Suara Hidayatullah : Februari 2000/Syawal-Dzulqa'dah 1420  

IRAQ Setelah Diembargo 10 Tahun

Bukannya melarat, malah tambah makmur

Begitu mendarat di Amman, Yordania rombongan kami langsung dijemput bus yang membawa ke Baghdad. Karena tidak sempat belanja sebelumnya dan kuatir tidak tersedia bahan makanan di Baghdad, saya langsung bertanya pada sopir bus itu. “Apakah nanti di Baghdad ada makanan dan listrik.” Ditanya begitu sopir malah tertawa ngakak. Kesalahpahaman kami tentang Irak akhirnya ketahuan. “Anda buktikan sendiri.” Jawaban yang tentu saja tidak memuaskan.

Begitu keluar dari perbatasan Yordania, kami dibawa melewati sebuah jalan tol dua jalur yang panjangnya 800 kilometer hingga ke Baghdad. “Jalan ini Saddam yang membangun,” kata sopir bus. Tentu saja tidak dipungut bayaran seperti jalan tol di Indonesia. Meski sudah 10 tahun diembargo, tidak ada tanda-tanda yang memburuk dari segi fisik. Tidak ada kerusakan pada jalan tol misalnya. Sehingga mobil bisa melaju dengan kecepatan di atas 200 kilometer perjam.

Ada nada bangga ketika sopir yang membawa rombongan kami itu bercerita tentang Saddam Hussein. Tidak seperti anggapan yang muncul selama ini bahwa Saddam menindas rakyat. “Presiden kami sangat memperhatikan nasib rakyat, coba nanti Anda perhatikan apakah ada sektor publik yang tidak terlayani dengan baik, rasanya sulit Anda temukan,” katanya meyakinkan.

Menyanjung Saddam ternyata tidak hanya diungkapkan oleh sopir bus. Sejumlah masyarakat seperti tukang koran, penjual makanan juga mengungkapkan hal yang sama. Begitu bangganya mereka dengan Saddam Hussein hingga mereka mau saja mengikuti apa maunya Saddam. “Dia ingin menjadikan Irak sebagai kota seribu satu malam seperti yang ada dalam legenda sejarah,” kata salah seorang yang sempat saya temui. “Anda dapat membayangkan 10 tahun diembargo total tapi jalan berlubang dan rusak berat tidak ditemukan,” sambung yang lainnya.

Nampaknya memang tidak ada alasan bagi rakyat Irak untuk membenci Saddam, sebab hampir semua sektor publik terlayani dengan baik. Kebutuhan pangan tercukupi, bahkan melebihi kebutuhan rakyat sendiri, sehingga Irak akhirnya mengekspor gandum ke berbagai negara. Kondisi yang tidak dialami ketika Irak belum diembargo. Embargo tersebut ternyata juga memberikan berkah kepada rakyat Irak.

Saya datang bersama rombongan datang ke Irak dalam rangka menghadiri Konferensi Internasional Pemuda Dan Pelajar Non Blok, NASYO (Non Aligned Students & Youth Organization) 5 sampai dengan 8 Desember 1999. Konferensi tersebut dihadiri oleh 382 utusan dari seluruh dunia. Dari Indonesia, selain saya ada 9 orang yang lain. Dari Jakarta penerbangan via Amman, Jordania. Jordania-Baghdad yang jaraknya 1200 kilometer menghabiskan 10 jam perjalanan darat. Rombongan kami sampai di Bagdad lewat tengah malam. Jalan-jalan masih terang, tidak ada kesan bahwa negeri ini sedang bangkrut.

Esoknya konferensi dimulai. Konferensi dibuka oleh anggota Dewan Komando Revolusi Irak Dr. Abdul Ghani Abdul Ghofur dan ditutup oleh Wakil Perdana Menteri Thariq Azis. Tema utama konferensi tentang ketidak adilan dan kesewenangan Amerika terhadap Irak dan dunia ketiga lainnya.

Sanksi PBB terhadap Irak memang tiada duanya dalam sejarah. Jauh melebihi sanksi Nazi Jerman yang telah membunuh jutaan manusia. Nazi Jerman di bawah Hitler telah mengobarkan Perang Dunia II antara tahun 1939-1945 dengan menghancurkan Eropa termasuk Moskow dan London serta membantai hampir enam juta Yahudi. Namun begitu perang berakhir, negara AS yang keluar sebagai pemenang membantu perekonomian Jerman dengan paket Marshall Plan sehingga perekonomian Jerman pulih dalam waktu 5 tahun. Tahun 1950 bekas-bekas perang hampir tidak kelihatan.

Tapi terhadap Irak yang dianggap bersalah karena menginvasi Kuwait tahun 1990, dihukum dengan tidak berperikemanusiaan. Senjatanya dilucuti, ekonominya dihancurkan, wanita, orang tua dan anak-anak Irak yang tidak berdosa mati karena kekurangan obat-obatan. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda dari pemerintah AS untuk mengakhiri sangsi PBB terhadap Irak. Kondisi inilah yang menjadikan rakyat semakin kuat nasionalismenya dan kecintaannya kepada Saddam Husein.

