Suara Merdeka, Rabu, 21 Nopember 2001
Maluku Pascakonflik Horizontal
BERTEPATAN dengan Bulan Suci Ramadan, bangsa Indonesia, khususnya umat
Islam, tentunya akan teringat pada tragedi nasional konflik berbau suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA) di Ambon, Maluku, 19 Januari 1999. Sampai detik ini,
konflik itu belum juga selesai, bahkan seperti menyimpan bom waktu.
Semua sarana, ekonomi, pendidikan, tata sosial, dan budaya di Ambon sudah rusak,
bahkan berantakan. Untuk merehabilitasi, membutuhkan waktu minimal 25 tahun. Itu
pun masih ada syaratnya, yakni perdamaian yang bersifat kekal antara kelompok
putih dan merah. Selama itu tidak terjadi, mustahil Ambon bisa direhabilitasi.
Tragedi kemanusian yang terjadi di Maluku telah berjalan lebih dari dua tahun
(memasuki tahun ketiga). Tragedi nasional tersebut telah memakan korban yang tidak
sedikit di kedua pihak yang bertikai. Ribuan orang terbunuh, ribuan bangunan
musnah, puluhan ribu orang menjadi pengungsi, semua mengenaskan. Kota luluh
lantak bagaikan baru saja perang.
Di samping korban jiwa dan material tersebut, yang tidak kalah penting adalah korban
nonfisik. Ada tiga akibat langsung yang dialami masyarakat secara keseluruhan.
Pertama, terjadi kecenderungan lost generation sebagai akibat dari kelumpuhan
sektor pendidikan formal dan nonformal. Kedua, kelumpuhan infrastruktur ekonomi,
khususnya ekonomi umat. Ketiga, keruntuhan basis kultural yang menyangga
keinginan hidup bertetangga antaragama secara damai yang mengakibatkan
kehancuran konstruksi sosial.
Saat ini, kelompok-kelompok yang bertikai seakan-akan sudah memasuki tahap point
of no return, tidak ada lagi peluang untuk mundur. Ibaratnya ''membunuh atau
dibunuh'', ''membakar atau dibakar''.
Beberapa waktu lalu Pengajian Keluarga Muslim Maluku Yogyakarta dan Himpunan
Pelajar dan Mahasiswa Muslim Maluku di Yogyakarta menyelenggarakan seminar
bertema ''Masa Depan Ummat Islam di Maluku''. Dari berbagai pendapat yang
terlontar dalam seminar tersebut, ada beberapa hal yang bisa dikaji dan semoga
menjadi masukan bagi upaya perdamaian di Ambon.
Umat dan Pendidikan
Ketua MPR Prof Dr Amien Rais ketika mengawali seminar mengungkapkan,
sebenarnya kunci penyelesaian masalah Ambon dan konflik Maluku yang lain adalah
penegakan rasa keadilan untuk semua kekuatan sosial, politik, dan agama di provinsi
seribu pulau tersebut. Pendapat itu dibenarkan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Prof Dr Din Syamsuddin yang juga salah satu panelis dalam diskusi.
Menurut Din, menegakkan keadilan tidak semudah mengatakan, sebab konflik di
Maluku sudah dimasuki provokator internasional (selanjutnya baca tulisan ''FKM
(RMS) dan Misi-Visi Barat di Maluku'').
Thamprin Ely, salah satu tokoh umat dan politik di Maluku mengatakan, konflik antara
kelompok putih dan merah di Maluku adalah kelanjutan konflik antara Portugal dan
raja-raja Maluku yang muslim selama 70 tahun. Hal ini sama dengan konflik Irlandia
dan Inggris (Kristen Katolik dan Kristen Anglikan). Seperti pula dalam konflik tersebut
yakni umat Katolik mayoritas namun berada di pinggiran, umat Islam di Ambon juga
begitu (lihat tabel). Posisi umat Islam di Maluku mayoritas, tetapi berada di pinggiran.
Untuk menghentikan konflik, prinsip keadilan harus ditegakkan dan umat Islam harus
menyadari, harus berjuang keras untuk meraih itu.
Masa depan umat Maluku ditentukan oleh pendidikan. Sebab, pendidikan selain
mampu memberikan pencerahan, SDM umat setapak demi setapak akan lebih baik,
sehingga dendam kesumat antara kelompok merah dan putih bisa dikubur
sedalam-dalamnya. Jika kedua kelompok tersebut masih ingin tetap berperang, yang
akan terjadi adalah ''menang jadi arang, kalah jadi abu''.
Pendidikan merupakan wahana untuk mempersiapkan manusia memecahkan
problem kehidupan di masa kini dan mendatang. Karena itu, sistem pendidikan yang
dikembangkan oleh suatu masyarakat harus mampu membangun kompetensi
manusia untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik.
Suatu sistem pendidikan yang baik harus disusun atas dasar kondisi lingkungan
masyarakat, baik kondisi masa kini maupun antisipasi kondisi pada masa yang akan
datang. Perubahan kondisi lingkungan ini merupakan tantangan dan peluang yang
harus direspons secara tepat dan memberikan nilai tambah (added value).
