:
00.30 Wib Selasa,
25 April 2000
Empat Rumah Dibakar, Poslantas
Digranat
* Kandekop Pidie
Hangus
Serambi-Lhokseumawe
Empat rumah di kawasan Kota Lhokseumawe
masing-masing milik Pembantu Bupati Wilayah Lhoksukon, Kades Mon Geudong, dan
karyawan sebuah perusahaan swasta, Senin (24/4) dinihari, dibakar secara
berantai oleh kelompok bertopeng. Sementara sebelumnya, satu rumah kos polisi
digranat dan Poslantas Cunda ditembaki. Sedang dari Pidie, dilaporkan kantor
koperasi hangus dibakar.
Aksi kekacauan di zona industri itu mulai terjadi
sekitar pukul 01.00 WIB ketika sebuah rumah kos anggota UPS Polres Aceh Utara di
Lorong Kapten Yusuf, Desa Meunasah Masjid, Cunda, dilempar dengan granat yang
mengakibatkan kaca jendela rumah pecah.
Kekacauan tersebut sebenarnya sudah
terasa sejak pukul 23.15 WIB Minggu (23/4), ketika Poslantas Cunda di lintasan
Medan-Banda Aceh ditembaki kelompok tak dikenal dari arah selatan pos dimaksud.
Penembakan yang tidak menimbulkan korban jiwa itu membuat kawasan Cunda tegang
menyusul terdengarnya rentetan tembakan balasan aparat kepolisian yang melakukan
pengejaran pelaku.
Dua jam kemudian, tepatnya pukul 03.00 WIB, gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat merembes ke kawasan Kota Lhokseumawe. Empat
unit rumah dibakar secara maraton dalam rentang waktu setengah jam.
Dari
pembakaran terakhir di Jalan Purnawirawan Simpang Kramat, Kelurahan Simpang
Empat, sekitar pukul 03.30 WIB, seorang saksi mata mengungkapkan, pelakunya
berjumlah enam orang dan seluruhnya mengenakan topeng.
Pembakaran pertama
menimpa rumah toko (ruko) Kades Mon Geudong Kecamatan Banda Sakti, Mukhtaruddin
(55), di Jalan Pase, yang disusul dengan rumah Pembantu Bupati Wilayah
Lhoksukon, M Yunus (52), di Gang Barona, Mon Geudong. Dan terakhir dua pintu
rumah milik Sukimin (46), di Jalan Purnawirawan No 29 Simpang Kramat, Kelurahan
Simpang Empat. Namun, semua rumah tersebut tak sampai rata dengan tanah berkat
bantuan masyarakat dalam memadamkan api.
Aksi pembakaran rumah toko (ruko)
Kades Mon Geudong, Mukhtaruddin (55), terjadi sekitar pukul 03.00 WIB. Ketika
itu, Mukhtaruddin dan keluarganya yang sedang terlelap, dibangunkan tetangga
karena api mulai berkobar di depan tokonya Muda-mudi Taylor di Jalan Pase, Mon
Geudong. Ruko dua pintu tersebut berlantai dua dan satu pintu di antaranya
ditempati keluarga Muktaruddin.
"Seandainya tetangga tidak terbangun saat api
menyambar, barangkali kami sekeluarga sudah hangus," ujar Mukhtaruddin kepada
Serambi, kemarin pagi. Menurutnya, ketika api mulai menyambar bensin yang
disiram pelaku, terdengar suara semburan yang menyebabkan seorang tetangganya
terjaga. "Dari balik gorden, ia melihat api menyala di bagian depan
toko."
Berkat kesigapan masyarakat dalam memberikan bantuan pemadaman, api
hanya sempat mengosongkan satu pintu ruko berikut dindingnya tempat Mukhtaruddin
membuka penjahitan. Menurutnya, api hanya sekitar 10 menit berkobar sebelum
kemudian berhasil dipadamkan masyarakat Mon Geudong.
Sementara dalam
pembakaran rumah Pembantu Bupati Lhoksukon, pelaku terlebih dahulu memutuskan
kabel telepon rumah korban di bagian luar. Dan kemudian menyiram bensin
bercampur garam ke bagian dinding rumah. Sejumlah perabotan rumahnya sempat
terbakar, sampai akhirnya api dipadamkan warga.
Sedangkan dalam peristiwa
pukul 03.30 WIB, rumah Sukimin, karyawan sebuah perusahaan swasta lokal, dibakar
oleh enam orang bertopeng. Pembakaran dilakukan setelah rumahnya disiram dengan
bensin bercampur garam.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei Aksal yang
didampingi Perwira Penghubung Penerangan, Kapten Pol Drs AM Kamal, menduga kuat
tindakan meresahkan itu dilakukan oleh kelompok yang sama. "Kita sudah memiliki
sejumlah petunjuk menyangkut identitas pelaku pengacauan di wilayah ibukota Aceh
Utara, akhir-akhir ini," ungkapnya, kemarin.
Kantor koperasi
dibakar
Kantor Koperasi Kabupaten Pidie, hangus setelah dibakar orang belum
dikenal, Ahad (23/4) malam. Aksi pembakaran membuat warga setempat panik, karena
beberapa rumah penduduk berdampingan dengan kantor tersebut. Aparat langsung
mengamankan lokasi dan memberikan pertolongan, ketika mobil pemadam sedang
berupaya menjinakkan api.
Wakapolres Pidie, Mayor Pol M Natsir JF kepada
Serambi, Senin (24/4) mengatakan, aksi pembakaran yang dilakukan sekitar pukul
23.30 Wib dilakukan kelompok bersepeda motor. Diduga pelakunya terdiri dari
beberapa kelompok yang sangat berencana sebelum beraksi.
Suara dentuman keras
di tengah malam buta itu, membuat warga setempat kalang kabut. Terutama warga
yang bertempat tinggal di sekitar kantor yang dibakar tersebut. Selain aparat
keamanan, sejumlah warga juga ikut memberikan pertolongan agar api tidak
menjilat rumah penduduk.
Seandainya mobil pemadam kebakaran tidak datang,
menurut warga setempat, diperkirakan sejumlah bangunan lain di samping dan
sekitar kantor Koperasi--jalan Banda Aceh-Medan-- juga akan diamuk sijago merah.
Warga yang rumahnya berada di kawasan kantor itu mulai panik.
Sebelum beraksi
di Kantor Koperasi, pembakaran pada malam yang sama juga sudah duluan dilakukan
terhadap kantor Perdagangan--sampai Kantor Dinas PU--yang tak jauh terpaut dari
kantor Koperasi. Tapi, kantor perdagangan tidak sempat terbakar karena pelakunya
sempat dikejar oleh penjaga kantor tersebut.
Dari berbagai keterangan, tambah
Natsir, pelaku pembakaran menggunakan sepeda motor. Terbukti, ketika melarikan
diri sempat dilihat oleh penjaga kantor perdagangan. Polisi menduga pelaku
pembakaran terdiri dari beberapa kelompok. Karena, begitu pelaku pembakaran
kantor perdagangan lari kebetulan di kantor Koperasi sudah terlihat api.
Polisi, kata Natsir, kini terus melakukan upaya penyelidikan. Karena itu, ia
sangat mengharapkan bantuan informasi dari masyarakat dan pihak yang mengetahui
tentang aksi pembakaran kantor pemerintah. Kini pihaknya sudah mengamankan satu
jerigen berisi minyak dan beberapa lembar seng bekas terbakar, sebagai barang
bukti.(tim)
Dahsyat, Musibah Jantho: Pusat Kecamatan "Hujan"
Peluru
Serambi-Banda Aceh
Aksi peledakan dan pembakaran yang
terjadi di Kota Jantho, ibukota Aceh Besar pada Minggu malam (23/4) bukan hanya
menghanguskan Kan- tor BKKBN, tapi juga meluluhlantakkan gedung Bapelkes (Balai
Pela- tihan Kesehatan) sehingga menimbulkan kerugian yang ditaksir tidak kurang
Rp 3 milyar. Selain itu, api sempat pula menjilat bagian Kantor BPN.
Masih di
kawasan Aceh Besar, sekitar pukul 04.15 subuh kemarin, pusat Kecamatan Kutabaro
di Lam Ateuk dihujani peluru dan granat yang menggunakan pelontar GLM. Sasaran
pemberondongan antara lain rumah dinas Camat Kutabaro dan Kantor Urusan Agama
(KUA) yang bersebelahan. Posko Brimob di bagian belakang Mapolsek, gedung TK dan
rumah paramedis yang berada satu komplek dengan Mapolsek.
Selain itu, Kantor
Camat Kutabaro yang hanya terpaut sekitar 150 meter dari Mapolsek luput dari
aksi pembakaran meski pelaku sempat memasuki beberapa ruangan kantor menyirami
minyak dan serbuk potas- ium campur gula (untuk mempercepat kobaran
api).
Menurut sebuah sumber, gagalnya aksi pembakaran Kantor Camat karena
pelakunya diduga keburu kabur, sebab mendengar rentetan tembakan balasan dari
aparat Brimob sewaktu "menjawab" serangan lawan.
Baik rumah dinas camat, KUA,
posko Brimob, gedung TK, dan rumah paramedis dipenuhi lubang-lubang bekas
tembakan yang diduga menggunakan senjata M-16. Sebuah pesawat TV Toshiba 21
inchi milik seorang bidan di komplek tersebut tembus diterjang peluru setelah
terlebih dahulu membobol kaca jendela.
