Artikel

 

Seri Sikap Hati :

-. Kesepian .-

 

Disusun Oleh
Pdt. Budimoeljono R., S.Th.





Kesepian merupakan pengalaman yang menyakitkan, dan dapat menjangkiti hati setiap orang tanpa kenal usia, golongan, bahkan tingkat kerohanian seseorang. Orang yang mengalami kesepian, akan merasakan kekosongan jiwa sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain. Berbagai perasaan sedih, putus asa, gelisah, kuatir, dan keinginan untuk dikasihi atau disayangi begitu kuat menyelimuti hati seseorang yang dilanda kesepian. Sebagai akibatnya, seseorang yang kesepian akan merasa "sendiri" meski berada di tengah-tengah keramaian banyak orang. Lebih parah lagi, ia dapat merasa diri ditolak dan ditinggalkan.

Perasaan ditolak tersebut dapat berlanjut sehingga lahir perasaan tidak berharga (social loneliness). Dan usaha orang untuk mengatasi perasaan "tidak berhagrga" ini, dilakukannya dengan menyibukkan diri dalam berbagai pertemuan atau kegiatan misalnya, atau malah terjerumus ke dalam prostitusi (perek), minum-minuman keras, obat-obat bius, ganja, narkotika, shabu-shabu, dan bahan-bahan lain yang sejenisnya.
Kesepian bagi Orang Kristen
Alkitab tidak mengatakan bahwa kesepian adalah sikap hati yang berdosa, tetapi akibat perbuatan dosa - yaitu pelanggaran terhadap Perintah Allah yang dilakukan manusia pertama dengan diputusnya hubungan yang harmonis dengan Allah (Kej.3:8,10,12,dst). Ketakutan menandai adanya dosa, tetapi ketakutan itu sendiri bukan dosa. Demikian pula halnya dengan kesepian. Kesepian menandai adanya dosa, yakni sikap hati yang menuduh diri dengan tidak semestinya. Padahal Allah menciptakan kita dengan "amat baik" (Kej.1:31), bahkan "duplikat" Allah (gambar Allah, Kej.1:26), yang untuk mengasihi sesama dipakailah "standar diri" yakni mengasihi diri sendiri (Mat.22:39).

Yesus merasa "sendiri" di waktu penyaliban berlangsung, sebagai puncak penderitaan-Nya di muka bumi ini (Mat.26:46). Perasaan-Nya yang sepi adalah akibat dosa seisi dunia yang ditanggung-Nya. Sebegitu dahsyatnya dosa merusak jiwa manusia, sehingga Yesus pun berkata "Eli, Eli, lama sabakhtani" yang artinya "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku" yang diserukan-Nya dengan suara nyaring - pertanda kepedihan hati-Nya yang sangat mendalam. Yesus simpati (ikut merasakan dengan melibatkan emosi) dengan penderitaan bathin manusia. Yesus memahami kesepian kita. Jadi, Ia yang sudah mengalami kesepian yang memuncak dan memenangkannya akan memenangkan kita juga. Percayakah Anda pada kekuatan Yesus yang menyembuhkan?

Paulus, seorang rasul Allah yang besar dalam pekerjaan Tuhan, mengalami kesepian di saat-saat menjelang berakhirnya kehidupan dan pelayanannya (2Tim.4:9-11). Ia menulis surat kepada Timotius, supaya segera datang menjumpai dirinya yang telah ditinggalkan oleh saudara-saudara sepanggilan, baik Demas yang tidak setia kepada Tuhan, maupun Kreskes dan Titus yang pergi melayani di kota lain. Ia, yang biasa hidup bersekutu, kini hanya tinggal bersama Lukas seorang. Ini sangat mirip dengan kehidupan sekarang, ketika seseorang memasuki masa-masa pensiun atau retired. Orang tua paling banyak mengalami gejala ini.

