TEMPO, No. 37/XXX/12 - 18 November 2001
Peledakan Gereja Petra
Dari Ambon Dibawa ke Ibu Kota
Dua tersangka pelaku peledakan Gereja Petra mengaku dari kelompok
Mujahidin Kompak. Mengapa mereka mengincar Pendeta Diane Akyuwen?
NAMA Mujahidin Kompak tiba-tiba menjadi bahan perbincangan orang. Adalah
Inspektur Jenderal Pol. Sofjan Jacoeb yang mula-mula melemparkannya. Saat
menggelar pertemuan pers baru-baru ini, Kapolda Metro Jaya itu menyatakan bahwa
Ujang Haris, 17 tahun, dan Wahyu Handoko, 20 tahun, mengaku berasal dari
kelompok Mujahidin Kompak. Kedua pemuda ini telah dinyatakan sebagai tersangka
pelaku peledakan bom di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Petra, Koja,
Jakarta Utara, yang terjadi Jumat pekan lalu.
Dalam pemeriksaan polisi, Ujang dan Wahyu juga mengaku pernah melakukan
kegiatan di Ambon. Di Jakarta, mereka mengincar kelompok yang dianggap sebagai
lawannya. Jadi, "Mereka membawa masalah di Ambon ke sini," kata Sofjan.
Apa yang dikemukakan Kapolda masuk akal jika dikaitkan dengan aktivitas gereja
yang terletak di Jalan Jampea itu pada Jumat malam lalu. Saat itu Gereja Petra
menggelar kebaktian bertajuk "Maluku Berdoa". Acara yang dikoordinasi oleh Harry
Soisa, anggota kelompok vokal grup Masnaid itu, diselenggarakan sebagai wujud
kepedulian jemaah gereja terhadap keselamatan masyarakat Maluku.
Sejatinya sudah dua tahun kegiatan semacam itu berlangsung, tapi baru kali ini
mendapat teror. Pada pukul 20.20, ketika jemaah gereja tengah khusyuk
mengadakan kebaktian, tiba-tiba dikejutkan oleh suara ledakan yang amat keras.
Ternyata suara itu berasal dari sebuah bom rakitan—terbuat dari bahan paralon yang
diisi dengan paku dan gotri—yang meledak di gereja tersebut. Tiada korban jiwa,
hanya kaca dan plafon atau langit-langit gereja yang rusak diterjang pecahan bom.
Mengapa Gereja Petra yang menjadi sasaran? Menurut Kepala Dinas Penerangan
Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam, kelompok Mujahidin
Kompak sedang mengincar Pendeta Diane Akyuwen. Pendeta asal Maluku itu
memang dijadwal memberikan ceramah tentang persoalan dan kondisi masyarakat
Maluku sekarang. Nah, karena curiga kegiatan itu digunakan untuk menggalang
dukungan moral maupun dana, kelompok itu berusaha mengenyahkan Diane
Akyuwen.
Tapi sebetulnya organisasi Mujahidin Kompak yang disebut Kapolda Metro Jaya ini
masih misterius. Baru kali ini nama itu muncul dalam perbincangan publik. Memang,
dalam kaitan dengan konflik agama di Maluku, orang sering mendengar nama
Kompak (bukan Mujahidin Kompak), sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Lembaga yang cukup aktif di Maluku ini dibentuk oleh para aktivis Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia.
Sejak didirikan Agustus 1998 lalu, Kompak rajin menggalang dana untuk kegiatan
sosial di Maluku. Kompak, yang merupakan kependekan dari Komite
Penanggulangan Krisis, memfokuskan kegiatannya pada penyaluran bantuan
makanan, pakaian, juga obat-obatan untuk masyarakat yang menjadi korban konflik
yang bernuansa SARA itu. Daerah konflik lain seperti Aceh, Sampit, serta Poso juga
mendapat perhatian dari Kompak.
Organisasi itukah yang dimaksud Kapolda? Belum pasti. Yang jelas, para aktivis
Kompak mengaku terkejut ketika lembaga mereka disebut-sebut dalam kasus
peledakan Gereja Petra. Wakil Ketua Kompak, H. Amlir Syaifa Yassin, M.A.
menyatakan sama sekali tidak mengenal dua orang tersangka peledakan itu.
Demikian juga dengan perwakilan Kompak di Jawa Barat, daerah asal Ujang Haris,
salah satu tersangka. Jusuf Islami, seorang aktivis Kompak di Ambon, pun
menyatakan hal yang sama. Dalam ingatan dia, nama kedua tersangka itu tidak
pernah ada dalam deretan aktivis Kompak yang pernah bergiat di Maluku.
Muhammad Hafidz, salah satu pimpinan Kompak, malah menduga ada niat buruk di
balik tudingan itu. "Saya khawatir ini sebagai upaya untuk mendiskreditkan Kompak,"
katanya. Karena itu ia meminta agar polisi tidak sekadar menangkap pelakunya, tapi
juga mengusut dalang di balik peledakan gereja itu.
Polisi sendiri, kata Anton Bachrul Alam, sebenarnya sudah mengantongi profil
lengkap kelompok yang ditudingnya serta otak di belakangnya. Namun Anton belum
berkenan membukanya. "Kalau dibuka, nanti mereka kabur," katanya.
Jadi, penyebutan Mujahidin Kompak itu cuma siasat untuk menangkap kelompok
yang sebenarnya? Hanya polisi yang tahu pasti.
Hartono, Edy Budiarso, Yusnita Tiakoli (Ambon)
© tempointeractive.com
|