Kenapa Harus Bingung ?
oleh: Mitos B. Aryanto (aryanto@indo.net.id)


Hari itu saya mengikuti tes wawancara kerja di sebuah kantor konsultan di Jakarta. Seperti juga dengan tes-tes yang lain yang pernah saya ikuti, di situ saya harus melalui tahap demi tahap penyeleksian, dari mulai pengisian mengorek-ngorek data pribadi, tes kecerdasan, minat akan suatu jabatan, bahasa Inggris, dan wawancara oleh bagian yang diberi wewenang.

Keseluruhan tahap dapat saya lewati dengan mudah, alhamdulillah. Begitupun dengan wawancaranya. Hanya saja ada satu pertanyaan, seperti yang berkali-kali saya hadapi di perusahaan-perusahaan terdahulu, yang membuat saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, bahkan cenderung konyol. Yaitu pertanyaan tentang kontribusi apa yang dapat saya berikan kepada perusahaan tersebut sehingga saya begitu percaya diri untuk melamar di sana.

Lama saya memikirkan jawaban untuk itu, bahkan sambil dalam perjalanan pulang pun saya masih tetap memikirkannya.

Ketika saya merenung di sebuah masjid di kawasan Menteng seusai sholat Dzuhur, ada yang mengusik pikiran saya. Bahwa sebenarnya jawaban untuk pertanyaan tadi kan mudah saja, tidak harus mencari-carinya demi mengambil hati pewawancara di kantor tadi. Sebagai muslim yang taat saya punya kontribusi yang besar untuk perusahaan, yaitu rasa optimisme dan kejujuran.

Rasa optimisme berdasarkan pada keihlasan kita kepada Gusti Allah, yang akan selalu menyertai kita, membantu kita, dan memberikan yang terbaik buat kita dalam bekerja. Saya tidak perlu takut karena Allah pasti akan menjaga kita sehingga kita tidak akan berbuat kesalahan besar yang merugikan perusahaan. Jika toh kesalahan besar itu ada, itu kan juga dengan izin dari Allah, dan pasti ada tujuan mulia di sana. Bukankah Allah selalu memberi kita dengan pemberian-pemberianNya yang baik?

Hal kedua adalah kejujuran. Bekerja dengan hati nurani yang bersih tentu saja merupakan kontribusi besar bagi perusahaan. Kejujuran berasal dari rasa takut kita sama yang namanya murka Allah, sehingga akan menjauhkan kita dari hal-hal buruk seperti mencuri, korupsi, atau penyalahgunaan wewenang lainnya.

Kenapa saya tidak menjawab demikian? Kembali saya merenung.

Saya kemudian sadar bahwa saya berada dalam suatu dilema, yaitu antara rasa takabur dan etika untuk tidak memamerkan diri, seperti yang pernah ditulis oleh budayawan Emha. Di satu sisi saya harus percaya bahwa nilai-nilai Islam yang saya bawa ke mana-mana akan menyelamatkan saya, tapi di sisi lain ada yang namanya budaya ojo dumeh, jangan mentang-mentang. Jangan mentang-mentang saya ini orang yang taat beragama lalu saya bisa seenaknya teriak, "Ini lho orang beriman. Masa kamu 'ndak mau nerima kerja orang kayak gini?"

Lalu bagaimana?

Ya kita kembali kepada konsep keihlasan tadi. Kita mesti ihlas untuk tunduk kepada etika muslim, yang pendapat, pola pikir, dan cerminan dirinya akan lebih dihargai dan diikuti apabila ber-uswatun hasanah ketimbang berceramah, apalagi cuap-cuap. Kan seorang muslim yang memberi teladan yang baik akan memperoleh posisi yang lebih baik dari pada muslim lain yang sering berceramah tapi pernah mengawini seorang wanita dengan cara kontroversial, misalnya.

Kita juga harus ihlas menjadi orang yang tidak dumeh dan takabur terhadap keislaman kita. Kalau saja orang lain tidak tahu derajat keimanan kita, Allah kan tahu. Dan kita juga mesti ihlas juga bahwa Allah akan menunjukkan hal itu pada mereka. Lagi pula, apa saya ini benar terbebas dari yang namanya korupsi? Lalu apa namanya kalo dari malam sampai pagi tetap bekerja dengan komputer padahal Allah menciptakan malam untuk mengingatNya dan telah menciptakan siang untuk bekerja?


Kembali ke halaman utama

mitos, 25 Maret 1997