang pun berani menegurnya. Maklum, ia
mempunyai pasukan adat yang akan menjalankan perintah apa pun. Misalnya,
mereka pernah mengejar Bupati Maluku Utara Abdullah Assagaf dengan
parang hanya karena Mudaffar tersinggung atas kritik Assagaf mengenai
kegiatan sinkrestisme kesultanan. Kasus lain, pasukan adat pernah
menurunkan spanduk dan bendera Partai Amanat Nasional (PAN) di
jalan-jalan Ternate lantaran ''ancaman'' Amien Rais terhadap Kesultanan
Yogyakarta dalam acara debat presiden beberapa waktu lalu. Ini
menunjukkan ia tak toleran, antidemokrasi dan HAM.
Paradigma baru yang perlu dikembangkan adalah sebuah tatanan yang
berkomitmen pada kemanusiaan, rasionalisme, demokrasi, penegakan hukum,
dan HAM. Untuk itu yang harus dilakukan sekarang adalah penghentian
pembantaian umat Islam oleh golongan Nasrani di Sidangoli, Kao, Tobelo,
Jailolo, dan Galela, serta pertempuran sporadis Muslim-Nasrani di
Halmahera Tengah. Kabarnya, sebagian kaum Muslim Maluku Utara sudah
berada di lokasi kerusuhan untuk membantu saudara seagamanya. Sebenarnya
ini tak perlu. Desak saja Mudaffar Syah untuk mengimbau pengikutnya agar
menghentikan tindakan bodoh itu. Perdamaian yang menjadi syarat
terbentuknya masyarakat madani, tak dapat dibangun dengan kekerasan.
Sebaliknya, kekerasan hanya melahirkan kekerasan lain.