IRAQ Setelah Diembargo 10
Tahun
Bukannya melarat, malah tambah
makmur
Begitu mendarat di Amman, Yordania rombongan kami langsung
dijemput bus yang membawa ke Baghdad. Karena tidak sempat belanja
sebelumnya dan kuatir tidak tersedia bahan makanan di Baghdad, saya
langsung bertanya pada sopir bus itu. “Apakah nanti di Baghdad ada
makanan dan listrik.” Ditanya begitu sopir malah tertawa ngakak.
Kesalahpahaman kami tentang Irak akhirnya ketahuan. “Anda buktikan
sendiri.” Jawaban yang tentu saja tidak memuaskan.
Begitu keluar dari perbatasan Yordania, kami dibawa melewati sebuah
jalan tol dua jalur yang panjangnya 800 kilometer hingga ke Baghdad.
“Jalan ini Saddam yang membangun,” kata sopir bus. Tentu saja tidak
dipungut bayaran seperti jalan tol di Indonesia. Meski sudah 10 tahun
diembargo, tidak ada tanda-tanda yang memburuk dari segi fisik. Tidak
ada kerusakan pada jalan tol misalnya. Sehingga mobil bisa melaju dengan
kecepatan di atas 200 kilometer perjam.
Ada nada bangga ketika sopir yang membawa rombongan kami itu
bercerita tentang Saddam Hussein. Tidak seperti anggapan yang muncul
selama ini bahwa Saddam menindas rakyat. “Presiden kami sangat
memperhatikan nasib rakyat, coba nanti Anda perhatikan apakah ada sektor
publik yang tidak terlayani dengan baik, rasanya sulit Anda temukan,”
katanya meyakinkan.
Menyanjung Saddam ternyata tidak hanya diungkapkan oleh sopir bus.
Sejumlah masyarakat seperti tukang koran, penjual makanan juga
mengungkapkan hal yang sama. Begitu bangganya mereka dengan Saddam
Hussein hingga mereka mau saja mengikuti apa maunya Saddam. “Dia ingin
menjadikan Irak sebagai kota seribu satu malam seperti yang ada dalam
legenda sejarah,” kata salah seorang yang sempat saya temui. “Anda dapat
membayangkan 10 tahun diembargo total tapi jalan berlubang dan rusak
berat tidak ditemukan,” sambung yang lainnya.
Nampaknya memang tidak ada alasan bagi rakyat Irak untuk membenci
Saddam, sebab hampir semua sektor publik terlayani dengan baik.
Kebutuhan pangan tercukupi, bahkan melebihi kebutuhan rakyat sendiri,
sehingga Irak akhirnya mengekspor gandum ke berbagai negara. Kondisi
yang tidak dialami ketika Irak belum diembargo. Embargo tersebut
ternyata juga memberikan berkah kepada rakyat Irak.
Saya datang bersama rombongan datang ke Irak dalam rangka menghadiri
Konferensi Internasional Pemuda Dan Pelajar Non Blok, NASYO (Non
Aligned Students & Youth Organization) 5 sampai dengan 8
Desember 1999. Konferensi tersebut dihadiri oleh 382 utusan dari seluruh
dunia. Dari Indonesia, selain saya ada 9 orang yang lain. Dari Jakarta
penerbangan via Amman, Jordania. Jordania-Baghdad yang jaraknya 1200
kilometer menghabiskan 10 jam perjalanan darat. Rombongan kami sampai di
Bagdad lewat tengah malam. Jalan-jalan masih terang, tidak ada kesan
bahwa negeri ini sedang bangkrut.
Esoknya konferensi dimulai. Konferensi dibuka oleh anggota Dewan
Komando Revolusi Irak Dr. Abdul Ghani Abdul Ghofur dan ditutup oleh
Wakil Perdana Menteri Thariq Azis. Tema utama konferensi tentang ketidak
adilan dan kesewenangan Amerika terhadap Irak dan dunia ketiga lainnya.
Sanksi PBB terhadap Irak memang tiada duanya dalam sejarah. Jauh
melebihi sanksi Nazi Jerman yang telah membunuh jutaan manusia. Nazi
Jerman di bawah Hitler telah mengobarkan Perang Dunia II antara tahun
1939-1945 dengan menghancurkan Eropa termasuk Moskow dan London serta
membantai hampir enam juta Yahudi. Namun begitu perang berakhir, negara
AS yang keluar sebagai pemenang membantu perekonomian Jerman dengan
paket Marshall Plan sehingga perekonomian Jerman pulih dalam
waktu 5 tahun. Tahun 1950 bekas-bekas perang hampir tidak kelihatan.
Tapi terhadap Irak yang dianggap bersalah karena menginvasi Kuwait
tahun 1990, dihukum dengan tidak berperikemanusiaan. Senjatanya
dilucuti, ekonominya dihancurkan, wanita, orang tua dan anak-anak Irak
yang tidak berdosa mati karena kekurangan obat-obatan. Sampai sekarang
belum ada tanda-tanda dari pemerintah AS untuk mengakhiri sangsi PBB
terhadap Irak. Kondisi inilah yang menjadikan rakyat semakin kuat
nasionalismenya dan kecintaannya kepada Saddam Husein.
