Update: 00.30 Wib Selasa,  25  April 2000

Empat Rumah Dibakar, Poslantas Digranat

* Kandekop Pidie Hangus

Serambi-Lhokseumawe
Empat rumah di kawasan Kota Lhokseumawe masing-masing milik Pembantu Bupati Wilayah Lhoksukon, Kades Mon Geudong, dan karyawan sebuah perusahaan swasta, Senin (24/4) dinihari, dibakar secara berantai oleh kelompok bertopeng. Sementara sebelumnya, satu rumah kos polisi digranat dan Poslantas Cunda ditembaki. Sedang dari Pidie, dilaporkan kantor koperasi hangus dibakar.
Aksi kekacauan di zona industri itu mulai terjadi sekitar pukul 01.00 WIB ketika sebuah rumah kos anggota UPS Polres Aceh Utara di Lorong Kapten Yusuf, Desa Meunasah Masjid, Cunda, dilempar dengan granat yang mengakibatkan kaca jendela rumah pecah.
Kekacauan tersebut sebenarnya sudah terasa sejak pukul 23.15 WIB Minggu (23/4), ketika Poslantas Cunda di lintasan Medan-Banda Aceh ditembaki kelompok tak dikenal dari arah selatan pos dimaksud. Penembakan yang tidak menimbulkan korban jiwa itu membuat kawasan Cunda tegang menyusul terdengarnya rentetan tembakan balasan aparat kepolisian yang melakukan pengejaran pelaku.
Dua jam kemudian, tepatnya pukul 03.00 WIB, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat merembes ke kawasan Kota Lhokseumawe. Empat unit rumah dibakar secara maraton dalam rentang waktu setengah jam.
Dari pembakaran terakhir di Jalan Purnawirawan Simpang Kramat, Kelurahan Simpang Empat, sekitar pukul 03.30 WIB, seorang saksi mata mengungkapkan, pelakunya berjumlah enam orang dan seluruhnya mengenakan topeng.
Pembakaran pertama menimpa rumah toko (ruko) Kades Mon Geudong Kecamatan Banda Sakti, Mukhtaruddin (55), di Jalan Pase, yang disusul dengan rumah Pembantu Bupati Wilayah Lhoksukon, M Yunus (52), di Gang Barona, Mon Geudong. Dan terakhir dua pintu rumah milik Sukimin (46), di Jalan Purnawirawan No 29 Simpang Kramat, Kelurahan Simpang Empat. Namun, semua rumah tersebut tak sampai rata dengan tanah berkat bantuan masyarakat dalam memadamkan api.
Aksi pembakaran rumah toko (ruko) Kades Mon Geudong, Mukhtaruddin (55), terjadi sekitar pukul 03.00 WIB. Ketika itu, Mukhtaruddin dan keluarganya yang sedang terlelap, dibangunkan tetangga karena api mulai berkobar di depan tokonya Muda-mudi Taylor di Jalan Pase, Mon Geudong. Ruko dua pintu tersebut berlantai dua dan satu pintu di antaranya ditempati keluarga Muktaruddin.
"Seandainya tetangga tidak terbangun saat api menyambar, barangkali kami sekeluarga sudah hangus," ujar Mukhtaruddin kepada Serambi, kemarin pagi. Menurutnya, ketika api mulai menyambar bensin yang disiram pelaku, terdengar suara semburan yang menyebabkan seorang tetangganya terjaga. "Dari balik gorden, ia melihat api menyala di bagian depan toko."
Berkat kesigapan masyarakat dalam memberikan bantuan pemadaman, api hanya sempat mengosongkan satu pintu ruko berikut dindingnya tempat Mukhtaruddin membuka penjahitan. Menurutnya, api hanya sekitar 10 menit berkobar sebelum kemudian berhasil dipadamkan masyarakat Mon Geudong.
Sementara dalam pembakaran rumah Pembantu Bupati Lhoksukon, pelaku terlebih dahulu memutuskan kabel telepon rumah korban di bagian luar. Dan kemudian menyiram bensin bercampur garam ke bagian dinding rumah. Sejumlah perabotan rumahnya sempat terbakar, sampai akhirnya api dipadamkan warga.
Sedangkan dalam peristiwa pukul 03.30 WIB, rumah Sukimin, karyawan sebuah perusahaan swasta lokal, dibakar oleh enam orang bertopeng. Pembakaran dilakukan setelah rumahnya disiram dengan bensin bercampur garam.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei Aksal yang didampingi Perwira Penghubung Penerangan, Kapten Pol Drs AM Kamal, menduga kuat tindakan meresahkan itu dilakukan oleh kelompok yang sama. "Kita sudah memiliki sejumlah petunjuk menyangkut identitas pelaku pengacauan di wilayah ibukota Aceh Utara, akhir-akhir ini," ungkapnya, kemarin.
Kantor koperasi dibakar
Kantor Koperasi Kabupaten Pidie, hangus setelah dibakar orang belum dikenal, Ahad (23/4) malam. Aksi pembakaran membuat warga setempat panik, karena beberapa rumah penduduk berdampingan dengan kantor tersebut. Aparat langsung mengamankan lokasi dan memberikan pertolongan, ketika mobil pemadam sedang berupaya menjinakkan api.
Wakapolres Pidie, Mayor Pol M Natsir JF kepada Serambi, Senin (24/4) mengatakan, aksi pembakaran yang dilakukan sekitar pukul 23.30 Wib dilakukan kelompok bersepeda motor. Diduga pelakunya terdiri dari beberapa kelompok yang sangat berencana sebelum beraksi.
Suara dentuman keras di tengah malam buta itu, membuat warga setempat kalang kabut. Terutama warga yang bertempat tinggal di sekitar kantor yang dibakar tersebut. Selain aparat keamanan, sejumlah warga juga ikut memberikan pertolongan agar api tidak menjilat rumah penduduk.
Seandainya mobil pemadam kebakaran tidak datang, menurut warga setempat, diperkirakan sejumlah bangunan lain di samping dan sekitar kantor Koperasi--jalan Banda Aceh-Medan-- juga akan diamuk sijago merah. Warga yang rumahnya berada di kawasan kantor itu mulai panik.
Sebelum beraksi di Kantor Koperasi, pembakaran pada malam yang sama juga sudah duluan dilakukan terhadap kantor Perdagangan--sampai Kantor Dinas PU--yang tak jauh terpaut dari kantor Koperasi. Tapi, kantor perdagangan tidak sempat terbakar karena pelakunya sempat dikejar oleh penjaga kantor tersebut.
Dari berbagai keterangan, tambah Natsir, pelaku pembakaran menggunakan sepeda motor. Terbukti, ketika melarikan diri sempat dilihat oleh penjaga kantor perdagangan. Polisi menduga pelaku pembakaran terdiri dari beberapa kelompok. Karena, begitu pelaku pembakaran kantor perdagangan lari kebetulan di kantor Koperasi sudah terlihat api.
Polisi, kata Natsir, kini terus melakukan upaya penyelidikan. Karena itu, ia sangat mengharapkan bantuan informasi dari masyarakat dan pihak yang mengetahui tentang aksi pembakaran kantor pemerintah. Kini pihaknya sudah mengamankan satu jerigen berisi minyak dan beberapa lembar seng bekas terbakar, sebagai barang bukti.(tim)