Kecuali itu, kaca jendela posko Brimob
yang diduga sebagai sasaran utama juga bolong. "Kami sempat membalas tembakan
mereka. Namun hanya beberapa saat, karena kelompok penyerang langsung
menghilang," kata seorang personil Brimob yang di-BKO-kan di Mapolsek
Kutabaro.
Selain dihujani peluru, beberapa bangunan di komplek Mapolsek
tersebut juga dihantam granat yang menggunakan pelontar GLM. Bagian plapon
bangunan terlihat pecah-pecah dan berlubang yang diyakini akibat terkena
serpihan bahan peledak. "Syukur Alhamdulillah, dalam insiden menjelang subuh itu
tak ada korban jiwa," kata Camat Kutabaro, H Baharuddin Daud S Sos.
Musibah
Jantho
Di Kota Jantho, api menghanguskan gedung utama Bapelkes yang
dipergunakan sebagai tempat pertemuan dan pelatihan. Kakanwil Kesehatan Aceh
diwakili Kormin drg Razali Sulaiman bersama Kadis Kesehatan Aceh Besar dr H
Bakri Abdullah, dan Kepala Bapelkes Aceh Besar sepanjang pagi dan siang kemarin
berada di lokasi musibah melakukan pendataan yang ditimbulkan akibat
kebakaran.
Menurut taksiran sementara Kormin Kanwil Depkes Aceh, akibat
kebakaran gedung Bapelkes tersebut menimbulkan kerugian tidak kurang Rp 3
milyar. "Semua perangkat kerja dan untuk kepentingan latihan di gedung itu
hangus. Perangkat di Bapelkes serba canggih. Kami sudah laporkan musibah ini ke
pusat," kata Razali.
Menurut perkiraan sumber-sumber di Jantho, pelaku
pembakaran tersebut, setelah sukses "mengeksekusi" Kantor BKKBN di Jalan T
Bachtiar Panglima Polem, langsung bergerak ke gedung Bapelkes yang berlokasi di
lintasan menuju Desa Jantho Baru. Selanjutnya, kelompok tersebut diduga kembali
lagi ke pusat kota, dan berusaha menghanguskan Kantor BPN.
Namun, Kantor BPN
yang juga berlokasi di Jalan T Bachtiar Panglima Polem (ujung) luput dari amukan
api. Hanya sebagian kecil bagian perkantoran itu yang
terbakar.(tim)
Suami Tewas Ditembak, Isteri dan Anak
Diculik
* Mapolsek Lamno
Digranat
Serambi-Meulaboh
Seorang warga Desa Blang Baro Kecamatan
Darulmakmur, Aceh Barat, Kasim (25) yang diculik bersama isteri dan anak di
rumahnya oleh orang tak dikenal Sabtu (22/4) dinihari, akhirnya ditemukan sudah
menjadi mayat di Desa Ladang Baro Minggu (23/4) pagi. Sementara, dari Kecamatan
Jaya dilaporkan Mapolsek Lamno dilempari granat oleh kelompok tak dikenal,
Minggu (23/4) malam.
Menurut keterangan, pada Sabtu tengah malam itu,
beberapa orang datang ke rumah Kasim. Mereka bukan hanya membawa Kasim, tapi
juga anak dan isterinya. Keesokan harinya, mayat korban yang berluka tembak di
kepala, leher, punggung, dan perut, ditemukan masyarakat setempat berjarak lebih
kurang 300 meter dari rumahnya atau tepatnya di Desa Ladang Baro (desa
tetangganya).
Sedangkan isteri korban Rafiah (23) dan anaknya Dek Cut (3)
yang juga ikut diculik bersama Kasim hingga Senin (24/4) belum diketahui
nasibnya.
Sementara itu, Kasubsektor Aceh Barat Letkol Pol Drs Satriya Hari
Prasetya kepada Serambi kemarin mengatakan, pihak kepolisian sedang melakukan
penyelidikan untuk mengungkapkan kasus pembunuhan yang menewaskan Kasim.
"Saat ini kami terus berupaya melakukan pengejaran pelaku pembunuhan dan
penculikan keluarga Kasim. Polisi juga terus menyebar dan mencari informasi
tentang keberadaan isteri dan anak korban yang diduga masih disandra kelompok
penculik itu," ujar Satriya.
Mapolsek digranat
Sementara dari Kecamatan
Jaya, Aceh Barat dilaporkan Mapolsek Lamno, Minggu (23/4) malam sekitar pukul
22.20 Wib dilempari granat oleh kelompok yang tak dikenal. Granat rakitan yang
dilempar itu, menurut Kasubsektor Aceh Barat Letkol Pol Drs Satriya Hari
Prasetya jatuh di depan Mapolsek tepatnya diatas badan jalan, sehingga tidak
mengenai sasaran.
Penggranatan itu tidak sampai menimbulkan korban di pihak
aparat serta tidak juga merusak bangunan Mapolsek yang berlokasi di pinggir
lintasan Meulaboh-Banda Aceh. Mendapat serangan itu, aparat polisi langsung
melakukan pengejaran terhadap tersangka pelakunya. Namun, karena suasana gelap
gulita pelaku sempat kabur. "Saat granat dilempar listrik sedang padam. Cuma
satu kali terdengar suara ledakan," ujar Kasubsektor. (tim)
Bocah Wanita Dibacok Setelah Diseret dari Peraduan
Serambi-Geureugok
Seorang bocah yatim, Safriana (12), Senin
(14/4) dinihari, dibacok berulangkali oleh sekelompok pria setelah diseret dari
kelelapan tidur di rumahnya Desa Mon Keulayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten
Bireuen. Akibat kejadian tersebut, murid kelas IV SD itu kritis dan kini dirawat
di Puskesmas Peusangan.
Menurut seorang keluarganya, pada saat kejadian
sekitar pukul 04.00 WIB korban masih tertidur bersama ibunya, Nurul (40),
beserta dua orang adiknya, Muladi (8) dan Munawir (4). Sedangkan abangnya sudah
berangkat ke tebat yang berjarak dua kilometer dari lokasi
kejadian.
Tiba-tiba, tiga pria tak dikenal merangsek ke rumah tersebut dan
menyeret Safriana untuk kemudian membacoknya berulangkali. Pembacakon itu
mengakibatkan punggung, leher, dan tangan korban luka serius. Sementara bagian
pahanya walaupun terkena bacokan tidak menimbulkan luka berarti.
Di bawah
tangisan korban dan jerit histeris ibu dan adik-adik Safriana, pelaku melarikan
diri dan menghilang di kegelapan malam. Sekitar pukul 04.30 WIB, korban
dilarikan ke Puskesmas Peusangan. Sejauh ini keluarga korban terus mencari
pelaku pembacokan tak jelas motif dimaksud.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol
Drs Syafei Aksal yang didampingi Perwira Penghubung Penerangan, Kapten Pol Drs
AM Kamal, tadi malam, mengaku belum mendapat laporan tentang tindak pidana
tersebut. (tim)
Pak Syam: Kekerasan Harus
Diakhiri
Serambi-Banda Aceh
Gubernur Syamsuddin Mahmud
menyatakan, pemerintah dan masyarakat Aceh saat ini menginginkan agar daerah ini
bisa cepat keluar dari tekanan politik kekerasan. "Situasi buruk ini harus
diakhiri. Marilah kita bangun rasa kasih sayang di antara sesama kita sehingga
tidak ada lagi korban nyawa sia-sia dan masyarakat bisa cepat keluar dari
kesengsaraan," ujarnya.
Syamsuddin Mahmud yang ditanya Serambi sesuai
memimpin Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah (Rakorpimda), Senin (24/4), juga
menghimbau masyarakat untuk tetap bersabar dalam menghadapi situasi Aceh. "Ini
musibah berkepanjangan, kita harus sabar dan selalu berdoa agar cepat berakhir,"
kata Pak Syam.
Gubernur juga mengakui bahwa dalam Rakorpimda kemarin yang
tertutup bagi pers antara lain juga dibahas mengenai situasi gangguan keamaman
belakangan ini yang eskalasinya dirasakan meningkat. Ditanya bagaimana
Rakorpimda menyikapinya, Pak Syam menjawab, "Ya kita bersama harus berupaya
keras untuk mengakhiri".
Dalam kaitan meningkatnya aksi kekerasan itulah,
gubernur menghimbau para pelaku untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di antara
sesama manusia. "Kita sangat prihatin. Kasihan rakyat," ujarnya.
Kepada
pihak aparat yang melakukan operasi dalam kaitan memulihkan kondisi Aceh,
gubernur meminta agar setiap operasi yang dilakukan tetap dalam suasana simpatik
dengan menyertakan tokoh-tokoh masyarakat.
Pak Syam mengharapkan, dalam tahun
2000 ini kondisi keamanan di Aceh bisa semakin membaik dalam arti tingkat tindak
kekerasan, perusakan, dan tindakan lain yang merugikan masyarakat akan menurun
sampai titik yang memungkinkan proses pemerintahan dan pembangunan serta
kehidupan masyarakat berjalan lancar dan aman.
