Wisma Bahtera

Arsip Terpilih
 
"SETIA DAN CANTIK"
JULI 1997


Date: Fri, 25 Jul 1997 07:28:49 +0800 (SST)
From: Bashir M M Basalamah <bashir@singnet.com.sg>
Subject: Re: Tolooong: Good Samaritan

Menanggapi Setyadi:

Selamat pagi dari Singapura.

> b) dengan menggunakan teknik parafrasa, atau "struktur dalam"
> (Chomsky: 'deep structure"). Kalau catatan saya tertanggal 17
> Juli, Re; Istilah Manajemen, 'lonely business' belum Anda hapus,
> mungkin bisa dijadikan contoh.(OO, sebenarnya cara ini merupa-
> kan suatu "aliran", dan sebenarnya dulu itu saya ingin tahu
> pendapat Bahtera lain, apakah setuju dengan 'aliran' ini)

Sangat setuju, dan menurut saya inilah metode yang sebaiknya, karena
pembacaan bisa mulus. Tapi harus lihat bahannya dulu. Kalau bahan hukum,
misalnya, seperti akte perjanjian, itu kan harus akurat - kalau memang
aslinya tidak jelas, MS terjemahannya juga dibiarkan tidak jelas.

Selainnya, kalau mau menggunakan metode ini, saran saya, tanya sama klien,
apakah diperbolehkan.

>3. Anda pilih hasil terjemahan yang mana: yang "cantik" atau yang
> "setia"? Kata orang, terjemahan yang ideal itu ibarat pacar: kalau
> setia, biasanya tidak cantik; kalau cantik biasanya kurang setia.
>Paling sial kalau dapat pacar yang tidak cantik dan suka selingkuh.

MS, umumnya, terjemahan harus setia. Tapi kita sebagai penerjemah bisa
mengupayakan supaya pacar ini juga cantik, bila memang dibutuhkan
kecantikannya. Cuma, apa sih definisi cantik? Persoalan yang subjektif -
"beauty is in the eyes of the beholder" kata orang Inggris. Pacar yang saya
bilang cantik bisa saja orang lain bilang jelek. :-)

>Untunglah saya tidak punya pacar (lagi), kalau WIL saya punya.

Bung, saya punya tiga kamus Akronim dan Singkatan Indonesia, nggak ketemu
singkatan yang ini. WIL itu apa sih? Wanita Istri Lelaki? :-)


Date: Fri, 25 Jul 1997 08:52:46 +0700 (JAVT)
From: Wiwit Margawiati Aswandi <aswandi@idola.net.id>
Subject: Yang cantik dan yang setia (Re: Tolooong: Good Samaritan)

Menanggapi Setyadi dan Bashir:

>> b) dengan menggunakan teknik parafrasa, atau "struktur dalam"
>> (Chomsky: 'deep structure"). Kalau catatan saya tertanggal 17
>> Juli, Re; Istilah Manajemen, 'lonely business' belum Anda hapus,
>> mungkin bisa dijadikan contoh.(OO, sebenarnya cara ini merupa-
>> kan suatu "aliran", dan sebenarnya dulu itu saya ingin tahu
>> pendapat Bahtera lain, apakah setuju dengan 'aliran' ini)

Aduh aduh, Eyang, saya malah jadi bingung nih kalau sudah keluar
teori-teori begini. Kelihatannya memang saya perlu sekolah lagi nih. Eyang
bisa kasih rekomendasi buku apa yang baik saya baca mengenai prosedur
penerjemahan ini? Atau mungkin Eyang sendiri sudah menerbitkan buku? :-)

>>3. Anda pilih hasil terjemahan yang mana: yang "cantik" atau yang
>> "setia"? Kata orang, terjemahan yang ideal itu ibarat pacar: kalau
>> setia, biasanya tidak cantik; kalau cantik biasanya kurang setia.

Apakah maksudnya: kalau "cantik" berarti enak dibaca tapi belum tentu
isinya akurat, sementara yang "setia" isinya akurat tapi tidak enak dibaca?
Saya pernah mendengar bahwa dalam menerjemahkan, kadang-kadang
pergeseran arti itu tidak bisa dihindarkan. Malah kalau kita 100% setia,
hasilnya malah tidak bisa dipahami. Betul nggak?

>>Untunglah saya tidak punya pacar (lagi), kalau WIL saya punya.

