The Cross
Under the Cross

Listen to the News
English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2001 -
1364283024
& 1367286044


Ambon - Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

KOMPAS, Kamis, 1 November 2001

Di Ambon Mana Lagi Kita Bebas Bersua?

BERANGKAT bareng dengan tujuan yang sama, tidak berarti Abdul Gani bisa terus bersama-sama temannya sesama pegawai Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara. Sesampainya di Bandar Udara Pattimura, Ambon, mereka harus berpisah jalan. Gani memilih taksi menuju Laha, sementara sang kawan harus meneruskan perjalanan ke Waiyame. Kenapa untuk menuju pusat Kota Ambon menjadi demikian sulitnya?

"Dulu memang banyak penumpang yang memilih jalan darat. Tetapi, semua berubah setelah terjadi kerusuhan," cerita S Supriadi, Kepala Divisi Operasi Komersial Bandar Udara Pattimura.

Oleh karena pertimbangan itu pula, pihak bandara hanya bisa menjaga agar taksi menuju Laha yang harus memotong perlintasan terbang tidak mendapat celaka. Mereka memfasilitasi "kenyamanan" itu dengan petugas yang menempati pos-pos penjagaan. "Tugasnya hanya memperingatkan dan mencegah taksi yang mungkin nyelonong di jalur terbang," kata Supriadi.

Beginilah wajah Ambon pascakerusuhan: kotak-kotak intrakomunitas dengan pembatas yang ketat. Untuk hampir semua orang, "sulit" rasanya bisa tenang dan nyaman memasuki kawasan yang dihuni komunitas lain.

Dari dua tempat itu, mereka harus menyambungkan perjalanan dengan 20 menit melintasi Teluk Ambon dengan speedboat menuju pusat Kota Ambon. Perahu berukuran 1,5 x 7 meter itu dikendalikan oleh tiga awak. Seorang di bagian depan menjadi penunjuk arah sekaligus pembuang sauh. Yang di belakang bertugas mengendalikan dua mesin tempel berkekuatan 40 PK.

"Sehari kami bisa mengantar penumpang sampai tiga-empat kali," cerita seorang pemilik kapal. Dengan rata-rata menghabiskan seratus liter minyak tanah per hari dengan tambahan sedikit bensin dan minyak pelumas, cukuplah jika mereka menarik tujuh ribu rupiah per orang sekali jalan. Maksimal dua puluh penumpang-jika tidak ada yang bersedia menjadi "dermawan" yang menutup kekurangan ongkos agar perahu segera berangkat-harus bersiap-siap berguncang naik-turun meliuki ombak.

***

WILAYAH Kota Ambon seluas 359,45 kilometer persegi memang terbagi-bagi berdasarkan komunitas penghuninya. Jalanan aspal yang masuk kategori baik sepanjang 103 kilometer hanya bisa ditembus pada wilayah tertentu. Barikade pagar berduri di bawah kawalan tentara dan polisi menandakan bahwa kita akan menyeberang ke permukiman komunitas tertentu.

Amatilah jalanan Kota Ambon. Di jalanan lapang dengan puing bangunan sisa kerusuhan yang belum sempat dibangun, para penduduk melintas penuh kewaspadaan-bahkan di dalam komunitasnya sendiri sekalipun. Lebih-lebih ketika suasana kota merambat lengang ketika jarum jam melewati pukul tiga sore. Keramaian di wilayah "netral" pun perlahan mengendur, seiring para pegawai pemerintahan yang bersiap-siap mengemasi peralatannya.

Kalaupun ada daerah-daerah yang menjadi tempat pertemuan antarkomunitas, itu sangat terbatas pada daerah-daerah perbatasan yang dianggap "netral". Untuk tahu bahwa kita siap memasuki daerah yang berbeda komunitas, cukuplah mencermati pagar berduri di bawah kawalan ketat polisi atau tentara sebagai penanda.

Imbasnya, kantor-kantor pelayanan umum pun harus terbelah dua, mengikuti komunitas yang berbeda. Kantor Daerah Telekomunikasi, misalnya, harus membangun kantor pelayanan darurat di sebuah ruko belakang Ambon Plaza untuk mengakomodasikan kepentingan pelanggan. Akibatnya, untuk wilayah "kantung", pelanggan yang ingin dilayani atau bahkan mengadukan layanan yang kurang pas, harus menunggu petugas bergiliran mendatangi wilayah mereka.

PLN Ambon, seperti disampaikan oleh Kepala PLN Cabang Ambon I Nyoman S Astawa, terpaksa harus membagi pegawainya untuk bertugas sesuai dengan latar belakang mereka.

Kata Nyoman, "Kondisi seperti ini memang tidak mengurangi produktivitas karyawan. Justru mereka yang harus bekerja mati-matian karena harus menanggung beban kerja yang lebih banyak. Jika sebelumnya bisa digarap dua orang bersama-sama, kini mereka harus bekerja sendiri karena satu sama lain tidak memungkinkan untuk memasuki wilayah tertentu."

Bahkan demi memudahkan koordinasi-selain alasan keamanan diri-beberapa kepala kantor memilih tinggal di kantor, seperti yang dialami oleh Kepala Dolog Maluku MS Simatupang. "Tidak ada pilihan lain, daripada harus jauh-jauh untuk berkoordinasi dengan anak buah saya? Dan rasanya semua orang sudah tahu kalau saya tinggal di kantor," kata Simatupang terus-terang sembari tertawa lebar.

Meski demikian, ada juga yang memilih untuk membangun kembali kantor baru di daerah netral. "Daripada berkeras menempati bekas kantor lama yang terbakar, kami memilih untuk pindah ke Kantor Gubernur. Dengan memilih tempat netral seperti di sini, kami berharap pegawai kami juga bisa memulai rekonsiliasi," kata Kepala Dinas Kesejahteraan Maluku Ishak Umarella.

***

ITULAH sekilas wajah Ambon setelah tiga tahun berlangsung konflik. Bagi para pendatang, keanehan ini tidak akan terasa jika hanya beredar di lingkungan komunitas tertentu. Padahal, jika mau jujur, Ambon yang dulu dengan pela gandong atau baku bae jauh lebih indah ketimbang kenyataan saat ini.

Betapa susah jika semuanya menjadi seperti saat ini, sesuatu yang mungkin tidak pernah terbayangkan-namun sempat terekam kembali setelah pemicu kerusuhan terus diurut. "Dalam kondisi yang biasa sekalipun, tugas kami sudah demikian berat, apalagi yang sekarang," ucap Simatupang.

Melompat kembali kepada Abdul Gani dari Tual di awal cerita, terbayangkah betapa susahnya ia harus bersikap saat bertemu muka dengan sejawatnya? Hampir sepanjang hari mereka bertemu, namun tidak bisa berlama-lama, sekalipun mereka berada di tempat netral. "Kami sadar, kami berada di mana saat ini. Ambon memang belum terlalu kondusif bagi kami untuk bisa bersama-sama," katanya lirih.

Di Tual sendiri, cerita Gani, kerusuhan memang pernah terjadi. Namun, dengan kesadaran bahwa pertikaian tidak akan pernah menyelesaikan persoalan konkret yang mereka hadapi, mereka sadar untuk kembali merajut kebersamaan di tengah perbedaan. Ambon manise meninggalkan pertanyaan: kapan lagi dan di sebelah mana dari tanah ini kita bisa bebas bersua tanpa harus melihat perbedaan? (p01)

© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas


Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to alifuru67@egroups.com