"Pemerintah daerah akan selalu
melakukan komunikasi agar dalam melakukan usaha menjaga dan menstabilkan
ketertiban dan keamanan, tidak sampai menyakiti hati rakyat, merugikan rakyat,
dan lebih jauh lagi jangan sampai terjadi hilangnya nyawa rakyat Aceh," ujar
gubernur.
Samakan visi
Sementara itu, Kepala Biro Humas Setwilda Aceh Drs
Teuku Pribadi, menjelaskan kepada Serambi bahwa Rakorpimda yang berlangsung
sehari penuh kemarin di Balai Keureukon Setwilda Aceh tujuan utamanya adalah
untuk menyamakan visi di antara pimpinan daerah dalam upaya mengakhiri krisis
keamanan di daerah ini. Melalui Rakor, berhasil dirumuskan sejumlah kesimpulan
dalam upaya mengatasi berbagai persoalan di Aceh. (Kesimpulan Rakor lihat
box).
Rakorpimda itu diikuti Muspida plus tingkat I Aceh, Muspida tingkat II
se-Aceh, anggota DPRD Aceh, para kepala dinas, Kakanwil, dan pejabat di
lingkungan Setwilda Aceh. Dalam Rakorpimda, selain penjelasan gubernur, juga
dipaparkan uraian Kapolda Aceh, Danrem Teuku Umar, serta Danrem Lilawangsa yang
diiringi dialog dengan peserta rapat. Sehari sebelumnya, juga digelar rapat
kerja gubernur bersama para bupati dan walikota se-Aceh.
Menurut T Pribadi,
peserta Rakorpimda kemarin sangat antusias dan transparan dalam berdialog. T
Pribadi melukiskan bahwa situasi Rakorpimda mampu mencairkan kebekuan yang
terasa selama ini antara birokrat, aparat, dan anggota dewan baik di tingkat I
maupun tingkat II. "Sehingga melahirkan visi bersama bahwa masalah Aceh tidak
boleh lagi berlarut-larut," ujar T Pribadi.
Peserta Rakor juga memberikan
perhatian khusus terhadap jatuhnya korban selama ini, baik akibat tindakan
aparat maupun dari sipil bersenjata. Rakor mendesak agar situasi buruk ini harus
cepat diakhiri. "Peserta Rakor mengharapkan kejujuran semua pihak, baik terhadap
diri sendiri maupun pihak lain. Sehingga upaya pengemasan sesuatu kepentingan
tertentu yang merugikan rakyat dapat diatasi. Kalau terlanjur berbuat salah ya
harus diakui sehingga hilang kecurigaan di antara sesama kita. Jangan di depan
tampak berupaya menyelesaikan masalah, tetapi di belakang justru mengobok-obok,"
ujar Pribadi mengutip keinginan peserta Rakorpimda. (rul)
Hasil dan Kesimpulan Rakorpimda
Aceh
Sebelum menutup Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah Aceh,
kemarin, Gubernur Syamsuddin Mahmud membacakan hasil dan kesimpulan Rakorpimda
itu, yang isinya sebagai berikut.
1. Untuk menyamakan visi dan persepsi dalam
menyelesaikan berbagai masalah politik, keamanan, pemerintahan, ekonomi dan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelayanan kepada
masyarakat, maka frekuensi pelaksanaan forum Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah
yang telah melembaga perlu ditingkatkan baik di propinsi maupun di
kabupaten/kota. Bupati/walikota diminta menginstruksikan camat untuk
melaksanakan rapat koordinasi Muspika sebagai forum penyelesaian permasalahan di
kecamatan.
2. Para bupati/walikota diminta menginstruksikan kembali camat dan
kepala desa/kelurahan untuk melakukan kegiatan Siskamling atau "pageu
gampong".
3. Perlu pengamanan ekstra ketat terhadap kantor pemerintahan,
proyek vital, gedung sekolah, dan infrastruktur lainnya terhadap kemungkinan
bahaya kebakaran dan tindak kriminal.
4. Diminta kepada aparat penegak hukum
untuk sungguh-sungguh melakukan penegakan hukum (law enforcement) secara murni
dan konsekuen. Ini penting dalam rangka meningkatkan kewibawaan pemerintah dan
perlindungan terhadap seluruh rakyat Aceh yang mendambakan hidup rukun, aman,
dan damai.
5. Kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Kakanwil Kehakiman, serta
Kepala Kejaksaan Tinggi diminta berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Mahkamah
Agung, Menkumdang, dan Kejaksaan Agung untuk penambahan atau penggantian tenaga
hakim/jaksa. Juga perlu diupayakan pembangunan kembali/renovasi Lembaga
Pemasyarakatan dan Kantor Pengadilan Negeri yang terbakar.
6. Sebagai salah
satu upaya penyelesaian persoalan Aceh secara menyeluruh dan komprehensif, perlu
meminta perhatian pemerintah pusat untuk segera mensahkan dan merealisasikan UU
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai perwujudan otonomi khusus sesuai amanat Tap MPR
No IV/MPR/1999 tentang GBHN.
7. Pemerintah pusat perlu kiranya segera
mensahkan dan merealisasikan UU tentang Daerah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas
Sabang.
8. Perlu dibentuk tim koordinasi pengendalian keamanan daerah
propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.
9. Diminta perhatian bupati untuk
segera memfungsikan kembali secara efektif semua kantor pemerintahan kabupaten,
kecamatan, dan desa/kelurahan. Juga bupati/walikota diminta senantiasa mendorong
berfungsinya struktur lembaga adat/kemasyarakatan pada kabupaten/kota,
kecamatan, mukim, dan desa/kelurahan.
10. Diminta perhatian bupati/walikota
untuk meningkatkan intensitas pelaksanaan koordinasi terutama Rakor Muspida
tingkat II, Rakor Muspika, dan rapat pertemuan dengan alim ulama, tokoh
masyarakat/adat, pimpinan Parpol, Ormas, LSM, pemuda, dan mahasiswa dalam rangka
menyamakan visi dan persepsi dalam upaya penyelesaian permasalahan yang dihadapi
daerah.
11. Bupati/walikota dan camat diminta meningkatkan peran dan fungsi
lembaga-lembaga desa/kelurahan seperti kepala desa/lurah, LMD (tuha peuet, tuha
lapan), dan peranata sosial lain yang ada di desa.
12. Operasi Sadar Rencong
yang digelar kepolisian perlu dilanjutkan dan ditingkatkan, dengan catatan
pelaksanaan operasi tersebut haruslah "operasi yang simpatik", termasuk
"sweeping yang simpatik" sehingga mendapat dukungan dari rakyat yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesopanan, dan adat-istiadat yang
telah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Aceh yang Islami.
13. Diminta
perhatian para bupati/walikota, camat, dan kepala desa untuk menumbuhkan kembali
keberanian moral masyarakat Aceh yang dalam sejarahnya sebagai masyarakat yang
sangat berani melawan berbagai tindak kejahatan.
14. TNI/Polri merupakan
institusi negara sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Maka untuk tugas
pemulihan keamanan perlu mendapat dukungan dari seluruh lapisan
masyarakat.
15. Sesuai dengan paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan, diharapkan semua pejabat/aparat (baik sipil maupun TNI/Polri)
mulai dari propinsi sampai kelurahan untuk tidak memamerkan sikap arogansi
kekuasaan, akan tetapi mewujudkan pola kepemimpinan demokratis, disegani,
dicintai, dan dibanggakan rakyat. Pimpinan semua tingkatan, terutama bupati,
camat, mukim, dan kepala desa agar senantiasa berkomunikasi dan melihat secara
langsung kehidupan rakyat di desa.
16. Bupati diminta berkoordinasi dengan
instansi terkait untuk mengupayakan pemulangan para pengungsi. Yang telah
kembali ke desa agar diberi jaminan keamanan, perbaikan/pembangunan rumah yang
dibakar, pengembalian lahan pertanian dan rumah yang berpindahtangan secara
illegal kepada pihak tertentu, realokasi lahan, realokasi dana, dan upaya lain
dalam rangka rekoveri kehidupan yang bersangkutan.
17. Untuk mengantisipasi
konflik dan kecemburuan sosial, bupati/walikota perlu menghimbau
perusahaan-perusahaan besar untuk memperhatikan dan membantu masyarakat sekitar,
seperti membangun jalan, pelestarian lingkungan, mengutamakan tenaga lokal,
program kesehatan, olahraga, kegiatan keagamaan dan pendidikan, baik sebagai
orangtua asuh maupun bantuan lainnya.
18. Untuk mengupayakan masyarakat Aceh
yang adil dan makmur Baldatun thaibatun warabul ghafur perlu perhatian
sungguh-sungguh untuk mengambil langkah-langkah pelaksanaan pembangunan yang
semakin merata, menyentuh sendi-sendiri kehidupan masyarakat, dan pemberdayaan
ekonomi kerakyatan.
19. Bupati/walikota diminta menginstruksikan camat/kepala
desa untuk menggalakkan kegiatan masyarakat kepada hal-hal positif yang langsung
menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak.
20. Diminta perhatian
bupati untuk membina warga masyarakat yang telah menyatakan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
21. Masyarakat pengguna jalan diimbau secara
persuasif untuk dapat mematuhi peraturan tata tertib berlalu lintas.
22.