Dahsyat, Musibah Jantho: Pusat Kecamatan "Hujan" Peluru

Serambi-Banda Aceh
Aksi peledakan dan pembakaran yang terjadi di Kota Jantho, ibukota Aceh Besar pada Minggu malam (23/4) bukan hanya menghanguskan Kan- tor BKKBN, tapi juga meluluhlantakkan gedung Bapelkes (Balai Pela- tihan Kesehatan) sehingga menimbulkan kerugian yang ditaksir tidak kurang Rp 3 milyar. Selain itu, api sempat pula menjilat bagian Kantor BPN.
Masih di kawasan Aceh Besar, sekitar pukul 04.15 subuh kemarin, pusat Kecamatan Kutabaro di Lam Ateuk dihujani peluru dan granat yang menggunakan pelontar GLM. Sasaran pemberondongan antara lain rumah dinas Camat Kutabaro dan Kantor Urusan Agama (KUA) yang bersebelahan. Posko Brimob di bagian belakang Mapolsek, gedung TK dan rumah paramedis yang berada satu komplek dengan Mapolsek.
Selain itu, Kantor Camat Kutabaro yang hanya terpaut sekitar 150 meter dari Mapolsek luput dari aksi pembakaran meski pelaku sempat memasuki beberapa ruangan kantor menyirami minyak dan serbuk potas- ium campur gula (untuk mempercepat kobaran api).
Menurut sebuah sumber, gagalnya aksi pembakaran Kantor Camat karena pelakunya diduga keburu kabur, sebab mendengar rentetan tembakan balasan dari aparat Brimob sewaktu "menjawab" serangan lawan.
Baik rumah dinas camat, KUA, posko Brimob, gedung TK, dan rumah paramedis dipenuhi lubang-lubang bekas tembakan yang diduga menggunakan senjata M-16. Sebuah pesawat TV Toshiba 21 inchi milik seorang bidan di komplek tersebut tembus diterjang peluru setelah terlebih dahulu membobol kaca jendela.
Kecuali itu, kaca jendela posko Brimob yang diduga sebagai sasaran utama juga bolong. "Kami sempat membalas tembakan mereka. Namun hanya beberapa saat, karena kelompok penyerang langsung menghilang," kata seorang personil Brimob yang di-BKO-kan di Mapolsek Kutabaro.
Selain dihujani peluru, beberapa bangunan di komplek Mapolsek tersebut juga dihantam granat yang menggunakan pelontar GLM. Bagian plapon bangunan terlihat pecah-pecah dan berlubang yang diyakini akibat terkena serpihan bahan peledak. "Syukur Alhamdulillah, dalam insiden menjelang subuh itu tak ada korban jiwa," kata Camat Kutabaro, H Baharuddin Daud S Sos.
Musibah Jantho
Di Kota Jantho, api menghanguskan gedung utama Bapelkes yang dipergunakan sebagai tempat pertemuan dan pelatihan. Kakanwil Kesehatan Aceh diwakili Kormin drg Razali Sulaiman bersama Kadis Kesehatan Aceh Besar dr H Bakri Abdullah, dan Kepala Bapelkes Aceh Besar sepanjang pagi dan siang kemarin berada di lokasi musibah melakukan pendataan yang ditimbulkan akibat kebakaran.
Menurut taksiran sementara Kormin Kanwil Depkes Aceh, akibat kebakaran gedung Bapelkes tersebut menimbulkan kerugian tidak kurang Rp 3 milyar. "Semua perangkat kerja dan untuk kepentingan latihan di gedung itu hangus. Perangkat di Bapelkes serba canggih. Kami sudah laporkan musibah ini ke pusat," kata Razali.
Menurut perkiraan sumber-sumber di Jantho, pelaku pembakaran tersebut, setelah sukses "mengeksekusi" Kantor BKKBN di Jalan T Bachtiar Panglima Polem, langsung bergerak ke gedung Bapelkes yang berlokasi di lintasan menuju Desa Jantho Baru. Selanjutnya, kelompok tersebut diduga kembali lagi ke pusat kota, dan berusaha menghanguskan Kantor BPN.
Namun, Kantor BPN yang juga berlokasi di Jalan T Bachtiar Panglima Polem (ujung) luput dari amukan api. Hanya sebagian kecil bagian perkantoran itu yang terbakar.(tim)




Suami Tewas Ditembak, Isteri dan Anak Diculik

* Mapolsek Lamno Digranat

Serambi-Meulaboh
Seorang warga Desa Blang Baro Kecamatan Darulmakmur, Aceh Barat, Kasim (25) yang diculik bersama isteri dan anak di rumahnya oleh orang tak dikenal Sabtu (22/4) dinihari, akhirnya ditemukan sudah menjadi mayat di Desa Ladang Baro Minggu (23/4) pagi. Sementara, dari Kecamatan Jaya dilaporkan Mapolsek Lamno dilempari granat oleh kelompok tak dikenal, Minggu (23/4) malam.
Menurut keterangan, pada Sabtu tengah malam itu, beberapa orang datang ke rumah Kasim. Mereka bukan hanya membawa Kasim, tapi juga anak dan isterinya. Keesokan harinya, mayat korban yang berluka tembak di kepala, leher, punggung, dan perut, ditemukan masyarakat setempat berjarak lebih kurang 300 meter dari rumahnya atau tepatnya di Desa Ladang Baro (desa tetangganya).
Sedangkan isteri korban Rafiah (23) dan anaknya Dek Cut (3) yang juga ikut diculik bersama Kasim hingga Senin (24/4) belum diketahui nasibnya.
Sementara itu, Kasubsektor Aceh Barat Letkol Pol Drs Satriya Hari Prasetya kepada Serambi kemarin mengatakan, pihak kepolisian sedang melakukan penyelidikan untuk mengungkapkan kasus pembunuhan yang menewaskan Kasim.
"Saat ini kami terus berupaya melakukan pengejaran pelaku pembunuhan dan penculikan keluarga Kasim. Polisi juga terus menyebar dan mencari informasi tentang keberadaan isteri dan anak korban yang diduga masih disandra kelompok penculik itu," ujar Satriya.
Mapolsek digranat
Sementara dari Kecamatan Jaya, Aceh Barat dilaporkan Mapolsek Lamno, Minggu (23/4) malam sekitar pukul 22.20 Wib dilempari granat oleh kelompok yang tak dikenal. Granat rakitan yang dilempar itu, menurut Kasubsektor Aceh Barat Letkol Pol Drs Satriya Hari Prasetya jatuh di depan Mapolsek tepatnya diatas badan jalan, sehingga tidak mengenai sasaran.
Penggranatan itu tidak sampai menimbulkan korban di pihak aparat serta tidak juga merusak bangunan Mapolsek yang berlokasi di pinggir lintasan Meulaboh-Banda Aceh. Mendapat serangan itu, aparat polisi langsung melakukan pengejaran terhadap tersangka pelakunya. Namun, karena suasana gelap gulita pelaku sempat kabur. "Saat granat dilempar listrik sedang padam. Cuma satu kali terdengar suara ledakan," ujar Kasubsektor. (tim)


Bocah Wanita Dibacok Setelah Diseret dari Peraduan

Serambi-Geureugok
Seorang bocah yatim, Safriana (12), Senin (14/4) dinihari, dibacok berulangkali oleh sekelompok pria setelah diseret dari kelelapan tidur di rumahnya Desa Mon Keulayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Akibat kejadian tersebut, murid kelas IV SD itu kritis dan kini dirawat di Puskesmas Peusangan.
Menurut seorang keluarganya, pada saat kejadian sekitar pukul 04.00 WIB korban masih tertidur bersama ibunya, Nurul (40), beserta dua orang adiknya, Muladi (8) dan Munawir (4). Sedangkan abangnya sudah berangkat ke tebat yang berjarak dua kilometer dari lokasi kejadian.
Tiba-tiba, tiga pria tak dikenal merangsek ke rumah tersebut dan menyeret Safriana untuk kemudian membacoknya berulangkali. Pembacakon itu mengakibatkan punggung, leher, dan tangan korban luka serius. Sementara bagian pahanya walaupun terkena bacokan tidak menimbulkan luka berarti.
Di bawah tangisan korban dan jerit histeris ibu dan adik-adik Safriana, pelaku melarikan diri dan menghilang di kegelapan malam. Sekitar pukul 04.30 WIB, korban dilarikan ke Puskesmas Peusangan. Sejauh ini keluarga korban terus mencari pelaku pembacokan tak jelas motif dimaksud.
Kapolres Aceh Utara Letkol Pol Drs Syafei Aksal yang didampingi Perwira Penghubung Penerangan, Kapten Pol Drs AM Kamal, tadi malam, mengaku belum mendapat laporan tentang tindak pidana tersebut. (tim)