Siapa? ;-) Saya juga punya banyak PIL, itu tuh Brad Pitt, Arnold
Schwarzenegger, Bruce Willis, dst. :-)

Salam hormat dan terima kasih banyak,
 

Wiwit M. Aswandi


Date: Fri, 25 Jul 1997 21:46:39 +0700
From: Setyadi Setyapranata <setyadis@mlg.ywcn.or.id>
Subject: Setia & cantik

Dari Setyadi untuk Bashir dan Wiwit.

Terima kasih atas sambutannya.

(1) Untuk Bashir:

>Sangat setuju, dan menurut saya inilah metode yang sebaiknya, karena
>pembacaan bisa mulus. Tapi harus lihat bahannya dulu. Kalau bahan hukum,
>misalnya, seperti akte perjanjian, itu kan harus akurat - kalau memang
>aslinya tidak jelas, MS terjemahannya juga dibiarkan tidak jelas.
>Selainnya, kalau mau menggunakan metode ini, saran saya, tanya sama klien,
>apakah diperbolehkan.

---Anda benar sekali, maafkan, karena saya tidak biasa mempunyai 'client',
maka yang saya bicarakan dulu itu terjemahan yang 'content' oriented,
bukannya 'client' oriented.(Saya sering merasa "berdosa" kalau terjemahan
kita biarkan tidak jelas, seperti aslinya)

---Terus terang saya sering merasa sedih menghadapi apa yang dinamakan
"bahasa hukum". Di satu sisi katanya hukum harus akurat, di sisi lain bahasa
orang hukum biasanya amburadul, tatabahasanya kocar-kacir. Saya sering
bertanya dalam hati, apakah orang-orang seperti kita ini tidak seharusnya
merasa mempunyai misi untuk turut "meluruskan" bahasa mereka. Saya
menengarai bahwa banyak orang hukum yang menggunakan "bahasa tidak jelas"
(istilah Anda), bukan karena "harus akurat" (juga istilah Anda), melainkan
karena mereka tidak dapat membuat bahasa yang baik. Saya punya seorang
kenalan seorang notaris terkenal di Jkt. yang menggemari urusan bahasa
("pecandu bahasa", istilah Bashir), dia mempekerjakan setengah
lusin penerjemah(semua mantan mahasiswa saya) yang saya pasok. Dia
berpandangan moderen, sedikit demi sedikit dia memperkenalkan "bahasa biasa"
dan menyingkirkan "bahasa akurat", dan ternyata bisa berjalan baik. Lain
halnya dengan apa yang dinamakan "terjemahan berjenggot" (ini istilah
tarjamah kitab suci)

--->... Cuma, apa sih definisi cantik? Persoalan yang subjektif -
>"beauty is in the eyes of the beholder" kata orang Inggris.

Kata "cantik" itu hanya istilah saya saja. MS dalam masalah terjemahan,
yang disebut cantik itu bukan 'in the eyes of...', melainkan lebih menga-
cu kepada keterbacaan (readability). Mungkin pada masa kini keterbacaan
sudah tidak begitu subjektif lagi, sebab sudah ada alat ukurnya yang
cukup objektif.

---Supaya surat saya tidak terlalu panjang, masalah WIL saya tunda dulu,
sementara itu supaya Anda semakin lebih penasaran.

(2) Untuk Wiwit:

>Aduh aduh, Eyang, saya malah jadi bingung nih kalau sudah keluar
>teori-teori begini. Kelihatannya memang saya perlu sekolah lagi nih.

---Sorry deh, Anda tidak perlu bingung. Teori2 itu sering tidak ada
manfaatnya. Saya juga cuma bisa ngomong kok. Kalau menerjemahkan, saya
yakin Anda tentu lebih piawai.

> Saya pernah mendengar bahwa dalam menerjemahkan, kadang-kadang
>pergeseran arti itu tidak bisa dihindarkan. Malah kalau kita 100% setia,
>hasilnya malah tidak bisa dipahami. Betul nggak?

---"Arti" memang boleh bergeser, tetapi "pesan" sebaiknya dipertahankan
jangan sampai bergeser. Yang saya maksud dengan setia ialah 'faithful'.
Kita harus setia kepada isi pesan ('message'). Maaf ya, saya agak khawatir
Anda punya persepsi yang agak berbeda tentang makna "setia" (kalimat Anda:
...kalau kita 100% setia...). Yang saya khawatirkan ialah yang Anda maksud
dengan "setia" adalah "tidak mengubah struktur bahasa" atau gramatika.

