KOMPAS, Jumat, 09 November 2001, 16:55 WIB
Pengangkatan AM Hendropriyono Sebagai Kepala BIN Digugat
Jakarta, KCM
Korban peristiwa Talangsari Lampung mengajukan gugatan hukum terhadap Presiden
Megawati Soekarnoputri meminta Presiden membatalkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 229 Tahun 2001 tentang pengangkatan Letjen AM Hendropriyono
sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional (Ka BIN).
Gugatan korban Talangsari ini diwakili oleh lima orang korban yaitu, Azwar bin Kaili
(58), Suparmo (57), Edy Asyadat (24), Aji Waluyo (24), dan Akmal bin Maulana (28).
Mereka mewakili 65 korban Talangsari yang tersebar di Lampung dan Solo.
Gugatan tersebut, Kamis (8/11), didaftarkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta melalui kuasa hukumnya yang berasal dari Komite untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Lampung, Pusat Advokasi
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM Indonesia), dan Komite
Solidaritas Masyarakat Lampung (Komite Smalam).
Koordinator kasus Talangsari Kontras Ahmad Hambali menyampaikan hal ini kepada
para wartawan di kantor LBH, Jakarta, Jumat (9/11). Didampingi para korban dan
Koordinator Komite Smalam Fikri Yasin, Hambali mengatakan, pemerintah telah
menyalahi prinsip penyelenggaraan yang baik dengan mengangkat Hendropriyono
sebagai Ka BIN.
Sebabnya, Hendro yang diduga kuat terlibat dalam kasus Talangsari sampai hari ini
belum dimintai pertanggungjawabkan secara hukum. Hambali khawatir Hendropriyono
akan menghambat pemajuan dan penegakkan HAM, khusunya proses pengusutan
pelanggaran HAM dalam kasus Talangsari.
"Hal itu pernah dilakukan oleh Hendropriyono semasa menjabat sebagai Menteri
Transmigrasi di era Habibie yang turut memfasilitasi terbentuknya apa yang disebut
sebagai Gerakan Islah Nasional pimpinan Darsono yang pada akhirnya diketahui
bersama, kelompok inilah yang paling kuat melakukan penolakan kasus Talangsari
secara hukum antara lain lewat KPP Komnas HAM," jelas Hambali.
Pertengahan September 2001, Darsono bersama kelompok islahnya pernah
mendatangi kantor Komnas HAM, Jakarta. Mereka menginginkan kasus Talangsari
dianggap selesai sehingga tidak perlu dibentuk KPP lagi.
KPP HAM Talangsari sendiri yang sudah diputuskan dalam rapat pleno Komnas HAM
urung berjalan sampai hari ini. Anggota Komnas HAM BN Marbun mengatakan,
Komnas HAM akan mengirim tim klarfikasi ke lapangan yang akan menentukan
kelanjutan KPP ini.
Selanjutnya Hambali mengatakan, penempatan Hendropriyono sebagai Ka BIN
menunjukkan wujud dan sikap pemerintah yang tidak memiliki sense of humanity.
Dengan itu, pemerintah dinilai kurang mendukung upaya penegakan hukum dan
penghapusan impunity (kekebalan hukum) yang selama ini dinikmati para pelaku
pelanggar HAM.
"Pemerintah seharusnya tidak menempatkan orang-orang yang pernah terlibat
kasus-kasus pelanggaran HAM berat baik yang sudah maupun yang belum
dipertanggungjawabkan kesalahan masa lalunya untuk diangkat sebagai pejabat
publik," ungkap Hambali.
Sementara itu salah seorang korban, Azwar bin Kaili menceritakan, pada bulan
Agustus 2001 dia pernah didatangi orang berseragam TNI berpangkat Letnan Kolonel.
Orang itu datang ke rumah Azwar di Lampung dengan dikawal oleh pasukan CPM
dan seorang ajudan. Kepada Azwar orang itu meminta agar tidak
mengungkit-ngungkit lagi kasus Talangsari.
Kasus Talangsari adalah tragedi yang terjadi pada tanggal 9 Februari 1989. Di desa
Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Lampung terjadi bentrokan antara aparat Korem
Garuda Hitam (saat itu Kolonel AM Hendropriyono menjabat sebagai Komandan
Korem) dengan penduduk setempat.
Korban yang tewas dalam kasus Talangsari menurut versi militer sekitar 30 orang,
namun menurut versi penduduk, korban mencapai 280 orang. (mbk)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|