Pak Syam: Kekerasan Harus Diakhiri

Serambi-Banda Aceh
Gubernur Syamsuddin Mahmud menyatakan, pemerintah dan masyarakat Aceh saat ini menginginkan agar daerah ini bisa cepat keluar dari tekanan politik kekerasan. "Situasi buruk ini harus diakhiri. Marilah kita bangun rasa kasih sayang di antara sesama kita sehingga tidak ada lagi korban nyawa sia-sia dan masyarakat bisa cepat keluar dari kesengsaraan," ujarnya.
Syamsuddin Mahmud yang ditanya Serambi sesuai memimpin Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah (Rakorpimda), Senin (24/4), juga menghimbau masyarakat untuk tetap bersabar dalam menghadapi situasi Aceh. "Ini musibah berkepanjangan, kita harus sabar dan selalu berdoa agar cepat berakhir," kata Pak Syam.
Gubernur juga mengakui bahwa dalam Rakorpimda kemarin yang tertutup bagi pers antara lain juga dibahas mengenai situasi gangguan keamaman belakangan ini yang eskalasinya dirasakan meningkat. Ditanya bagaimana Rakorpimda menyikapinya, Pak Syam menjawab, "Ya kita bersama harus berupaya keras untuk mengakhiri".
Dalam kaitan meningkatnya aksi kekerasan itulah, gubernur menghimbau para pelaku untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di antara sesama manusia. "Kita sangat prihatin. Kasihan rakyat," ujarnya.
Kepada pihak aparat yang melakukan operasi dalam kaitan memulihkan kondisi Aceh, gubernur meminta agar setiap operasi yang dilakukan tetap dalam suasana simpatik dengan menyertakan tokoh-tokoh masyarakat.
Pak Syam mengharapkan, dalam tahun 2000 ini kondisi keamanan di Aceh bisa semakin membaik dalam arti tingkat tindak kekerasan, perusakan, dan tindakan lain yang merugikan masyarakat akan menurun sampai titik yang memungkinkan proses pemerintahan dan pembangunan serta kehidupan masyarakat berjalan lancar dan aman.
"Pemerintah daerah akan selalu melakukan komunikasi agar dalam melakukan usaha menjaga dan menstabilkan ketertiban dan keamanan, tidak sampai menyakiti hati rakyat, merugikan rakyat, dan lebih jauh lagi jangan sampai terjadi hilangnya nyawa rakyat Aceh," ujar gubernur.
Samakan visi
Sementara itu, Kepala Biro Humas Setwilda Aceh Drs Teuku Pribadi, menjelaskan kepada Serambi bahwa Rakorpimda yang berlangsung sehari penuh kemarin di Balai Keureukon Setwilda Aceh tujuan utamanya adalah untuk menyamakan visi di antara pimpinan daerah dalam upaya mengakhiri krisis keamanan di daerah ini. Melalui Rakor, berhasil dirumuskan sejumlah kesimpulan dalam upaya mengatasi berbagai persoalan di Aceh. (Kesimpulan Rakor lihat box).
Rakorpimda itu diikuti Muspida plus tingkat I Aceh, Muspida tingkat II se-Aceh, anggota DPRD Aceh, para kepala dinas, Kakanwil, dan pejabat di lingkungan Setwilda Aceh. Dalam Rakorpimda, selain penjelasan gubernur, juga dipaparkan uraian Kapolda Aceh, Danrem Teuku Umar, serta Danrem Lilawangsa yang diiringi dialog dengan peserta rapat. Sehari sebelumnya, juga digelar rapat kerja gubernur bersama para bupati dan walikota se-Aceh.
Menurut T Pribadi, peserta Rakorpimda kemarin sangat antusias dan transparan dalam berdialog. T Pribadi melukiskan bahwa situasi Rakorpimda mampu mencairkan kebekuan yang terasa selama ini antara birokrat, aparat, dan anggota dewan baik di tingkat I maupun tingkat II. "Sehingga melahirkan visi bersama bahwa masalah Aceh tidak boleh lagi berlarut-larut," ujar T Pribadi.
Peserta Rakor juga memberikan perhatian khusus terhadap jatuhnya korban selama ini, baik akibat tindakan aparat maupun dari sipil bersenjata. Rakor mendesak agar situasi buruk ini harus cepat diakhiri. "Peserta Rakor mengharapkan kejujuran semua pihak, baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Sehingga upaya pengemasan sesuatu kepentingan tertentu yang merugikan rakyat dapat diatasi. Kalau terlanjur berbuat salah ya harus diakui sehingga hilang kecurigaan di antara sesama kita. Jangan di depan tampak berupaya menyelesaikan masalah, tetapi di belakang justru mengobok-obok," ujar Pribadi mengutip keinginan peserta Rakorpimda. (rul)



Hasil dan Kesimpulan Rakorpimda Aceh

Sebelum menutup Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah Aceh, kemarin, Gubernur Syamsuddin Mahmud membacakan hasil dan kesimpulan Rakorpimda itu, yang isinya sebagai berikut.
1. Untuk menyamakan visi dan persepsi dalam menyelesaikan berbagai masalah politik, keamanan, pemerintahan, ekonomi dan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, maka frekuensi pelaksanaan forum Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah yang telah melembaga perlu ditingkatkan baik di propinsi maupun di kabupaten/kota. Bupati/walikota diminta menginstruksikan camat untuk melaksanakan rapat koordinasi Muspika sebagai forum penyelesaian permasalahan di kecamatan.
2. Para bupati/walikota diminta menginstruksikan kembali camat dan kepala desa/kelurahan untuk melakukan kegiatan Siskamling atau "pageu gampong".
3. Perlu pengamanan ekstra ketat terhadap kantor pemerintahan, proyek vital, gedung sekolah, dan infrastruktur lainnya terhadap kemungkinan bahaya kebakaran dan tindak kriminal.
4. Diminta kepada aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh melakukan penegakan hukum (law enforcement) secara murni dan konsekuen. Ini penting dalam rangka meningkatkan kewibawaan pemerintah dan perlindungan terhadap seluruh rakyat Aceh yang mendambakan hidup rukun, aman, dan damai.
5. Kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Kakanwil Kehakiman, serta Kepala Kejaksaan Tinggi diminta berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Mahkamah Agung, Menkumdang, dan Kejaksaan Agung untuk penambahan atau penggantian tenaga hakim/jaksa. Juga perlu diupayakan pembangunan kembali/renovasi Lembaga Pemasyarakatan dan Kantor Pengadilan Negeri yang terbakar.
6. Sebagai salah satu upaya penyelesaian persoalan Aceh secara menyeluruh dan komprehensif, perlu meminta perhatian pemerintah pusat untuk segera mensahkan dan merealisasikan UU Nanggroe Aceh Darussalam sebagai perwujudan otonomi khusus sesuai amanat Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN.
7. Pemerintah pusat perlu kiranya segera mensahkan dan merealisasikan UU tentang Daerah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang.
8. Perlu dibentuk tim koordinasi pengendalian keamanan daerah propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.
9. Diminta perhatian bupati untuk segera memfungsikan kembali secara efektif semua kantor pemerintahan kabupaten, kecamatan, dan desa/kelurahan. Juga bupati/walikota diminta senantiasa mendorong berfungsinya struktur lembaga adat/kemasyarakatan pada kabupaten/kota, kecamatan, mukim, dan desa/kelurahan.
10. Diminta perhatian bupati/walikota untuk meningkatkan intensitas pelaksanaan koordinasi terutama Rakor Muspida tingkat II, Rakor Muspika, dan rapat pertemuan dengan alim ulama, tokoh masyarakat/adat, pimpinan Parpol, Ormas, LSM, pemuda, dan mahasiswa dalam rangka menyamakan visi dan persepsi dalam upaya penyelesaian permasalahan yang dihadapi daerah.
11. Bupati/walikota dan camat diminta meningkatkan peran dan fungsi lembaga-lembaga desa/kelurahan seperti kepala desa/lurah, LMD (tuha peuet, tuha lapan), dan peranata sosial lain yang ada di desa.
12. Operasi Sadar Rencong yang digelar kepolisian perlu dilanjutkan dan ditingkatkan, dengan catatan pelaksanaan operasi tersebut haruslah "operasi yang simpatik", termasuk "sweeping yang simpatik" sehingga mendapat dukungan dari rakyat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesopanan, dan adat-istiadat yang telah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Aceh yang Islami.
13. Diminta perhatian para bupati/walikota, camat, dan kepala desa untuk menumbuhkan kembali keberanian moral masyarakat Aceh yang dalam sejarahnya sebagai masyarakat yang sangat berani melawan berbagai tindak kejahatan.
14. TNI/Polri merupakan institusi negara sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Maka untuk tugas pemulihan keamanan perlu mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat.
15. Sesuai dengan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, diharapkan semua pejabat/aparat (baik sipil maupun TNI/Polri) mulai dari propinsi sampai kelurahan untuk tidak memamerkan sikap arogansi kekuasaan, akan tetapi mewujudkan pola kepemimpinan demokratis, disegani, dicintai, dan dibanggakan rakyat. Pimpinan semua tingkatan, terutama bupati, camat, mukim, dan kepala desa agar senantiasa berkomunikasi dan melihat secara langsung kehidupan rakyat di desa.
16. Bupati diminta berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengupayakan pemulangan para pengungsi. Yang telah kembali ke desa agar diberi jaminan keamanan, perbaikan/pembangunan rumah yang dibakar, pengembalian lahan pertanian dan rumah yang berpindahtangan secara illegal kepada pihak tertentu, realokasi lahan, realokasi dana, dan upaya lain dalam rangka rekoveri kehidupan yang bersangkutan.
17. Untuk mengantisipasi konflik dan kecemburuan sosial, bupati/walikota perlu menghimbau perusahaan-perusahaan besar untuk memperhatikan dan membantu masyarakat sekitar, seperti membangun jalan, pelestarian lingkungan, mengutamakan tenaga lokal, program kesehatan, olahraga, kegiatan keagamaan dan pendidikan, baik sebagai orangtua asuh maupun bantuan lainnya.
18. Untuk mengupayakan masyarakat Aceh yang adil dan makmur Baldatun thaibatun warabul ghafur perlu perhatian sungguh-sungguh untuk mengambil langkah-langkah pelaksanaan pembangunan yang semakin merata, menyentuh sendi-sendiri kehidupan masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
19. Bupati/walikota diminta menginstruksikan camat/kepala desa untuk menggalakkan kegiatan masyarakat kepada hal-hal positif yang langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak.
20. Diminta perhatian bupati untuk membina warga masyarakat yang telah menyatakan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
21. Masyarakat pengguna jalan diimbau secara persuasif untuk dapat mematuhi peraturan tata tertib berlalu lintas.
22. Pemerintah Daerah Aceh sangat mendukung pelaksanaan Kongres Rakyat Aceh (KRA) sebagai forum komunikasi yang diharapkan mampu menghimpun persoalan Aceh sekaligus melahirkan pemikiran yang dilandasi kesamaan visi dan persepsi dalam menyelesaikan persoalan Aceh.
23. Bupati/walikota diminta menginstruksikan para camat, mukim, dan kepala desa untuk mensosialisasikan UU No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dalam bidang agama, pendidikan, adat-istiadat, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
24. Kakanwil Depdiknas Aceh diminta menindaklanjuti permasalahan kekurangan guru/tenaga administrasi sekolah yang telah dilaporkan kepada Mendiknas.
25. Kakanwil Depdiknas, Kakanwil Depag, Kadis P dan K, serta para bupati/walikota diminta meminimalisasi kesenjangan kualitas pendidikan antar-daerah di Aceh. Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, para bupati/walikota diminta memajukan pendidikan di daerahnya dan diupayakan dana untuk pendidikan dianggarkan dalam APBD kabupaten/kota. ***




