Rubrik : Hindu Nusantara |
Reformasi Rekrutmen Pemangku
Gde Tohjiwa
Pujawali
siang itu nampak sangat meriah, suara gamelan mengalun lambat mengiringi
sayup-sayup suara genta. Pemedek pun
hilir mudik menggunakan kostum yang sangat bagus bahkan di sepanjang jalan dekat
pura berjejer kendaraan begitu mewah. Berbeda sekali dengan suasana di utamaning mandala pura, tampak seorang
pemangku yang sudah tua dengan pakaian putih agak lusuh, duduk menghaturkan
mantra-mantra Weda diselingi juga dengan mantra tradisional Bali (mesapa). Di
balik raut wajah yang sudah mulai keriput kelelahan yang luar biasa karena
sudah lima hari siang dan malam berada di sana memberi pelayanan pada umat. Betapa
pentingnya peranan seorang pemangku saat itu yang tanpa lelah jauh dari
kesejahteraan material, menjalankan suatu prosesi upakara. Melihat sekilas gambaran tersebut, mampukah kita berpikir,
bagaimana caranya memanajemen sistem ke-pemangku-an ke depan untuk menciptakan
pemangku yang ideal karena ini menjadi tantangan kita semua. Pemangku
yang ideal adalah pemangku yang mengerti akan sesana kepemangkuan serta dapat melayani kepentingan umat Hindu
secara sekala niskala. Selain melayani upakara
maupun problematika keumatan juga seharusnya menjadi tanggung jawab
pemangku. Jabatan pemangku perupakan jabatan yang sangat terhormat dan
disucikan oleh umat Hindu. Karena pemangku diyakini sebagai perantara umat
dengan sang pencipta Hyang Widhi Wasa. Maka dari itu, sebaiknya pemangku kita
memiliki jnana yang cukup. Mengingat
tantangan umat yang makin modern, perlu kiranya kita memikirkan intelektualitas
seorang pemangku masa depan. Di Bali ada dua cara untuk menjadi pemangku. Yang
pertama seseorang diangkat dipilih
langsung oleh masyarakat dengan ketentuan-ketentuan kesepakatan oleh masyarakat
desa pakraman, karena kemampuannya
dengan cara belajar. Yang kedua, seseorang
ditunjuk langsung melalui orang yang kerauhan
Ida Bhatara. Pemangku jenis ini juga tak jauh-jauh dari garis keturunan. Seorang
pemangku yang terpilih dengan cara kedua ini memang tak dapat diukur kualitasnya,
bahkan ada orang terpilih, namun tidak mengerti dengan sesana pemangku, maklum karena sebelumnya tidak belajar. Untuk
menolak pun biasanya seseorang yang sudah ditunjuk tidak bisa. Kalau
pemangkunya masih muda tidak masalah, karena masih ada kesempatan untuk belajar
dan menambah jnana melalui peroses
membaca kitab suci atau buku-buku keagamaan lainnya. Namun bagaimana kalau yang
terpilih sudah tua, tidak bisa melakukan pembelajaran secara ilmiah. Mengingat
daya ingat untuk bejajar, mengkaji sesuatu sudah lemah. Sedangkan tuntutan
masyarakat modern sekarang tidak hanya sekadar sembahyang pada saat piodalan atau pujawali saja. Di balik itu sebenarnya peranan seorang pemangku diharapkan
jauh lebih luas. Mengingat umat semakin hari semakin haus akan pencerahan. Mungkinkah
pemangku-pemangku kita dapat melakukan hal tersebut? Seharusnya bisa saja, tapi
apakah selain menangani urusan upakara,
mereka masih sempat memperhatikan urusan sosial psikologi masyarakat. Tapi itu
adalah tantangan yang membentang di hadapan kita sekarang. Dalam
hal ini peranan lembaga atau yayasan harus turun tangan untuk menangani
pemangku-pemangku suci kita dengan cara memberi pendidikan dan bisa menciptakan
buku-buku panduan ke-pemangku-an dan bacaan umum dengan gratis, supaya pemangku
benar-benar bisa berfungsi dan memfungsikan kepemangkuannya secara menyeluruh. PHDI
sebagai lembaga tertinggi umat Hindu harus melakukan terobosan yang nyata
terhadap permasalahan pemangku tadi. Bila perlu berani mereformasi sistem ke-pemangku-an
kita yang tidak produktif dan efektif. Ini bisa saja dilakukan demi kemajuan
meningkatkan kualitas seorang pemangku dan membimbing umat masa depan yang
sudah mulai menghadapi permasalahan-permasalahan berat mengarungi kehidupan di
zaman kaliyuga. Kemauan
lembaga adat dalam memanajemen adat setempat untuk mengeluarkan pendapatan desa pakraman guna menggaji minimal tiga
orang pemangku, karena setiap desa
pakaraman memiliki tri khayangan.
Bisa juga menyisihkan anggaran pembangunan pura untuk meningkatkan kesejahteraan
pemangku, mengingat kalau hanya mengandalkan intensif pada saat piodalan amatlah tidak layak mengingat piodalan datangnya enam bulan sekali.
Karena biasa sekali puranya megah tapi pemangkunya masih kekurangan. Pemerintah
sebaiknya kalau mengucurkan dana ke desa
pakraman diimbangi juga dengan memperhatikan SDM para pemangku. Sehingga
apa yang kita harapkan dari seorang pemangku benar-benar bisa menjawab segala
permasalahan tattwa, etika dan upakara itulah mangku masa depan umat Hindu. |