TEMPO Magazine, No. 38/XXX/19 - 25 November 2001
Wawancara
Paul Wolfowitz:
"Aksi Teror di Indonesia Disusupi
Al-Qaidah"
Paul Wolfowitz, 57 tahun, adalah benang merah yang menghubungkan
Indonesia dengan persoalan pascatragedi 11 September. Deputi Menteri
Per-tahanan Amerika Serikat ini adalah orang yang sangat yakin bahwa
biang keladi penyerangan atas New York dan Pentagon adalah jaringan
terorisme kelompok Islam radikal. Tapi bekas Duta Besar AS untuk Indonesia
(1986-89) ini juga yakin bahwa mayoritas masyarakat Islam dunia sama sekali
tidak mendukung tindakan terorisme itu. Menurut Wolfowitz, Indonesia
sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia termasuk yang
mayoritas itu.
Untuk itulah Wolfowitz bersikukuh bahwa Indonesia layak mendapat perhatian dan
dibantu, bukan dicurigai sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional. Menurut
dia, sebagai negara berpenduduk muslim dan terbuka, Indonesia memang bisa
menjadi tempat yang nyaman untuk mengembangkan jaringan terorisme seperti
Al-Qaidah.
Agar Indonesia tidak telanjur dipakai sebagai sarang jaringan terorisme internasional,
kata Wolfowitz, pemerintah Indonesia harus bersedia bekerja sama untuk
memberantas terorisme itu, bersama AS dan negara-negara lain. "Indonesia adalah
one of important good guys," kata sarjana matematika dari Universitas Cornell ini.
Sikap Wolfowitz sangat keras dalam menyikapi tragedi Selasa hitam. Doktor bidang
politik dari Universitas Chicago ini berpendapat bahwa AS seharusnya tidak hanya
menyerang Afganistan, tapi juga Irak—tempat yang dipercaya oleh pemerintah AS
sebagai sarang terorisme dan produsen senjata pemusnah massal. Ini yang membuat
Wolfowitz berseberangan dengan Menteri Luar Negeri Colin Powell.
Setelah pasukan Aliansi Utara berhasil menaklukkan Kabul dan Kandahar, Wolfowitz
tetap yakin bahwa pertempuran belum usai. Karena yang menjadi sasaran utama
adalah mendongkel kekuatan terorisme hingga ke akar-akarnya.
Karena itulah, Wolfowitz tidak pernah menganggap bahwa AS menyerang Afganistan,
tapi membebaskan rakyat Afganistan dari rezim tiran, yaitu Taliban, yang melindungi
Usamah bin Ladin. Wolfowitz punya anggapan yang sama terhadap persoalan di Irak:
rakyat Irak perlu dibebaskan dari rezim Saddam Hussein.
Ayah dua anak ini memang dikenal sebagai seorang diplomat yang ramah dan sopan
sekaligus sebagai politisi Republikan yang galak. Beberapa orang Indonesia yang
mengenal Wolfowitz juga memberikan kesan baik terhadapnya. Kini laki-laki kelahiran
Brooklyn ini menjawab semua pertanyaan Gita Widya Laksmini dari TEMPO selama
hampir satu jam, melalui saluran telepon internasional, Selasa, 13 November silam.
Berikut petikannya.
Pemerintahan Taliban telah jatuh. Bagaimana strategi AS berikutnya?
Pemerintah Taliban yang berkuasa di Afganistan selama bertahun-tahun
adalah pemerintahan tirani yang amat represif. Masyarakat Afganistan
sungguh-sungguh ingin lepas dari kekuasaan semacam itu.
Kami berpendapat bahwa yang harus membuat keputusan adalah
masyarakat Afganistan sendiri, bukan bangsa Amerika. Ini penting dan
mesti mendapatkan penekanan, karena ini adalah strategi kami.
Menurut kami, masyarakat Afganistan sudah melakukan tindakan tepat.
Sekalipun kami tidak sepenuhnya mengendalikan situasi yang
sekarang terjadi, kami bisa mencoba mendukung masyarakat
Afganistan.
Satu hal yang menjadi perhatian kami adalah memastikan agar para
pemimpin dari berbagai kekuatan tidak baku hantam, termasuk balas
dendam ke pemerintah Taliban. Kami mengutamakan untuk mencoba
menenangkan situasi dan menciptakan Afganistan yang damai dan
dapat memerintah diri sendiri.
