Wisma Bahtera

Arsip Terpilih
 
"KATA GANTI ORANG PERTAMA DALAM TULISAN ILMIAH"
OKTOBER 1997


Date: Sat, 11 Oct 1997 19:32:26 +0700
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: "Cipaku, Bandung" <sofia@melsa.net.id>
Subject: First-person singular

Halo Bahterawan,

Saya baru saja baca emails dari milis yang lain, yaitu milis untuk science editors. Ada yang melontarkan pertanyaan mengenai cara penulis artikel menuliskan buah pikirannya. Ada sementara journal editors yang begitu bersikeras untuk menghilangkan kata ganti orang pertama. Semua kata "I" dan "we" dibuang, dan kalimat diganti menjadi kalimat pasif. Ini dimaksudkan untuk bersikap objektif, katanya. Walaupun ada juga editor yang mengatakan bahwa para penulis bergaya pasif ini sebenarnya menyembunyikan diri untuk tidak memikul tanggung jawab atas tulisannya ...

Saya sendiri pernah mendapatkan pelajaran begini ketika masih mahasiswa ... sekian belas atau puluh tahun yang lalu. Malu ah sama Wonderful Wit, Steve, dan Gede ... :-)
Saya diajari untuk menuliskan skripsi dengan menghindari kata "saya". Dan kaidah itu saya pegang teguh. Tapi, beberapa tahun kemudian, saya membaca sebuah buku, lupa lagi judulnya, kalau ngga salah "Understanding human behaviour". Di situ dikemukakan pendapat si pengarang bahwa para penulis buku dan artikel harus lebih "friendly" dan mendekatkan diri dengan pembacanya. Ini dimaksudkan agar tulisannya lebih mudah dicerna pembaca, dan juga untuk membina suasana akrab antara penulis dan pembacanya. Jadi, komunikasi yang searah ini ada nuansa dwi-arahnya. Menuliskan "I" atau "we" bukan berarti menghilangkan "subjektivitas" dalam menulis, sebagaimana yang diharapkan orang, terutama dalam artikel ilmiah.

Saya amati memang dalam tulisan berbahasa Indonesia pun, kalimat aktif bisa saja tidak mengesankan menonjolkan diri. Dan sebaliknya, kalimat pasif bisa saja menyiratkan subjektivitas ini. Saya sendiri selalu meng-encourage para penulis untuk menggunakan kalimat aktif untuk mengakrabkan diri dengan pembacanya. Sekarang sudah tidak zamannya lagi menyulit-nyulitkan tulisan agar dianggap lebih "berbobot" dan lebih "ilmiah". Meskipun memang masih ada lho guru besar yang beranggapan begini. Semakin sulit mahasiswanya lulus, semakin bangga dia. Padahal, menurut saya sih profesor seperti itu hanya berdalih saja, menyembunyikan kenyataan bahwa dia sebetulnya ngga becus mengajar. Bener ngga, Steve? Kan Steven masih mahasiswa?

OK, mari kita lihat betapa taat asasnya (konsistennya) sang editor memasifkan kalimat-kalimat dalam artikel yang disuntingnya berikut ini. Menurut saya, ini sih sudah kebangetan (keterlaluan). Bagaimana pendapat Bahterawan? Boleh dong diminta mikir rada serius di akhir pekan begini? Yang ngga mau mikir juga boleh, tinggal tekan tombol "trash". :-(

-------------------------------

"We are presently exploring how management techniques have changed during the period this farm has been in operation ..."
becomes
"The manner in which the management techniques have changed during the period that this farm has been in operation are [sic] currently being examined ..."

and

"... assuming we underestimate average temperature by about 2oC, ..."
becomes
"... assuming that an underestimate of average temperature by about 2oC has been used in this study, ..."

and

"We had no reliable data for regularly estimating population density throughout the crop"
becomes
"No reliable data for regularly estimating population density throughout the crop was [sic] available"
 

I cannot see how an editor can justify making nonsense of sense, committing gratuitous grammatical errors and making clear prose ambiguous and word ... all in the name of some spurious notion that "I" and "we" are Bad Words.
-------------------

Menurut saya sih kalimat pasifnya lebih sulit dipahami dibandingkan dengan kalimat aktifnya. Dan ini sudah menyalahi tugas editor yang seharusnya justru meningkatkan derajat keterbacaan sebuah tulisan, bukan malah membuatnya sulit dipahami. Menurut Anda gimana?

Selamat mikir,
Salam dari Cipaku,
Sofia


From: "Steven Haryanto" <stevenh@bdg.centrin.net.id>
To: <bahtera@lists.singnet.com.sg>
Subject: Re: First-person singular
Date: Sat, 11 Oct 1997 20:45:57 +0700

Trims atas bahan mikirnya.

