INTERNASIONAL / PANJI NO. 26 TAHUN III. 13 OKTOBER 1999

 

Dua Kubu Kembali Berseteru

 

Iran: Kubu konservatif tuntut Khatami mundur dari jabatannya. Tapi Khamenei memperingatkan agar mereka tak memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik.

 

Pertarungan antara kubu reformis dan konservatif di Iran belum berakhir. Kali ini kemarahan kubu konservatif kembali menggelegak setelah majalah kampus Moj (Aliran), menurunkan tulisan semacam naskah drama yang dinilai anti-Islam dan bersifat ofensif. Kemarahan kubu konservatif--yang sebagian besar didukung anggota milisi garis keras--diaktualisasikan dengan melakukan demonstrasi menuntut Presiden Mohamamd Khatami mundur dari jabatannya dan ditutupnya majalah tersebut.

Khatami memang dikenal sebagai tokoh reformis yang mendapat dukungan luas dari kalangan mahasiswa Iran. Sejak meletusnya insiden 19 Juli silam, yang mengakibatkan bentrok antara kubu konservatif dan reformis, Khatami dituding berada di balik gerakan mahasiswa itu. Meski dituding, ia berusaha tampil apik dengan tetap tidak memperlihatkan keberpihakannya pada salah satu kubu.

Namun sikap Khatami belakangan dinilai makin jelas memihak kubu reformis dengan membiarkan majalah Moj tetap terbit. Karena itu ia kali ini kembali diuji dengan bergulirnya tuntutan kubu konservatif yang menghendaki ia  mundur dari jabatannya bersama dua menteri reformis,  yakni Menteri Kebudayaan Ayatollah Mohajerani dan Menteri Pendidikan Tinggi Mostafa Moin. Mereka bertiga kini menjadi target kubu konservatif.

“Para penulis yang cuma cari uang dan menteri-menteri yang tidak becus harus mundur,” demikian teriakan demonstran kubu konservatif. Mereka juga mengecam langkah-langkah berani yang dilakukan Mohajerani. Dia dinilai sebagai tokoh yang paling gencar menyerukan dibukanya kebebasan bagi pers, penerbitan buku dan seni. Menurut kubu konservatif, keinginan Mohajerani kemudian disalurkan dengan memberikan kebebasan bagi majalah-majalah kampus untuk menyuarakan pendapat mereka.

Memang, langkah tersebut sempat terganjal dengan ditutupnya koran Salam yang kemudian menyulut protes mahasiswa. Tetapi ia sepertinya tetap memberi angin bagi terciptanya kebebasan pers. Tulisan yang dimuat di majalah Moj setidaknya menunjukkan betapa kebebasan mengemukakan pendapat masih diberikan.

Isi majalah tersebut telah memancing kemarahan kubu konservatif. Mereka menilai, tulisan-tulisan yang dimuat isinya melecehkan keyakinan kaum muslim Syi’ah Iran yang percaya bakal datangnya Imam Mahdi ke-12 pada sebuah zaman keadilan. Sebenarnya wajar saja jika kubu konservatif tersinggung. Maklum, banyak pengamat yang menilai, isi tulisan tersebut sangat berani. Para pejabat yang reformis yang duduk di pemerintahan pun selama ini berusaha menghindari tulisan-tulisan yang sifatnya menghujat. Dan tentu saja, akibat tulisan yang dimuat Moj membuat posisi Khatami menjadi serba tidak enak. Ia berujar, “Saya kira penerbitan itu sengaja memuat tulisan kontroversial untuk membangkitkan perlawanan kelompok konservatif,” tandasnya sebagaimana dimuat kantor berita Reuters.

Mengapa kubu reformis begitu berani melakukan manuver? Beberapa analisis menyebutkan bahwa hal itu disebabkan mereka ingin terus memantau kekuatan kubu konservatif. Bila menengok kembali peristiwa Juli lalu, tampaknya masing-masing kubu mempunyai kekuatan yang seimbang. Meski begitu, ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya kekuatan kubu reformis lebih besar mengingat anggotanya adalah angkatan muda yang tidak mengalami revolusi 1979. Lagi pula, pandangan masa lalu tak lagi sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman dewasa ini. Kalangan muda umumnya menghendaki adanya kebebasan yang lebih luas bagi masyarakat Iran. Hal itu sebenarnya sejalan dengan pandangan Khatami sendiri yang sejak awal menginginkan masyarakat Iran lebih terbuka.

Hanya saja, keinginan kubu reformis tak begitu mudah untuk diwujudkan, kendati Khatami duduk di kursi presiden. Hal ini karena sistem politik di Iran tidak memberi wewenang cukup kepada presiden untuk mengubah suatu kondisi negara. Menurut undang-undang yang berlaku di negeri para mullah ini, kekuasaan tertinggi negara ada di tangan pemimpin spiritual revolusi yang kini dijabat Ayatollah Ali Khamenei. Setelah itu, ada tiga kekuasaan yang berimbang, yakni presiden, ketua parlemen, dan ketua lembaga yudikatif. Dan hampir semua mesin pemerintahan masih dikuasai kubu konservatif.

Kendati begitu, bukan berarti kekuatan kubu reformis tak bisa dianggap sepele. Karena itu, baik Khamenei maupun Khatami, berusaha mengendalikan agar kedua kekuatan itu tak saling merusak dan menghancurkan pilar-pilar negara yang telah dibangun. Itulah sebabnya Khamenei berusaha merangkul keduanya. “Janganlah persoalan ini merusak kehidupan bernegara,” ujarnya. Ia memang mengecam tulisan yang menyingung umat, tetapi Khamenei pun memperingatkan kubu konservatif agar tidak memanfaatkan sentimen agama untuk tujuan politik menjatuhkan Khatami.

 

Puji Irwanto