Oleh karena itu, pemulihan terhadap sikap hati yang mengalami kesepian hanya dapat dilakukan dengan baik jika hubungan dengan Allah juga dipulihkan. Hubungan yang baik dengan Allah akan menumbuhkan Makna Hidup yang bertambah (Hos.6:6; Yer.7:3 dst).

Yesus, dalam segala kepedihan hati yang tak terukur dalamnya, menjadi "lain" ketika Ia menyerahkan diri-Nya kepada Allah, dengan berkata: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku" (Luk.23:46). Segera sesudah Yesus menyerahkan diri-Nya (kemanusiaan-Nya) kepada Allah, Ia mampu melewati pergumulan itu dengan kemenangan yang dijanjikan Allah.

Paulus, yang kesepian di masa-masa tuanya, pada akhirnya meraih kemenangan yang gilang-gemilang. Rahasia kesuksesannya mengatasi kesepian adalah karena orientasi hidupnya yang dipusatkan kepada Yesus Kristus (Kis.20:24). Paulus berhasil Memaknai hidupnya dengan pekerjaan baik yang disediakan Allah di dalam Kristus (Ef.2:10). Paulus berhasil sampai akhir hidupnya, dan kesepian pun tidak menguasainya (2Tim.4:7).


Pencegahan Kesepian
Pencegahan lebih bijak dari pada penyembuhan. Menyembuhkan orang dari kesepian membutuhkan banyak hal yang harus dikorbankan, dan yang paling serius adalah korban perasaan. Seseorang yang menderita kesepian harus membayar beberapa bulan atau bahkan tahun untuk menghapusnya. Dan, lebih menyedihkan lagi bahwa selama waktu itu kehidupan menjadi tidak dapat dinikmati.

Gereja, sebagai tempat persekutuan, hendaknya dapat berfungsi sebagai tempat yang baik untuk melatih diri dalam usaha mencegah kesepian. Ada beberapa tindakan yang kiranya dapat membantu:

· Menciptakan gereja yang "mengobati"
Problema utama manusia adalah bagaimana memberi makna pada kehidupannya. Kebanyakan dari kita, tidak mengerti bagaimana memberi makna pada kehidupannya oleh karena tidak mengetahui apa makna kehidupan yang sesungguhnya. Berangkat dari inti persoalan hidup serupa ini, gereja bertanggung jawab untuk memberi jawab kepada anggotanya.

Manusia dapat memaknai hidupnya jika ia mengetahui apa yang dikehendaki Allah bagi dirinya (Ef.2:10; Kol.1:15-23). Untuk itu gereja perlu menunjukkan arah pembentukan pribadi yang sesuai dengan maksud dan kemauan Allah.

· Menciptakan persekutuan Kristen sejati
Bukan artificial fellowship (misalnya: malam rekreasi, sate night, dll) dan persekutuan semu (kebaktian doa rutin, persekutuan rutin, dll), tetapi persekutuan Kristen sejati yang dapat sungguh-sungguh dinikmati dan membangun (1Kor.12). Kita tahu bahwa malam rekreasi dapat berguna sebagai sarana keakraban dalam persekutuan, tetapi tidak akan pernah mencapai tujuan persekutuan yang sejati.

Ada "Tiga Saling" yang menandai persekutuan Kristen sejati, yaitu (1) saling mengasihi (Yoh.13:35); (2) saling memikirkan kesejahteraan (Kis.2:44-45); (3)saling menasehati dan menghibur (Kol.3:16; 2Tim.4:2).

· Membangun keluarga Kristen yang sehat
Gereja pada dasarnya adalah keluarga. Gereja akan sehat, jika keluarga juga sehat. Semakin sehat keluarga, semakin sehat pulalah gerejanya. Itu berarti ukuran kesehatan gereja ditentukan oleh kesehatan keluarga (1Tim.3:5,12). Oleh karena itu, gereja perlu membangun keluarga yang sehat.

Gereja hendaknya menyiapkan keluarga-keluarga yang sehat. Dan, keluarga-keluarga yang ada kiranya bersedia menjadi sehat.