Menurut Dr Djamaluddin Ancok, sistem pendidikan yang dikembangkan harus selalu
disesuaikan dengan perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya
cocok untuk situasi masa lalu. Pendekatan masa lalu sering tidak tepat jika
diterapkan pada kondisi berbeda. Bahkan sering kali pendekatan masa lalu
menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.
Salah satu ciri utama kehidupan masa sekarang dan masa yang ada datang adalah
perubahan yang sangat cepat dalam lingkungan kehidupan manusia. Banyak
paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual
maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi
ketinggalan zaman.
Akhir-akhir ini banyak sekali muncul tulisan tentang pengeseran paradigma
kehidupan. Pada umumnya menganalisis paradigma baru yang perlu diterapkan untuk
memasuki milenium ketiga. Tulisan tersebut terfokus pada perubahan paradigma
yang membedakan milenium kedua dari milenium ketiga.
Salah satu pengeseran paradigma, yakni di dalam melihat apakah kondisi kehidupan
di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan. Pada milenium kedua, orang selalu
berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Pada milenium
ketiga terjadi pengeseran. Pada masa ini makin sulit melakukan prediksi, karena
perubahan tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier.
Banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat tersebut. Bila
pada awal tahun 1990 (akhir melinium ketiga) para pakar memprediksi Asia akan
menjadi pusat perdagangan dunia karena jumlah penduduk yang besar sebagai pasar,
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi diatas 70% (lihat John Naisbitt, 1995), tanpa
diduga di pengujung dekade akhir milenium ketiga, ekonomi berbagai negara Asia
jatuh tersungkur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mendekati nol atau
minus.
Tidak ada orang yang menduga pertumbuhan ekonomi negara tersebut begitu
mengenaskan. Contoh lain adalah kondisi di negara kita, yakni kuatnya pemerintahan
yang dipimpin Presiden Soeharto. Tidak ada dugaan bahwa rezim Soeharto akan
berakhir tragis dengan meninggalkan beban malapetaka yang mahaberat menimpa
rakyat Indonesia. Berbagai krisis moneter yang melanda Korea, Thailand, Filipina,
Malaysia, Indonesia, dan berbagai negara Asia lain, serta runtuhnya rezim Soeharto
yang tanpa diduga, merupakan bukti paradigma stabilitas dan prediktabilitas sudah
harus ditinggalkan.
Sukses pada masa lalu tidak akan menjamin sukses pada masa depan, karena masa
depan akan sangat berbeda dari masa lalu. Orang harus terus mempertanyakan
formula sukses masa lalu, apakah masih bisa diterapkan untuk kondisi perubahan
yang supercepat. Bila tidak, formula sukses pada masa lalu akan menjadi sumber
kegagalan pada masa depan (lihat Gilbon, 1997, hal 6-7).
Dengan demikian, pembangunan dunia pendidikan khususnya untuk memberdayakan
potensi umat di Maluku harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat,
tapi tetap memperhatikan bahwa dunia sekarang sudah memasuki globalisasi,
liberalisasi, dan demokratisasi. Para pemimpin umat harus menyadari, dirinya dan
umatnya tidak bisa hidup sendiri.
Masa Depan
Memahami dan menganalisis situasi dan kondisi Maluku kontemporer, tidak mungkin
tanpa melihat perspektif sejarah kolonial, khususnya kehadiran agama-agama yang
telah memengaruhi latar belakang sosiologis masyarakat Maluku. Karya pribumi tua
Hikayat Tanah Hitu yang ditulis dengan huruf Arab dialek Melayu secara gamblang
melukiskan perjumpaan Islam dan Nasrani pada awal kedatangan imperialis/kolonialis
di Maluku. Pada Alkisah XX surat 35 dari hikayat tersebut tercacat antara lain, ''dan
menang kafir kepada Islam pun demikian lagi, karena perang sabil di tanah Ambon itu
tujuh puluh dari perang Don Duarde sehingga datang perang Antoni Furtado''.
Pengalaman masa kolonial selanjutnya terefleksi dan menjadi inti persoalan politik
yang telah melahirkan dua aliran budaya dominan pada masyarakat Maluku, Islam
dan Kristen. Berbeda dari pendekatan santri abangan oleh Clifford Geertz, yang hanya
merujuk pada satu sumber (kebudayaan Islam), dua aliran budaya dominan di Maluku
memiliki sumber yang berbeda. Seniman asal Maluku Franky Sahilatua yang secara
tidak sengaja telah melekatkan identitas kedua aliran budaya tersebut pada dua
tokoh kecil Acang (Hasan) dan Obet (Robert) pada iklan layanan masyarakat di
televisi beberapa waktu lalu, cukup membantu. Sebutan Acang yang berasal dari kata
Hasan sebagai nama Islam dan Obet dari Robert yang menunjukkan nama Nasrani,
dewasa ini sudah menjadi identitas kelompok Maluku.
Tragisnya, seolah-olah semua persoalan yang terjadi di Maluku bertitik tolak pada
polarisasi Acang-Obet semata. Mungkin untuk menggampangkan persoalan, kedua
tipologi aliran budaya tersebut perlu diperinci, seperti yang dilakukan Donald K
Emmerson dengan Purwoko (abangan) dan Usman (santri).