Tapi apakah campur tangan AS itu malah tidak menimbulkan citra yang
negatif?
Di berbagai media, tindakan AS digambarkan sebagai "perang melawan
Afganistan". Yang kami lakukan sama sekali bukan perang melawan
Afganistan, tapi perang melawan tekanan atas masyarakat Afganistan.
Apa yang Anda lihat sekarang adalah kuatnya keinginan masyarakat
Afganistan untuk merdeka dari rezim Taliban.
Menurut saya, selama ini Indonesia tak memberikan cukup perhatian
atas kesengsaraan yang telah diakibatkan oleh diktator Taliban.
Tindakan mereka sangat kejam, tak pernah ada pemerintah lain yang
berlaku sekeji itu pada masyarakatnya sendiri. Mereka memukuli kaum
perempuan. Meskipun sudah mengenakan kerudung di sekujur tubuh,
kaum perempuan tetap saja dihajar bertubi-tubi hanya karena
mengenakan sepatu berwarna putih (warna yang sama dengan bendera
pemerintah Taliban). Mereka orang yang mengerikan. Tak
mengherankan bila begitu rasa takut terhadap Taliban tak lagi ada,
masyarakat Afganistan tak sabar untuk bebas.
Apakah ada negosiasi yang dilakukan antara AS dan Aliansi Utara sejauh ini?
Saat ini berbagai jenis diskusi sedang terjadi. Anda tentu tahu, ini
merupakan sebuah koalisi antarnegara, bukan AS sendiri. Setiap
negara yang berbatasan dengan Afganistan, seperti Pakistan,
Uzbekistan, Tajikistan, dan Irak, ikut terlibat dalam diskusi itu. Rusia
pun ikut terlibat. PBB juga ikut terlibat aktif. Sekretaris Jenderal PBB
memiliki wakil khusus, yaitu Duta Besar Lakhdar Brahimi, asal Aljazair.
Yang bisa dilakukan oleh militer AS adalah menunjukkan sikap tegas
kepada para pemimpin Afganistan yang ada di medan sana. Kami
memberikan dukungan kepada mereka yang bertindak layak. Dukungan
kami penting nilainya.
Apakah PBB akan masuk Afganistan dan mengambil alih urusan?
Prematur betul rasanya bagi kami untuk bisa memperkirakan secara
tepat apa yang mungkin terjadi. Sekalipun demikian, akan lebih baik
apabila kita tidak menjadikan Afganistan seperti yang terjadi di Bosnia,
Kosovo, dan Timor Timur, sebagai model.
Saya sendiri berpendapat bahwa PBB mesti mengambil alih atau
menangani semua hal secara menyeluruh. Peran PBB adalah
memastikan bahwa Ibu Kota Kabul tetap menjadi kota yang netral dan
tidak dikuasai oleh satu kubu masyarakat Afganistan saja. Yang terjadi
sekarang, kelompok etnis asal utara merebut Ibu Kota dan mengusir
orang-orang Taliban ke arah selatan. Kami jelas tak bisa menerima hal
itu.
Apa tujuan keterlibatan PBB di Afganistan?
Yang menjadi tujuan adalah perdamaian, stabilitas, rekonstruksi, dan
pembangunan di bidang ekonomi, serta mengupayakan kehidupan lebih
baik untuk masyarakat Taliban. Untuk bisa mencapai hal itu, PBB
dapat menyodorkan dan menyelaraskan sejumlah aspek untuk
dirundingkan bersama antara negara-negara yang tergabung dalam
koalisi dan dengan masyarakat Afganistan. Negosiasi yang matang itu
yang sangat penting.
Bagaimana Anda melihat reaksi Indonesia sendiri terhadap serangan AS ke
Afganistan?
Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya ingin menyinggung hal
lain yang lebih luas. Anda tahu betul, saya mengenal Indonesia dengan
baik. Saya pun paham bahwa orang Indonesia—setidaknya yang saya
kenal—merasa geram atas pengeboman gedung dan pembunuhan atas
5.000 orang seperti yang dilakukan kaum teroris.