Nah, kalau yang ini, malah kita tidak harus setia. Kita wajib mengubah
struktur bahasanya demi .... kesetiaan kita kepada pesan. Lain kali kalau
menemukan contoh, saya akan kemukakan di sini.

Sudah ah, sekian dulu, saya malu nih sama Sofia (Dia lebih tahu, sedangkan
saya hanya sok tau).

---Sssst jangan ngomong tentang WIL dan PIL dulu, biar Bashir semakin
penasaran. (Kamus2-nya kurang tebal, barangkali)

>Salam hormat dan terima kasih banyak, <===> Sama2 & maaf.

Sty.


Date: Sat, 26 Jul 1997 04:14:36 +0800 (SST)
From: Bashir M M Basalamah <bashir@singnet.com.sg>
Subject: Re: Setia & cantik

Menanggapi Setyadi (maaf ya, panjangnya sebanding kiriman Anda):

>(1) Untuk Bashir:
>---Anda benar sekali, maafkan, karena saya tidak biasa mempunyai 'client',
>maka yang saya bicarakan dulu itu terjemahan yang 'content' oriented,
>bukannya 'client' oriented.(Saya sering merasa "berdosa" kalau terjemahan
>kita biarkan tidak jelas, seperti aslinya)

Mungkin pokok persoalannya ialah, siapa "klien". Bidang saya, umumnya klien
= perusahaan, pabrik, kantor pengacara, instansi pemerintah, dst. Mereka
ini punya kebutuhan masing-masing, yang bisa berbeda-beda. Mungkin klien
Anda lain lagi. Mungkin Anda tidak punya klien seperti saya, tapi apa pun
MS Anda tetap punya "klien" yaitu para pembaca hasil terjemahan Anda. Nah,
kebutuhan pembaca Anda juga bisa berbeda-beda, tergantung apakah mereka,
misalnya, teknikus, lulusan S1, anak sekolah dasar, tunaaksara, dst.

Kebutuhan ini dapat menentukan, antara lain, apakah Anda harus/bisa
membiarkan terjemahan tidak jelas, atau harus/bisa mengolahnya. MS, tidak
perlu merasa berdosa selama Anda memenuhi tujuan mereka.

>---Terus terang saya sering merasa sedih menghadapi apa yang dinamakan
>"bahasa hukum". Di satu sisi katanya hukum harus akurat, di sisi lain bahasa
>orang hukum biasanya amburadul, tatabahasanya kocar-kacir. Saya sering
>bertanya dalam hati, apakah orang-orang seperti kita ini tidak seharusnya
>merasa mempunyai misi untuk turut "meluruskan" bahasa mereka. Saya
>menengarai bahwa banyak orang hukum yang menggunakan "bahasa tidak jelas"
>(istilah Anda), bukan karena "harus akurat" (juga istilah Anda), melainkan
>karena mereka tidak dapat membuat bahasa yang baik. Saya punya seorang
>kenalan seorang notaris terkenal di Jkt. yang menggemari urusan bahasa
>("pecandu bahasa", istilah Bashir), dia mempekerjakan setengah
>lusin penerjemah(semua mantan mahasiswa saya) yang saya pasok. Dia
>berpandangan moderen, sedikit demi sedikit dia memperkenalkan "bahasa biasa"
>dan menyingkirkan "bahasa akurat", dan ternyata bisa berjalan baik. Lain
>halnya dengan apa yang dinamakan "terjemahan berjenggot" (ini istilah
>tarjamah kitab suci)

Masalah yang disebutkan ini memang bisa terjadi, bila penerjemah tidak
memperhatikan bahasa. Saya cuma mengatakan, dalam bidang tertentu,
misalnya bidang hukum, teknis, terjemahan harus akurat. Sama sekali tidak
berarti penerjemah boleh memperlakukan bahasa sesuka hatinya. Malah,
ketrampilan bahasa itu kan persyaratan penerjemah. Kalau tatabahasanya
kocar-kacir, tidak layak menerjemah. Kedua, mungkin ada kekeliruan di sini:
"bahasa tidak jelas" saya maksudkan bahasa dokumen asli; "harus akurat" saya
maksudkan terjemahannya - jangan disamakan keduanya, dong. Mengapa dokumen
asli "tidak jelas", itu bukan urusan penerjemah. Tapi apakah terjemahannya
"harus akurat", nah itu urusan penerjemah - harus dipertimbangkan sesuai
dengan kebutuhan.

Mengenai teman notaris yang menggunakan "bahasa biasa" - ya, itu tergantung
situasinya. Kalau untuk urusan pengadilan atau urusan hukum lainnya yang
membutuhkan istilah yang persis, saya percaya dia harus kembali ke istilah
hukum.