Padahal konflik berbau SARA di Ambon tidak akan selesai bila kita hanya memahami
dari segi SARA, tetapi kita harus mengkaji juga dari budaya, histori, kepentingan elite
dan militer, serta aktor-aktor internasional.
Harus pula disebutkan, salah kaprah telah dilakukan banyak pengamat Maluku
selama ini. Mereka hanya membuat analisis yang bermaksud untuk menyudutkan
politik Orde Baru, Soeharto dan kroni-kroninya, sambil menafikan perspektif sejarah
tersebut. Meskipun harus pula diakui, ada juga pengamat yang sulit bersikap objektif
dan terperangkap menjadi agitator bagi kelompoknya dan provokator di mata
kelompok lain. Ketika analisis dan pengamatan mereka tak kunjung menampakkan
solusi karena konflik yang tanpa henti hampir tiga tahun, segelintir orang kemudian
menyederhanakan jalan penyelesaian dengan menawarkan pendekatan budaya lokal.
Seakan-akan konflik yang terjadi di Maluku hanya persoalan internal etnik Maluku.
Bahkan dengan mengambinghitamkan ''orang luar'' sebuah generic name yang juga
salah kaprah karena pada saat yang bersamaan menempatkan konsep intergrasi
nasional sebagai sebuah paradoks.
Di pihak lain ada upaya membangun solidaritas etnik berdasarkan chauvinisme yang
berlebih-lebihan, Maluku Uber Ales (sich) yang berunjung pada semangat ingin
memiliki negara sendiri, terlepas dari Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI).
Padahal kenyataan menunjukan, solidaritas etnis terutama yang diperhadapkan
dengan NKRI sangat lemah di kalangan Islam. Meskipun, secara budaya
penghayatan terhadap bahasa dan adat istiadat lokal lebih kuat pada kalangan ini.
Mereka memilih posisi nonkooperatif dengan kolonial dan membentenginya dengan
kekuatan agama serta adat yang bertahan sampai sekarang.
Sebaliknya, mereka yang kooperatif dengan penjajah dan pupus adat istiadat merasa
perlu membangun solidaritas etnis, hanya untuk kepentingan politik sempit.
Implikasinya, gerakan separatis disintegratif ekstrem yang memiliki ambisi one
territory one faith di Maluku dibangun di atas kerangka berpikir yang rapuh. Sebelum
berhadapan dengan negara, kelompok separatis disintegratif telah diadang kekuatan
sipil nasionalis tulen yang bermodal takbir dan tablig akbar.
Menurut Thamprin Ely, ketika berbicara tentang umat Islam di sini, tidaklah
dimaksudkan bahwa yang dibicarakan adalah cetak biru yang tunggal. Apalagi seperti
dikatakan Gustave E Grunebaun keislaman sendiri baru merupakan gemeingebuhi
(perasaan kesamaan), dan secara sosiologis belum riil sebagai komunitas religius
dengan pandangan hidup yang utuh. Ada yang menghubungkan dengan kerapuhan
ukhuwah Islamiyah ketika dihadapkan dengan integrasi bangsa. Upaya-upaya
mengatasi persoalan internal umat Islam masih membutuhkan konsolidasi dan
manajemen yang lebih andal.
Jadi, yang bisa diangkat di sini dua aliran budaya (Acang dan Obet) untuk waktu yang
cukup lama ke depan masih tepat mewarnai perpolitikan daerah Maluku. Tetapi tidak
akan mungkin berlangsung jika terjadi dominasi mutlak di antara keduanya, termasuk
tidak akan mungkin mendirikan negara sendiri tanpa melibatkan salah satunya.
Pluralisme kutub pemikiran di kalangan umat Islam adalah kekayaan khazanah
demokrasi yang menjadi pendorong dinamika. Dibutuhkan pula pemahaman agama
yang mendalam dan merata. Perangkat adat dan budaya yang bersifat mikro,
khususnya di Maluku Tengah, tidak bisa menjadi alat untuk mengatasi persoalan
makro.
Hanya dengan memahami secara benar tradisi pluralisme, demokrasi, dan toleransi
dapat dikembangkan ciri masyarakat madani Maluku yang sedang terkoyak dan
berusaha setapak demi setapak harus melupakan dendam kesumat antara Acan dan
Obet, yang ternyata tidak mampu membuat Maluku lebih baik akan tetapi mundur ke
belakang puluhan tahun.
Masa depan umat Maluku tidak bisa ditentukan oleh umat Islam di provinsi dengan
seribu pulau tersebut, sebab Maluku adalah bagian dari NKRI dan ada umat Islam
yang juga berhak menata masa depannya. Dengan demikian, hanya dengan dialog,
penegakkan keadilan, dan melupakan masa lalu yang pahit, Maluku akan mempunyai
masa depan.(Eddy Maszudi, peneliti di Indonesian Society for Middle East
Studies-ISMES-70c)
Copyright© 1996 SUARA MERDEKA
|