Klinik MOI Ditutup, Warga Desa Kesulitan

Serambi-Lhokseumawe
Warga Paya Bakong Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara mengatakan sangat kesulitan sejak ditutupnya klinik kesehatan milik Exxon Mobil di kawasan mereka. Kecuali tidak lagi memperoleh pengobatan gratis, warga miskin di pedalaman Aceh Utara itu juga harus menempuh sampai 15 Km untuk memperoleh layanan Puskesmas.
Kepada Serambi dan wartawan kantor berita Jepang, Kyodo News, Fumiaki Yonemoto, warga meminta Mobil memperhatikan nasib warga di pedalaman dengan membuka kembali klinik tersebut.
Kecuali itu, masyarakat juga mengeluh tentang belum terbangunnya rumah-rumah penduduk yang terbakar ketika terjadi insiden bersenjata empat bulan lalu. Wartawan Kyodo News ikut melihat klinik yang kondisinya sedang tertutup dan puing-puing rumah penduduk yang terbakar.
"Saya akan tulis tentang pembakaran, pemerkosaan, dan penutupan klinik, karena hal itu membuat petani kecil menderita," kata Fumiaki yang Minggu kemarin disambut dengan rasa senang oleh warga Matangkuli.
Masyarakat Paya Bakong, baik kepada Kyodo News maupun kepada Serambi mengaku, selama ditutupnya klinik Mobil yang dibangun tahun 1980-an itu, terpaksa menempuh jarak 14 Km ke ibukota Kecamatan Matangkuli untuk berobat di Puskesmas. Selain jarak tempuh, kata Tgk A Salam (50), juga biaya lebih tinggi. Di klinik Mobil hanya dikutip dana Rp 500/ kartu, sementara obat-obatan yang cukup bermutu diberikan gratis. Sedangkan di Puskesmas dikutip Rp 1000 untuk kartu berobat dan obatnya juga kurang bagus, kata A Salam.
Ditutupnya klinik tersebut sekitar pertengahan bulan Maret lalu, merupakan ekses dari pembakaran asset perusahaan Mobil yang dilakukan kelompok bersenjata api beberapa kali. Karena aksi pembakaran asset seperti klinik di Cunda serta aksi perampasan mobil rental dan bahkan sekitar 20 kali terjadi, mengakibatkan perusahaan rugi milyaran rupiah.
Peristiwa paling terakhir adalah pembakaran tiga unit bus angkutan karyawan Mobil jenis Mersedes Benz yang terjadi Senin (20/3) di Kota Lhokseumawe dan di Paya Bakong Matangkuli yang dilakukan pria bersenjata.
Kecuali asset perusahaan terganggu, berbagai ancaman lainnya terus menerus dilakukan kelompok orang tak dikenal via telepon ataupun secara langsung. (tim)



DPRD Pidie bakal Dileburkan


Serambi-Sigli
Sejumlah pimpinan partai politik (parpol) di Kabupaten Pidie mengatakan komposisi DPRD sekarang (hasil pemilu 1997) bakal dileburkan. Karena pemerintah pusat berjanji dalam dua bulan ini akan melakukan revisi terhadap Keppres No 118 1999, tentang pengukuhan DPRD lama.
Keyakinan itu dikatakan Drs Jalaluddin Harus (Ketua PAN), T Ibrahim (Ketua PDIP) dan Drs Tgk Yusri Ahmad) kepada Serambi, Ahad (23/4), setelah mereka melakukan lobi ke Jakarta, beberapa hari lalu. Mereka juga sudah melakukan pertemuan khusus dengan Menteri Dalam Negeri dan pejabat terkait lainnya.
Selain itu, dengan ditemani salah seorang Menteri lainnya, menurut Jalaluddin, mereka juga sudah melakukan pertemuan dengan sejumlah kalangan berkompeten. Bahkan masing-masing mereka sudah bertemu dengan pucuk pimnpinan partainya, seperti Amien Rais, Megawati Soekarno Putri, Hamzah Haz, dan Matori Abdul Jalil.
Dari hasil pertemuan itu, menurut Jalaluddin, sudah ada sinyal bahwa persoalan tersebut akan dituntaskan sebelumnya berakhir bulan Mei 2000. Apalagi, mereka datang ke Jakarta hanya meminta kepada presiden untuk melakukan revisi terhadap Keppres No 118 1999, tentang pengukuhan kembali DPRD lama.
Dengan dileburkanya Keppres, menurut Jalaluddin, maka dengan sendirinya DPRD lama akan lebur. Sehingga berlakunyalah Keppres baru dengan komposisi DPRD baru pula. Namun, pengisian anggota DPRD baru ada dua opsi yang diusulkan oleh mereka kepada presiden.
Sebagaimana suratnya sudah disampaikan kepada presiden, kata Jalaluddin, mereka hanya mengusulkan dua opsi penetapan DPRD baru nanti. Pertama tetap berpedoman pada hasil pemilu tingkat kabupaten yang sudah ditolak oleh sebagian partai. Kedua, berpedoman pada suara pemilu tingkat propinsi.
Sementara T Ibrahim mengatakan ia sangat optimis akan segera terjadi pergantian DPRD. Apalagi, setelah mereka datang ke Jakarta dan menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. "Mereka yang di Jakarta baru mengerti masalah dan kemelut yang selama ini terjadi di Pidie dan Aceh Utara," katanya.
Lobi tak hanya dilakukan dengan para menteri, tapi juga dengan sejumlah pimpinan partai. Karena itu, kata T Ibrahim, pihaknya cukup optimis dan dalam waktu dekat bakal terjadi peleburan Keppres No 118 1999. Sehingga pemilihan bupati akan dilakukan oleh DPRD baru.
Menurut T Ibrahim, DPRD yang ada sekarang sudah tidak legitimed untuk memilih bupati ke depan. Karena mereka yang duduk di dewan --hasil pemilu 1997-- tidak mewakili aspirasi rakyat. Artinya, mereka sebagai anggota dewan karena berdasarkan Keppres. "Tidak salah kalau mereka itu anggota dewannya persiden, bukan mewakili rakyat," katanya.
Kedatangan mereka ke Jakarta untuk tujuan lobi, tidak hanya dilakukan tiga pucuk pimpinan partai tergolong besar itu. Tapi juga sejumlah pimpinan partai gurem ikut hadir dalam berbagai pertemuan di Jakarta. "Kami datang hanya untuk menjelaskan duduk persoalannya," tambah Drs Tgk Yusri Ahmad.
Sebelumnya, Ketua DPRD Pidie HM Yoesoef Daoed kepada Serambi, mengatakan selain sudah dikukuhkan dengan Keppres No 118 Tahun 1999, keberadaan DPRD sekarang juga sudah ditegaskan lagi dengan surat gubernur. Sehingga, DPRD yang ada sekarang masih sah berbuat untuk kepentingan daerah.
Seandainya tidak terjadi perubahan lagi, menurut Yoesoef, maka DPRD yang ada sekarang masih punya tanggungjawab dan wewenang untuk melakukan berbagai kepentingan daerah. Termasuk melakukan berbagai persiapan suksesi. "Kami sekarang hanya menjalankan tugas sesuai ketentuan," katanya.(tu)