Siapa pun yang mengikuti perkembangan tentang Irak akan merasakan bahwa dibalik sanksi PBB itu terdapat upaya sistematis untuk menghacurkan setiap kekuatan yang berpotensi menghambat keserakahan Barat dan Zionisme Israel di Timur Tengah. Apalagi kalau mengikuti thesis Samuel Huntington yang mengatakan bahwa setelah hancurnya komunisme tahun 1990, maka Islam merupakan lawan dari peradaban Barat.

Saddam Hussein telah menampakkan dirinya sebagai pemimpin Irak yang berhasil membangun Irak, baik dalam perekonomian dan terlebih lagi dalam peralatan militer. Karena itu, Barat selalu berupaya menghancurkannya. Tapi sejauh ini, Saddam Hussein tetap kokoh menjalankan roda pemerintahan Irak. Setiap upaya yang dilakukan AS dan sekutunya selalu berhasil diatasi oleh Saddam Hussein.

Pertanian Sebagai Basis Stabilitas

Irak di bawah Presiden Saddam Hussein telah menjadi bangsa yang kuat. Sambil memperkuat angkatan bersenjata, Saddam juga memperhatikan pertanian. Begitu PBB menjatuhkan sanksi terhadap Irak, Saddam langsung membangun pertanian Irak secara besar-besaran. Proyek yang pertama kali dikerjakan adalah membangun irigasi untuk pertanian.

Tahun 1993, Saddam membelah padang pasir Irak untuk dijadikan sungai yang diberi nama sungai Saddam (Nahr Assaddam). Panjangnya tidak kepalang. 500 kilometer. Begitu sungai selesai, padang pasir yang ada di kanan-kiri sungai digenangi air dan disulap menjadi lahan yang subur. Hasilnya, padang pasir dihijaukan dengan gandum sebagai makanan pokok, anggur dan korma. Karena itu tidak usah heran kalau Irak tidak mengalami kelaparan walaupun sudah diembargo sudah 10 tahun.

Jadi bayangan bahwa Irak akan kelaparan karena embargo, hanyalah ilusi belaka. Bahkan menurut banyak pengamat, 100 tahun lagi, kalau PBB kuat memberlakukan embargo, Irak akan masih punya daya tahan. Bahkan di saat embargo ekonomi, Irak mengekspor beras dan gandum. Kesulitan yang dirasakan akibat embargo adalah obat- obatan dan spare part mobil dan industri. “Di sini semua terpenuhi, kecuali mobil baru,” kata salah seorang penjual koran.

Kesuksesan Saddam dalam bidang pertanian merupakan kunci utama stabilitas politik di Irak selama embargo dunia. Irak yang memiliki sumber minyak nomor tiga di dunia, sampai saat ini persediaan minyaknya dapat dihemat untuk beberapa generasi berikutnya. Karena kebutuhan makanan pokok melimpah, masyarakat Irak tetap tenang menghadapi embargo PBB.

Bagi rakyat Irak dewasa ini masalah demokrasi dan HAM tidak menjadi isu sentral. Bahkan bagi mereka demokrasi dan HAM hanyalah slogan Amerika untuk menghancurkan Irak. Dengan cara pandang seperti ini, populeritas Saddam tetap tak tergoyahkan di mata rakyat negara yang bertetangga dengan Iran itu.

Bagaimana nasib mata uang dinar Irak? Tentu saja nilai dinar terjun bebas. Meski demikian, nasionalisme rakyat Irak tidak bisa digoyang dengan nilai dinar yang anjok itu. Sebelum embargo 1991, satu dinar Irak ditukar dengan 2,7 dolar. Sekarang satu dollar ditukar dengan 1.900 dinar. Berarti nilainya anjlok sampai 800 kali lipat. Menukar uang seratus dollar sudah tidak muat di kantong.

Ketika saya tanya pada petugas money changer, “Satu dollar berapa dinar?” Petugas itu tertawa ngakak. “Anda salah bertanya, tolong balikkan pertanyaanya, satu dinar berapa dollar.” Satu ungkapan yang menunjukkan kebanggaan kepada mata uangnya sendiri. Hebatnya lagi, anjloknya nilai dollar itu tak mempengaruhi stabilitas politik di Iraq. Bandingkan dengan kondisi Indonesia. Mata uang rupiah yang `hanya' terdevaluasi sampai 3 kali lipat, dari Rp 2500 per dollar sebelum Juni 1997 menjadi Rp 7.000 per dollar Mei 1998, telah menyebabkan kerusuhan dan akhirnya Soeharto lengser.

ltulah Irak yang terus bergulat untuk melepaskan diri dari tiang gantungan imperialisme Barat. Irak adalah contoh negara yang tidak pernah menyerahkan nasibnya kepada imperialisme yang serakah dan tidak kenal malu. Kita berharap Irak tetap tegar menghadapi dunia Barat. Untuk masa depan fenomena Irak tetap menarik untuk diikuti.