Pemerintah Daerah Aceh sangat mendukung pelaksanaan Kongres Rakyat Aceh (KRA)
sebagai forum komunikasi yang diharapkan mampu menghimpun persoalan Aceh
sekaligus melahirkan pemikiran yang dilandasi kesamaan visi dan persepsi dalam
menyelesaikan persoalan Aceh.
23. Bupati/walikota diminta menginstruksikan
para camat, mukim, dan kepala desa untuk mensosialisasikan UU No 44/1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dalam bidang agama,
pendidikan, adat-istiadat, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan
daerah.
24. Kakanwil Depdiknas Aceh diminta menindaklanjuti permasalahan
kekurangan guru/tenaga administrasi sekolah yang telah dilaporkan kepada
Mendiknas.
25. Kakanwil Depdiknas, Kakanwil Depag, Kadis P dan K, serta para
bupati/walikota diminta meminimalisasi kesenjangan kualitas pendidikan
antar-daerah di Aceh. Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, para
bupati/walikota diminta memajukan pendidikan di daerahnya dan diupayakan dana
untuk pendidikan dianggarkan dalam APBD kabupaten/kota. ***
Klinik MOI Ditutup, Warga Desa Kesulitan
Serambi-Lhokseumawe
Warga Paya Bakong Kecamatan Matangkuli,
Aceh Utara mengatakan sangat kesulitan sejak ditutupnya klinik kesehatan milik
Exxon Mobil di kawasan mereka. Kecuali tidak lagi memperoleh pengobatan gratis,
warga miskin di pedalaman Aceh Utara itu juga harus menempuh sampai 15 Km untuk
memperoleh layanan Puskesmas.
Kepada Serambi dan wartawan kantor berita
Jepang, Kyodo News, Fumiaki Yonemoto, warga meminta Mobil memperhatikan nasib
warga di pedalaman dengan membuka kembali klinik tersebut.
Kecuali itu,
masyarakat juga mengeluh tentang belum terbangunnya rumah-rumah penduduk yang
terbakar ketika terjadi insiden bersenjata empat bulan lalu. Wartawan Kyodo News
ikut melihat klinik yang kondisinya sedang tertutup dan puing-puing rumah
penduduk yang terbakar.
"Saya akan tulis tentang pembakaran, pemerkosaan,
dan penutupan klinik, karena hal itu membuat petani kecil menderita," kata
Fumiaki yang Minggu kemarin disambut dengan rasa senang oleh warga
Matangkuli.
Masyarakat Paya Bakong, baik kepada Kyodo News maupun kepada
Serambi mengaku, selama ditutupnya klinik Mobil yang dibangun tahun 1980-an itu,
terpaksa menempuh jarak 14 Km ke ibukota Kecamatan Matangkuli untuk berobat di
Puskesmas. Selain jarak tempuh, kata Tgk A Salam (50), juga biaya lebih tinggi.
Di klinik Mobil hanya dikutip dana Rp 500/ kartu, sementara obat-obatan yang
cukup bermutu diberikan gratis. Sedangkan di Puskesmas dikutip Rp 1000 untuk
kartu berobat dan obatnya juga kurang bagus, kata A Salam.
Ditutupnya klinik
tersebut sekitar pertengahan bulan Maret lalu, merupakan ekses dari pembakaran
asset perusahaan Mobil yang dilakukan kelompok bersenjata api beberapa kali.
Karena aksi pembakaran asset seperti klinik di Cunda serta aksi perampasan mobil
rental dan bahkan sekitar 20 kali terjadi, mengakibatkan perusahaan rugi
milyaran rupiah.
Peristiwa paling terakhir adalah pembakaran tiga unit bus
angkutan karyawan Mobil jenis Mersedes Benz yang terjadi Senin (20/3) di Kota
Lhokseumawe dan di Paya Bakong Matangkuli yang dilakukan pria bersenjata.
Kecuali asset perusahaan terganggu, berbagai ancaman lainnya terus menerus
dilakukan kelompok orang tak dikenal via telepon ataupun secara langsung.
(tim)
DPRD Pidie bakal
Dileburkan
Serambi-Sigli
Sejumlah pimpinan partai politik
(parpol) di Kabupaten Pidie mengatakan komposisi DPRD sekarang (hasil pemilu
1997) bakal dileburkan. Karena pemerintah pusat berjanji dalam dua bulan ini
akan melakukan revisi terhadap Keppres No 118 1999, tentang pengukuhan DPRD
lama.
Keyakinan itu dikatakan Drs Jalaluddin Harus (Ketua PAN), T Ibrahim
(Ketua PDIP) dan Drs Tgk Yusri Ahmad) kepada Serambi, Ahad (23/4), setelah
mereka melakukan lobi ke Jakarta, beberapa hari lalu. Mereka juga sudah
melakukan pertemuan khusus dengan Menteri Dalam Negeri dan pejabat terkait
lainnya.
Selain itu, dengan ditemani salah seorang Menteri lainnya, menurut
Jalaluddin, mereka juga sudah melakukan pertemuan dengan sejumlah kalangan
berkompeten. Bahkan masing-masing mereka sudah bertemu dengan pucuk pimnpinan
partainya, seperti Amien Rais, Megawati Soekarno Putri, Hamzah Haz, dan Matori
Abdul Jalil.
Dari hasil pertemuan itu, menurut Jalaluddin, sudah ada sinyal
bahwa persoalan tersebut akan dituntaskan sebelumnya berakhir bulan Mei 2000.
Apalagi, mereka datang ke Jakarta hanya meminta kepada presiden untuk melakukan
revisi terhadap Keppres No 118 1999, tentang pengukuhan kembali DPRD
lama.
Dengan dileburkanya Keppres, menurut Jalaluddin, maka dengan sendirinya
DPRD lama akan lebur. Sehingga berlakunyalah Keppres baru dengan komposisi DPRD
baru pula. Namun, pengisian anggota DPRD baru ada dua opsi yang diusulkan oleh
mereka kepada presiden.
Sebagaimana suratnya sudah disampaikan kepada
presiden, kata Jalaluddin, mereka hanya mengusulkan dua opsi penetapan DPRD baru
nanti. Pertama tetap berpedoman pada hasil pemilu tingkat kabupaten yang sudah
ditolak oleh sebagian partai. Kedua, berpedoman pada suara pemilu tingkat
propinsi.
Sementara T Ibrahim mengatakan ia sangat optimis akan segera
terjadi pergantian DPRD. Apalagi, setelah mereka datang ke Jakarta dan
menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. "Mereka yang di Jakarta baru mengerti
masalah dan kemelut yang selama ini terjadi di Pidie dan Aceh Utara,"
katanya.
Lobi tak hanya dilakukan dengan para menteri, tapi juga dengan
sejumlah pimpinan partai. Karena itu, kata T Ibrahim, pihaknya cukup optimis dan
dalam waktu dekat bakal terjadi peleburan Keppres No 118 1999. Sehingga
pemilihan bupati akan dilakukan oleh DPRD baru.
Menurut T Ibrahim, DPRD yang
ada sekarang sudah tidak legitimed untuk memilih bupati ke depan. Karena mereka
yang duduk di dewan --hasil pemilu 1997-- tidak mewakili aspirasi rakyat.
Artinya, mereka sebagai anggota dewan karena berdasarkan Keppres. "Tidak salah
kalau mereka itu anggota dewannya persiden, bukan mewakili rakyat,"
katanya.
Kedatangan mereka ke Jakarta untuk tujuan lobi, tidak hanya
dilakukan tiga pucuk pimpinan partai tergolong besar itu. Tapi juga sejumlah
pimpinan partai gurem ikut hadir dalam berbagai pertemuan di Jakarta. "Kami
datang hanya untuk menjelaskan duduk persoalannya," tambah Drs Tgk Yusri
Ahmad.
Sebelumnya, Ketua DPRD Pidie HM Yoesoef Daoed kepada Serambi,
mengatakan selain sudah dikukuhkan dengan Keppres No 118 Tahun 1999, keberadaan
DPRD sekarang juga sudah ditegaskan lagi dengan surat gubernur. Sehingga, DPRD
yang ada sekarang masih sah berbuat untuk kepentingan daerah.
Seandainya
tidak terjadi perubahan lagi, menurut Yoesoef, maka DPRD yang ada sekarang masih
punya tanggungjawab dan wewenang untuk melakukan berbagai kepentingan daerah.
Termasuk melakukan berbagai persiapan suksesi. "Kami sekarang hanya menjalankan
tugas sesuai ketentuan," katanya.(tu)
Tidak Ada Titik Kemesraan
PEMBERONTAKAN,
huru-hara, dan perang saudara laksana penyakit menular. Saban saat dapat
menggerogoti batas imunitas tatanan dan sendi-sendi kehidupan normatif. Aceh
adalah contoh kasus terdekat dari gambaran itu. Terlepas dari siapa yang
merancang dan siapa pula yang melakukan kekacauan keamanan yang mengarah kepada
perpecahan, Aceh adalah potret dari ungkapan di atas.
Ironis memang. Pada
masa orde baru, khususnya dalam rentang waktu 1989-1998, Aceh merasa
diperlakukan tidak adil dalam segala bidang dan menyatakan pemerintahan Orba
sebagai sangat diktator terhadap daerah dan rakyat bumi Serambi Mekah. Sehingga
mereka melakukan perlawanan-perlawanan.