>Kata "cantik" itu hanya istilah saya saja. MS dalam masalah terjemahan,
>yang disebut cantik itu bukan 'in the eyes of...', melainkan lebih menga-
>cu kepada keterbacaan (readability). Mungkin pada masa kini keterbacaan
>sudah tidak begitu subjektif lagi, sebab sudah ada alat ukurnya yang
>cukup objektif.

Dan MS alat ukur itu berbeda-beda, sesuai dengan golongan pembaca. Ukuran
keterbacaan untuk anak sekolah dasar tidak sama dengan ukuran siswa
perguruan tinggi. Ukuran yang mana satu akan digunakan, MS tergantung
kebutuhan dan tujuan bahan ybs. Bahan hukum, misalnya, peristilahannya
begitu persis hingga, umumnya hanya terbaca oleh orang hukum. Dan
terjemahannya harus sebanding. Kalau aslinya untuk orang hukum, mengapa
terjemahannya harus menurut ukuran keterbacaan orang "non-hukum"? Jika
aslinya begitu rumit, apakah terjemahannya harus/bisa diolah dengan bahasa
biasa? Apakah artinya tidak ada orang Indonesia yang ahli hukum, bisa
membaca dan menafsir bahan hukum yang rumit? Lalu, untuk siapa bahan itu?

Di mana ukuran keterbacaannya?

Kecuali memang dibutuhkan supaya bahan itu khusus dapat dimengertikan oleh,
misalnya, orang tua di desa yang cuma sekolah dasar. Dan dalam hal ini,
"klien" menentukan. Itu pun, saya kurang pasti apakah pengolahannya nanti
benar-benar bisa difahami tanpa kehilangan kepersisan bahan aslinya.

Mungkin tidak penting.

>---Supaya surat saya tidak terlalu panjang, masalah WIL saya tunda dulu,
>sementara itu supaya Anda semakin lebih penasaran.

Woman in Love? Aaa . . . saya tau - Wanita Idola . . . apa, ya?

>---Sssst jangan ngomong tentang WIL dan PIL dulu, biar Bashir semakin
>penasaran. (Kamus2-nya kurang tebal, barangkali)

Memangnya saya tidak terdengar bisik-bisik Anda? :-)

Apa pun, WIL dan PIL pasti orang yang cantik dan keren, tapi setia nggak? :-)


Date: Sat, 26 Jul 1997 05:07:08 +1000 (EST)
From: rwitton@uow.edu.au (Ron Witton)
Subject: Re: Setia & cantik

Dari Ron unutk Setyadi

>---Sssst jangan ngomong tentang WIL dan PIL dulu, biar Bashir semakin
>penasaran. (Kamus2-nya kurang tebal, barangkali)

Saya masih bingung WIL dan PIL

Apakah bisa memberitahu dan saya janji tidak akan memberitahu Sdr Bashir...

Wassalam

Ron


Date: Sat, 26 Jul 1997 04:20:53 +0800 (SST)
From: Bashir M M Basalamah <bashir@singnet.com.sg>
Subject: Re: Setia & cantik

Menanggapi Ron:

>>---Sssst jangan ngomong tentang WIL dan PIL dulu, biar Bashir semakin
>>penasaran. (Kamus2-nya kurang tebal, barangkali)

>Saya masih bingung WIL dan PIL

>Apakah bisa memberitahu dan saya janji tidak akan memberitahu Sdr Bashir...

KB (bukan Keluarga Berencana - Ketawa Besar!)

OK, bilang sama saya bila Setyadi menyampaikannya. Saya janji akan tutup mata!

KBL (KB lagi!)


Date: Sun, 27 Jul 1997 00:38:58 +0700
From: Setyadi Setyapranata <setyadis@mlg.ywcn.or.id>
Subject: Re: Setia & cantik

Dari Setyadi untuk Bashir

>.... Kalau tatabahasanya
>kocar-kacir, tidak layak menerjemah. Kedua, mungkin ada kekeliruan di sini:
>"bahasa tidak jelas" saya maksudkan bahasa dokumen asli; "harus akurat" saya
>maksudkan terjemahannya - jangan disamakan keduanya, dong. Mengapa dokumen
>asli "tidak jelas", itu bukan urusan penerjemah. Tapi apakah terjemahannya
>"harus akurat", nah itu urusan penerjemah - harus dipertimbangkan sesuai
>dengan kebutuhan.