Siapa pun yang mengikuti perkembangan tentang Irak akan merasakan
bahwa dibalik sanksi PBB itu terdapat upaya sistematis untuk
menghacurkan setiap kekuatan yang berpotensi menghambat keserakahan
Barat dan Zionisme Israel di Timur Tengah. Apalagi kalau mengikuti
thesis Samuel Huntington yang mengatakan bahwa setelah hancurnya
komunisme tahun 1990, maka Islam merupakan lawan dari peradaban Barat.
Saddam Hussein telah menampakkan dirinya sebagai pemimpin Irak yang
berhasil membangun Irak, baik dalam perekonomian dan terlebih lagi dalam
peralatan militer. Karena itu, Barat selalu berupaya menghancurkannya.
Tapi sejauh ini, Saddam Hussein tetap kokoh menjalankan roda
pemerintahan Irak. Setiap upaya yang dilakukan AS dan sekutunya selalu
berhasil diatasi oleh Saddam Hussein.
Pertanian Sebagai Basis Stabilitas
Irak di bawah Presiden Saddam Hussein telah menjadi bangsa yang kuat.
Sambil memperkuat angkatan bersenjata, Saddam juga memperhatikan
pertanian. Begitu PBB menjatuhkan sanksi terhadap Irak, Saddam langsung
membangun pertanian Irak secara besar-besaran. Proyek yang pertama kali
dikerjakan adalah membangun irigasi untuk pertanian.
Tahun 1993, Saddam membelah padang pasir Irak untuk dijadikan sungai
yang diberi nama sungai Saddam (Nahr Assaddam). Panjangnya tidak
kepalang. 500 kilometer. Begitu sungai selesai, padang pasir yang ada di
kanan-kiri sungai digenangi air dan disulap menjadi lahan yang subur.
Hasilnya, padang pasir dihijaukan dengan gandum sebagai makanan pokok,
anggur dan korma. Karena itu tidak usah heran kalau Irak tidak mengalami
kelaparan walaupun sudah diembargo sudah 10 tahun.
Jadi bayangan bahwa Irak akan kelaparan karena embargo, hanyalah
ilusi belaka. Bahkan menurut banyak pengamat, 100 tahun lagi, kalau PBB
kuat memberlakukan embargo, Irak akan masih punya daya tahan. Bahkan di
saat embargo ekonomi, Irak mengekspor beras dan gandum. Kesulitan yang
dirasakan akibat embargo adalah obat- obatan dan spare part mobil
dan industri. “Di sini semua terpenuhi, kecuali mobil baru,” kata salah
seorang penjual koran.
Kesuksesan Saddam dalam bidang pertanian merupakan kunci utama
stabilitas politik di Irak selama embargo dunia. Irak yang memiliki
sumber minyak nomor tiga di dunia, sampai saat ini persediaan minyaknya
dapat dihemat untuk beberapa generasi berikutnya. Karena kebutuhan
makanan pokok melimpah, masyarakat Irak tetap tenang menghadapi embargo
PBB.
Bagi rakyat Irak dewasa ini masalah demokrasi dan HAM tidak menjadi
isu sentral. Bahkan bagi mereka demokrasi dan HAM hanyalah slogan
Amerika untuk menghancurkan Irak. Dengan cara pandang seperti ini,
populeritas Saddam tetap tak tergoyahkan di mata rakyat negara yang
bertetangga dengan Iran itu.
Bagaimana nasib mata uang dinar Irak? Tentu saja nilai dinar terjun
bebas. Meski demikian, nasionalisme rakyat Irak tidak bisa digoyang
dengan nilai dinar yang anjok itu. Sebelum embargo 1991, satu dinar Irak
ditukar dengan 2,7 dolar. Sekarang satu dollar ditukar dengan 1.900
dinar. Berarti nilainya anjlok sampai 800 kali lipat. Menukar uang
seratus dollar sudah tidak muat di kantong.
Ketika saya tanya pada petugas money changer, “Satu dollar
berapa dinar?” Petugas itu tertawa ngakak. “Anda salah bertanya,
tolong balikkan pertanyaanya, satu dinar berapa dollar.” Satu ungkapan
yang menunjukkan kebanggaan kepada mata uangnya sendiri. Hebatnya lagi,
anjloknya nilai dollar itu tak mempengaruhi stabilitas politik di Iraq.
Bandingkan dengan kondisi Indonesia. Mata uang rupiah yang `hanya'
terdevaluasi sampai 3 kali lipat, dari Rp 2500 per dollar sebelum Juni
1997 menjadi Rp 7.000 per dollar Mei 1998, telah menyebabkan kerusuhan
dan akhirnya Soeharto lengser.
ltulah Irak yang terus bergulat untuk melepaskan diri dari tiang
gantungan imperialisme Barat. Irak adalah contoh negara yang tidak
pernah menyerahkan nasibnya kepada imperialisme yang serakah dan tidak
kenal malu. Kita berharap Irak tetap tegar menghadapi dunia Barat. Untuk
masa depan fenomena Irak tetap menarik untuk diikuti.