Saya juga kadang-kadang bingung, eh, kadang-kadang terjadi kebingungan, kalimat aktif atau pasif yang lebih bagus dalam menulis karangan-karangan ilmiah. Masalahnya ada dosen saya yang mengharamkan kata ganti orang pertama 'saya', 'kami', dan sebangsanya. Pokoknya susun ulang, jangan sampai kata itu muncul! Akibatnya biasanya terbentuk kalimat-kalimat pasif. Tapi dosen mata kuliah lain justru lebih menyukai kalimat aktif--yang berbuntut kami mahasiswa harus menggunakan kata ganti orang pertama. Beliau (yang kedua ini) sering 'melecehkan' kalimat-kalimat pasif seperti:

'Temperatur di dalam reaktor secara berkala diukur..."

Katanya, " 'Diukur' Oleh siapa? Mana subjeknya?" (Meski pertanyaan kedua tidak benar, karena jika kalimat aktif dipasifkan, yang semula objek menjadi subjek dan sebaliknya. Jadi kalimat pasif seperti di atas

tetap bersubjek. Betul kan?)

Segitu aja komentar saya. Para bahterawan ahli, silakan...

....from now on i shall be called...
--"Steady-State" Steve (SS Steve for short) :)


From: "Steven Haryanto" <stevenh@bdg.centrin.net.id>
To: <bahtera@lists.singnet.com.sg>
Subject: Re: First-person singular
Date: Sat, 11 Oct 1997 20:46:04 +0700

Sofia:
> Menurut saya sih kalimat pasifnya lebih sulit dipahami dibandingkan dengan
> kalimat aktifnya. Dan ini sudah menyalahi tugas editor yang seharusnya
> justru meningkatkan derajat keterbacaan sebuah tulisan, bukan malah
> membuatnya sulit dipahami. Menurut Anda gimana?

Setuju, seperti tertulis di buku "Pengantar Penerbitan" toh? (atau, versi aktif: seperti yang Anda tulis di buku "Pengantar Penerbitan"?)

Ada kata "jelah" di sana. OO, siapa sih biasanya yang menentukan pilihan kata-kata seperti itu? (Kata-kata yang "aneh" dan belum pernah saya dengar). Saya ada sebuah buku teks terbitan Penerbit ITB yang memuat kata-kata seperti:
semipermeable = ardatiris
discrete = farik
jelly-like = liragar
excitation = pengujaan
overlap = persitembusan
ceiling temperature = suhu pagu (jadi, floor temperature = ...)
dll, dll

Dan gimana sejarah kata-kata di atas?

--SS Steve


Date: Sun, 12 Oct 1997 06:37:09 +1000 (EST)
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: rwitton@uow.edu.au (Ron Witton)
Subject: Re: First-person singular

Dari Ron

Setuju bahwa menghindari first person tidak menolong sama sekali, malahan kadang2 mengacaukan dan sering ada kesalahan tatabahasa. Apa gunanya bersifat obyektif kalau isinya tidak obyektif? Dan malahan untuk tulisan ilmuan, perlu juga tahu siapa pelakunya.

Wassalam


Date: Thu, 16 Oct 1997 04:09:10 +0700 (WIB)
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: George Johnstone <perfect_bogor@theoffice.net>
Subject: Re: First-person singular

At 01:48 AM 16/10/97 -0700, you wrote:
>Dari Setyadi untuk Sofia:
>At 07:32 PM 10/11/97 +0700, you wrote:
>>Halo Bahterawan,
>>

>>I cannot see how an editor can justify making nonsense of sense, committing
>>gratuitous grammatical errors and making clear prose ambiguous and word ...
>>all in the name of some spurious notion that "I" and "we" are Bad Words.
>>-------------------
>Penggunaan bentuk pasif yang tepat, sebenarnya tidak hanya untuk menghindari
>kesan subjektif, melainkan lebih untuk menonjolkan peristiwanya daripada
>pelakunya: jadi yang penting ialah "apa" yang akan terjadi kalau sesuatu
>"dilakukan".

MS letak masalahnya disini. Kita harus menghindari pemikiran bahwa pasif atau aktif adalah bentuk yang "baik" atau "tidak baik". Yang penting adalah "tepat" atau "yidak tepat". Saya punyah teman penerjemah yang mengaku membenci bentuk pasif. Saya menyuruh dia membaca buku tata bahasa yang sudah lama, Fowler's "Modern English Usage" yang pertam kali diterbit tahun 1926. Mengenai pasif dia mengatakan a.l.

"The conversion of an acitve-verb sentence into a passive verb one of the same meaning--e.g of "You killed him" into "He was killed by you"-- is a familiar process. But it sometimes leads to bad grammar, false idiom, or clumsiness.
.......