Namun, ketika kediktatoran Orba
berhasil diruntuhkan seiring hempasan angin reformasi, Aceh -- disadari atau
tidak -- justru seperti mengorbankan diri menjadi arena untuk membangun praktik-
praktik kediktatoran baru.
Kedikdatoran, menurut teori Mc Iver, seorang
peneliti masalah pemerintahan berkebangsaan Amerika, tercipta bila ketertiban
sosial terguncang pada masa konflik yang mendalam. Juga, ketika manusia bersedia
untuk mengorbankan banyak asal saja seorang kuat dapat mengembalikan pada mereka
jaminan keamanan dan ketertiban.
Dalam keadaan seperti itu, mereka
meninggalkan standar-standar legalitas yang pernah dipunyai. Antitesis antara
kediktatoran dan legalitas telah dikenal sejak zaman negara kota di Yunani.
Seorang Sophist yang tak dikenal menulis ketika adanya Perang Poloponesus, bahwa
mengenyampingkan hukum adalah cara-cara suatu kediktatoran.
Bagaimana dengan
Aceh? Teori dari hasil penelitian panjang Mc Iver adalah sebuah kenyataan yang
nyaris tidak bisa ditampik. Sejak kekisruhan meletus Agustus 1998, Aceh seakan
menjadi negeri tak bertuan. Pemerintahan sipil di berbagai lini amburadul, hukum
jor- joran, dan perekonomian ambruk hingga ke titik nadir setelah bangunan
kantornya dibakar dan aparatnya diteror untuk tidak bekerja. Yang memilukan,
akibat kondisi itu masyarakat mengungsi untuk mencari kedamaian yang jauh dari
tempat pemukimannya.
Suasana itu bersumbu dari pecahnya huru-hara bersenjata
antara kelompok sipil dengan aparat keamanan. Setelah membiarkan proses
perlawanan dalam berbagai bentuk sekian lama, termasuk "membiarkan" anggotanya
dibunuh dan diculik serta institusinya dihujat kiri dan kanan, sekitar Januari
1999 aparat keamanan mulai menunjukkan keberadaannya.
Pihak keamanan,
TNI/Polri, menempatkan pasukannya di berbagai kecamatan bahkan di desa-desa
dengan menggelar Operasi Wibawa. Masyarakat yang trauma dengan tindak
pelanggaran HAM di masa DOM, di samping teracuni berbagai provokasi,
beramai-ramai mengungsi begitu tentara masuk kampung.
Dan operasi itu
menjadi sangat tidak berwibawa setelah puluhan warga sipil dari ratusan yang
ditangkap menjadi korban penganiayaan aparat di Gedung KNPI Aceh Utara di
Lhokseumawe. Enam di antaranya tewas. Dan seorang perwira TNI, Mayor Inf Bayu
Nadjib, dimahmilkan.
Apalagi, pada saat operasi itu digelar intensitas
penyerangan markas dan truk-truk pasukan aparat keamanan oleh kelompok yang
disebut aparat sebagai sipil bersenjata meningkat tajam. Untuk mencari pelaku
aksi itu, aparat melakukan penyisiran ke desa-desa. Dalam penyisiran tersebut,
menurut beberapa tokoh masyarakat di Aceh Utara dan Pidie, aparat keamanan lebih
mengedepankan pola tempur.
Padahal, pada saat itu masyarakat sedang
anti-antinya pada pola tersebut, termasuk trauma melihat orang-orang berseragam
militer. "Seandainya yang dikedepankan adalah pendekatan sosial dan bukan
tempur, mungkin hubungan masyarakat sipil-militer di Aceh tidak sekeruh saat
ini," ungkap M Rizwan Ali, aktivis mahasiswa Lhokseumawe.
Dalam kondisi
masyarakat yang sangat labil, pendekatan tempur justru menjadikan kekeruhan
hubungan warga sipil-militer di Aceh semakin pekat. Masyarakat yang sebelumnya
tidak berada dan memihak ke mana-mana di antara dua kelompok bertikai akhirnya
memilih salah satunya yang dirasakan dapat memberikan rasa aman pada dirinya.
Akibatnya, jumlah yang mendukung GAM semakin banyak. Baik terang- terangan
maupun kucing-kucingan.
Dan dengan pola operasi seperti itu, sejak masa
lahirnya GAM hingga era reformasi sekarang ini aparat keamanan belum dapat
mengakhiri pemberontakan di Aceh secara militer. Buktinya, sampai saat ini
penyerangan markas komando aparat keamanan di berbagai kabupaten di propinsi ini
terus terjadi.
Tiga tokoh Aceh yang tidak mau namanya disertakan dalam
tulisan ini menyebutkan, bahwa itu membuktikan pendekatan bersenjata atau tempur
sangat tidak efektif untuk menuntaskan konflik Aceh walaupun yang dihadapi
adalah para gerilya.
Pendekatan tempur, menurut tokoh-tokoh Aceh, merupakan
warisan Belanda yang terus ditiru Indonesia. "Ini merupakan kesalahan terbesar
dalam penanganan Aceh yang membuat hubungan sipil-militer di daerah ini terus
amburadul. Salah satu kelemahan terbesar bangsa ini adalah menganggap apa yang
dilakukan Belanda terhadap kita adalah benar sehingga kita pun menjadikannya
sebagai patron untuk menghadapi setiap ancaman dalam negeri," kemuka rata-rata
mereka.
Bekas pejabat penting di TNI-AD, Letjen (purn) Sayidiman
Suryohadiprojo, dalam bukunya bertajuk "Kepemimpinan ABRI Dalam Sejarah dan
Perjuangannya" menulis, TNI tidak pernah dapat mengakhiri pemberontakan Aceh
dengan tuntas secara militer.
Dan andaikata hanya dilakukan dengan cara
militer saja, menurutnya yang merujuk pada kasus DI/TII pimpinan Daud Beureueh,
menjadi tanda tanya besar apakah masalah itu sudah selesai. Sebab, baik dilihat
dari sudut sejarah, sifat rakyat Aceh, medan dan bentuk geografi Aceh, maupun
dari tersedianya pasukan TNI yang kurang memadai, penyelesaian secara militer
saja amat sukar.
"Kita teringat akan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda
di zaman kolonial yang memang dapat diselesaikan Belanda. Tetapi, dalam jangka
waktu lama serta menggunakan tipu muslihat dalam pendekatan agama hasil
pekerjaan Snouck Hurgronye," ungkap Sayidiman dalam buku itu.
Ia seperti
banyak tokoh Aceh lainnya berpendapat, jalan terbaik untuk menyelesaikan
pergolakan di Tanah Rencong adalah dengan pendekatan politik yang dibangun lewat
sentuhan sosial. Bila senjata masih dikedepankan, maka ekses tidak dapat
dihindarkan dan antipati terhadap keberadaan militer (TNI/Polri) akan terus
mengapung.
Dari sejumlah sumber anonim juga diperoleh gambaran, bila sistem
senjata teknologi masih dipraktikkan dalam penanganan masalah Aceh, maka selama
itu pula pemerintahan sipil tidak mampu berbuat apa-apa dalam menjalankan
fungsinya. Baik fungsi pemerintahan, pembangunan, maupun sosial kemasyarakatan.
Apalagi, tak terjawab apakah karena provokasi atau murni, rakyat seperti alergi
dengan segala yang berbau pemerintah Indonesia.
Dan dalam kasus Aceh di era
reformasi ini, tambah sumber itu, pemerintahan sipil -- diakui atau tidak --
terkesan tidak berani menunjukkan kiprahnya untuk memberikan "semacam saran"
kepada pihak aparat keamanan demi terciptanya kemaslahatan di Tanah
Rencong.
Padahal, menurut Kapuspen TNI Marsda Graito Usodo, ketika tampil
sebagai salah satu pemberi materi pada acara pembuka pelatihan wartawan tentang
hubungan sipil militer di Indonesia, sejak embrionya militer (TNI-red) tunduk
pada supremasi sipil.
Ketidakberdayaan pemerintahan sipil dalam meredam
sekaligus menghempang berbagai kekerasan bersenjata api di Aceh menjadikan
kredibilitasnya yang terpuruk di masa Orba semakin tidak dipercaya pada era
reformasi ini. Apalagi, sebagai pemerintah di daerah, kewenangan dan otoritasnya
dibatasi sejak awal oleh pusat.
Yoshimi Nishi, gadis Jepang yang sedang
melakukan penelitian bidang sejarah di Aceh melihat, pusat tidak mungkin memberi
otoritas lebih kepada Pemda Aceh.
Apalagi ketika tuntutan itu dilakukan,
pemerintah pusat sendiri sedang labil. "Waktu itu di pusat masih ada pertarungan
elite politik dan tarik-menarik kepentingan antara sipil dan militer," kata
master jurusan Studi Wilayah pada Universitas Kyoto Jepang itu.
Kondisi itu
tak ayal ikut memperparah hubungan segi tiga antara rakyat dengan pemerintahan
sipil dan militer di Aceh. Ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah sipil dan
militer menjadikan bayang-bayang disintegrasi di Aceh kian dalam. Apalagi, pada
bulan November 1999, dua jutaan rakyat berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman
Banda Aceh untuk menuntut dilaksanakannya referendum di Aceh.