Secara garis besar saya setuju dengan pendapat Anda. Mungkin ada sedikit
salah tafsir di sini. Yang saya maksud dengan bahasanya amburadul dan
tatabahasanya korat-karit itu adalah orang hukum di Indonesia, yang
menulis naskah hukum dalam bahasa Indonesia, jadi naskah aslinya. Rupa2-
nya di antara mereka ada yang merasa "kurang bergengsi" apabila mereka
menulis dengan "bahasa biasa" (Seperti halnya tulisan dokter harus
model "cakar ayam"). Nah, waktu mereka mengupah orang untuk menerje-
mahkan naskah dari bahasa Inggris, mereka juga merasa kurang puas ka-
lau terjemahannya itu "biasa saja". Saya tengarai, di antara mereka
merasa bangga apabila bahasanya tidak mudah dimengerti oleh orang
yang bukan orang hukum. Itu di Indonesia lho, Pak Ngah.

Sebagai ilustrasi, di koran sering kita baca surat pembaca yang mempro-
tes perusahaan asuransi karena merasa tertipu claim-nya tidak dipenuhi.
Biasanya fihak asuransi menyanggah dengan mengutip isi polis yang sudah
disetujuinya, dan dikatakan orang tersebut kurang memahami isi polis.

Yaaa, memang itu karena naskah polis itu ditulis dengan "bahasa hukum"
yang tidak gampang dimengerti oleh orang biasa. Nah, "bahasa hukum"
yang semacam inilah yang kurang dapat saya terima. Coba bayangkan,
hampir semua kalimat panjangnya melebihi 6 baris. Saya jamin kalau
naskah tersebut diserahkan ke Cipaku untuk disunting, tentu tidak akan
ada claim dan pertengkaran, tanpa mengubah keakuratan dan ketepatannya. Tapi
yaitu, genngsi dong. OO, saya tetap membedakan antara
"istilah hukum" dan "bahasa hukum".

>Dan MS alat ukur itu berbeda-beda, sesuai dengan golongan pembaca.

Sekarang sudah ada lho, satu alat ukur yang dapat digunakan untuk
tingkat (golongan) pembaca yang berbeda-beda.

>Bahan hukum, misalnya, peristilahannya begitu persis hingga, umumnya
>hanya terbaca oleh orang hukum.

Setuju, sebab saya tidak mempermasalahkan "peristilahan", melainkan
bahasanya.

>Kalau aslinya untuk orang hukum, mengapa terjemahannya harus menurut
>ukuran keterbacaan orang "non-hukum"?

Bagaimana kalau bahannya tentang hukum, tetapi audience-nya orang awam.
Seperti polis asuransi dan kontrak kerja?

>Jika aslinya begitu rumit, apakah terjemahannya harus/bisa diolah dengan
>bahasa biasa?

MS harus/bisa, dan ini justru tugas penerjemah, kalau memang bahan tsb.
ditujukan kepada orang biasa. Menurut dugaan, bahasa polis asuransi tsb.
dicontoh dari pola bahasa Belanda, dan diterjemahkan tanpa "diolah de-
ngan bahasa biasa". Kalau yang membaca polis (Indonesia) tsb meneer Yan
saya kira malah dapat memahami dengan baik.

Tentang PIL dan WIL, berterimakasihlah kpd. Rossano.

Sekian dulu ya.

Salam sebahtera.

Sty.



 
Date: Mon, 28 Jul 1997 21:07:33 +0800 (SST)
From: Bashir M M Basalamah <bashir@singnet.com.sg>
Subject: Re: Setia & cantik

Menanggapi Setyadi:

>Secara garis besar saya setuju dengan pendapat Anda. Mungkin ada sedikit
>salah tafsir di sini. Yang saya maksud dengan bahasanya amburadul dan
>tatabahasanya korat-karit itu adalah orang hukum di Indonesia, yang
>menulis naskah hukum dalam bahasa Indonesia, jadi naskah aslinya. Rupa2-
>nya di antara mereka ada yang merasa "kurang bergengsi" apabila mereka
>menulis dengan "bahasa biasa" (Seperti halnya tulisan dokter harus
>model "cakar ayam"). Nah, waktu mereka mengupah orang untuk menerje-
>mahkan naskah dari bahasa Inggris, mereka juga merasa kurang puas ka-
>lau terjemahannya itu "biasa saja". Saya tengarai, di antara mereka
>merasa bangga apabila bahasanya tidak mudah dimengerti oleh orang
>yang bukan orang hukum. Itu di Indonesia lho, Pak Ngah.