Tapi mayoritas orang Amerika tidak memahami Indonesia. Kami pun
tak mendengar bahwa Indonesia tegas-tegas mengecam apa yang
terjadi di AS, sekalipun kami percaya bahwa Indonesia pun turut
merasa gusar atas peristiwa itu. Yang kami dengar adalah
kebalikannya, Indonesia melontarkan kritik terhadap—seperti yang Anda
sebut tadi—serangan Amerika atas Afganistan. Saat ini tak cukup
banyak orang Indonesia yang jelas-jelas menyuarakan kekhawatirannya
kepada publik tentang masalah terorisme ini.
Menurut saya, Indonesia kini mulai mendapatkan gambaran yang jelas
tentang situasi Afganistan di bawah pemerintahan Taliban. Indonesia
pun kini mulai mengerti bahwa AS tidaklah menyerang Afganistan.
Kami bahkan mendukung masyarakat Afganistan yang berjuang
memerdekakan diri. Saya bisa berharap bahwa perubahan berarti akan
terjadi pada pendapat Indonesia. Saya harap demikian.
Lalu bagaimana pendapat Anda dengan kelompok radikal di Indonesia?
Saya pikir itu merupakan kelompok minoritas yang sangat kecil.
Sesungguhnya saya melihat Indonesia sebagai model dari negara yang
terorismenya tak bisa tumbuh subur. Sebab, Indonesia merupakan
negara yang mayoritas berpenduduk muslim, mempraktekkan toleransi
beragama dan demokrasi. Indonesia memperlakukan kaum perempuan
dengan layak dan percaya bahwa Islam merupakan agama yang damai.
Indonesia seharusnya bisa menjadi model yang bisa menunjukkan ke
mata dunia bagaimana semestinya Islam dipraktekkan.
Tapi apakah suara kelompok radikal yang minoritas itu cukup berpengaruh di
AS?
Ya, betul. Suara mereka lebih keras dan telah mendistorsi pandangan
dunia dan AS atas negara Anda yang indah ini. Saya sendiri kenal baik
Indonesia sehingga tak terpengaruh. Namun kebanyakan orang Amerika
tak tahu banyak tentang Indonesia. Yang mereka baca di koran-koran
adalah pandangan para demonstran. Sebab, kebanyakan masyarakat
yang sejatinya memandang aksi terorisme sebagai hal yang keji justru
memilih diam. Orang Amerika tidak membaca hal ini.
Harapan saya adalah kaum moderat bisa bersuara lebih keras. Di
semua negara, kaum moderat biasanya tak lantang menyuarakan
pendapatnya untuk menghindari label "ekstremis". Namun ini saatnya
untuk memunculkan suara—baik untuk kepentingan Indonesia maupun
AS—tentang apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat muslim.
Jadi, AS melihat posisi Indonesia memang penting dalam kampanye
anti-terorisme internasional?
Memberikan nilai positif terhadap Indonesia sangatlah penting, karena
Indonesia berada dalam posisi krusial dalam hal kampanye melawan
terorisme internasional. Di satu sisi, kita perlu memberantas terorisme
hingga ke akar-akarnya. Di sisi lain, kita perlu menunjukkan bahwa
sukses yang terjadi di AS, Eropa Barat, dan Asia Timur adalah
keberhasilan yang juga bisa dicapai oleh masyarakat muslim.
Sejauh ini memang tidak ada contoh yang cocok (untuk keberhasilan
itu) di dunia muslim. Tapi, menurut saya, Indonesia telah menunjukkan
perkembangan yang berarti dalam demokrasi dan perbaikan ekonomi.
Turki juga bisa menjadi contoh negara berpenduduk Islam yang
kemajuannya mengesankan. Mungkin Pakistan juga akan bisa maju,
karena situasinya sudah berubah. Intinya, kita semua harus membuka
kesempatan agar negara-negara berpenduduk muslim mampu
mencapai kemajuan seperti negara lain.
Jadi, masalahnya tidak terbatas pada perburuan kelompok teroris, tapi
lebih penting untuk menolong good guys. Indonesia adalah one of the
important good guys.
Data intelijen AS menunjukkan bahwa jaringan Al-Qaidah menjulur hingga ke
Indonesia. Bagaimana menurut Anda?