Pada waktu itu,
sebagian besar rakyat menganggap Aceh sudah merdeka dari Indonesia. Sehingga
semua yang berbau Indonesia dipandang sebelah mata, terutama yang beraroma
militernya. Sampai-sampai kebijakan TNI untuk membentuk Kodam I/Iskandar Muda di
Aceh gagal total meski berbagai infrastruktur untuk itu sudah klar 100 persen,
termasuk calon Pangdam-nya.
Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Syafnil Armen
menyebut kondisi itu mencuat karena adanya pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan
situasi untuk menjarakkan hubungan militer dengan rakyat. Dan masyarakat
terprovokasi.
Ujung-ujungnya hubungan sipil-militer pun kian runyam. Dan
sampai saat ini seperti tidak ada titik kemesraan. hamdani s rukiah
Banda Aceh 795 Tahun: Pelacur di Peunayong, Gudang
Preman Arah Jambo Tapee
Oleh; Hasyim KS
Kita tidak tahu
apakah ketika tahun 1205 M sebagai awal ditetapkan lahirnya kota Banda Aceh,
apakah nama tersebut memang Banda Aceh (Bandar Aceh) atau ada yang lain. Kalau
direnung-renungkan, kiranya jauh lebih tua Banda Aceh dengan Malaka, atawa pusat
kerajaan Islam Moghul di Delhi India maupun beberapa kesultanan di Indonesia
Bagian Timur. Tapi mana sisa-sisa sebuah kota yang berpredikat bandar itu? Tanpa
mengecilkan arti benar tidaknya ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun
mengakui yang tahun 1205 M itu adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan
Sultan pertamanya Alaidin Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang
di Banda Aceh sekarang yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera ketimbang
sebuah kota sebagai bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga
muncul di abad-abad lampau.
Sebagian kita barangkali telah terbawa arus
berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah kota
berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian membuat kita
menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga memiliki sebuah
kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi.
Sekali lagi tanpa
mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini, kita
cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh
Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh sampai ke tingkat
internasional pada abad-abad lalu tersebut.
Dari berbagai catatan, diperoleh
data tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini,
tentang lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan
dengan Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai
ke kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing,
tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib
singgah untuk membeli ataupun mem- barter berbgai jenis rempah-rempah. Baiklah
kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan
dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd. Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan
tersebut berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus,
Singkli (Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao
(Lhokpaoh), Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas
(Rigah), Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong
Balee-Pen).
Mereka, pelaut-peluat asing itu tidak mencantumkan adanya
Sibolga, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh.
Lagi-lagi
tanpa mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan
Kerajaan Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah
memang telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988,
ditetapkanlah tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1
Ramadhan 601 H, atau 22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar
(kota pelabuhan) ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para
peneliti sejarah jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam
bissawab.
Cuma 6 Sekolah Dasar
Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Banda
Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD) yang
ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari salah
satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh masyarakat dari Leupeung,
lokasi SR tersebut masing-masing:
SR seleretan SMU 1, sekarang SD 7 dan
9.
SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain Supermarket
Yusri.
SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42.
SR di dekat Gudang
Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15.
SR di
Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar.
SR Neusuh, sekarang bangunan baru
sebagai SD 32.
Tahun 1950 muncul satau-satunya Sekolah Rendah Islam (SRI) Al
Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Tahun-tahun berikutnya
muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1 sekarang). Dan Sekola Guru
Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang pada ruang belakang Gereja
Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru untuk SGA berlantai 2
sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.
Peunayong dan Gudang
Pereman.
Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang
malam, ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas
anda dicurigai sebagai baru pulang plesir dengan pelacur. Ternyata sarang si
Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu. Beberapa
pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat peyakit perempuan (maksudnya
Sipilis/ Raja singa- Pen) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit
Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena
sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan
slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan. Dan
si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian ada
yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti penyakit
perempuan tersebut.
Dan apa pula yang disebut "Gudang Preman" itu? Maksudnya
kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini, dulu disebut Jln Krueng Raya
atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang Jln. T. Nyak Arief sekarang,
hanya sampai batas kota di Simpang Jambo Tapee. Simpang Jambo tapee itu sendiri
dikatakan sebagai daerah pinggiran kita. Di sini ada lapangan ternak lembu perah
milik keluarga India pakai sorban. (maksudnya etnis orang India
Sikh/Benggali-Pen.) Kalau lewat Jambo Tapee ke arah Lamnyong atau Krueng Raya,
di kiri kanan jalan tanpa aspal itu hanya ada sawah, rawa-rawa serta
belukar.
Jurusan jalan Gudang Preman yang disersebut tadi, dulunya cukup
suram di malam hari dan bahkan sering dijadikan tempat menunggu seseorang yang
tak disukai untuk dibunuh. Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang dalam keadaan
remang-remang di malam hari. Penerangan jalan hanya dengan lampu minyak yang
dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di tempat-tempat
tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan ambtenaar Belanda
memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang semprongnya macam jantung
pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa sepeda itu disebut juga lampu
jantung.
Ternyata yang disebut Gudang Preman itu karena di salah satu sisi
jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas gudang yang lokasinya
kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada hubungan Gudang Preman dengan
ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang dimaksud jangan disamakan
sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang pukul, perampok maupun
pencopet.
Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan
Belanda frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria- pria yang tidak
memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum penganggur pun
dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul dan
tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman. Kebanykan
perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal Jawa dan
orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi mereka
sekedar tunjangan.
Ke Kandang Babi, apa pula itu?
Tempo doeloe, kalau mau
ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan mengatakan ke Kandang Babi.
Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie sampai ke Taman Sari Baru atau
Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri dari hutan pisang dan di dalam
kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh, perkampungan orang Cina, khusus
memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena semenjak Simpang Jam sampai lewat
Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi kota, sisa-sisa peternak babi
tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke dalam dari Jembatan Goheng
(sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi ini pindah ke Ujong Batee
arah Krueng Raja, 15 Km dari kota.
Begitu juga di jalan arah ke Seutu ini,
ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang berseberangan dengan Kampung
Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang ini di atas tanah kompleks Kampung Keling
tersebut dibangun beberapa bangunan sebagai Taman Budaya Aceh.
Yang disebut
Kampung Keling itu terdiri dari sebaris kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu
yang ditunjuk Belanda untuk hunian orang-orang India yang berprofesi sebagai
laundry. Namun lokasi untuk etnis India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di
sini mereka memiliki rumah peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh
Temple untuk India Sikh/Banggali.
Tempat hiburan.
Beberapa orang lama
mengatakan di Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar.
Maksudnya gedung bioskop, masing- masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum
masuknya listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak
bayangan film ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu hasil
bayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang hitam
putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film dengan
tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar dengan
tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk sederetan
pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja kedatangan
listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung bisokop yang
dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan Rex, hanya
tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja makanan di
malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang. Setelah kemerdekaan di samping
Bioskop Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong
muncul satu bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop
Merpati.
Rumah-ruma hiburan kebanyak didadatangi oleh para petinggi Belanda
yaitu disebut Kamar Bola yang dikemudian hari dikenal dengan Balai Teuku Umar.
Sayang bangunan yang berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas
telah dibongkar dan di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun
Sibreh.
Dan tempat hiburan lainnya yang banyak dikunjungi oleh orang biasa
dan anak-anak kapal adalah Taman Sari. Dulu sebagioan orang gampong menyebutnya
Taman Putoe Bungsu, karena disalah satu sisi taman ada sebuah patung porslen
wanita cantik. Sampai sekarang di sana masih ada sebuah bangunan bundar bergaya
lama sebagai pentas bermain musik, terutama di malam minggu.
Tempat rekreasi
di luar kota ketika itu sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai
Ulheelheue dimana khusus untuk orang- orang Belanda disediakan tempat mandi laut
yang dipagari besi agar jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan
kamar pakaian. Tempat rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja
dilanda gempa besar sekitar tahun 1930-an.
Pernah Cetak Uang & Sepeda Menunjukkan Status
Oleh: Hasyim KS
Lenyapnya bekas-bekas sebuah kerajaan yang
megah dari berbagai runtun para Sultan dan Sultanah di Aceh, menurut perkiraan
beberapa pengamat sejarah adalah karena Aceh beda dengan kerajaan-kerajaan
terkenal lainnya di Nusantara dalam bangun membangun sarana. Ternyata Aceh
didominasi oleh budaya kayu sehingga tidak awet untuk ditemukan di zaman
sekarang ini. Kecuali beberapa monumen seperti Gunongan salah satu peninggalan
Sultan Iskandar Muda berikut sebuah gerbang kecil sebagai pintu belakang istana
yang disebut Pinto Khob, khusus untuk para kerabat kerajaan untuk bersiram
(manoe meu- upa) di Sungai Krueng Daroy. Plus beberapa situs sebagai makam-
makam tua para penguasa dan keluarga kesultanan, awet karena terbuat dari bahan
baku batu.
Gedung-gedung tua.
Kalau pun di usia 795 sekarang ini di Banda
Aceh terdapat beberapa bangunan-bangunan tua yang telah antik, adalah
bangunan-bangunan yang berusia antara 70 sampai 100 tahun, rata-rata dibangun
dalam masa kerajaan Aceh telah tiada setelah tahun 1874 M. Kecuali bangunan
Masjid Teungku Anjong yang telah beberapa kali direnopasi yang berusia sekitar
300 tahun.
