KORAN TEMPO, Kamis 8 November 2001
Korban Tragedi Lampung Gugat Pengangkatan
Hendropriyono
Komnas HAM akan membentuk KPP Lampung dan memeriksa Kepala Badan
Intelijen Nasional itu.
JAKARTA - Para korban kasus Talangsari, Lampung, hari ini mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka meminta keputusan presiden tentang
pengangkatan A.M. Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional (Kabin)
dibatalkan. Mereka menilai, posisi baru mantan Komandan Resor Militer (Danrem)
Garuda Hitam, Lampung itu, akan menghalangi proses hukum kasus dugaan
pelanggaran HAM berat di Lampung 1989.
Koordinator penanganan kasus Lampung dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) Achmad Hambali mengatakan, para korban
menguasakan gugatan kepada enam kuasa hukum. Mereka adalah Kontras,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, YLBHI, LBH Lampung, Pusat Advokasi
Hukum dan HAM (Paham) Indonesia, dan Ketua Komisi HAM DPP PAN Hamid
Husein. "Gugatan diajukan ke PTUN Jakarta pukul 10.00 WIB," ujarnya kepada Koran
Tempo di kantor YLBHI Jakarta kemarin.
Hambali menjelaskan, para korban menilai, pemerintah melanggar asas pemerintahan
yang baik, sesuai UU Nomor 5/1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang
Bersih dan Bebas KKN. Dalam UU itu disebutkan, pemerintahan yang baik harus
mendorong kepastian hukum, profesionalisme, dan akuntabilitas publik.
Pengangkatan Hendropriyono itu juga dapat menghambat partisipasi publik sesuai isi
Pasal 100 UU Nomor 39/1999 tentang HAM. Pasal itu menyatakan, setiap orang,
kelompok, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya berhak
berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.
Hambali khawatir, jabatan Kepala Badan Intelijen Nasional bakal dipergunakan
Hendropriyono untuk menghindari pertanggungjawaban hukum. Sebab, saat menjabat
Menteri Transmigrasi, Hendro memfasilitasi gerakan islah (perdamaian) nasional
dengan para korban pada 1998. Itu agar kasus Talangsari tidak diusut. Islah kedua
dengan kelompok korban yang lain terjadi pada 7 Februari 2000 di kediaman Hendro.
Hendro diduga terlibat dalam kasus Talangsari, Lampung, 7 Februari 1989. Saat itu
sebagai Danrem setempat, ia diduga berperan dalam tindakan represi terhadap
masyarakat Desa Talangsari, yang dituduh memeluk aliran sesat. Mereka dikenal
dengan sebutan jemaah kelompok Warsidi.
Akibat tindak represi itu, timbul korban jiwa dan luka parah. Bahkan, sejumlah korban
tidak diketahui rimbanya sampai sekarang. Sebagian besar korban juga telah
menuntut Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM
untuk kasus Talangsari. Tapi, sebagian korban juga menerima islah yang ditawarkan
Hendro, dan menolak pembentukan KPP. Kendati demikian, kata Hambali, Komnas
HAM tidak bisa menggunakan perbedaan pendapat itu untuk tidak membentuk KPP.
"Karena, pelanggaran HAM bukan delik aduan," ujarnya.
Kepada pers, Ketua Komnas HAM H.R. Djoko Soegianto mengungkapkan, pihaknya
akan membentuk KPP dan memeriksa Hendro, meskipun sudah menjabat Kepala
Badan Intelijen Nasional. Dia mengakui, sejauh ini Komnas HAM belum
memberitahukan hasil penelitian tim pemantauan atas kasus Talangsari.
Sekretaris Jenderal Komnas Asmara Nababan mengatakan, tim pemantau yang
diketuai Koesparmono Irsan belum memberikan laporan hasil kerjanya kepada pleno.
Ia tak mengelak adanya pendapat tentang lambannya Komnas HAM menangani
kasus ini. "Saya tidak bisa berbohong dalam hal ini," ujarnya semalam kepada Koran
Tempo .
Sebelumnya, ketua tim pemantau kasus Talangsari Koesparmono Irsan kepada
Koran Tempo mengatakan, timnya sudah menyelesaikan tugas dan hasilnya sudah
diserahkan kepada rapat pleno. Namun, ia menolak menyebutkan adanya dugaan
pelanggaran HAM berat dalam kasus itu. "Biar pleno yang menentukan apakah
membentuk KPP atau subkomisi," katanya. jobpie sugiharto
© tempointeractive.com
|