Tidak Ada Titik Kemesraan

PEMBERONTAKAN, huru-hara, dan perang saudara laksana penyakit menular. Saban saat dapat menggerogoti batas imunitas tatanan dan sendi-sendi kehidupan normatif. Aceh adalah contoh kasus terdekat dari gambaran itu. Terlepas dari siapa yang merancang dan siapa pula yang melakukan kekacauan keamanan yang mengarah kepada perpecahan, Aceh adalah potret dari ungkapan di atas.
Ironis memang. Pada masa orde baru, khususnya dalam rentang waktu 1989-1998, Aceh merasa diperlakukan tidak adil dalam segala bidang dan menyatakan pemerintahan Orba sebagai sangat diktator terhadap daerah dan rakyat bumi Serambi Mekah. Sehingga mereka melakukan perlawanan-perlawanan.
Namun, ketika kediktatoran Orba berhasil diruntuhkan seiring hempasan angin reformasi, Aceh -- disadari atau tidak -- justru seperti mengorbankan diri menjadi arena untuk membangun praktik- praktik kediktatoran baru.
Kedikdatoran, menurut teori Mc Iver, seorang peneliti masalah pemerintahan berkebangsaan Amerika, tercipta bila ketertiban sosial terguncang pada masa konflik yang mendalam. Juga, ketika manusia bersedia untuk mengorbankan banyak asal saja seorang kuat dapat mengembalikan pada mereka jaminan keamanan dan ketertiban.
Dalam keadaan seperti itu, mereka meninggalkan standar-standar legalitas yang pernah dipunyai. Antitesis antara kediktatoran dan legalitas telah dikenal sejak zaman negara kota di Yunani. Seorang Sophist yang tak dikenal menulis ketika adanya Perang Poloponesus, bahwa mengenyampingkan hukum adalah cara-cara suatu kediktatoran.
Bagaimana dengan Aceh? Teori dari hasil penelitian panjang Mc Iver adalah sebuah kenyataan yang nyaris tidak bisa ditampik. Sejak kekisruhan meletus Agustus 1998, Aceh seakan menjadi negeri tak bertuan. Pemerintahan sipil di berbagai lini amburadul, hukum jor- joran, dan perekonomian ambruk hingga ke titik nadir setelah bangunan kantornya dibakar dan aparatnya diteror untuk tidak bekerja. Yang memilukan, akibat kondisi itu masyarakat mengungsi untuk mencari kedamaian yang jauh dari tempat pemukimannya.
Suasana itu bersumbu dari pecahnya huru-hara bersenjata antara kelompok sipil dengan aparat keamanan. Setelah membiarkan proses perlawanan dalam berbagai bentuk sekian lama, termasuk "membiarkan" anggotanya dibunuh dan diculik serta institusinya dihujat kiri dan kanan, sekitar Januari 1999 aparat keamanan mulai menunjukkan keberadaannya.
Pihak keamanan, TNI/Polri, menempatkan pasukannya di berbagai kecamatan bahkan di desa-desa dengan menggelar Operasi Wibawa. Masyarakat yang trauma dengan tindak pelanggaran HAM di masa DOM, di samping teracuni berbagai provokasi, beramai-ramai mengungsi begitu tentara masuk kampung.
Dan operasi itu menjadi sangat tidak berwibawa setelah puluhan warga sipil dari ratusan yang ditangkap menjadi korban penganiayaan aparat di Gedung KNPI Aceh Utara di Lhokseumawe. Enam di antaranya tewas. Dan seorang perwira TNI, Mayor Inf Bayu Nadjib, dimahmilkan.
Apalagi, pada saat operasi itu digelar intensitas penyerangan markas dan truk-truk pasukan aparat keamanan oleh kelompok yang disebut aparat sebagai sipil bersenjata meningkat tajam. Untuk mencari pelaku aksi itu, aparat melakukan penyisiran ke desa-desa. Dalam penyisiran tersebut, menurut beberapa tokoh masyarakat di Aceh Utara dan Pidie, aparat keamanan lebih mengedepankan pola tempur.
Padahal, pada saat itu masyarakat sedang anti-antinya pada pola tersebut, termasuk trauma melihat orang-orang berseragam militer. "Seandainya yang dikedepankan adalah pendekatan sosial dan bukan tempur, mungkin hubungan masyarakat sipil-militer di Aceh tidak sekeruh saat ini," ungkap M Rizwan Ali, aktivis mahasiswa Lhokseumawe.
Dalam kondisi masyarakat yang sangat labil, pendekatan tempur justru menjadikan kekeruhan hubungan warga sipil-militer di Aceh semakin pekat. Masyarakat yang sebelumnya tidak berada dan memihak ke mana-mana di antara dua kelompok bertikai akhirnya memilih salah satunya yang dirasakan dapat memberikan rasa aman pada dirinya. Akibatnya, jumlah yang mendukung GAM semakin banyak. Baik terang- terangan maupun kucing-kucingan.
Dan dengan pola operasi seperti itu, sejak masa lahirnya GAM hingga era reformasi sekarang ini aparat keamanan belum dapat mengakhiri pemberontakan di Aceh secara militer. Buktinya, sampai saat ini penyerangan markas komando aparat keamanan di berbagai kabupaten di propinsi ini terus terjadi.
Tiga tokoh Aceh yang tidak mau namanya disertakan dalam tulisan ini menyebutkan, bahwa itu membuktikan pendekatan bersenjata atau tempur sangat tidak efektif untuk menuntaskan konflik Aceh walaupun yang dihadapi adalah para gerilya.
Pendekatan tempur, menurut tokoh-tokoh Aceh, merupakan warisan Belanda yang terus ditiru Indonesia. "Ini merupakan kesalahan terbesar dalam penanganan Aceh yang membuat hubungan sipil-militer di daerah ini terus amburadul. Salah satu kelemahan terbesar bangsa ini adalah menganggap apa yang dilakukan Belanda terhadap kita adalah benar sehingga kita pun menjadikannya sebagai patron untuk menghadapi setiap ancaman dalam negeri," kemuka rata-rata mereka.
Bekas pejabat penting di TNI-AD, Letjen (purn) Sayidiman Suryohadiprojo, dalam bukunya bertajuk "Kepemimpinan ABRI Dalam Sejarah dan Perjuangannya" menulis, TNI tidak pernah dapat mengakhiri pemberontakan Aceh dengan tuntas secara militer.
Dan andaikata hanya dilakukan dengan cara militer saja, menurutnya yang merujuk pada kasus DI/TII pimpinan Daud Beureueh, menjadi tanda tanya besar apakah masalah itu sudah selesai. Sebab, baik dilihat dari sudut sejarah, sifat rakyat Aceh, medan dan bentuk geografi Aceh, maupun dari tersedianya pasukan TNI yang kurang memadai, penyelesaian secara militer saja amat sukar.
"Kita teringat akan perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda di zaman kolonial yang memang dapat diselesaikan Belanda. Tetapi, dalam jangka waktu lama serta menggunakan tipu muslihat dalam pendekatan agama hasil pekerjaan Snouck Hurgronye," ungkap Sayidiman dalam buku itu.
Ia seperti banyak tokoh Aceh lainnya berpendapat, jalan terbaik untuk menyelesaikan pergolakan di Tanah Rencong adalah dengan pendekatan politik yang dibangun lewat sentuhan sosial. Bila senjata masih dikedepankan, maka ekses tidak dapat dihindarkan dan antipati terhadap keberadaan militer (TNI/Polri) akan terus mengapung.
Dari sejumlah sumber anonim juga diperoleh gambaran, bila sistem senjata teknologi masih dipraktikkan dalam penanganan masalah Aceh, maka selama itu pula pemerintahan sipil tidak mampu berbuat apa-apa dalam menjalankan fungsinya. Baik fungsi pemerintahan, pembangunan, maupun sosial kemasyarakatan. Apalagi, tak terjawab apakah karena provokasi atau murni, rakyat seperti alergi dengan segala yang berbau pemerintah Indonesia.
Dan dalam kasus Aceh di era reformasi ini, tambah sumber itu, pemerintahan sipil -- diakui atau tidak -- terkesan tidak berani menunjukkan kiprahnya untuk memberikan "semacam saran" kepada pihak aparat keamanan demi terciptanya kemaslahatan di Tanah Rencong.
Padahal, menurut Kapuspen TNI Marsda Graito Usodo, ketika tampil sebagai salah satu pemberi materi pada acara pembuka pelatihan wartawan tentang hubungan sipil militer di Indonesia, sejak embrionya militer (TNI-red) tunduk pada supremasi sipil.
Ketidakberdayaan pemerintahan sipil dalam meredam sekaligus menghempang berbagai kekerasan bersenjata api di Aceh menjadikan kredibilitasnya yang terpuruk di masa Orba semakin tidak dipercaya pada era reformasi ini. Apalagi, sebagai pemerintah di daerah, kewenangan dan otoritasnya dibatasi sejak awal oleh pusat.
Yoshimi Nishi, gadis Jepang yang sedang melakukan penelitian bidang sejarah di Aceh melihat, pusat tidak mungkin memberi otoritas lebih kepada Pemda Aceh.
Apalagi ketika tuntutan itu dilakukan, pemerintah pusat sendiri sedang labil. "Waktu itu di pusat masih ada pertarungan elite politik dan tarik-menarik kepentingan antara sipil dan militer," kata master jurusan Studi Wilayah pada Universitas Kyoto Jepang itu.
Kondisi itu tak ayal ikut memperparah hubungan segi tiga antara rakyat dengan pemerintahan sipil dan militer di Aceh. Ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah sipil dan militer menjadikan bayang-bayang disintegrasi di Aceh kian dalam. Apalagi, pada bulan November 1999, dua jutaan rakyat berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh untuk menuntut dilaksanakannya referendum di Aceh.
Pada waktu itu, sebagian besar rakyat menganggap Aceh sudah merdeka dari Indonesia. Sehingga semua yang berbau Indonesia dipandang sebelah mata, terutama yang beraroma militernya. Sampai-sampai kebijakan TNI untuk membentuk Kodam I/Iskandar Muda di Aceh gagal total meski berbagai infrastruktur untuk itu sudah klar 100 persen, termasuk calon Pangdam-nya.
Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Syafnil Armen menyebut kondisi itu mencuat karena adanya pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan situasi untuk menjarakkan hubungan militer dengan rakyat. Dan masyarakat terprovokasi.
Ujung-ujungnya hubungan sipil-militer pun kian runyam. Dan sampai saat ini seperti tidak ada titik kemesraan. hamdani s rukiah