Nasser, Khadafi, dan Saddam
Keterlibatan Amerika di Timur Tengah telah menceraikan antara negara
yang satu dengan yang lain. Arab Saudi, Kuwait tentu saja berseteru
dengan Irak. Demikian juga dengan Palestina, hubungannya dengan Arab
Saudi dan Kuwait tidak lagi seperti dulu.
Meski para pemimpinnya berseteru satu dengan yang lain, namun
masyarakat Arab, paling tidak yang saya temui di Irak, sangat
mendambakan persatuan negara-negara Arab. Satu persoalan yang tidak
dapat dijawab oleh masyarakat dan pemimpin Arab, termasuk Irak.
Ketika penjual koran mengetahui kami dari Indonesia, mereka ingat
dengan Bung Karno yang berhasil meyatukan bangsa Indonesia yang terdiri
dari ratusan suku, bahasa dan budaya serta agama yang berbeda. Tapi ada
juga satu dua orang yang belum paham tentang Indonesia. Mereka bertanya,
“Benarkah Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku?” Ketika
saya membenarkan, mereka kaget dan tidak dapat membayangkannya, seperti
kekagetan mereka mendengar nyamuk terbang ke bulan.
Ada beberapa misteri mengapa negara-negara Arab sulit bersatu dan
selalu muncul para pemimpin heroik yang diasumsikan oleh kalangan Barat
sebagai agresor. Ada tiga pemimpin Arab yang dianggap sebagai duri dalam
daging bagi bangsa-bangsa Arab, yaitu Gamal Abdul Naser, Saddam Husein
dan Muammar Khadafi. Ketiganya sebenarnya bercita-cita menyatukan
negara-negara Arab, tetapi selalu berbenturan dengan para pemimpin Arab
lainnya.
Ketiga pemimpin itu berkesimpulan bahwa imperialisme Barat penyebab
perpecahan bangsa Arab (saat ini pecah menjadi 22 negara). Karena itu
imperialisme adalah musuh abadi bangsa Arab.
Ada dua benteng imperialisme yang harus dihabisi kata Nasser, Khadafi
dan Saddam Hussein: pertama Zionisme Israel dan kedua raja-raja Arab.
Karena itu pemimpin Arab revolusioner anti Zionis Israel dan anti
kerajaan. Dua masalah inilah yang tidak pernah dapat diselesaikan
setelah hampir satu abad. Jadi, adanya penyatuan Mesir dengan Syiria dan
Yaman oleh Nasser, dan upaya Khadafi untuk menyatukan Libya dengan Mesir
dan Chad serta upaya Saddam Hussein untuk memperluas wilayahnya ke
Kuwait adalah dalam rangka menyatukan bangsa Arab.
Ketiga pimpinan Arab itu ternyata mempunyai text book yang
isinya hampir sama, bahwa antek-antek imperialisme adalah raja-raja Arab
dan Zionisme. `Falsafatus Tsaurah' text book politik yang dibikin
oleh Gamal Abdul Nasser, Green Book oleh Muammar Khadafi dan
Istirakiyah Arabiyah oleh Saddam Hussein. Dari pandangan tiga
tokoh ini masalah persatuan bangsa Arab tetap merupakan rahasia kekuatan
bangsa Arab. Arab yang nota benenya satu umat, satu budaya, satu
bahasa dan Islam sebagai agama mayoritas, tidak pernah dapat bersatu.
Karenanya bagi mereka, para agen imperialisme barat harus dibabat
dari dunia Arab. Maka ketika Mesir di bawah Anwar Saddat menerima damai
dengan Israel dan berdekat-dekat dengan Amerika, maka Mesir menjadi
musuh Libya. Penjelasan itulah yang menerangkan terjadinya permusuhan
diantara pemimpin Arab.
Hanya saja upaya itu dilakukan setelah dunia mengakui negara bangsa
dan semangat nasionalisme yang kokoh. Sehingga Irak harus menghadapi
serangan Sekutu. Setelah membaca karya tiga tokoh ini, seseorang akan
mengerti apa sesungguhnya yang sedang dihadapi oleh bangsa Arab dan
mengapa mereka melakukan itu.
Tindakan mereka mungkin saja dinyatakan salah oleh dunia
internasional. Tapi di lubuk hati yang terdalam bangsa Arab selalu ingin
bersatu dan menjadi bangsa yang kuat. Jadi perlawanan bangsa Arab
terhadap imperialisme tidak pernah berakhir. Semakin kejam imperialisme
Barat di bawah AS menekan Irak, maka akan semakin tinggi tingkat
perlawanan terhadap Amerika.
Saddam Hussein, Nasser dan Khadafi dicap teroris dan disamakan dengan
Hitler oleh media massa Barat. Tapi bagi pengikutnya, mereka adalah
pahlawan yang diutus Tuhan untuk membebaskan Arab. Osamah ben Ladin yang
dituduh bertanggung jawab dalam peledakan dua kedutaan AS di Kenya dan
Nairobi bisa disebut sebagai generasi baru Arab yang sangat anti
Amerika, adalah calon pahlawan baru negeri Arab.
--Tabrani Syabirin