Nasser, Khadafi, dan Saddam

Keterlibatan Amerika di Timur Tengah telah menceraikan antara negara yang satu dengan yang lain. Arab Saudi, Kuwait tentu saja berseteru dengan Irak. Demikian juga dengan Palestina, hubungannya dengan Arab Saudi dan Kuwait tidak lagi seperti dulu.

Meski para pemimpinnya berseteru satu dengan yang lain, namun masyarakat Arab, paling tidak yang saya temui di Irak, sangat mendambakan persatuan negara-negara Arab. Satu persoalan yang tidak dapat dijawab oleh masyarakat dan pemimpin Arab, termasuk Irak.

Ketika penjual koran mengetahui kami dari Indonesia, mereka ingat dengan Bung Karno yang berhasil meyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku, bahasa dan budaya serta agama yang berbeda. Tapi ada juga satu dua orang yang belum paham tentang Indonesia. Mereka bertanya, “Benarkah Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku?” Ketika saya membenarkan, mereka kaget dan tidak dapat membayangkannya, seperti kekagetan mereka mendengar nyamuk terbang ke bulan.

Ada beberapa misteri mengapa negara-negara Arab sulit bersatu dan selalu muncul para pemimpin heroik yang diasumsikan oleh kalangan Barat sebagai agresor. Ada tiga pemimpin Arab yang dianggap sebagai duri dalam daging bagi bangsa-bangsa Arab, yaitu Gamal Abdul Naser, Saddam Husein dan Muammar Khadafi. Ketiganya sebenarnya bercita-cita menyatukan negara-negara Arab, tetapi selalu berbenturan dengan para pemimpin Arab lainnya.

Ketiga pemimpin itu berkesimpulan bahwa imperialisme Barat penyebab perpecahan bangsa Arab (saat ini pecah menjadi 22 negara). Karena itu imperialisme adalah musuh abadi bangsa Arab.

Ada dua benteng imperialisme yang harus dihabisi kata Nasser, Khadafi dan Saddam Hussein: pertama Zionisme Israel dan kedua raja-raja Arab. Karena itu pemimpin Arab revolusioner anti Zionis Israel dan anti kerajaan. Dua masalah inilah yang tidak pernah dapat diselesaikan setelah hampir satu abad. Jadi, adanya penyatuan Mesir dengan Syiria dan Yaman oleh Nasser, dan upaya Khadafi untuk menyatukan Libya dengan Mesir dan Chad serta upaya Saddam Hussein untuk memperluas wilayahnya ke Kuwait adalah dalam rangka menyatukan bangsa Arab.

Ketiga pimpinan Arab itu ternyata mempunyai text book yang isinya hampir sama, bahwa antek-antek imperialisme adalah raja-raja Arab dan Zionisme. `Falsafatus Tsaurah' text book politik yang dibikin oleh Gamal Abdul Nasser, Green Book oleh Muammar Khadafi dan Istirakiyah Arabiyah oleh Saddam Hussein. Dari pandangan tiga tokoh ini masalah persatuan bangsa Arab tetap merupakan rahasia kekuatan bangsa Arab. Arab yang nota benenya satu umat, satu budaya, satu bahasa dan Islam sebagai agama mayoritas, tidak pernah dapat bersatu.

Karenanya bagi mereka, para agen imperialisme barat harus dibabat dari dunia Arab. Maka ketika Mesir di bawah Anwar Saddat menerima damai dengan Israel dan berdekat-dekat dengan Amerika, maka Mesir menjadi musuh Libya. Penjelasan itulah yang menerangkan terjadinya permusuhan diantara pemimpin Arab.

Hanya saja upaya itu dilakukan setelah dunia mengakui negara bangsa dan semangat nasionalisme yang kokoh. Sehingga Irak harus menghadapi serangan Sekutu. Setelah membaca karya tiga tokoh ini, seseorang akan mengerti apa sesungguhnya yang sedang dihadapi oleh bangsa Arab dan mengapa mereka melakukan itu.

Tindakan mereka mungkin saja dinyatakan salah oleh dunia internasional. Tapi di lubuk hati yang terdalam bangsa Arab selalu ingin bersatu dan menjadi bangsa yang kuat. Jadi perlawanan bangsa Arab terhadap imperialisme tidak pernah berakhir. Semakin kejam imperialisme Barat di bawah AS menekan Irak, maka akan semakin tinggi tingkat perlawanan terhadap Amerika.

Saddam Hussein, Nasser dan Khadafi dicap teroris dan disamakan dengan Hitler oleh media massa Barat. Tapi bagi pengikutnya, mereka adalah pahlawan yang diutus Tuhan untuk membebaskan Arab. Osamah ben Ladin yang dituduh bertanggung jawab dalam peledakan dua kedutaan AS di Kenya dan Nairobi bisa disebut sebagai generasi baru Arab yang sangat anti Amerika, adalah calon pahlawan baru negeri Arab.

--Tabrani Syabirin