Banda Aceh 795 Tahun: Pelacur di Peunayong, Gudang Preman Arah Jambo Tapee

Oleh; Hasyim KS


Kita tidak tahu apakah ketika tahun 1205 M sebagai awal ditetapkan lahirnya kota Banda Aceh, apakah nama tersebut memang Banda Aceh (Bandar Aceh) atau ada yang lain. Kalau direnung-renungkan, kiranya jauh lebih tua Banda Aceh dengan Malaka, atawa pusat kerajaan Islam Moghul di Delhi India maupun beberapa kesultanan di Indonesia Bagian Timur. Tapi mana sisa-sisa sebuah kota yang berpredikat bandar itu? Tanpa mengecilkan arti benar tidaknya ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun mengakui yang tahun 1205 M itu adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya Alaidin Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang di Banda Aceh sekarang yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera ketimbang sebuah kota sebagai bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga muncul di abad-abad lampau.
Sebagian kita barangkali telah terbawa arus berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah kota berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian membuat kita menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga memiliki sebuah kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi.
Sekali lagi tanpa mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini, kita cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh sampai ke tingkat internasional pada abad-abad lalu tersebut.
Dari berbagai catatan, diperoleh data tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini, tentang lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan dengan Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai ke kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing, tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib singgah untuk membeli ataupun mem- barter berbgai jenis rempah-rempah. Baiklah kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd. Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan tersebut berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus, Singkli (Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao (Lhokpaoh), Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas (Rigah), Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong Balee-Pen).
Mereka, pelaut-peluat asing itu tidak mencantumkan adanya Sibolga, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh.
Lagi-lagi tanpa mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah memang telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988, ditetapkanlah tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H, atau 22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar (kota pelabuhan) ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para peneliti sejarah jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam bissawab.
Cuma 6 Sekolah Dasar
Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Banda Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD) yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari salah satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh masyarakat dari Leupeung, lokasi SR tersebut masing-masing:
SR seleretan SMU 1, sekarang SD 7 dan 9.
SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain Supermarket Yusri.
SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42.
SR di dekat Gudang Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15.
SR di Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar.
SR Neusuh, sekarang bangunan baru sebagai SD 32.
Tahun 1950 muncul satau-satunya Sekolah Rendah Islam (SRI) Al Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Tahun-tahun berikutnya muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1 sekarang). Dan Sekola Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang pada ruang belakang Gereja Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru untuk SGA berlantai 2 sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.
Peunayong dan Gudang Pereman.
Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang malam, ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas anda dicurigai sebagai baru pulang plesir dengan pelacur. Ternyata sarang si Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu. Beberapa pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat peyakit perempuan (maksudnya Sipilis/ Raja singa- Pen) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan. Dan si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian ada yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti penyakit perempuan tersebut.
Dan apa pula yang disebut "Gudang Preman" itu? Maksudnya kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini, dulu disebut Jln Krueng Raya atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang Jln. T. Nyak Arief sekarang, hanya sampai batas kota di Simpang Jambo Tapee. Simpang Jambo tapee itu sendiri dikatakan sebagai daerah pinggiran kita. Di sini ada lapangan ternak lembu perah milik keluarga India pakai sorban. (maksudnya etnis orang India Sikh/Benggali-Pen.) Kalau lewat Jambo Tapee ke arah Lamnyong atau Krueng Raya, di kiri kanan jalan tanpa aspal itu hanya ada sawah, rawa-rawa serta belukar.
Jurusan jalan Gudang Preman yang disersebut tadi, dulunya cukup suram di malam hari dan bahkan sering dijadikan tempat menunggu seseorang yang tak disukai untuk dibunuh. Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang dalam keadaan remang-remang di malam hari. Penerangan jalan hanya dengan lampu minyak yang dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di tempat-tempat tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan ambtenaar Belanda memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang semprongnya macam jantung pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa sepeda itu disebut juga lampu jantung.
Ternyata yang disebut Gudang Preman itu karena di salah satu sisi jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas gudang yang lokasinya kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada hubungan Gudang Preman dengan ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang dimaksud jangan disamakan sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang pukul, perampok maupun pencopet.
Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan Belanda frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria- pria yang tidak memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum penganggur pun dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul dan tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman. Kebanykan perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal Jawa dan orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi mereka sekedar tunjangan.
Ke Kandang Babi, apa pula itu?
Tempo doeloe, kalau mau ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan mengatakan ke Kandang Babi. Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie sampai ke Taman Sari Baru atau Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri dari hutan pisang dan di dalam kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh, perkampungan orang Cina, khusus memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena semenjak Simpang Jam sampai lewat Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi kota, sisa-sisa peternak babi tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke dalam dari Jembatan Goheng (sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi ini pindah ke Ujong Batee arah Krueng Raja, 15 Km dari kota.
Begitu juga di jalan arah ke Seutu ini, ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang berseberangan dengan Kampung Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang ini di atas tanah kompleks Kampung Keling tersebut dibangun beberapa bangunan sebagai Taman Budaya Aceh.
Yang disebut Kampung Keling itu terdiri dari sebaris kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu yang ditunjuk Belanda untuk hunian orang-orang India yang berprofesi sebagai laundry. Namun lokasi untuk etnis India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di sini mereka memiliki rumah peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh Temple untuk India Sikh/Banggali.
Tempat hiburan.
Beberapa orang lama mengatakan di Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar. Maksudnya gedung bioskop, masing- masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum masuknya listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak bayangan film ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu hasil bayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang hitam putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film dengan tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar dengan tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja kedatangan listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung bisokop yang dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan Rex, hanya tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja makanan di malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang. Setelah kemerdekaan di samping Bioskop Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong muncul satu bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop Merpati.
Rumah-ruma hiburan kebanyak didadatangi oleh para petinggi Belanda yaitu disebut Kamar Bola yang dikemudian hari dikenal dengan Balai Teuku Umar. Sayang bangunan yang berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas telah dibongkar dan di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun Sibreh.
Dan tempat hiburan lainnya yang banyak dikunjungi oleh orang biasa dan anak-anak kapal adalah Taman Sari. Dulu sebagioan orang gampong menyebutnya Taman Putoe Bungsu, karena disalah satu sisi taman ada sebuah patung porslen wanita cantik. Sampai sekarang di sana masih ada sebuah bangunan bundar bergaya lama sebagai pentas bermain musik, terutama di malam minggu.
Tempat rekreasi di luar kota ketika itu sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai Ulheelheue dimana khusus untuk orang- orang Belanda disediakan tempat mandi laut yang dipagari besi agar jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan kamar pakaian. Tempat rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja dilanda gempa besar sekitar tahun 1930-an.