Iya, jadi masalahnya di sini kan orang hukum. Pak Ngah hanya penerjemah,
Bung. Kalau klien saya seperti itu, suruh saya "meng-gengsi-kan" hasil
terjemahan, sedang bahan asli sama sekali tidak begitu, pekerjaan itu saya
tolak saja. Sori, deh, saya nggak mau bohong. Apa yang memang termuat
dalam bahan asli, itulah yang saya langsungkan dalam terjemahan.

>Sebagai ilustrasi, di koran sering kita baca surat pembaca yang mempro-
>tes perusahaan asuransi karena merasa tertipu claim-nya tidak dipenuhi.
>Biasanya fihak asuransi menyanggah dengan mengutip isi polis yang sudah
>disetujuinya, dan dikatakan orang tersebut kurang memahami isi polis.

>Yaaa, memang itu karena naskah polis itu ditulis dengan "bahasa hukum"
>yang tidak gampang dimengerti oleh orang biasa. Nah, "bahasa hukum"
>yang semacam inilah yang kurang dapat saya terima. Coba bayangkan,
>hampir semua kalimat panjangnya melebihi 6 baris. Saya jamin kalau
>naskah tersebut diserahkan ke Cipaku untuk disunting, tentu tidak akan
>ada claim dan pertengkaran, tanpa mengubah keakuratan dan ketepatannya. Tapi
>yaitu, genngsi dong. OO, saya tetap membedakan antara
>"istilah hukum" dan "bahasa hukum".

Masalah ini, siapa yang harus menanggulanginya? Siapa yang harus membetulkan
bahasa hukum itu? Tentunya perusahaan asuransi dan masyarakat hukum.
Lagian, polis itukan sudah semulanya dalam bahasa Indonesia. Masak
penerjemah bisa campur tangan?

>>Kalau aslinya untuk orang hukum, mengapa terjemahannya harus menurut
>>ukuran keterbacaan orang "non-hukum"?
>Bagaimana kalau bahannya tentang hukum, tetapi audience-nya orang awam.
>Seperti polis asuransi dan kontrak kerja?

Kalau audiencenya orang awam, dan saya memang diminta mengolah terjemahannya
untuk kepentingan mereka, saya akan mengolahnya sesuai dengan kebutuhan itu.
Tapi, MS, hasilnya bukan lagi terjemahan, melainkan *adaptasi*.

>>Jika aslinya begitu rumit, apakah terjemahannya harus/bisa diolah dengan
>>bahasa biasa?
>MS harus/bisa, dan ini justru tugas penerjemah, kalau memang bahan tsb.
>ditujukan kepada orang biasa. Menurut dugaan, bahasa polis asuransi tsb.
>dicontoh dari pola bahasa Belanda, dan diterjemahkan tanpa "diolah de-
>ngan bahasa biasa". Kalau yang membaca polis (Indonesia) tsb meneer Yan
>saya kira malah dapat memahami dengan baik.

Setuju, dengan catatan harus mendapat instruksi/persetujuan dari klien.
Jika klien tidak bilang apa-apa, saya tidak boleh asumsi; siapa tau, mungkin
terjemahan saya untuk dibaca seorang Indonesia yang ahli asuransi?

Pokoknya, MS, hasil terjemahan harus sebanding dengan bahan asli -
maksudnya, ekspresinya, respons darinya. Kecuali memang disuruh oleh klien
supaya saya mengolah hasil terjemahan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.

Dan itu adaptasi, bukan terjemahan.

>Tentang PIL dan WIL, berterimakasihlah kpd. Rossano.

Soalnya, Rossano masih belum tau PIL :-)

Mak Ngah kirim salam buat semuanya :-)


Date: Tue, 29 Jul 1997 11:40:39 +0200
From: Rossano Rossi <ros.ros@iol.it>
Subject: Re: Setia & cantik

Bashir yang baik,

>>Tentang PIL dan WIL, berterimakasihlah kpd. Rossano.

>Soalnya, Rossano masih belum tau PIL :-)

PIL = Pria Idaman Lain [Ya, buat saya WIL = Wanita Idaman Lain, tapi untuk

Eyang Setyadi rupanya WIL = Wanita Itu Lagi. :-) Yang saya maksud adalah

Pria Idaman Lain, tapi bukan "the other man" lho, sekedar idaman kan lain

dengan yang betulan. :-) - Bhatera, Wiwit]

SHS,

Rossano