Tragedi 11 September, Benarkah Ini Pemicu Gerakan
Islam Militan?
Hilversum, Jumat 09 November 2001 06:15 WIB
Tragedi 11 September 2001 menjadi momen yang
digunakan untuk mengobarkan kembali aksi-aksi anti
golongan minoritas di Indonesia. Sementara masyarakat AS
menganggap pemerintah Indonesia menggunakan standar
ganda dalam menilai penyerbuan AS ke Afganistan.
Koresponden Syahrir mengirim laporan berikut dari Jakarta:
Kedutaan-kedutaan besar barat hari-hari terakhir ini
dicekam kekhawatiran dengan adanya kiriman surat yang
berisi serbuk putih yang mencurigakan. Rabu lalu, Kedutaan
besar Australia dan Inggris menerima amplop berisi serbuk
putih yang diduga mengandung spora anthrax. Rencana
Amerika Serikat untuk tidak mengurangi intensitas
agresinya di Afganistan pada bulan Ramadhan, ditenggarai
menjadi penyebab aksi-aksi pengiriman serbuk putih yang
menakutkan itu.
Sebagian masyarakat di Indonesia saat ini beranggapan
bahwa Amerika memang berniat memerangi Islam dan
bukan memerangi terorisme. Apalagi dua negara yang
berpenduduk mayoritas muslim, yaitu Malaysia dan
Indonesia sudah mendesak AS agar tidak melanjutkan
serangan di bulan puasa. Seharusnya AS tanggap terhadap
imbauan dua negara yang sangat berpengaruh di Asia
Tenggara itu. Seorang pengamat menilai pernyataan yang
dikeluarkan oleh pemerintah RI dan Malaysia tidak efektif
untuk didengarkan oleh AS. Harusnya Indonesia dan
Malaysia mampu menyusun pernyataan bersama dengan
negara-negara OKI lainnya.
Seiring dengan kejadian-kejadian tersebut, kalangan garis
keras Islam mulai menunjukan ketidaksabarannya dengan
menyerang secara terbuka orang-orang Kristen di beberapa
daerah. Bahkan di daerah seputar Jakarta pun, indikasi
akan pecahnya konflik antar umat beragama sudah mulai
tampak. Menyoal serangan terbuka yang kini gencar
dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, seorang
intelektual yang baru tiba di Jakarta menjelaskan kondisi
Sulawesi Tengah belakangan ini. Menurutnya, di Poso
sebanyak 50.000 orang Kristen terkepung oleh laskar-laskar
islam. Orang-orang yang terkepung ini tidak dapat keluar
dari Poso. Laskar Islam telah memutus akses mereka ke
sumber makanan. Demikian halnya dengan
lembaga-lembaga kemanusiaan internasional yang akan
memberikan bantuan bagi ke-50.000 orang ini, tak ada
celah untuk men-drop bahan-bahan tersebut.
Kalangan lain yang punya hubungan komunikasi dengan
luar negeri juga merasa heran mengapa pemerintah mau
pun pers Indonesia tidak memberitakan situasi yang
mencekam dan memilukan itu. Sedangkan di luar negeri,
khususnya AS, photo-photo dan berita yang menunjukan
kehidupan yang menyedihkan dari anak-anak dan ibu-ibu
yang kelaparan dapat dengan mudah dilihat di surat-surat
kabar dan televisi di sana. Kasus Poso dewasa ini
menjelaskan pada publik AS atas sikap pemerintah
Indonesia dengan membiarkan penyerbuan yang dilakukan
oleh laskar-laskar islam itu terhadap umat Kristen.
Bahkan masyarakat di Palu dan Sulawesi Utara
membenarkan informasi bahwa anggota-anggota laskar
umumnya terdiri dari orang-orang yang tidak bisa
berbahasa Indonesia. Tetapi pihak kepolisian di Sulawesi
Utara melaporkan bahwa usaha-usaha pendaratan di pantai
Minahasa oleh laskar-laskar bersenjata berasal dari
Mindanau, Filipina, dengan penunjuk jalan yang berasal
dari pulau Jawa. Yang lebih menegangkan lagi adalah
selebaran-selebaran pihak laskar putih yang ingin
"menghabiskan" seluruh umat Kristen sebelum tahun baru
tiba. Berpegang pada data-data tersebut, masyarakat AS
berpendapat Indonesia menggunakan dua standar ganda
dalam menilai penyerangan AS ke Afganistan. Karenanya
pemerintah RI tak layak untuk menuntut penghentian
agresi tersebut.
Sementara di Jakarta sempat terjadi bentrokan antara
mahasiswa Forkot dengan Front Pembela Islam Surakarta.
Bentrokan yang dipicu oleh Shalawat Bhadar yang
dialunkan oleh Forkot IAIN dinilai oleh FPI Surakarta telah
melecehkan keagungan Shalawat Bhadar. Reaksi FPI
Surakarta ini dinilai oleh mahasiswa Forkot sangat
berlebih-lebihan dan terlalu merasa bahwa merekalah yang
paling benar. Atas penilaian tersebut FPI di Jakarta
menolak dan menganggap dirinya tidak pernah
memaksakan kehendak. Semua yang diperjuangkan FPI
dilakukan dalam jalur demokrasi, mulai ceramah, pamflet,
diskusi, seminar, pengiriman delegasi ke DPR hingga
demonstrasi. Tetapi sama sekali tidak ada niat untuk
menakut-nakuti orang.
Bahwa di Sarangan, Jawa Tengah, ada orang yang dipukuli
massa FPI Surakarta karena mengaku dirinya orang Kristen
hanyalah merupakan ekses saja, kata mereka. Tragedi 11
September 2001 di Washington, agaknya menjadi pemicu
percepatan beberapa gerakan Islam untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara Islam.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|