Pernah Cetak Uang & Sepeda Menunjukkan Status

Oleh: Hasyim KS

Lenyapnya bekas-bekas sebuah kerajaan yang megah dari berbagai runtun para Sultan dan Sultanah di Aceh, menurut perkiraan beberapa pengamat sejarah adalah karena Aceh beda dengan kerajaan-kerajaan terkenal lainnya di Nusantara dalam bangun membangun sarana. Ternyata Aceh didominasi oleh budaya kayu sehingga tidak awet untuk ditemukan di zaman sekarang ini. Kecuali beberapa monumen seperti Gunongan salah satu peninggalan Sultan Iskandar Muda berikut sebuah gerbang kecil sebagai pintu belakang istana yang disebut Pinto Khob, khusus untuk para kerabat kerajaan untuk bersiram (manoe meu- upa) di Sungai Krueng Daroy. Plus beberapa situs sebagai makam- makam tua para penguasa dan keluarga kesultanan, awet karena terbuat dari bahan baku batu.
Gedung-gedung tua.
Kalau pun di usia 795 sekarang ini di Banda Aceh terdapat beberapa bangunan-bangunan tua yang telah antik, adalah bangunan-bangunan yang berusia antara 70 sampai 100 tahun, rata-rata dibangun dalam masa kerajaan Aceh telah tiada setelah tahun 1874 M. Kecuali bangunan Masjid Teungku Anjong yang telah beberapa kali direnopasi yang berusia sekitar 300 tahun.
Bangunan-bangunan yang sedikit yang berada di Banda Aceh tersebut adalah adalah:
Masjid Tgk. Anjong: Bangunan yang telah berusia lebih kurang 300 tahun ini terletak di Peulanggahan. Menurut buku "Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia" oleh Abdul Baqir Zein, masjid ini dibangun oleh seorang ulama di zaman Sultanan Alaidin Mahmud Syah di abad 18. Ulama karismatik tersebut bernama Syeh Abubakar berasal dari Hadratulmaut (Arab). Kebiasaan dalam masyarakat Aceh, seseorang yang menjadi tokoh, maka masyarakat memberian nama sebagai panggilan akrab, maka Syeh Abubakar diberi nama panggilan akrab Teungku Anjong. Untuk ukuran sekarang bangunan tersebut betul-betul antik dan tercantum dalam sederetan koleksi masjid-masjid tua di Indonesia.
Masjid Raya Baiturrahman. Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda tahun 1879 dan siap pakai 1881. Ketika itu petingginya adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang merasa harus mengganti Masjid Raya yang terbakar habis ketika penyerbuan Kumpeni Belanda tahun 1874. Ketika penyerbuan itu Masjid Raya terbuat dari bahan kayu, beratap ijuk.
Beberapa catatan mengatakan banyak jatuh korban dikedua belah pihak untuk merebut Masjid Raya yang dijadikan basis lasykar Aceh. Pasukan Belanda berhasil menghancurkan masjid setelah menembakan meriam berpeluru api.
Beberapa jam setelah masjid yang telah jadi arang itu diduki, komandan tertinggi Belanda, Jenderal Kohler yang sedang berada di halaman masjid, tewas ditembak oleh sniper Aceh yang konon membidik sang jenderal dari belukar-belukar, kira-kira di sekitar bekas gedung PMABS sekarang.
Untuk mengembalikan kepercayaan orang Aceh, maka lima tahun kemudian dibangun penggantinya, sebuah masjid konsturksi beton dengan kubah tunggal. Bangunan asli tersebut sekarang ini berada di tengah-tengah, yang ada jam kuno.
Masjid Raya Baiturrahman setelah beberapa kali perluasannya setelah kemerdekaan Indonesia, telah memiliki 7 kubah dan 4 menara azan seperti sekarang ini. Sementara di halamannya yang dulu adalah jalan raya, berdiri sebuah menara setinggi 45 meter, yang disebut sebagai Menara Perjuangan dan adalah bangunan tertinggi di Banda Aceh.
Pendopo Gubernuran: Setelah Aceh diduki oleh pasukan kumpeni Belanda tahun 1874, setelah membenah negeri yang kemudian disebut masyarakt Aceh sebagai Kutaraja (Jangan salah. Belanda lebih suka menyebutnya "Kota Raja" yang jauh menyimpang dari makna Kutaraja sebenarnya. Ini barangkali yang berbau kolonial yang perlu dikembalikan kepada makna Kutaraja yang sebenarnya-Pen).
Tahun 1881 sebuah bangunan yang ketika itu disebut istana, siap dibangun di atas bekas bangunan istana Sultan Aceh yang disebut Dalam. Di atas pertapakan bangunan Dalam itu dibangun sebuah rumah dinas resmi bergengsi yang setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 disebut Pendopo Gubernuran dan sekarang ini disebut Meuligoe (Mahligai), tempat resemi siapapun yang menjabat Gubernur Aceh.
Bangunan ini bahan bakunya melulu dari kayu yang dipesan khusus dari Kalimantan (kayu besi). Petinggi Belanda pertama yang menghuni tahun 1881 adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang oleh orang Aceh disebut "Jenderal Bermata Sebelah" karena ketika memimpin pertempuran di Samalanga, sebelah matanya cedera ditembus peluru lasykar Aceh.
Dari berbagai sumber dikatakan semenjak siap huni tahun 1881 ada 22 petinggi Belanda yang menempati bangunan tersebut. Dan dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945), hanya satu petinggi Dai Nippon sempat menempati "istana" tersebut yaitu Jenderal Mayor Syozaburo Iino.
Sentral Telepon: Bangunan bulat seperti mercusuar berlantai dua ini dibangun semasa masih berkecamuknnya perang Aceh. Bangunan separoh beton yang cukup tebal dibagian bawah sebagai perisai kalau ada penyerbuan lasykar Aceh dan diatasnya bahan dari kayu yang tahan cuaca, terletak di persimpangan Jln. T. Umar dengan jalan ke arah Neusu dan Meuligoe, tidak jauh dari Simpang Jam. Tepatnya dekat bekas galon minyak Saleh Rahmanai.
Inilah gedung pelayanan telepon satu-satunya yang beroperasi semenjak tahun 1903 milik Kumpeni Militer Belanda khusus untuk untuk keperluan perang Aceh. Sedangkan kantor pelayanan telepon untuk umum, dibangun tahun 1931 di lokasi Kantor Telepon sekarang dengan gedung dan peralatan moderen. Sayangnya gedung yang aslinya bukan diawetkan tapi dirubuhkan tanpa meniggalkan bekas sebagai bukti sejarah perteleponan di negeri ini.
Bangunan bulat sentral telepon Kumpeni di dekat Simpang Jam, pada masa pendudukan Jepang 1942-1945,
difungsikan juga untuk keperluan perang.
Sampai menjelang tahun 1960 setelah Indonesia merdeka, bangunan kuno ini masih dipakai sebagai Kantor Telepon Militer Kodam I/Iskandarmuda yang disebut Wiserbot (WB) Taruna. Sampai tahun 2000 sekarang ini berturut-turut telah dipakai sebagai Kantor KONI, Kantor Surat Kabar Atjeh Post dan terakhir sebagai Kantor PSSI. Banyak yang mengharapkan agar bangunan ini jangan sampai dibongkar pula.
Gereja Katholik: Gereja Katholik Hati Kudus ini diresmikan pemakaiannya tanggal 26 September 1926 oleh Pastor pertama, Pastor Kepala Augustinus Huijbregets.
Bangunan terletak di ujung jembatan Pantee Pirak arah Simpang Lima dengan gaya Neo Clasik Modern. Bangunan panjang 30 M, tinggi ruangan dalam 12 M, lebar 14 M, sementara tinggi menara 22 M. Dapat menampung 300 anggota jemaat.
Interior gereja ini dengan jendela yang diberi kaca berwarna jenis staned glass dengan lantai keramik warna warni yang disusun dalam bentuk mozaik, sehingga dinilai sebagai gereja yang berlantai indah di Indonesia.
Dari catatan yang ada, baik kaca, lantai keramik maupun lonceng gereja, semuanya di datangkan dari Negeri Belanda.
Dalam kompleks gereja ini diperlengkapi bangunan-bangunan untuk pendidikan agama dan sekarang ini memiliki sekolah semenjak TK sampai SMU.
Jauh sebelum tahun 1926, di tempat yang sama telah ada bangunan darurat untuk gereja yang dipimpin oleh seorang Pastor yang didatangkan dari Negeri Belanda.
Dalam catatan sejarah keberadaan Kumpeni Belanda di Aceh, Pastor yang bernama Verbrak ini telah mengabdi selama 30 tahun dalam suasana perang Aceh dan ikut sebagai Imam Tentara ke berbagai lokasi medan tempur.
Ketika tulisan ini diturunkan, Gereja Katholik berlambang ayam jantan ini dipimpin oleh Pastor Ferdinando Severi berkebangsaan Italia. Ferdinando adalah petinggi Gereja Katholik Banda Aceh yang ke 17 semenjak Pastor Augustinus Huijbregts tahun 1926 tersebut.
Metro Market: Gedung tua lainnya dan barangkali tidak banyak yang mengetahui riwayatnya yang telah mencapai 100 tahun ini, adalah yang sekarang dijadikan sebagai market mini Metro terletak di ujung Jln Diponegoro.
Yang mencemaskan adalah akan nasib gedung ini karena tebetik khabar yang kalangan Balai Kota akan merestui untuk dibongkar dan menggantikan dengan bangunan moderen untuk sebuah super market.