Bangunan-bangunan yang sedikit yang berada di Banda Aceh tersebut
adalah adalah:
Masjid Tgk. Anjong: Bangunan yang telah berusia lebih kurang
300 tahun ini terletak di Peulanggahan. Menurut buku "Masjid-masjid Bersejarah
di Indonesia" oleh Abdul Baqir Zein, masjid ini dibangun oleh seorang ulama di
zaman Sultanan Alaidin Mahmud Syah di abad 18. Ulama karismatik tersebut bernama
Syeh Abubakar berasal dari Hadratulmaut (Arab). Kebiasaan dalam masyarakat Aceh,
seseorang yang menjadi tokoh, maka masyarakat memberian nama sebagai panggilan
akrab, maka Syeh Abubakar diberi nama panggilan akrab Teungku Anjong. Untuk
ukuran sekarang bangunan tersebut betul-betul antik dan tercantum dalam
sederetan koleksi masjid-masjid tua di Indonesia.
Masjid Raya Baiturrahman.
Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda tahun 1879 dan siap pakai 1881.
Ketika itu petingginya adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van
der Heijden yang merasa harus mengganti Masjid Raya yang terbakar habis ketika
penyerbuan Kumpeni Belanda tahun 1874. Ketika penyerbuan itu Masjid Raya terbuat
dari bahan kayu, beratap ijuk.
Beberapa catatan mengatakan banyak jatuh
korban dikedua belah pihak untuk merebut Masjid Raya yang dijadikan basis
lasykar Aceh. Pasukan Belanda berhasil menghancurkan masjid setelah menembakan
meriam berpeluru api.
Beberapa jam setelah masjid yang telah jadi arang itu
diduki, komandan tertinggi Belanda, Jenderal Kohler yang sedang berada di
halaman masjid, tewas ditembak oleh sniper Aceh yang konon membidik sang
jenderal dari belukar-belukar, kira-kira di sekitar bekas gedung PMABS sekarang.
Untuk mengembalikan kepercayaan orang Aceh, maka lima tahun kemudian
dibangun penggantinya, sebuah masjid konsturksi beton dengan kubah tunggal.
Bangunan asli tersebut sekarang ini berada di tengah-tengah, yang ada jam kuno.
Masjid Raya Baiturrahman setelah beberapa kali perluasannya setelah
kemerdekaan Indonesia, telah memiliki 7 kubah dan 4 menara azan seperti sekarang
ini. Sementara di halamannya yang dulu adalah jalan raya, berdiri sebuah menara
setinggi 45 meter, yang disebut sebagai Menara Perjuangan dan adalah bangunan
tertinggi di Banda Aceh.
Pendopo Gubernuran: Setelah Aceh diduki oleh pasukan
kumpeni Belanda tahun 1874, setelah membenah negeri yang kemudian disebut
masyarakt Aceh sebagai Kutaraja (Jangan salah. Belanda lebih suka menyebutnya
"Kota Raja" yang jauh menyimpang dari makna Kutaraja sebenarnya. Ini barangkali
yang berbau kolonial yang perlu dikembalikan kepada makna Kutaraja yang
sebenarnya-Pen).
Tahun 1881 sebuah bangunan yang ketika itu disebut istana,
siap dibangun di atas bekas bangunan istana Sultan Aceh yang disebut Dalam. Di
atas pertapakan bangunan Dalam itu dibangun sebuah rumah dinas resmi bergengsi
yang setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 disebut Pendopo Gubernuran dan
sekarang ini disebut Meuligoe (Mahligai), tempat resemi siapapun yang menjabat
Gubernur Aceh.
Bangunan ini bahan bakunya melulu dari kayu yang dipesan
khusus dari Kalimantan (kayu besi). Petinggi Belanda pertama yang menghuni tahun
1881 adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang
oleh orang Aceh disebut "Jenderal Bermata Sebelah" karena ketika memimpin
pertempuran di Samalanga, sebelah matanya cedera ditembus peluru lasykar Aceh.
Dari berbagai sumber dikatakan semenjak siap huni tahun 1881 ada 22 petinggi
Belanda yang menempati bangunan tersebut. Dan dalam masa pendudukan Jepang
(1942-1945), hanya satu petinggi Dai Nippon sempat menempati "istana" tersebut
yaitu Jenderal Mayor Syozaburo Iino.
Sentral Telepon: Bangunan bulat seperti
mercusuar berlantai dua ini dibangun semasa masih berkecamuknnya perang Aceh.
Bangunan separoh beton yang cukup tebal dibagian bawah sebagai perisai kalau ada
penyerbuan lasykar Aceh dan diatasnya bahan dari kayu yang tahan cuaca, terletak
di persimpangan Jln. T. Umar dengan jalan ke arah Neusu dan Meuligoe, tidak jauh
dari Simpang Jam. Tepatnya dekat bekas galon minyak Saleh Rahmanai.
Inilah
gedung pelayanan telepon satu-satunya yang beroperasi semenjak tahun 1903 milik
Kumpeni Militer Belanda khusus untuk untuk keperluan perang Aceh. Sedangkan
kantor pelayanan telepon untuk umum, dibangun tahun 1931 di lokasi Kantor
Telepon sekarang dengan gedung dan peralatan moderen. Sayangnya gedung yang
aslinya bukan diawetkan tapi dirubuhkan tanpa meniggalkan bekas sebagai bukti
sejarah perteleponan di negeri ini.
Bangunan bulat sentral telepon Kumpeni di
dekat Simpang Jam, pada masa pendudukan Jepang 1942-1945,
difungsikan juga
untuk keperluan perang.
Sampai menjelang tahun 1960 setelah Indonesia
merdeka, bangunan kuno ini masih dipakai sebagai Kantor Telepon Militer Kodam
I/Iskandarmuda yang disebut Wiserbot (WB) Taruna. Sampai tahun 2000 sekarang ini
berturut-turut telah dipakai sebagai Kantor KONI, Kantor Surat Kabar Atjeh Post
dan terakhir sebagai Kantor PSSI. Banyak yang mengharapkan agar bangunan ini
jangan sampai dibongkar pula.
Gereja Katholik: Gereja Katholik Hati Kudus ini
diresmikan pemakaiannya tanggal 26 September 1926 oleh Pastor pertama, Pastor
Kepala Augustinus Huijbregets.
Bangunan terletak di ujung jembatan Pantee
Pirak arah Simpang Lima dengan gaya Neo Clasik Modern. Bangunan panjang 30 M,
tinggi ruangan dalam 12 M, lebar 14 M, sementara tinggi menara 22 M. Dapat
menampung 300 anggota jemaat.
Interior gereja ini dengan jendela yang diberi
kaca berwarna jenis staned glass dengan lantai keramik warna warni yang disusun
dalam bentuk mozaik, sehingga dinilai sebagai gereja yang berlantai indah di
Indonesia.
Dari catatan yang ada, baik kaca, lantai keramik maupun lonceng
gereja, semuanya di datangkan dari Negeri Belanda.
Dalam kompleks gereja ini
diperlengkapi bangunan-bangunan untuk pendidikan agama dan sekarang ini memiliki
sekolah semenjak TK sampai SMU.
Jauh sebelum tahun 1926, di tempat yang sama
telah ada bangunan darurat untuk gereja yang dipimpin oleh seorang Pastor yang
didatangkan dari Negeri Belanda.
Dalam catatan sejarah keberadaan Kumpeni
Belanda di Aceh, Pastor yang bernama Verbrak ini telah mengabdi selama 30 tahun
dalam suasana perang Aceh dan ikut sebagai Imam Tentara ke berbagai lokasi medan
tempur.
Ketika tulisan ini diturunkan, Gereja Katholik berlambang ayam jantan
ini dipimpin oleh Pastor Ferdinando Severi berkebangsaan Italia. Ferdinando
adalah petinggi Gereja Katholik Banda Aceh yang ke 17 semenjak Pastor Augustinus
Huijbregts tahun 1926 tersebut.
Metro Market: Gedung tua lainnya dan
barangkali tidak banyak yang mengetahui riwayatnya yang telah mencapai 100 tahun
ini, adalah yang sekarang dijadikan sebagai market mini Metro terletak di ujung
Jln Diponegoro.
Yang mencemaskan adalah akan nasib gedung ini karena tebetik
khabar yang kalangan Balai Kota akan merestui untuk dibongkar dan menggantikan
dengan bangunan moderen untuk sebuah super market.
Gedung ini bentuknya
memang sudah kuno dan ada yang merasa sudah menjadi limbah di tengah
bangunan-bangunan moderen tanpa mau tahu akan usianya yang telah 100 tahun dan
telah banyak jasanya dalam perkembangan negri ini.
Semasa perang kemedekaan
1945-1949 gedung milik percetakan Belanda ini dialihkan menjadi Percetakan
Negara RI sampai tahun 1960-an, sebelum dibangun gedung baru Percetakan Negara
RI di sampingnya.
Percetakan tersebut dengan peralatan yang kuno jika
dibandingkan dengan sekarangi ini telah mencatat sebuah sejarah ketika
Pemerintahan Darurat RI antara 1945-1949. Disinilah dicetak uang negara yang
bernama ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Gedung tua yang sekarang sebagai
supermaket mini tersebut, pertama dibangun tahun 1900 berbentuk rumah biasa
sebagai cabang percetakan swasta Belanda "Deli Courant" yang berpusat di Medan.