Salah satu kelemahan dari negara demokrasi seperti Indonesia
sekarang adalah bahwa ada kebebasan bagi sejumlah orang untuk
keluar-masuk, seperti juga jaringan Al-Qaidah. Kami punya masalah
yang sama di AS. Orang-orang Al-Qaidah pun masuk ke AS.
Sayangnya, jaringan Al-Qaidah sadar bahwa di negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, mereka bisa hilir-mudik dengan bebas tanpa
takut ditangkap polisi. Menurut saya, mereka menarik keuntungan dari
hal itu. Ada bukti yang menunjukkan bahwa jaringan Al-Qaidah memang
bermaksud menarik keuntungan dari hal itu.
Yang ingin kami lakukan adalah menjalin kerja sama dengan
pemerintah Indonesia untuk melacak orang-orang ini. Saya berpendapat
bahwa orang-orang itu jauh lebih berbahaya bagi Indonesia ketimbang
AS. Menurut saya, beberapa dari sejumlah aksi teroris di Indonesia
disusupi elemen asing, yaitu jaringan Al-Qaidah.
Kerja sama seperti apa yang bisa dilakukan AS dan Indonesia dalam
menumpas jaringan Al-Qaidah?
Yang terutama adalah berbagi data intelijen, seperti yang sudah
dilakukan AS dengan sejumlah negara lain. Bagaimanapun,
pengetahuan kami sebatas dari pengelihatan orang luar. Sedangkan
pemerintah Indonesia bisa mengetahui dan menemukan jaringan dari
dalam negeri.
Jadi, kita harus duduk dan memadukan dua gambaran itu (yang dari
luar dan dalam), sehingga bisa menghasilkan pemahaman yang lebih
jelas, untuk kemudian dilakukan tindakan yang memungkinkan
membawa mereka ke pengadilan.
Bagaimana pandangan Anda terhadap terorisme internasional? Sepertinya
Anda percaya bahwa selain Afganistan, Irak adalah negara sarang teroris
yang terlibat dalam tragedi 11 September.
Masalah terorisme, seperti yang sudah dikatakan oleh Presiden Bush,
lebih luas daripada sekadar Afganistan, Irak, dan Al-Qaidah. Ada kerja
sama di antara jaringan mereka. Dan, kita tidak memiliki banyak
pengetahuan tentang apa yang ada dalam jaringan itu.
Itu artinya, masih banyak tanda tanya tentang tragedi 11 September.
Sebab, bila kita tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu,
mestinya tragedi itu sama sekali tidak perlu terjadi. Anda harus paham
bahwa mereka bekerja sangat keras dan berhasil dengan baik menutupi
aksi mereka.
Pelajaran penting dari semua itu, kita tidak bisa lagi memberikan
toleransi kepada negara-negara yang mendukung kegiatan terorisme.
AS punya daftarnya. Apalagi bila negara-negara itu juga menghasilkan
senjata untuk penghancuran massal. Mendukung terorisme dan
memiliki senjata penghancur adalah kombinasi yang sangat berbahaya
bagi dunia.
Ini untuk konfirmasi. Beberapa berita menyatakan bahwa alasan yang
melatarbelakangi serangan AS ke Afganistan adalah bahwa AS bermaksud
mengamankan sejumlah sumber minyak dan membangun jaringan pipa
melintasi Afganistan. Apa komentar Anda?
Pemberitaan itu tidak masuk akal. Ini mengherankan. Selama Perang
Teluk, kami pernah mendengar bahwa seandainya Kuwait negara
produsen pisang, bukan minyak, AS tak akan peduli terhadap apa yang
terjadi di Kuwait.
Hal itu sama sekali keliru. Beberapa tahun lalu kami mengerahkan
sejumlah pasukan ke Somalia untuk menyelamatkan 200 ribu orang
Somalia dari bahaya kelaparan. Perlu dicatat, mereka adalah kaum
muslim. Somalia sendiri bukan negara produsen pisang atau minyak.
Tindakan itu murni berdasarkan alasan kemanusiaan. Dalam misi itu,
18 orang Amerika terbunuh di sana. Demikian juga yang kami lakukan
di Bosnia. Kami bertindak karena di sana orang dibantai lantaran agama
yang mereka anut, yaitu Islam.
© tempointeractive.com
|