Gedung ini bentuknya memang sudah kuno dan ada yang merasa sudah menjadi limbah di tengah bangunan-bangunan moderen tanpa mau tahu akan usianya yang telah 100 tahun dan telah banyak jasanya dalam perkembangan negri ini.
Semasa perang kemedekaan 1945-1949 gedung milik percetakan Belanda ini dialihkan menjadi Percetakan Negara RI sampai tahun 1960-an, sebelum dibangun gedung baru Percetakan Negara RI di sampingnya.
Percetakan tersebut dengan peralatan yang kuno jika dibandingkan dengan sekarangi ini telah mencatat sebuah sejarah ketika Pemerintahan Darurat RI antara 1945-1949. Disinilah dicetak uang negara yang bernama ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Gedung tua yang sekarang sebagai supermaket mini tersebut, pertama dibangun tahun 1900 berbentuk rumah biasa sebagai cabang percetakan swasta Belanda "Deli Courant" yang berpusat di Medan. Kemudian dikembangkan dengan membangunnya lebih besar lagi seperti yang ada sekarang. Percetakan yang tentunya mempergunakan peralatan kuno diberi nama "Atjeh Drukrij" yang oleh lidah orang Aceh disebut seenaknya sebagai Aceh Dokree. Percetakan ini menerbitakan sebuah surat kabar bernama "Atjeh Newsblad". Karena menyusun leternya satu-satu dengan tangan (handzet) maka koran Belanda ini terbit 1 kali dalam 2 minggu.
Ketika pendudukan Jepang (1942-1945) percetakan ini menerbitkan surat kabar bernama "Atjeh Shinbun". Setelah Jepang angkat kaki, pemuda-pemuda Indonesia ketika itu anatara lain A. Hasjmy, Amelz, Matu Mona, Twk. Hasyim SH, Talsya dll menerbitkan surat kabar "Semangat Merdeka". Di masa pemerintahan darurat itulah dicetak digedung tua ini uang negara sebagai tanda pembayaran yang syah, sebagai membuktikan bahwa negara Indonesia itu memang resmi ada.
Akan tetapi ada beberapa bangunan di Banda Aceh yang berusia di bawah 70 tahun, milik masyarakat, tapi memilik nilai sejarah ketika perang kemerdekaan 1945-1949. Sayang bangunan-bangunan tersebut karena milik pribadi, bukti- bukti sejarah tersebut hanya tinggal dalam catatan-catatan lama. Sedangkan bangunannya telah dibongkar. Misalnya "Hotel Central" terletak di Jln. Mohd. Jam. Di sana sekarang telah berdiri sederetan bangunan Ruko. Di aula hotel kecil milik seorang Tionghoa ini sering para tokoh-tokoh pejuang Aceh mengadakan rapat-rapat untuk mengatur pemerintahan darurat di Aceh.
Begitu juga gedung "Sabang Coy", bersebelahan dengan bekas gedung PMABS di ujung Jln. Diponegoro. Tempat ini pernah dijadikan markas para pemuda pejuang perang kemerdekaan untuk mengatur strategi untuk mara ke Foront Medan Area. Sekarang ini telah berdiri di sana sederetan bangunan Ruko.
Kemudian ada sebuah bangunan lain yang kini ternyata tersendat dalam pengembangan dan pemugarannya yaitu "Atjeh Hotel". Walau bangunan ini adalah milik swasta, tapi punya nilai sejarah dalam membangun Republik Indonesia. Hotel bergaya Belanda dengan aula dan bar yang luas seperti kebanyak gaya tempo doeloe pernah dijadikan ruangan terhormat menyambut kedatang Presiden Soekarno tahun 1947. Dari ruangan ini lahir ide kaum saudagar Aceh untuk menghadiahkan sebuah pesawat terbang untuk membantu perjuangan Indonesia mempertahankan Proklamasi 1945. Konon pesawat jenis Dakota buatan Daouglas AS itu adalah cikal bakal armada angkutan udara Indonesia "Garuda" sekarang ini.
Transportasi.
Pada masa Belanda dahulu untuk angkutan murah dalam kota diprgunakan kenderaan sado (delman) yang dalam bahasa Aceh disebut kaha. Semenjak masa perang Aceh dahulu kereta kuda ini telah ada. Konon Teuku Umar keluar masuk kota untuk mengunjungi isterinya yang lain dan beberapa kenalannya orang Cina di Peunayong mempergunakan kaha.
Karena serdadu Belanda diajarkan tatakrama untuk tidak menyinggung hati orang Aceh terutama jangan menggangu kaum wanita, maka Teuku Umar yang jadi buron Belanda itu sering menyamar memakai busana wanita dan menumpnag kaha/sado ke dan keluar kota. Disetiap pos penjagaan dia bisa lolos, karena para serdadu begitu melihat ada penumpang wanita, mereka cukup hormat dan tidak banyak periksa.
Halte sado sampai Indonesia merdeka antara lain di mulut Jalan Perdagangan di sisi Masjid Raya, di Jln. Merduati, di Stasiun Kereta Api (sekarang sudah jadi halaman Masjid Raya) dan di dekat Rumah Sakit Kuta Alam.
Sado Banda Aceh masih difungsikan sampai akhir tahun 1960. Armada sado ternyata mengundurkan diri dari gelanggang ketika muncul kenderaan murah lainnya yaitu beca. Kemunculan beca di Banda Aceh memang langsung beca bermotor seperti sekarang ini. Tidak pernah ada beca dayung.
Akibat tidak ada lagi kenderaan sado yang ditarik oleh kuda ini, warga Banda Aceh tak pernah lagi melihat jenis hewan kuda yang dulu cukup banyak. Kasihan juga yang anak-anak Banda Aceh terutama yang usia muda agak terheran-heran melihat kalau ada sekali-sekali muncul hewan kuda yang datang dari Takengon.
Begitu juga anak-anak-anak Banda Aceh tidak tahu bagaimana sebenarnya kenderaan kerat api itu. Karena si "Kuda Besi" angkutan jarak jauh ini entah setahu bagaimana lenyap dari peredaran. Padahal menurut beberapa pengakuan, pemasukan dari sektor angkutan kereta api di Aceh yang instansinya disebut "Djawatan Kereta Api Atjeh" (DKA) cukup menggiurkan sampai-sampai dapat menutup kerugian beberapa usaha perkeretaapian negara di berbagai daerah di Sumatera.
Begitu juga semenjak tahun 1950 sampai awal 1980 untuk hubungan jarak dekat seperti kenderaan labi-labi sekarang ini, ada juga pelayanan transportasi dengan mobil berbadan lebar yang karoserinya empat persegi seperti kotak sabun dan memiliki tempat duduk dari papan dideretkan melintang semenjak dari bangku sopir sampai ke pintu belakang.
Armada ini terdiri dari Perusahaan Motor Lhoknga (PML), Perusahaan Motor Aceh Besar (PMAB), Perusahaan Motor Olele (PMO), Perusahaan Motor Darmajaya dan Ampera.
Stasiun jenis angkutan ini yang disebut pelabuhan berada di tanah kosong di depan Percetakan Negara atau depan leretan Warung Aman Kuba. Sekarang bekas stasiun tersebut telah dijadikan semacam taman kota.
Dalam tahun-tahun 1950-an, muncul pula armada bus antara lain ATRA, Nasional, PMTOH dan PMABS. Dua yang terakhir ini melayani pantai Barat sampai ke Bakongan.
Bus-bus jarak jauh menginap di depan bangunanya sendiri. Para penumpang langusng dijemput antar oleh bus ke tujuannya. Baru tahun 1970 muncul sebuah terminal wajib kumpul bus jarak jauh dan wajib turun penumpang di Seutui, lokasi termina sekarang.
Pada masa Belanda jalan darat ke pantai Barat jurusan Meulaboh- Tapaktuan, Bakongan sampai Trumon dibuat tahun 1928. Lewat laut sampai tahun 1956 dengan kapal milik perusahan Belanda yang bernama Konijnklike Pakertpart Matschapij (KPM).
Untuk kenderaan pribadi, sekitar tahun-tahun 1920-an, warga lebih banyak jalan kaki atau naik sado. Hanya orang-orang tertentu yang mampu beli kereta angin (maksudnya sepeda-Pen)
Setelah kemerdekaan semenjak 1950 sampai 1960 di jalan-jalan di Kutaraja berseliweran sepeda dan satu-satu mobil pribadi, semirip suasana lalu lintas di kota-kota negara Cina dan Vietnam yang didominasi oleh yang didominasi oleh sepeda.
Pada masa-masa tersebut terlihatlah status keberadaan seseorang dinilai dari merek sepedanya. Yang paling banyak bermerek Valuas dan Seko. Sementara merek Raleigh, Fongers, Gazzele dan Philips dimiliki oleh para toke-toke,
dan warga berduit. Lebih-lebih lagi pemilik jenis sepeda bermerek kelas atas tersebut akan bergengsi lagi kalau sepedanya dilengkapi dengan rem tromol yang mengeluarkan bunyi gesekan kalau berhenti. Ditambah lagi sepeda dilengkapi dengan gigi. Maksudnya ada ferseneling yang kalau didayung akan mengeluarkan bunyi tik...tik...tik.
Bahkan anak-anak pejabat tertentu, terutama yang ceweknya dibelikan kenderaan yang disebut mobilette.
Ternyata tak lebih semacam sepeda yang diberi bermesin tempel yang dikenal juga dengan sebutan sepeda kumbang. Barangkali inilah lebih kurang beberapa catatan ringan yang kita kumpulkan untuk menyambut usia Banda Aceh yang ke 795 tahun. Kota yang cukup tua tanpa memiliki kebanggaan peninggalan lama seperti Malaka, Bengkulu, Makassar, Sunda Kelapa dll sebagai negeri terkenal di abad-abad lampau yang tidak pernah mencantumkan embel-embel bandar, seperti Banda (Bandar) Aceh kita ini. Bukan main.
Untuk ini, sekali lagi wallahualam bissawab.