5. The impersonal passive -- "it is felt", "it is thought", "it is beleived", etc. --is a construction dear to those who write offical and business letters. It is reasonable enough in statemnts made at large --"It is belived that a large green car was in the vicinity at the time of the accident."|"It is understood that the wanted man is wearing a raincoat and a cloth cap". But when one person is addressing another it often ammounts to a pusillanimous shrinking from responsibility ("It is felt that your complaint arises from a misunderstanding."|"It is thought that ample provision has been made against this contingency.") The person addressed ahs the right to know who it is that entertains a feeling he may not share or a thought he may consider mistaken, and is justly resentful of the suggestion that it exists in the void. For this reason the impersonal passive should have been used in "For these reasons the effects of the Amaerican recession upon Britain will be both smaller and shorter than were orignally feared. "Were" should be "was" (i.e. than it was originally feared)."

Masalah "ketepatan" dalam penggunaan pasif menyangkut topik tetapi juga gaya bahasa, seperti contoh dari Setyadi:

>Dalam gaya textbook yang lebih "santai" malah paparan ilmiah
>dapat disampaikan dengan second person singular ("YOU may see the result
>after 3 minutes").

Dalam hal ini, MS saya harus selalu kembali kepada tujuan si penulis. Jadi yang penting adalah pemahaman akan kesan yang timbul dari penggunaan bentuk pasif dan apakah kesan ini yang kita inggin timbulkan.

Wasalam

George



From: dpuji@pacific.net.sg
Date: Thu, 16 Oct 1997 06:09:33 +0800
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
Subject: Re: First-person singular

> Dalam hal ini, MS saya harus selalu kembali kepada tujuan si penulis. Jadi yang penting adalah pemahaman akan kesan yang timbul dari
penggunaan bentuk pasif dan apakah kesan ini yang kita inggin timbulkan.

Saya hanya mau menambah saja. Waktu belajar English Literature sekian tahun yg lalu (nggak usah kasi tahu, yach), saya diajar bahwa penggunaan bentuk pasif dan aktif itu masing-masing tergantung kpd pengaruh yg ingin dicapai sipenulis atau konteks prosa yang bersangkutan. Contoh business letter itu bagus; biasanya di sini bentuk pasif itu lebih lazim. Dan utk prosa yg nadanya instructional atau direct, misalnya, bentuk aktiflah yg terbaik digunakan. Jadi, memang kurang tepat kalau mau dikatakan yg satu lebih baik dari yg satu lagi.

Wassalam,
Anita.


Date: Thu, 16 Oct 1997 01:48:36 -0700
To: bahtera@lists.singnet.com.sg
From: Setyadi Setyapranata <setyadis@malang.wasantara.net.id>
Subject: Re: First-person singular

Dari Setyadi untuk Sofia:
At 07:32 PM 10/11/97 +0700, you wrote:
>Halo Bahterawan,
>
>I cannot see how an editor can justify making nonsense of sense, committing
>gratuitous grammatical errors and making clear prose ambiguous and word ...
>all in the name of some spurious notion that "I" and "we" are Bad Words.
>-------------------
>Menurut saya sih kalimat pasifnya lebih sulit dipahami dibandingkan dengan
>kalimat aktifnya. Dan ini sudah menyalahi tugas editor yang seharusnya
>justru meningkatkan derajat keterbacaan sebuah tulisan, bukan malah
>membuatnya sulit dipahami. Menurut Anda gimana?
>

Meski agak ketinggalan waktu ayas juga ingin nuru rembug:
===Saya setuju dengan sikap Anda. Buku2 pelajaran writing yang baru sudah tidak memaksakan bentuk pasif lagi. Yang masih (agak) dipertahankan memang kalau uraian itu memerikan suatu proses dengan urutan langkah2 (misl. urutan percobaan di lab, atau demonstrasi masak). Kalau disampaikan dengan bentuk aktif memang agak kurang lumrah, misalnya: "Saya mencampur zat A dengan zat B, saya melihat terjadi reaksi, kemudian saya tambahi dengan zat C supaya saya dapat melihat reaksi tersebut dengan lebih jelas"
Penggunaan bentuk pasif yang tepat, sebenarnya tidak hanya untuk menghindari kesan subjektif, melainkan lebih untuk menonjolkan peristiwanya daripada pelakunya: jadi yang penting ialah "apa" yang akan terjadi kalau sesuatu "dilakukan". Dalam gaya textbook yang lebih "santai" malah paparan ilmiah dapat disampaikan dengan second person singular ("YOU may see the result after 3 minutes"). Memang ada Profesor yang menghendaki bahwa laporan ilmiah harus bernuansa keseriusan tertentu. Pendirian ini dapat kita (ini 1st atau 2nd person?) maklumi, sebab memang akan menjadi agak aneh kalau tesis mahasiswa disampaikan dengan gaya Pak Slamet Suseno di Intisari.

Sekian dulu saya sudah ngantuk,
Setyadi