Terjebak dalam Gengsi
oleh: Mitos B. Aryanto (aryanto@indo.net.id)
Ditulis atas ide Novita Ayu (naf02@hotmail.com)


Kalau ada yang bertanya kepada saya lebih memilih mobil Jepang atau Eropa, saya akan dengan segera memilih mobil Eropa bermerek tiga huruf. Kalau saya ditanya tempat belanja mana yang menjadi favorit saya, saya akan jawab PI Mall atau Senayan. Dan kalau ada yang ditanya hendak ke mana liburan tahun ini, saya dengan bangga akan menyebut Perth atau Florida. Begitu seterusnya. Dan ini bukan jawaban yang luar biasa, karena telinga kita sudah tidak asing lagi tersentuh oleh ucapan bernada gengsi semacam itu.

Gengsi. Kata ini bukan lagi sekedar ucapan atau ungkapan belaka. Gengsi sudah merupakan gaya hidup, bahkan (yang saya takutkan) telah menjadi hal yang dianut banyak orang. Banyak di antara kita yang terjebak dalam sifat ini, hingga merasa diri kita harus terus memenuhi keinginan untuk diakui dan tidak dianggap sebagai orang sembarangan. Dan yang lebih parah lagi, untuk memenuhi arahan si gengsi itu tadi, kadang kita harus memaksakan diri hingga kejujuran dapat saja dengan mudah disingkirkan.

Saya jadi teringat seorang kawan saya. Dia itu berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, bahkan di bawah yang biasa-biasa itu karena ayahnya tidak lagi bekerja. Tapi, setiap saya bicara dengannya, atau mendengar pembicaraannya dengan orang lain, yang terdengar cuma gaung selera kelas tinggi. Seperti ini misalnya, dia bilang kalau keluarganya tidak akan mau berpergian ke luar kota dengan kelas biasa, harus yang eksekutif. Belum lagi seleranya soal mobil, katanya keluarganya tidak pernah bermobil selain sedan Eropa.

Entah apa alasan sebenarnya ia bersifat demikian. Yang jelas dia berada di lingkungan yang di atas status ekonominya. Hampir dua tahun dia membantu saya menjadi asisten fotografer yang lingkungannya adalah kehidupan model yang glamour, dan dia itu bersekolah di sebuah SMA elite kawasan Kebayoran.

Orang mengungkapkan gengsi itu dengan berbagai cara. Bermain kata-kata seperti kawan saya itu adalah salah satu cara. Ada yang menterjemahkan rasa gengsi itu dengan penampilan yang wah, selera makan di tempat yang mahal, atau bahkan dengan mencari menantu bukan dari ‘rakyat kebanyakan’.

Bagi saya, sebenarnya sifat gengsi itu adalah bukan suatu cara untuk meningkatkan mutu diri, tapi di balik itu ada hal lain yang ingin dijaga, yaitu rasa takut. Orang yang memiliki gengsi yang amat tinggi sesungguhnya mencerminkan rasa ketakutan yang amat dalam. Ketakutan tidak akan diterima oleh lingkungan yang memang menuntut demikian. Jika tidak tampil atau memiliki suatu materi yang menutupi gengsi kita, kita akan takut dianggap sebagai orang ‘kelas bawah’, tidak kenal kemajuan, atau malah takut dianggap bodoh dan terbelakang.

Kenapa kita mesti takut? Kenapa kita tidak gengsi jika menghadap Allah dalam sholat hanya dengan berkaos oblong dan kain sarung yang sudah kumal karena dipakai waktu tidur? Kenapa kita tidak pernah gengsi kalau beramal di Masjid hanya dengan selembar uang bergambar orang utan?

Kita seharusnya malu pada diri kita sendiri


Kembali ke halaman utama

mitos, Maret 1997