Kemudian dikembangkan dengan membangunnya lebih besar lagi seperti yang ada
sekarang. Percetakan yang tentunya mempergunakan peralatan kuno diberi nama
"Atjeh Drukrij" yang oleh lidah orang Aceh disebut seenaknya sebagai Aceh
Dokree. Percetakan ini menerbitakan sebuah surat kabar bernama "Atjeh Newsblad".
Karena menyusun leternya satu-satu dengan tangan (handzet) maka koran Belanda
ini terbit 1 kali dalam 2 minggu.
Ketika pendudukan Jepang (1942-1945)
percetakan ini menerbitkan surat kabar bernama "Atjeh Shinbun". Setelah Jepang
angkat kaki, pemuda-pemuda Indonesia ketika itu anatara lain A. Hasjmy, Amelz,
Matu Mona, Twk. Hasyim SH, Talsya dll menerbitkan surat kabar "Semangat
Merdeka". Di masa pemerintahan darurat itulah dicetak digedung tua ini uang
negara sebagai tanda pembayaran yang syah, sebagai membuktikan bahwa negara
Indonesia itu memang resmi ada.
Akan tetapi ada beberapa bangunan di Banda
Aceh yang berusia di bawah 70 tahun, milik masyarakat, tapi memilik nilai
sejarah ketika perang kemerdekaan 1945-1949. Sayang bangunan-bangunan tersebut
karena milik pribadi, bukti- bukti sejarah tersebut hanya tinggal dalam
catatan-catatan lama. Sedangkan bangunannya telah dibongkar. Misalnya "Hotel
Central" terletak di Jln. Mohd. Jam. Di sana sekarang telah berdiri sederetan
bangunan Ruko. Di aula hotel kecil milik seorang Tionghoa ini sering para
tokoh-tokoh pejuang Aceh mengadakan rapat-rapat untuk mengatur pemerintahan
darurat di Aceh.
Begitu juga gedung "Sabang Coy", bersebelahan dengan bekas
gedung PMABS di ujung Jln. Diponegoro. Tempat ini pernah dijadikan markas para
pemuda pejuang perang kemerdekaan untuk mengatur strategi untuk mara ke Foront
Medan Area. Sekarang ini telah berdiri di sana sederetan bangunan Ruko.
Kemudian ada sebuah bangunan lain yang kini ternyata tersendat dalam
pengembangan dan pemugarannya yaitu "Atjeh Hotel". Walau bangunan ini adalah
milik swasta, tapi punya nilai sejarah dalam membangun Republik Indonesia. Hotel
bergaya Belanda dengan aula dan bar yang luas seperti kebanyak gaya tempo doeloe
pernah dijadikan ruangan terhormat menyambut kedatang Presiden Soekarno tahun
1947. Dari ruangan ini lahir ide kaum saudagar Aceh untuk menghadiahkan sebuah
pesawat terbang untuk membantu perjuangan Indonesia mempertahankan Proklamasi
1945. Konon pesawat jenis Dakota buatan Daouglas AS itu adalah cikal bakal
armada angkutan udara Indonesia "Garuda" sekarang ini.
Transportasi.
Pada
masa Belanda dahulu untuk angkutan murah dalam kota diprgunakan kenderaan sado
(delman) yang dalam bahasa Aceh disebut kaha. Semenjak masa perang Aceh dahulu
kereta kuda ini telah ada. Konon Teuku Umar keluar masuk kota untuk mengunjungi
isterinya yang lain dan beberapa kenalannya orang Cina di Peunayong
mempergunakan kaha.
Karena serdadu Belanda diajarkan tatakrama untuk tidak
menyinggung hati orang Aceh terutama jangan menggangu kaum wanita, maka Teuku
Umar yang jadi buron Belanda itu sering menyamar memakai busana wanita dan
menumpnag kaha/sado ke dan keluar kota. Disetiap pos penjagaan dia bisa lolos,
karena para serdadu begitu melihat ada penumpang wanita, mereka cukup hormat dan
tidak banyak periksa.
Halte sado sampai Indonesia merdeka antara lain di
mulut Jalan Perdagangan di sisi Masjid Raya, di Jln. Merduati, di Stasiun Kereta
Api (sekarang sudah jadi halaman Masjid Raya) dan di dekat Rumah Sakit Kuta
Alam.
Sado Banda Aceh masih difungsikan sampai akhir tahun 1960. Armada sado
ternyata mengundurkan diri dari gelanggang ketika muncul kenderaan murah lainnya
yaitu beca. Kemunculan beca di Banda Aceh memang langsung beca bermotor seperti
sekarang ini. Tidak pernah ada beca dayung.
Akibat tidak ada lagi kenderaan
sado yang ditarik oleh kuda ini, warga Banda Aceh tak pernah lagi melihat jenis
hewan kuda yang dulu cukup banyak. Kasihan juga yang anak-anak Banda Aceh
terutama yang usia muda agak terheran-heran melihat kalau ada sekali-sekali
muncul hewan kuda yang datang dari Takengon.
Begitu juga anak-anak-anak
Banda Aceh tidak tahu bagaimana sebenarnya kenderaan kerat api itu. Karena si
"Kuda Besi" angkutan jarak jauh ini entah setahu bagaimana lenyap dari
peredaran. Padahal menurut beberapa pengakuan, pemasukan dari sektor angkutan
kereta api di Aceh yang instansinya disebut "Djawatan Kereta Api Atjeh" (DKA)
cukup menggiurkan sampai-sampai dapat menutup kerugian beberapa usaha
perkeretaapian negara di berbagai daerah di Sumatera.
Begitu juga semenjak
tahun 1950 sampai awal 1980 untuk hubungan jarak dekat seperti kenderaan
labi-labi sekarang ini, ada juga pelayanan transportasi dengan mobil berbadan
lebar yang karoserinya empat persegi seperti kotak sabun dan memiliki tempat
duduk dari papan dideretkan melintang semenjak dari bangku sopir sampai ke pintu
belakang.
Armada ini terdiri dari Perusahaan Motor Lhoknga (PML), Perusahaan
Motor Aceh Besar (PMAB), Perusahaan Motor Olele (PMO), Perusahaan Motor
Darmajaya dan Ampera.
Stasiun jenis angkutan ini yang disebut pelabuhan
berada di tanah kosong di depan Percetakan Negara atau depan leretan Warung Aman
Kuba. Sekarang bekas stasiun tersebut telah dijadikan semacam taman
kota.
Dalam tahun-tahun 1950-an, muncul pula armada bus antara lain ATRA,
Nasional, PMTOH dan PMABS. Dua yang terakhir ini melayani pantai Barat sampai ke
Bakongan.
Bus-bus jarak jauh menginap di depan bangunanya sendiri. Para
penumpang langusng dijemput antar oleh bus ke tujuannya. Baru tahun 1970 muncul
sebuah terminal wajib kumpul bus jarak jauh dan wajib turun penumpang di Seutui,
lokasi termina sekarang.
Pada masa Belanda jalan darat ke pantai Barat
jurusan Meulaboh- Tapaktuan, Bakongan sampai Trumon dibuat tahun 1928. Lewat
laut sampai tahun 1956 dengan kapal milik perusahan Belanda yang bernama
Konijnklike Pakertpart Matschapij (KPM).
Untuk kenderaan pribadi, sekitar
tahun-tahun 1920-an, warga lebih banyak jalan kaki atau naik sado. Hanya
orang-orang tertentu yang mampu beli kereta angin (maksudnya sepeda-Pen)
Setelah kemerdekaan semenjak 1950 sampai 1960 di jalan-jalan di Kutaraja
berseliweran sepeda dan satu-satu mobil pribadi, semirip suasana lalu lintas di
kota-kota negara Cina dan Vietnam yang didominasi oleh yang didominasi oleh
sepeda.
Pada masa-masa tersebut terlihatlah status keberadaan seseorang
dinilai dari merek sepedanya. Yang paling banyak bermerek Valuas dan Seko.
Sementara merek Raleigh, Fongers, Gazzele dan Philips dimiliki oleh para
toke-toke,
dan warga berduit. Lebih-lebih lagi pemilik jenis sepeda bermerek
kelas atas tersebut akan bergengsi lagi kalau sepedanya dilengkapi dengan rem
tromol yang mengeluarkan bunyi gesekan kalau berhenti. Ditambah lagi sepeda
dilengkapi dengan gigi. Maksudnya ada ferseneling yang kalau didayung akan
mengeluarkan bunyi tik...tik...tik.
Bahkan anak-anak pejabat tertentu,
terutama yang ceweknya dibelikan kenderaan yang disebut mobilette.
Ternyata
tak lebih semacam sepeda yang diberi bermesin tempel yang dikenal juga dengan
sebutan sepeda kumbang. Barangkali inilah lebih kurang beberapa catatan ringan
yang kita kumpulkan untuk menyambut usia Banda Aceh yang ke 795 tahun. Kota yang
cukup tua tanpa memiliki kebanggaan peninggalan lama seperti Malaka, Bengkulu,
Makassar, Sunda Kelapa dll sebagai negeri terkenal di abad-abad lampau yang
tidak pernah mencantumkan embel-embel bandar, seperti Banda (Bandar) Aceh kita
ini. Bukan main.
Untuk ini, sekali lagi wallahualam bissawab.